Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yuniansyah09Avatar border
TS
yuniansyah09
Transformasi Jiwa (part 2: Bayang-bayang aneh)
Bayang-bayang aneh

Lamunanku tersentak oleh sentuhan mengagertkan di bahuku. Terlihat gadis tinggi besar memakai jamper dengan tas ransel di punggung sedang berdiri dan menghadap ke-arahku. Mata binarnya begitu sayu. Kepalanya selalu menunduk seakan tertempel jiwa-jiwa pengecut. Perlahan, bibir tipisnya mulai bergerak.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Duduklah sejenak. Pesanlah apa yang kamu ingin!”
“Aku tak menginginkan apa-apa, kecuali menyelesaikan ini dengan sangat cepat”.
“Perkenalkan, aku Strauss dari fakultas politik”.
“Aku Anjela. Langsung saja pada poin pembicaraan. Apa yang kamu inginkan?”
“Baiklah. Satu hal mendasar yang masih mengganjal bagiku. Kau ini siapa?”
“Kau tahu? Itu adalah pertanyaan sama yang ingin kutanyakan padamu. ”
“Tidakkah kau ingat Anjela, aku sudah memperkenalkan diri tadi”.
“Lebih dalam dari itu Strauss. Aku merasakan sesuatu yang beda darimu”.
“Hei! Itu pernyataan sama seperti apa yang ingin kukatakan”.
“Begini maksudku Strauss. Semua orang dapat kudeteksi perasaannya. Hanya perasaanmu yang tak bisa kurasakan”.
Seketika keadaan menjadi hening. Kutatap matanya dengan penuh ketidak-percayaan. Dia benar-benar misterius. Kepalanya masih konsisten untuk menunduk selama pembicaraan ini. Aku tidak percaya, bagaimana bisa apa yang kualami juga dialaminya. Sejak kecil, aku dapat mengetahui pikiran orang. Entah karunia tuhan atau apa, namun itu yang kualami. Metode tersebutlah yang kupakai ketika konflik di kantin tadi siang. Aku mengubah pikiran negatif si pemilik kantin menjadi positif tentang apa yang telah diperbuat Anjela. Secara keseluruhan, semua dapat kumasuki pikiranya, kecuali gadis satu ini.
“Kenapa kau diam Strauss?”
“Kau tahu Anjela? Apa yang kau rasakan terjadi pula padaku. Aku tidak dapat memasuki pikiranmu pula disaat semua orang telah berhasil kumasuki”.
“Feelingku tepat. Namun, mengapa kau tak kelihatan kuatir akan semua ini Strauss?”
“Apa yang membuatku kuatir saat aku tidak melakukan hal buruk pada seseorang?”
“Seharusnya kecerdasanmu luar biasa Strauss, seperti kakak laki-lakiku. Namun, kau begitu bodoh dalam hal ini”.
“Hei! Ucapanmu mengerikan”.
“Kakakku sama sepertimu. Dan dia harus mati untuk membayarnya”.
“Kau nampak gila Anjela. Apa maksudmu?”
“Kelebihan kakakku ternyata mengundang malapetaka. Dia dicari oleh intelejen negara. Mereka ingin kemampuan kakakku dijadikan alat mereka berdiplomasi dengan negara lain. Dengan kemampuan itu, maka seluruh negara akan mampu dideteksi kepentingannya dan menjadi semakin mudah dikontrol. Begitu pula dalam pasar dunia. Mereka ingin mengubah pikiran tentang barang mereka menjadi positif, sehingga barang tersebut akan banyak diminati dan hasil penjualannya akan membuat negara kaya. Kakakku tidak mau bekerja-sama, hingga akhirnya dia menghilang entah kemana. Kuperkirakan, dia telah diculik dan dibunuh oleh mereka. Dan kini setelah kakakku, aku menjadi target berikutnya. Aku dan kamu memiliki kemampuan sama Strauss. Bedanya, aku memanipulasi lewat perasaan, kau lewat pikiran. Manusia seperti kita sedang diincar negara saat ini”.
“Kenapa mereka seperti itu? Dimana mereka? Aku ingin berbicara pada mereka. Kenapa kita harus menghindar”.
“Semua tak sesimpel itu Strauss. Kau tak akan mampu menggunakan pikiranmu untuk menembus mereka. Mereka memiliki kemampuan sama dengan kita. Bahkan, aku harus memakai cincin peninggalan ini agar mereka tak dapat mendeteksi kemampuanku”.
“Anjela! Ini hal biasa yang kau jadikan rumit. Kita tinggal bertingkah seperti orang biasa. Andaikan mereka berhasil menangkap kita, kita tinggal membuat kesepakatan dengan mereka. Kamu dapat apa? Aku dapat apa. Simpel kan?”
“Strauss! Apa kau tega menindas semua orang di dunia hanya demi negara kita semakin kaya? Uang kah yang kau cari?”
“Tak munafik Anjela, tapi itu adalah kebutuhan setiap manusia untuk hidup”.
“Kau benar-benar tak memiliki perasaan, sama seperti kakakku”.
“Mayoritas laki-laki seperti itu Anjela”.
“Setidaknya, kakakku masih memiliki rasa belas kasihan daripada kau. Dia menolaknya karena dia merasa iba pada sekitarnya, khususnya warga di dunia. Apakah kau manusia juga Strauss? Kau memiliki hati kan? Bayangkan jika warga di negara lain itu adalah ibumu? Apa kau tega memeras uangnya demi kamu sendiri? ”.
Aku terdiam. Kubiarkan otakku menganalisis kesana-kemari. Hasilnya, aku telah menemukan jawaban atas perilaku misteriusnya. Namun, dengan terjawabnya hal tersebut membuat banyak pertanyaan tanpa jawaban muncul. Apakah benar? Apakah tidak? Mengapa? Belum sempat aku berkata, dia lekas mengambil tanganku.
“Kita sudah tidak aman. Berfikirnya nanti dulu, sekarang mari kita pergi”.
“Hei! Apa maksudmu?”
Belum sempat aku menerima jawaban, tanganku sudah ditariknya menuju pintu keluar. Dengan langkah begitu cepat, kami berjalan menyusuri trotoar dalam sinar lampu kota yang temaram. Tanganku tetap digenggamnya erat. Tak sepatah katapun keluar diantara kami. Semua diam dalam kegundahan. Kulirik wajahnya sesaat. Nampak selimut tebal ketakutan menghinggapi dirinya. Sesekali dia menengok kebelakang, namun masih berjalan dalam kecepatan yang sama. Aku tak mampu berfikir logis kali ini. Keadaan itu memaksa rasa takut meracuni logikaku.
“Brak!” Seketika kami jatuh tersungkur. Kurasakan ada tembakan kecil pada leher belakangku, mungkin begitu pula dengan Anjela. Kepalaku terasa pusing. Padanganku sedikit kabur. Badanku terasa berat untuk berdiri. Disampingku, Anjela nampak terkulai lemas tak berdaya. Tiba-tiba tangannya bergerak kecil disampingku. Cincin di jarinya dilepas dan ditaruh di dalam tasku bersama Mp3 playernya.
Tiba-tiba, terdengar langkah orang berlari dan berhenti tepat di depan kami. Kuangkat kepalaku. Terlihat dua orang bertubuh kekar memakai pakaian serba hitam berdiri di depan kami. Keduanya menindih tubuh kami yang lemas ini. Tubuh kekarnya membuatku tak bisa bergerak. Mereka menaruh telapak tangannya di kepala kami. Entah apa yang mereka lakukan.
Sesaat, orang yang menindih tubuhku berdiri. Dia lantas menuju Anjela dan mengikat mulutnya dengan kain. Orang satunya mengikat tangan dan kaki Anjela yang membuatnya tak bisa bergerak. Orang itu lalu kembali padaku. Tangan dan kakiku pun ternyata tak luput dari incaran mereka. Keduanya lekas menggendong Anjela pergi. Ingin aku menolongnya, namun tubuh ini tak mampu bekerjasama. Aku lemas. Tubuku berat. Kulihat air mata keluar membasahi pipi Anjela. Dia meronta. Menjerit sekuat tenaga. Namun apa daya, keadaan sepi malam itu membuat tak ada orang yang mendengar. Sayup-sayup kudengar dia berkata “Pakailah! Tepis sedikit logikamu, tumbuhkan perasaanmu dengan musik. Kau akan aman”. Setelah itu, mereka menghilang dalam pekatnya malam.

***

“Hei bung! Apa yang kau lakukan?”
Aku terkaget oleh suara Marchel yang lantang menegurku. Seperti orang gila, aku melihat sekitar dengan asing. Perlu beberapa saat untuk meyakinkanku bahwa aku berada di perpustakaan. Kuusap kedua mataku yang sedikit memburam. Ketika aku ingin memasukan buku yang kubaca tadi, aku begitu terkejut. Di dalam tasku terdapat sebuah cincin dan Mp3 Player yang sama persis dengan apa yang terjadi dalam lamunanku tadi.
“Mana Strauss si anak logis itu? Ini perpustakaan untuk membaca, bukan melamun”.
“Siapa yang melamun?”
“Kau nampak seperti seorang yang logis kehilangan logikanya Strauss”.
“Hati-hati kalau bicara bung!”
“Sedari tadi pagi, kau hanya termenung duduk disini. Kukira kau fokus membaca. Namun setelah kuamati, kau tak beranjak dari tepat dudukmu hampir selama 6 jam. Kau masih sehat kan?”
“Bukannya aku bertemu denganmu jam 11?”
“Kita janji ke perpustakaan jam 9 bung! Apa maksud bertemu? Kita kan kesini bersama?”
“Aku tadi ke kantin dulu seusai ujian”.
“Hey Strauss! Kamu sakit ya! Kita sudah disini sejak jam 9. Dan aku selalu bersamamu, selama dan seusai ujian. Kita sama sekali tidak ke kantin”.
“Lalu...”
“Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan. Lebih baik kita mencari tahu tentang isu terbaru di kampus ini”.
“Ada apa memangnya?”
“Salah satu anak mahasiswi sini yang menghilang tiba-tiba malam kemarin. Dia adalah si misterius perbankan, Anjela. Kau pasti belum tahu ya? Ayo kita bergegas kapten!”
Sontak badanku lemas. Aku tak mengerti akan semua ini. Dalam perjalanan, aku masih memikirkan apa yang baru saja kualami. Langkahku tergontai diantara kebingungan yang mencekam. Apa sebenarnya yang terjadi? Dimanakah kedua orang bertubuh kekar yang menggendong Anjela tadi? Darimana ada cincin dan Mp3 player di saku celanaku ini? Siapa? Kemana? Mengapa?

***
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 2 suara
Gimana dengan ini gan?
Menarik
50%
Perlu dilanjut
50%
Setengah indah
0%
Kurang nendang
0%
Cukup sampai disini
0%
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.6K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan