

TS
famh
Rupture
24 Tahun lalu lahirnya seorang anak bernama Dwi. Putih, manis, dan ganteng. Orang tua gua memberi nama Dwi karena mereka berharap anak pertamanya adalah perempuan. Walau kecewa karena anaknya laki-laki, tapi mereka masih membesarkan gua selayaknya manusia dengan perlakuan seperti membesarkan anak perempuan. Rambut gua dibiarkan panjang dan kadang dipasangi pita atau bando, begitu juga pakaian yang sering menggunakan rok.
Hari berganti menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Semakin bertambah usia, gua jadi tahu beberapa hal termasuk kalau laki-laki gak pakai rok!
Dari kecil gua gak pernah diperbolehkan main dengan anak tetangga kecuali 3 orang anak tetangga yang usianya jauh di atas gua. Bisa dibilang gua gak punya teman sepermainan.
Pada usia 4 tahun gua mulai diperlakukan selayaknya laki-laki, walau rambut gua masih panjang dan masih sering mengenakan bando tapi gua gak pakai rok.
Usaha bokap yang sedang mengalami penurunan membuat nyokap harus kembali kerja di sebuah Pabrik Tas. Karena gak mungkin gua sendirian di rumah, jadi gua dititipkan pada tetangga yang memiliki 3 orang anak.
Anak pertama yang bernama Belo (kelas 3 STM), adiknya Bozeng (kelas 1 STM), dan Udin (kelas 2 SMP). Mereka bertiga menganggap gua seperti adiknya, itu yang membuat gua betah selama dititipkan pada mereka bertiga.
3 orang ini mengajarkan gua hal yang baik ? salah. Gua belajar banyak hal dari mereka, gua yang masih kecil jadi tau rasanya jengkol, rokok, bahkan gua pernah mencicipi miras walau hanya coba coba. Mereka gak menawari, tapi rasa penasaran gua yang ingin mencoba dan mereka memperbolehkan dengan syarat ‘cukup cicipi’.
Waktu itu gua bingung, kenapa bokap suka jengkol pedahal rasanya gak enak. Kenapa bokap suka rokok pedahal bikin batuk dan kenapa mereka bertiga suka minuman yang pahit dan sama sekali gak enak.
Pagi sampai siang hari biasanya gua di ladang bersama Ibu Sari (nyokap Udin) di ladang, entah ikut membersihkan rumput liar atau memanen sayuran yang dijual suaminya di Pasar. Walau setiap hari sering ikut keladang, kulit gua gak pernah hitam. Itu yang membuat Ibu Sari suka bingung.
Menjelang siang hari, seperti biasa gua meninggalkan Ibu Sari bersama beberapa pegawainya di ladang menuju rumahnya karena Udin dan kedua kakanya sebentar lagi pulang sekolah.
Kami berempat di kamar Belo, gua hanya diam disamping Udin melihat Belo menyalakan VCD dan film pun di mulai. Suasana begitu hening, hanya suara teriakan perempuan dari sound aktif yang terhubung pada VCD yang mengisi suara dalam kamar yang di tutup rapat pintu dan jendelanya.
“Hehe kaya Mamah sama Papah kalo Dwi lagi tidur” kata gua
“...........” mereka bertiga menatap gua bersamaan “Emang tau itu apa ?” tanya Belo, gua hanya menggeleng kepala
“Itu namanya main kuda-kudaan” Kada Bozenk
“Kalo kuda-kudaan kan dinaikin punggungnya, tapi itu gak dinaikin berati bukan kuda-kudaan” Kata gua, lalu mereka tertawa. Gua hanya ikut tertawa karena gak tau apa yang mereka tertawakan.
Hari terus berganti, begitu juga dengan gua mulai masuk sekolah. meskipun sekolah gua masih dititipkan pada tetangga karena gak ada siapa-siapa di rumah setelah pulang sekolah.
Satu hal yang gua gak suka dari sekolah adalah rambut gua yang jadi pendek, gak enak!
Beberapa hari sekolah gua tertarik dengan seorang perempuan, gua normal!. Dia adalah Citra, tapi biasa di panggil Cici. Cantik, pintar, ceria itu yang gua sukai darinya.
Gua hanya bisa melihat dia dari jauh, bahkan kita gak pernah ngobrol atau saling sapa saat bertemu. Lebih tepatnya, gua yang selalu menghindar setiap hampir berpapasan dengannya. Ada rasa malu sendiri setiap kali dekat dengannya.
Cici yang selalu ceria harus kehilangan keceriaaannya saat pembagian raport, gua gak tau kenapa dia sedih saat dirinya mendapat ranking 2. Pedahal selisihnya hanya 1 angka dengan gua, pedahal yang harusnya sedihkan gua karena hanya gua satu-satunya yang gak didampingi orang tua saat pembagian raport dan ranking gua yang paling kecil angkanya.
Gua hanya senyum saat beberapa orang tua siswa yang memberikan selamat, bahkan ada yang mencium pipi gua sambil mengusap-usap rambut gua. Gua senyum bukan karena senang, gua bahkan bingung kenapa orang-orang memberikan ucapan selamat pedahal hanya ranking 1 yang gua dapatkan. Hanya angkat 1 yang gua aja bisa nulis di buku dan angka paling kecil.
Malam harinya gua menunjukan raport saat orang tua gua baru pulang kerja, mereka seperti gak percaya kalau gua ranking pertama.
“Ini bukan kamu yang nulis kan angka 1 nya ?” tanya nyokap sambil tetap melihat-lihat angka nilai di raport gua
“bukanlah mah, tulisan aku kan jlek”
“Berati kamu beneran dapet ranking 1 di kelas ?” Tanya nyokap kembali
“Iya mah”
“Berati kamu pinter”
“Tapi kan yang pinter Citra mah, dia juga dapet ranking 2 berati dia lebih pinter dong. Kan aku angkanya 1 lebih kecil dari dia”
“Entar juga kamu ngerti” kata nyokap sambil mengusap-usap rambut gua.
Hari berganti menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun. Semakin bertambah usia, gua jadi tahu beberapa hal termasuk kalau laki-laki gak pakai rok!
Dari kecil gua gak pernah diperbolehkan main dengan anak tetangga kecuali 3 orang anak tetangga yang usianya jauh di atas gua. Bisa dibilang gua gak punya teman sepermainan.
Pada usia 4 tahun gua mulai diperlakukan selayaknya laki-laki, walau rambut gua masih panjang dan masih sering mengenakan bando tapi gua gak pakai rok.
Usaha bokap yang sedang mengalami penurunan membuat nyokap harus kembali kerja di sebuah Pabrik Tas. Karena gak mungkin gua sendirian di rumah, jadi gua dititipkan pada tetangga yang memiliki 3 orang anak.
Anak pertama yang bernama Belo (kelas 3 STM), adiknya Bozeng (kelas 1 STM), dan Udin (kelas 2 SMP). Mereka bertiga menganggap gua seperti adiknya, itu yang membuat gua betah selama dititipkan pada mereka bertiga.
3 orang ini mengajarkan gua hal yang baik ? salah. Gua belajar banyak hal dari mereka, gua yang masih kecil jadi tau rasanya jengkol, rokok, bahkan gua pernah mencicipi miras walau hanya coba coba. Mereka gak menawari, tapi rasa penasaran gua yang ingin mencoba dan mereka memperbolehkan dengan syarat ‘cukup cicipi’.
Waktu itu gua bingung, kenapa bokap suka jengkol pedahal rasanya gak enak. Kenapa bokap suka rokok pedahal bikin batuk dan kenapa mereka bertiga suka minuman yang pahit dan sama sekali gak enak.
Pagi sampai siang hari biasanya gua di ladang bersama Ibu Sari (nyokap Udin) di ladang, entah ikut membersihkan rumput liar atau memanen sayuran yang dijual suaminya di Pasar. Walau setiap hari sering ikut keladang, kulit gua gak pernah hitam. Itu yang membuat Ibu Sari suka bingung.
Menjelang siang hari, seperti biasa gua meninggalkan Ibu Sari bersama beberapa pegawainya di ladang menuju rumahnya karena Udin dan kedua kakanya sebentar lagi pulang sekolah.
Kami berempat di kamar Belo, gua hanya diam disamping Udin melihat Belo menyalakan VCD dan film pun di mulai. Suasana begitu hening, hanya suara teriakan perempuan dari sound aktif yang terhubung pada VCD yang mengisi suara dalam kamar yang di tutup rapat pintu dan jendelanya.
“Hehe kaya Mamah sama Papah kalo Dwi lagi tidur” kata gua
“...........” mereka bertiga menatap gua bersamaan “Emang tau itu apa ?” tanya Belo, gua hanya menggeleng kepala
“Itu namanya main kuda-kudaan” Kada Bozenk
“Kalo kuda-kudaan kan dinaikin punggungnya, tapi itu gak dinaikin berati bukan kuda-kudaan” Kata gua, lalu mereka tertawa. Gua hanya ikut tertawa karena gak tau apa yang mereka tertawakan.
Hari terus berganti, begitu juga dengan gua mulai masuk sekolah. meskipun sekolah gua masih dititipkan pada tetangga karena gak ada siapa-siapa di rumah setelah pulang sekolah.
Satu hal yang gua gak suka dari sekolah adalah rambut gua yang jadi pendek, gak enak!
Beberapa hari sekolah gua tertarik dengan seorang perempuan, gua normal!. Dia adalah Citra, tapi biasa di panggil Cici. Cantik, pintar, ceria itu yang gua sukai darinya.
Gua hanya bisa melihat dia dari jauh, bahkan kita gak pernah ngobrol atau saling sapa saat bertemu. Lebih tepatnya, gua yang selalu menghindar setiap hampir berpapasan dengannya. Ada rasa malu sendiri setiap kali dekat dengannya.
Cici yang selalu ceria harus kehilangan keceriaaannya saat pembagian raport, gua gak tau kenapa dia sedih saat dirinya mendapat ranking 2. Pedahal selisihnya hanya 1 angka dengan gua, pedahal yang harusnya sedihkan gua karena hanya gua satu-satunya yang gak didampingi orang tua saat pembagian raport dan ranking gua yang paling kecil angkanya.
Gua hanya senyum saat beberapa orang tua siswa yang memberikan selamat, bahkan ada yang mencium pipi gua sambil mengusap-usap rambut gua. Gua senyum bukan karena senang, gua bahkan bingung kenapa orang-orang memberikan ucapan selamat pedahal hanya ranking 1 yang gua dapatkan. Hanya angkat 1 yang gua aja bisa nulis di buku dan angka paling kecil.
Malam harinya gua menunjukan raport saat orang tua gua baru pulang kerja, mereka seperti gak percaya kalau gua ranking pertama.
“Ini bukan kamu yang nulis kan angka 1 nya ?” tanya nyokap sambil tetap melihat-lihat angka nilai di raport gua
“bukanlah mah, tulisan aku kan jlek”
“Berati kamu beneran dapet ranking 1 di kelas ?” Tanya nyokap kembali
“Iya mah”
“Berati kamu pinter”
“Tapi kan yang pinter Citra mah, dia juga dapet ranking 2 berati dia lebih pinter dong. Kan aku angkanya 1 lebih kecil dari dia”
“Entar juga kamu ngerti” kata nyokap sambil mengusap-usap rambut gua.


anasabila memberi reputasi
1
1.3K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan