Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Profesionalitas jaksa dipertanyakan
Profesionalitas jaksa dipertanyakan
Profesionalitas jaksa tidak lepas dari suksesnya reformasi kejaksaan
Ketidakpuasan masyarakat terkait profesionalitas jaksa, mendominasi laporan publik ke Komisi Kejaksaan (Komjak). Sepanjang Januari-Juni 2016, masuk 500 aduan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 210 laporan menyoal jaksa yang tidak profesional.

Laporan mengenai profesionalitas jaksa ini, jumlahnya meningkat 30 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015, yang berjumlah 180.

Menurut komisioner Komjak, Erna Ratnaningsih, indikasi jaksa tidak profesional antara lain menyangkut: Keberpihakan pada tersangka; Penanganan perkara berlarut-larut; memberi petunjuk yang berlebihan atau tidak tepat; Dakwaan yang tidak cermat, penanganan perkara tak sesuai prosedur, dan tidak mengembalikan barang bukti.

Selain soal profesionalitas jaksa, jumlah laporan tentang jaksa nakal juga cukup banyak. Ada 33 laporan menyebut jaksa menerima suap atau memeras. Jumlah laporan jaksa nakal ini juga meningkat dibanding periode yang sama tahun lalu, ketika itu terdapat 26 aduan.

Ihwal lemahnya profesionalitas jaksa, sebenarnya sudah sering terungkap di pengadilan. Lemahnya dakwaan, yang mengakibatkan terdakwa diputus bebas oleh pengadilan, bukan sekali saja terjadi. Lemahnya argumen jaksa dalam membuktikan dakwaan, sering pula menjadi penyebab dibebaskan terdakwa.

Kesalahan ketik dakwaan, misalnya juga sering kali terjadi. Hakim di Pengadilan Negeri Surabaya, sampai menyemprot jaksa gara-gara salah ketik dakwaan. Bahkan masih ada jaksa yang abai dengan syarat formal dakwaan. Ia lupa mengetik tanggal dakwaan. Akibatnya, hakim membebaskan terdakwa.

Begitu pun jaksa yang menyalahgunakan kewenangannya, juga bukan sekali dua ditemui. Oknum jaksa di Kejari Riau misalnya, dipidana 3 tahun 6 bulan, gara-gara menggelapkan barang bukti. Sedang jaksa yang menerima suap, terjadi terhadap dua jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Keduanya sudah diringkus KPK.

Ketidakprofesionalan kejaksaan juga terlihat, ketika Kejaksaan Agung terbawa arus dalam polemik politik. Saat terungkap rekaman pembicaraan antara CEO Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (kini mantan) dengan Ketua DPR Setya Novanto (Kini Ketua Fraksi Golkar) dan pengusaha Riza Chalid, kejaksaan meyakinkan publik akan memidanakan Setya dan Riza dengan tudingan, melakukan permufakatan jahat.

Namun isu pemidanaan permufakatan jahat itu pun menguap seiring surutnya suhu politik. Setya kemudian menjadi Ketua Umum Golkar dan membawa partai tersebut menjadi pendukung pemerintah. Lalu upaya kejaksaan untuk memeriksa Riza, tak lagi ada kabarnya. Bahkan sampai sekarang kejaksaan tidak tahu keberadaan Riza.

Masyarakat pun tidak tahu persis kelanjutan kasus itu. Apakah kasus permufakatan jahat sudah dihentikan atau malah menjadi permufakatan damai?

Yang jelas sebagian laporan Komjak memang sudah ditangani kejaksaan. Sejumlah jaksa dikenai sanksi. Sepanjang semester I-2016, Kejagung telah memecat lima jaksa dan anggota staf kejaksaan. Sementara lima orang yang lain diberhentikan sementara karena proses penanganan perkaranya masih berjalan. Sebanyak 4 orang dibebaskan dari jabatan fungsional jaksa dan 14 orang yang diturunkan pangkat.

Anggaran yang tidak memadai dan kesejahteraan, ditengarai menjadi penyebab pada kinerja dan perilaku jaksa. Itulah pendapat Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung Jasman Pandjaitan, menanggapi laporan Komjak. Akibat lebih lanjut, adalah munculnya penyalahgunaan wewenang, menerima suap, hingga menggelapkan barang bukti atau uang rampasan.

Kurangnya anggaran dan kesejahteraan, selalu menjadi alasan klasik, bila terjadi tudingan ketidakberesan terhadap sebuah institusi pemerintah. Meski begitu, sebagai bagian dari sistem penegakan hukum, apa pun alasannya, haram hukumnya bagi jaksa untuk tidak profesional. Apalagi menerima suap, dan menggelapkan barang bukti atau uang rampasan.

Rapot merah kejaksaan, ternyata tidak cuma datang dari Komjak. Tahun lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan hasil audit BPK tahun 2012 dan 2013. Dalam audit tersebut, Kejaksaan Agung diketahui belum mengeksekusi tunggakan uang pengganti sebanyak Rp13,1 triliun yang berasal dari unit tindak pidana khusus serta unit perdata dan tata usaha negara.

Jaksa Agung H. M. Prasetyo, ketika itu menjanjikan akan membereskan hal itu. Namun belum ada kabar kelanjutan soal uang pengganti tersebut, BPK kembali mengungkapkan temuan mencurigakan di kejaksaan. Yaitu dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 yang dikeluarkan BPK.

Di situ disebutkan, piutang uang pengganti Kejaksaan pada 2015 naik menjadi Rp15,7 triliun atau naik dibanding piutang pada 2014 senilai Rp14,5 triliun. Uang sebesar itu merupakan nilai piutang bukan pajak kejaksaan, termasuk uang pengganti. Dari jumlah tersebut, ada temuan BPK sebesar Rp1,82 triliun yang tidak didukung dokumen sumber sehingga menjadi masalah.

Berbagai persoalan di kejaksaan tersebut menandakan reformasi di kejaksaan yang dicanangkan sejak 2009 lalu belum memberikan perubahan signifikan, kalau tak mau disebut gagal. Presiden Joko Widodo, dalam Hari Bhakti Adhyaksa ke-55, 22 Juli lalu pun meminta reformasi kejaksaan dipercepat.

"Kejaksaan harus dapat mewujudkan aparat hukum yang baik di tiap tingkatan. Hukum akan berjalan baik di tangan para penegak hukum yang baik. Jangan ada lagi aparat hukum yang memeras, memperdagangkan perkara atau tuntutan, bahkan menjadikan tersangka sebagai sumber uang," begitu pesan Presiden.

Pesan Jokowi, sesungguhnya adalah pesan normatif yang menjadi harapan masyarakat. Karenanya memang tidak ada pilihan lain bagi kejaksaan untuk mempercepat reformasi.

Kunci profesionalitas terletak pada integritas dan peningkatan kapasitas dan kecakapan jaksa. Dua hal itu masuk menjadi bagian penting reformasi kejaksaan. Sedang secara kelembagaan, transparansi, independensi dan kedisiplinan menjadi prioritas dalam reformasi.

Namun harus disadari faktor penentu proses reformasi kejaksaan berjalan maksimal atau tidak, adalah soliditas kejaksaan dalam kelembagaan. Padahal bukan rahasia, saat ini kelembagaan Kejaksaan Agung, yang menjadi lokomotif reformasi seluruh jajaran kejaksaan, secara organisasi tidak lengkap.

Posisi Wakil Jaksa Agung, kosong sejak Andhi Nirwanto mengundurkan diri pada Februari 2016. Jaksa Agung Prasetyo memang mengangkat Bambang Waluyo sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Jaksa Agung.

Namun Plt. tentu kewenangannya terbatas, ia tidak bisa membuat keputusan strategis. Padahal salah satu tugas penting Wakil Jaksa Agung adalah sebagai koordinator tim reformasi birokrasi di Kejaksaan Agung.

Artinya, berjalannya reformasi kejaksaan sangat tergantung kemauan politik Jaksa Agung Prasetyo, untuk secepatnya mengusulkan Wakil Jaksa Agung yang definitif kepada presiden.

Sesuai Pasal 22 Ayat 1 UU No.16/2004 tentang Kejaksaan, Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
Profesionalitas jaksa dipertanyakan


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...-dipertanyakan

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan