- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Bangga Akan Ikan Lokal Indonesia


TS
udang_rebus
Bangga Akan Ikan Lokal Indonesia

Quote:
Husen Lauk (67), pensiunan tahun 2004 dari Dinas Perikanan Provinsi Jabar, demikian nama “samarannya” dari penyandang nama resmi Ir. H Mohammad Husen. Disebut Husen Lauk (Ikan - Bhs. Sunda, red.), Ia memang salah satu pakar dunia perikanan kita. “Soal ikan endemik (lokal – red.) yang kini langka mulai dari nilem, tambakan, tawes, beureum panon, dan ikan air tawar lainnya terutama di Jabar, Pak Husen Lauk ini ahlinya. Perjuangannya, mengembalikan kejayaan ikan ini di negeri kita tak pernah surut”, itu kata sohibnya, Agus Warsito yang dalam delapan tahun terakhir berkawan dengannya.
Nah, Husen Lauk itu yang kini aktif sebagai pengurus DPD HNSI(Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Jawa Barat, juga di Masyarakat Aqua Culture Indonesia, plus sebagai Ketua Formikan (Forum Komunikasi Karantina Ikan) Jawa Barat , sejatinya ihwal ikan , terutama jenis endemik Ia pahami secara prima.”Jadwal saya padat menjadi instruktur pada berbagai forum perikanan di Nusantara. Disesalkan, semua sibuk dengan budi daya ikan asing seperti patin, mas, dan nila. Herannya, pihak pemerintah itu pendukungnya. Ikan lokal yang punya banyak kelebihan, tak dikembangkan.Saya suka iri, jadinya”, ujarnya bernuansa memendam amarah – bonusnya, ada rona-rona membara, malahanan … Ikan Invasif
Sekali tempo (15/12/2015), Husen Lauk yang berani ceplas-ceplos tak sengaja bertemu destinasianews.com di Alam Santosa, Pasir Impun Kabupaten Bandung. Mau tahu apa yang Ia bawa? Ujug-ujug, didedarkan sejumlah angka statistik gamblang tentang jomplangnya kondisi perikanan endemik di negeri kita. Penyebabnya, begitu masif ikan asing menyerbu ikan lokal – endemik! “Menurut data BPS per September 2015, PDB perikanan pertumbuhannya 7,99%. Ini melampaui pertumbuhan ekonomi 4,71%. Bandingkanlah dengan pertumbuhan pertanian yang hanya 4,2%, dan kehutanan 1.06%. Istimewanya, dari PDB yang termasuk tumbuhnya terbilang cepat itu berasal dari rumput laut 10,83%, tawes 24,82%, dan nilem 7,19%”, begitu ujar lulusan Akademi Perikanan Tanjung Sari tahun 1977 itu dengan runtun .
Lanjutnya, “Kontribusi Jabar terhadap produksi nasional pada 2009,Ikan nilem sekitar 87,5%, tawes 46,1%, gurame 23,5%, dan tambakan 73,8 %. Betapa potensi ikan endemik di Jabar itu besar sekali untuk nasional. Eh malah ikan endemik disia-siakan. Bikin mumet ajah”, sambil mengingatkan kepada kita – “ Dari dulu sudah ada Permen KKP No 3 /2010 tetang Perlindungan Jenis Ikan. Termasuk Keputusan Bupati Tasikmalaya 5224/189/1994, ikan gurame itu ikon Tasikmalaya!”.
Saresehan itu
Tersebab, kepedihan melihat betapa tak adilnya pemerintah kita mempertahankan apalagi mengembangkan ikan endemik yang justru banyak diincar oleh pihak asing untuk dibudidayakan di negara mereka, ia menggagas saresehan – perlunya ikan endemik di Jawa Barat Dikembangkan! Rencananya, pada 23 Desember 2015 di Alam Santosa, Pasir Impun Kabupaten Bandung akan berkumpul pakar dan pelaku ekonomi perikanan dari berbagai kalangan. “Semua pembicara, sudah firm hadir. Kalangan pembudi daya ikan endemik yang selama ini seakan tidur, akan datang juga. Ini kabar baiknya. Saya mau tahu apa komitmen mereka?”
Ditelisik lebih jau, menurut Husen Lauk yang selama bertahun-tahun gigih berusaha mengembalikan kejayaan ikan endemik di Indonesia seperti Nilem (Osteochilus hasselti), Tambakan (Helostoma temmincki), Tawes (Puntius gonionotus), Gurame (Osphronemus gouramy), dan Beureum panon (Puntius orphoides), akan hadir: Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, Ketua MAI (Masyarakat Aqua Kultur Indonesia); DR. Ir. Iskandar, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD; DR. Ir.Deny Indradjaja MSc, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT); dan Drs. Jojo Subagja, Msi, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Air Tawar).
Menyangkut saresehan itu, Husen Lauk kembali mengingatkan kita pada pengalamannya:”Tahun 1990-an, melalui majalah perikanan terbitan Israel, Bamidgeh, sistem pembenahan ikan nilem di Galunggung Tasikmalaya disebut ekselen (hebat – red)”. Dalam kisahnya, Dr. Bardach dari Israel, Dr. Huet dari Prancis, Dr. Alikunhi dari India, sangat terkesan oleh pembudidayaan ikan nilem “tradisional” di Tasikmalaya. “Saya membacanya di majalah Bamidgeh yang menjadi rujukan ihwal perikanan di dunia. Saya mendampingi mereka pada kunjungannya di Jawa Barat”, jelas Husen Lauk berapi-api.
Dituturkan lagi, sistem Galunggung yang ekselen itu, sejatinya hasil kearifan lokal kolam nilem pemijahan yang diberi pasir. Perintisnya, kata Husen Lauk lagi, “Itu tuh Lurah Jenal di Rancapaku - Leuwisari, Abah Udin di Saladah Cisaruni (alm). Mereka ini kala itu berada di Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya pada era 1950-an”.
Yang bikin kepala puyeng Husen Lauk, dalam salah satu penerbitan majalah Bamidgeh yang prestisius itu, ”Ada terminology buleng, panyabetan, kereneng, oblok, palet, gomblangan, dan banyak nama-nama peralatan dan cara setempat, masuk pada ranah dunia perikanan internasional. Dr Bardach, jelas-jelas mengungkapkannya”.
Yang bikin puyeng lagi, “Justru para pakar kita saat ini melupakan keunggulan para pembudidaya ikan lokal. Aneh, ya koq bisa begini. Makanya, ikan patin, lele dumbo, nila, yang semuanya ikan invasif, justru lebih berkembang di negara kita”, begitu ujarnya.
Nah, Husen Lauk itu yang kini aktif sebagai pengurus DPD HNSI(Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Jawa Barat, juga di Masyarakat Aqua Culture Indonesia, plus sebagai Ketua Formikan (Forum Komunikasi Karantina Ikan) Jawa Barat , sejatinya ihwal ikan , terutama jenis endemik Ia pahami secara prima.”Jadwal saya padat menjadi instruktur pada berbagai forum perikanan di Nusantara. Disesalkan, semua sibuk dengan budi daya ikan asing seperti patin, mas, dan nila. Herannya, pihak pemerintah itu pendukungnya. Ikan lokal yang punya banyak kelebihan, tak dikembangkan.Saya suka iri, jadinya”, ujarnya bernuansa memendam amarah – bonusnya, ada rona-rona membara, malahanan … Ikan Invasif
Sekali tempo (15/12/2015), Husen Lauk yang berani ceplas-ceplos tak sengaja bertemu destinasianews.com di Alam Santosa, Pasir Impun Kabupaten Bandung. Mau tahu apa yang Ia bawa? Ujug-ujug, didedarkan sejumlah angka statistik gamblang tentang jomplangnya kondisi perikanan endemik di negeri kita. Penyebabnya, begitu masif ikan asing menyerbu ikan lokal – endemik! “Menurut data BPS per September 2015, PDB perikanan pertumbuhannya 7,99%. Ini melampaui pertumbuhan ekonomi 4,71%. Bandingkanlah dengan pertumbuhan pertanian yang hanya 4,2%, dan kehutanan 1.06%. Istimewanya, dari PDB yang termasuk tumbuhnya terbilang cepat itu berasal dari rumput laut 10,83%, tawes 24,82%, dan nilem 7,19%”, begitu ujar lulusan Akademi Perikanan Tanjung Sari tahun 1977 itu dengan runtun .
Lanjutnya, “Kontribusi Jabar terhadap produksi nasional pada 2009,Ikan nilem sekitar 87,5%, tawes 46,1%, gurame 23,5%, dan tambakan 73,8 %. Betapa potensi ikan endemik di Jabar itu besar sekali untuk nasional. Eh malah ikan endemik disia-siakan. Bikin mumet ajah”, sambil mengingatkan kepada kita – “ Dari dulu sudah ada Permen KKP No 3 /2010 tetang Perlindungan Jenis Ikan. Termasuk Keputusan Bupati Tasikmalaya 5224/189/1994, ikan gurame itu ikon Tasikmalaya!”.
Saresehan itu
Tersebab, kepedihan melihat betapa tak adilnya pemerintah kita mempertahankan apalagi mengembangkan ikan endemik yang justru banyak diincar oleh pihak asing untuk dibudidayakan di negara mereka, ia menggagas saresehan – perlunya ikan endemik di Jawa Barat Dikembangkan! Rencananya, pada 23 Desember 2015 di Alam Santosa, Pasir Impun Kabupaten Bandung akan berkumpul pakar dan pelaku ekonomi perikanan dari berbagai kalangan. “Semua pembicara, sudah firm hadir. Kalangan pembudi daya ikan endemik yang selama ini seakan tidur, akan datang juga. Ini kabar baiknya. Saya mau tahu apa komitmen mereka?”
Ditelisik lebih jau, menurut Husen Lauk yang selama bertahun-tahun gigih berusaha mengembalikan kejayaan ikan endemik di Indonesia seperti Nilem (Osteochilus hasselti), Tambakan (Helostoma temmincki), Tawes (Puntius gonionotus), Gurame (Osphronemus gouramy), dan Beureum panon (Puntius orphoides), akan hadir: Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, Ketua MAI (Masyarakat Aqua Kultur Indonesia); DR. Ir. Iskandar, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD; DR. Ir.Deny Indradjaja MSc, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT); dan Drs. Jojo Subagja, Msi, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Air Tawar).
Menyangkut saresehan itu, Husen Lauk kembali mengingatkan kita pada pengalamannya:”Tahun 1990-an, melalui majalah perikanan terbitan Israel, Bamidgeh, sistem pembenahan ikan nilem di Galunggung Tasikmalaya disebut ekselen (hebat – red)”. Dalam kisahnya, Dr. Bardach dari Israel, Dr. Huet dari Prancis, Dr. Alikunhi dari India, sangat terkesan oleh pembudidayaan ikan nilem “tradisional” di Tasikmalaya. “Saya membacanya di majalah Bamidgeh yang menjadi rujukan ihwal perikanan di dunia. Saya mendampingi mereka pada kunjungannya di Jawa Barat”, jelas Husen Lauk berapi-api.
Dituturkan lagi, sistem Galunggung yang ekselen itu, sejatinya hasil kearifan lokal kolam nilem pemijahan yang diberi pasir. Perintisnya, kata Husen Lauk lagi, “Itu tuh Lurah Jenal di Rancapaku - Leuwisari, Abah Udin di Saladah Cisaruni (alm). Mereka ini kala itu berada di Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya pada era 1950-an”.
Yang bikin kepala puyeng Husen Lauk, dalam salah satu penerbitan majalah Bamidgeh yang prestisius itu, ”Ada terminology buleng, panyabetan, kereneng, oblok, palet, gomblangan, dan banyak nama-nama peralatan dan cara setempat, masuk pada ranah dunia perikanan internasional. Dr Bardach, jelas-jelas mengungkapkannya”.
Yang bikin puyeng lagi, “Justru para pakar kita saat ini melupakan keunggulan para pembudidaya ikan lokal. Aneh, ya koq bisa begini. Makanya, ikan patin, lele dumbo, nila, yang semuanya ikan invasif, justru lebih berkembang di negara kita”, begitu ujarnya.
Quote:
Perihal Husen Lauk (67) alias Ir. H Mohammad Husen yang kepakarannya dalam dunia perikanan ditunjang oleh sejumlah latar pendidikan mumpuni dari Reading University UK – Aqua Culture Genetic (1992), Integrated Fish Farming – yang difasilitasi Pemerintah China (1978), ditambah mengikuti Fish Culture, juga dari China Academy Fishery Science (2002), plus sejumlah pendidikan di dalam negeri yang bertaraf internasional,. Tak heran dijuluki Husen Lauk, Ia menerimanya dengan terbuka, terkekeh-kekeh, malahanan. ”Rekan-rekan di lapangan, selalu mengatakan demikian. Tak mengapalah …”, kata pria gaek yang juga merupakan kolumnis ulung soal perikanan di berbagai harian dan majalah ternama di negeri kita.
Kembali mengupas soal ikan endemik bersama Husen Lauk yang merupakan obsesinya untuk menyenangkan anak cucu kita, “Setiap melakukan pelatihan perikanan di seluruh Indonsesia, masih saja para pejabat kita, merasa bangga mengembagkan ikan asing. Padahal ini berbahaya untuk jangka panjang”. Ia kembali tuturkan dengan terbuka, di Negeri China dan India, mereka begitu bangga dengan keberadaan ikan endemic. “China Carp yang terdiri atas Catla catla, Rohu, Mrigal, juga China Carp Grass Carp, Silver Carp, Big Head, kedua terakhir ini sudah lama masuk ke Indonesa sejak 1949, kecuali dari India. Oleh pemerintah China dan India sangat mereka lindungi dan terus dikembangkan dengan penelitian mutakhir”. Menyoal ini, Husen Lauk seakan menggugat rekan-rekannya yang masih aktif di pemerintahan mengurus perikanan – Mana kepedulian mereka pada ikan endemik, nyaris nol, ujarnya.
Menyempal sebental dari soal kesebalan dirinya atas nyaris punahnya ikan endemik terutama di Jawa Barat, Ia menjelaskan:”Ternyata, ikan nilem di Taskmalaya itu ada korelasinya dengan orang Minang (dareah Magek, Kab Agam). Perlakuannya hampir sama, hanya beda kiprah saja. Inilah kehebatan Indonesia”.
Lagi menurut Husen Lauk yang murah senyum itu, untuk daerah Magek, Agam Sumatera Barat yang punya nama lokal paweh untuk ikan nilem, sistem pemijahannya sangat khas – kesamaannya di kolam pemijahan ada pasir sebagai lubang pembuangan seperti di Tasikmalaya. Ini pun terungkap pada majalah Bamidgeh asal Israel pada era 1990-an.
Caviar Nilem, Why Not?
Dalam setiap perbincangan soal ikan endemik bersama Husen Lauk sang pakar perikanan yang langka, Ia selalu menyabit-nyabit soal keunggulan ikan nilem (Osteochilus hasselti) khususnya diantara tambakang (Helostoma temmincki), tawes (Puntius gonionotus), gurami (Osphronemus gouramy), dan beureum panon (Puntius orphoides). Ternyata, ada udang dibalik rempeyek:”Ikan nilem itu, terkenal gurih, lezat, kandungan protein dan gizinya tinggi, dan yang lebih spektakuler, telurnya itu hampir setara dengan caviar sturgeon yang terkenal dari Eropa karena mahal dan amat langka”.
Menurut Husen Lauk yang tak suka meliuk-liuk dalam penuturannya. “Bila pemerintah kita ini ngeuh . Jadikanlah ikan nilem ini sebagai unggulan. Adakan terobosan rekayasa genetik. Budidaya nilem betina, bisa dilakukan dengan perbanyakan benihnya, agar produktif bertelur. Teknologinya, sudah ada. Karena biaya awalnya, cukup mahal. Harusnya pemerintah merintisnya. Yang terjadi sekarang ikan asing, dibudidayakan secara massal. Jangka panjangnya, ikan lokal bisa punah”.
“Dulu pada era 1990-an di Jabar banyak permintaan telur nilem. Karena tak ada kemauan pemerintah utamanya mengolah hal ini, jadinya tak berlanjutlah riset ikan nilem penghasil telur setara caviar sturgeon”, terang Husen Lauk yang diamini tuan rumah Eka Santosa selaku pemrakarsa Saresehan Ikan Endemik (23 Desember 2015) di Alam Santosa, Pasir Impun Kabuoaten Bandung.
Alhasil, menurut Eka Santosa gagasan bersama dengan Husen Lauk membingkai program Gerakan Hejo yang pada 5 November 2015 lalu, yang dicanangkan bersama sesepuh Jabar Solihin GP, lalu kini menyelenggarakan Saresehan Ikan Endemik Jabar, “Ini langkah strategis dalam upaya memunculkan tema green fish – ikan yang ramah lingkungan. Tak lagi bertumpu pada ikan asal negara luar, diantaranya pemakan pellet. Ikan endemik itu berbasis makanan plankton yang ada di sekitar kita. Vegetasinya, sangat familiar”, terang Eka Santosa yang terobsesi ingin menghijaukan Jawa Barat dengan pendekatan green environment.
Taklah heran Eka dalam berbagai kesempatan, tanpa tedeng aling-aling menyebut kini kondisi Jabar sudah darurat! ”Salah satunya, para pempinannya dalam 10 tahun terakhir, tak berwawasan lingkungan. Fakta, kerusakan hutan, sungai, pesisir pantai, dan tata ruang ada dimana-mana. Tak sinkron antara Industrialisasi dan pertanian, malah saling cakar. Ya, awut-awutanlah ligkungan kita. Jabar perlu di-hejo-kan lagi”, tutup Eka yang 1000% kita harus berpaling lagi ke ikan endemik - bagaimana pun caranya?! Nah, lho? Pembaca punya cara lain? Silahkan …
Kembali mengupas soal ikan endemik bersama Husen Lauk yang merupakan obsesinya untuk menyenangkan anak cucu kita, “Setiap melakukan pelatihan perikanan di seluruh Indonsesia, masih saja para pejabat kita, merasa bangga mengembagkan ikan asing. Padahal ini berbahaya untuk jangka panjang”. Ia kembali tuturkan dengan terbuka, di Negeri China dan India, mereka begitu bangga dengan keberadaan ikan endemic. “China Carp yang terdiri atas Catla catla, Rohu, Mrigal, juga China Carp Grass Carp, Silver Carp, Big Head, kedua terakhir ini sudah lama masuk ke Indonesa sejak 1949, kecuali dari India. Oleh pemerintah China dan India sangat mereka lindungi dan terus dikembangkan dengan penelitian mutakhir”. Menyoal ini, Husen Lauk seakan menggugat rekan-rekannya yang masih aktif di pemerintahan mengurus perikanan – Mana kepedulian mereka pada ikan endemik, nyaris nol, ujarnya.
Menyempal sebental dari soal kesebalan dirinya atas nyaris punahnya ikan endemik terutama di Jawa Barat, Ia menjelaskan:”Ternyata, ikan nilem di Taskmalaya itu ada korelasinya dengan orang Minang (dareah Magek, Kab Agam). Perlakuannya hampir sama, hanya beda kiprah saja. Inilah kehebatan Indonesia”.
Lagi menurut Husen Lauk yang murah senyum itu, untuk daerah Magek, Agam Sumatera Barat yang punya nama lokal paweh untuk ikan nilem, sistem pemijahannya sangat khas – kesamaannya di kolam pemijahan ada pasir sebagai lubang pembuangan seperti di Tasikmalaya. Ini pun terungkap pada majalah Bamidgeh asal Israel pada era 1990-an.
Caviar Nilem, Why Not?
Dalam setiap perbincangan soal ikan endemik bersama Husen Lauk sang pakar perikanan yang langka, Ia selalu menyabit-nyabit soal keunggulan ikan nilem (Osteochilus hasselti) khususnya diantara tambakang (Helostoma temmincki), tawes (Puntius gonionotus), gurami (Osphronemus gouramy), dan beureum panon (Puntius orphoides). Ternyata, ada udang dibalik rempeyek:”Ikan nilem itu, terkenal gurih, lezat, kandungan protein dan gizinya tinggi, dan yang lebih spektakuler, telurnya itu hampir setara dengan caviar sturgeon yang terkenal dari Eropa karena mahal dan amat langka”.
Menurut Husen Lauk yang tak suka meliuk-liuk dalam penuturannya. “Bila pemerintah kita ini ngeuh . Jadikanlah ikan nilem ini sebagai unggulan. Adakan terobosan rekayasa genetik. Budidaya nilem betina, bisa dilakukan dengan perbanyakan benihnya, agar produktif bertelur. Teknologinya, sudah ada. Karena biaya awalnya, cukup mahal. Harusnya pemerintah merintisnya. Yang terjadi sekarang ikan asing, dibudidayakan secara massal. Jangka panjangnya, ikan lokal bisa punah”.
“Dulu pada era 1990-an di Jabar banyak permintaan telur nilem. Karena tak ada kemauan pemerintah utamanya mengolah hal ini, jadinya tak berlanjutlah riset ikan nilem penghasil telur setara caviar sturgeon”, terang Husen Lauk yang diamini tuan rumah Eka Santosa selaku pemrakarsa Saresehan Ikan Endemik (23 Desember 2015) di Alam Santosa, Pasir Impun Kabuoaten Bandung.
Alhasil, menurut Eka Santosa gagasan bersama dengan Husen Lauk membingkai program Gerakan Hejo yang pada 5 November 2015 lalu, yang dicanangkan bersama sesepuh Jabar Solihin GP, lalu kini menyelenggarakan Saresehan Ikan Endemik Jabar, “Ini langkah strategis dalam upaya memunculkan tema green fish – ikan yang ramah lingkungan. Tak lagi bertumpu pada ikan asal negara luar, diantaranya pemakan pellet. Ikan endemik itu berbasis makanan plankton yang ada di sekitar kita. Vegetasinya, sangat familiar”, terang Eka Santosa yang terobsesi ingin menghijaukan Jawa Barat dengan pendekatan green environment.
Taklah heran Eka dalam berbagai kesempatan, tanpa tedeng aling-aling menyebut kini kondisi Jabar sudah darurat! ”Salah satunya, para pempinannya dalam 10 tahun terakhir, tak berwawasan lingkungan. Fakta, kerusakan hutan, sungai, pesisir pantai, dan tata ruang ada dimana-mana. Tak sinkron antara Industrialisasi dan pertanian, malah saling cakar. Ya, awut-awutanlah ligkungan kita. Jabar perlu di-hejo-kan lagi”, tutup Eka yang 1000% kita harus berpaling lagi ke ikan endemik - bagaimana pun caranya?! Nah, lho? Pembaca punya cara lain? Silahkan …
sumur 1
sumur 2
Ane psot ini karena bingung juga yah... ikan bawal tawar, ikan nila, mujair malah jadi ikan yang umum sementara ikan asli seperti nilem, tawes dll malah jadi cerita rakyat... hilang tak terdengar...

Untuk ikan hias sendiri rata rata jualnya kalo ga chiclid, tetra, malah ada yang bangga piara aligator dan arapaima yang notabene invasif... padahal indonesia itu kaya ikan hias lho

snakeskin barb

chocolate gourami

toba betta

bumblebee goby

rainbow merah

lobster air tawar papua

Diubah oleh udang_rebus 15-08-2016 21:59


tien212700 memberi reputasi
1
6.6K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan