Fakta-Fakta Perang Jawa (Diponegoro) yang Menakjubkan dan Mengerikan
TS
t.adi.nugraha
Fakta-Fakta Perang Jawa (Diponegoro) yang Menakjubkan dan Mengerikan
Spoiler for "Cek Repost":
Beberapa Thread sebelum ini ada yang membahas tentang "Perang Jawa", tapi tenang saja sebagian besar beda kok walau beberapa materi ada yg sama.
Spoiler for "Pembukaan":
Perang Jawa merupakan perang yang dikobarkan oleh Pageran Dipanagara melawan Belanda. Perang yang belangsung selama lima tahun dari 1825 sampai 1830 merupakan salah satu perang terbesar yang pernah terjadi di Nusantara selama masa kolonialisme Belanda. Perang ini kadang disebut juga sebagai Perang Diponegoro sesuai dengan gelar sang pangeran yang mengobarkannya.
Sekilas Dipanagara
Pangeran Dipanagara (terkadang ditulis Diponegoro atau Dipanegara) merupakan putra dari Sultan Hamengkubuwono III dengan Raden Ayu Mangkarawati. Nama Pangeran Dipanagara saat lahir adalah Bendara Raden mas Mustahar. "Dipanagara" sendiri bukanlah nama asli melainkan gelar yang diberikan keraton, sehingga dalam sejarah ada pangeran-pangeran lain dengan gelar "Dipanagara".
Dipanagara atau Dipanegara atau Diponegoro?
Sejatinya secara ejaan linguistik, namanya ditulis ‘Dipanagara’ karena aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka selalu dilafalkan dengan ‘å’ seperti huruf ‘o’ pada pelafalan kata ‘roti’—bukan ‘bola’. Sementara, “Dipanegara” merupakan variasi ejaan yang kerap digunakan oleh penulis zaman sekarang. Meskipun demikian, penulisan “Diponegoro” pun tidak salah juga lantaran terlanjur lazim digunakan. - (Nat Geo Indonesia)
1) Konspirasi selama 12 tahun, organisasi militer ala Turki, hingga senjata api buatan Prusia
Spoiler for "Buka":
Ilustrasi latihan Laskar Dipanagara
Kemelut Perang Jawa berlangsung selama lima tahun dari 1925 sampai 1930. Namun ternyata sang pangeran telah menyiapkan perang ini jauh-jauh hari, tak tanggung-tanggung, 12 tahun waktu persiapannya.
Dipanagara telah melakukan konspirasi besar dengan sangat rapi. Jaringan dibangun dengan para bekel, demang, bupati, ulama, santri, dan petani untuk menyusun kekuatan. Sokongan dana didapat dari bangsawan dan rampasan konvoi logistik Belanda. Untuk persenjataan disiapkan pabrik mesiu di pinggiran Yogyakarta dan dibeli bedil locok berpicu (mungkin buatan prusia).
Selama Perang Jawa, Dipanagara mengadopsi organisasi militer ala Turki Uttoman, diantara jabatan yang diadopsi ini adalah Alibasah (diadopsi dari Alipasha) = perwira tinggi, Basah (diadopsi dari pasha) = perwira menengah, Dulah (diadopsi dari Agadulah) = perwira pertama. Struktur organisasi militer Jawa juga masih dipakai seperti Mandung, Pinilih, Larban, Naseran, Sapuding, Suratandang, Jayengan, Surigama, dan Wanang Prang.
2) Sebanyak 50.000 Serdadu Belanda Vs. 100.000 Laskar Dipanagara
Spoiler for "Buka":
Ilustrasi Pertempuran
Perang Jawa melibatkan banyak sekali pasukan. Perang lima tahun ini melibatkan pasukan sebanyak 50.000 orang di pihak Belanda dan 100.000 orang di pihak Dipanagara.
Selama puncak peperangan Belanda mengerahkan 23.000 pasukan di bawah komando Jenderal De Kock. Sebagian serdadu Belanda ini didatangkan dari Afrika yang kemudian dikenal dengan sebutan Londo Ireng (Belanda Hitam).
Jumlah pasukan ini sangat besar untuk wilayah yang tergolong sempit (Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur). Perang Jawa bahkan dikategorikan sebagai “Great War” untuk ukuran Eropa
3) Sekitar 200.000 orang jawa menjadi korban, penduduk Yogyakarta susut hingga separuhnya
Spoiler for "Buka":
Dengan jumlah pasukan yang besar dari kedua belah pihak serta pertempuran yang berlangsung lama, korban besar pun tak dapat dihindari. Di pihak Belanda 15.000 serdadu tewas, 7.000 diantaranya adalah pasukan pribumi yang pro Belanda. Di pihak Dipanagara sebanyak 20.000 milisi gugur dalam perang.
Jumlah total korban dalam Perang Jawa sangat banyak. Sebanyak 200.000 orang Jawa (milisi dan sipil) diperkirakan tewas selama berlangsungnya perang ini. Sekitar sepertiga penduduk Jawa merasakan langsung dampak perang. Seperempat lahan pertanian di Jawa mengalami kerusakan.
Jumlah korban tewas dalam perang ini sangat besar, terlebih mengingat jumlah penduduk kala itu yang jauh lebih sedikit dari sekarang. Setelah perang ini berakhir penduduk Yogyakarta diperkirakan menyusut hingga separuhnya.
4) 258 Benteng dibangun Belanda selama 1825-1829
Spoiler for "Buka":
Pertempuran yang sangat sengit antara kedua belah pihak memaksa pihak Belanda memutar otak untuk mengatasi perlawanan Laskar Dipanagara. Sejak Mei 1827, Belanda menggunakan sistem Stelsel Benteng untuk menjepit pergerakan Laskar Dipanagara.
Benteng yang dibangun bersifat dinamis mengikuti gerak pengepungan. Bahan-bahan lokal yang melimpah seperti pohon kelapa dan bambu digunakan untuk membangun benteng tersebut.
5) Rugi 25 Juta Gulden, Belanda Nyaris Bangkrut
Spoiler for "Buka":
Perang besar tentu menghabiskan dana yang tidak sedikit. Meski akhirnya memenangkan perang, Belanda harus menelan kenyataan pahit karena anggaran senilai 25 juta gulden (setara 2,2 milyar USD saat ini) harus dikorbankan memadamkan kecamuk Perang Jawa.
Biaya besar selama Perang Jawa telah mengakibatkan anggaran Belanda menjadi defisit. Akibat kerugian besar ini, Belanda harus memberlakukan cultuur stelsel (tanam paksa).
6) Belanda Meradang, Kasultanan Yogyakarta Nyaris Lenyap
Spoiler for "Buka":
Peta Wilayah Mataram Pasca Perang Jawa
Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan kerajaan yang sampai saat ini masih diakui pengaruhnya. Bahkan kini menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta lengkap dengan Sultannya yang secara otomatis menjadi Gubernur. Namun tahukan agan bahwa kasultanan ini nyaris lenyap akibat perang Jawa?
Perang Jawa memang dikobarkan oleh pangeran dari Kasultanan Yogyakarta. Tentu bukan hanya Dipanagara saja bangsawan Jawa yang terlibat, Pangeran Mangkubumi serta beberapa pangeran dan bangsawan lainnya turut serta dalam perlawanan ini. Hal ini tentu membuat kekesalan tersendiri di pihak Belanda terhadap keraton hingga hampir melenyapkan Keraton Yogyakarta.
7) Dinding kokoh Keraton Pleret menjadi saksi bisu dibantainya ribuan pengikut Dipanagara
Spoiler for "Buka":
Ilustrasi Pertempuran Pleret
Pertempuran Pleret yang bekecamuk pada 9 Juni 1826 merupakan salah satu pertempuran terburuk selama Perang Jawa. Sekitar 2.000 Laskar Dipanegara bertahan di dalam Benteng Keraton yang dulunya merupakan istana pada masa Amangkurat I.
Menurut catatan seorang serdadu Belanda bernama Kapten Errenbault de Dudzeele et d’Orroir, diperlukan 2 barel mesiu untuk meruntuhkan dinding keraton ini, itu pun dampaknya tidak seperti yang diharapkan. Tiga ratus Laskar Dipanagara yang mencoba kabur melalui pintu kecil dihabisi oleh Kavaleri yang berjaga sementara ribuan sisanya dihabisi dengan bayonet dan tombak.
Tembok besar setinggi 7 meter yang membetang sepanjang 1,5 km dan lebar sekitar setengahnya menjadi saksi bisu gugurnya ribuan Laskar Dipanagara. Namun nampaknya pembantaian ini bukan satu-satunya yang pernah tejadi di tempat ini. Sekitar seratus tahun sebelumnya dinding kokoh ini menjadi saksi 5.000 orang ulama dan santri yang dibantai oleh Amangkurat I karena mendukung pemberontakan Pangeran Alit.
8) Gelar “Dipanagara” tidak dipakai lagi semenjak Perang Jawa
Spoiler for "Buka":
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dipanagara merupakan salah satu gelar kepangeranan yang ada di lingkungan Mataram Islam. Sebelum sang Pangeran Dipanagara pengobar perang jawa, ada dua pangeran pada masa sebelumnya yang pernah memiliki gelar yang sama.
Namun setelah Perang Jawwa berakhir, tak penah sekalipun nama “Dipanagara” disandangkan pada pangeran baik di Yogyakarta maupun Surakarta.