- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dokter RSIA Banda Aceh Jadi Tersangka Kematian Ibu dan Anak


TS
jangan.percaya
Dokter RSIA Banda Aceh Jadi Tersangka Kematian Ibu dan Anak
Quote:
POLRESTA Banda Aceh menetapkan status tersangka terhadap dokter spesialis kandungan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda Aceh, Ulfah Wijaya Kusuma dalam kasus kematian ibu dan anak, Maret 2016 lalu.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes T Saladin mengatakan kasus tersebut sudah dilakukan gelar perkara sebayak tiga kali. Dari hasil gelar perkara, penyidik menemukan dua alat bukti. Sehingga statusnya ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka.
"Jika melanggar disiplin maka yang tangani pihak rumah sakit. Nah ini keterkaitan dengan pidana, sementara hasil pengembangan dan penyelidikan penyidik kasus ini masuk ranah pidana. Sehingga statusnya ditingkatkan menjadi tersangka," katany, Selasa (19/7).
Menurutnya, pihak penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi guna mengungkapkan dan penetapan tersangka dalam kasus ini. "Status tersangka ditetapkan, bukan dari hasil memeriksa satu dua orang. Ada beberapa orang yang diperiksa, termaksud apakah nanti tersangka bertambah atau tidak. Itu akan diketahui jika kasus ini telah dikirim ke jaksa penuntut umum (JPU)," sebutnya.
Saladin menambahkan pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan pihak JPU guna pengembangan lebih lanjut kematian ibu dan anak warga Desa Lambatee, Darul Kamal Aceh Besar tersebut.
Suryani bin Abdul Wahab meninggal 29 Maret 2016 setelah terlambat mendapat pertolongan saat akan melahirkan. Awalnya, Suryani dibawa ke RSIA Banda Aceh. Namun, ia tidak mendapat penanganan medis karena Ulfah sebagai dokter piket di rumah sakit tersebut berhalangan hadir.
Karena dokter pengganti tidak kunjung hadir, iadirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Di RSUZA, Suryani Bin Abdul Wahab meninggal dunia pascaoperasi. Sesaat kemudian, bayi yang baru dilahirkannya juga meninggal dunia. (OL-2)
Kapolresta Banda Aceh, Kombes T Saladin mengatakan kasus tersebut sudah dilakukan gelar perkara sebayak tiga kali. Dari hasil gelar perkara, penyidik menemukan dua alat bukti. Sehingga statusnya ditingkatkan dari saksi menjadi tersangka.
"Jika melanggar disiplin maka yang tangani pihak rumah sakit. Nah ini keterkaitan dengan pidana, sementara hasil pengembangan dan penyelidikan penyidik kasus ini masuk ranah pidana. Sehingga statusnya ditingkatkan menjadi tersangka," katany, Selasa (19/7).
Menurutnya, pihak penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi guna mengungkapkan dan penetapan tersangka dalam kasus ini. "Status tersangka ditetapkan, bukan dari hasil memeriksa satu dua orang. Ada beberapa orang yang diperiksa, termaksud apakah nanti tersangka bertambah atau tidak. Itu akan diketahui jika kasus ini telah dikirim ke jaksa penuntut umum (JPU)," sebutnya.
Saladin menambahkan pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan pihak JPU guna pengembangan lebih lanjut kematian ibu dan anak warga Desa Lambatee, Darul Kamal Aceh Besar tersebut.
Suryani bin Abdul Wahab meninggal 29 Maret 2016 setelah terlambat mendapat pertolongan saat akan melahirkan. Awalnya, Suryani dibawa ke RSIA Banda Aceh. Namun, ia tidak mendapat penanganan medis karena Ulfah sebagai dokter piket di rumah sakit tersebut berhalangan hadir.
Karena dokter pengganti tidak kunjung hadir, iadirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh. Di RSUZA, Suryani Bin Abdul Wahab meninggal dunia pascaoperasi. Sesaat kemudian, bayi yang baru dilahirkannya juga meninggal dunia. (OL-2)
Quote:
BANDA ACEH - Dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda Aceh, dokter Ulfah Wijaya Kesumah SpOG, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus meninggalnya Suryani binti Abdul Wahab, warga Desa Lambatee, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar, bersama bayi yang dilahirkannya, Selasa 29 Maret 2016. Kasus ini ditangani oleh Polresta Banda Aceh.
Kabar penetapan dr Ulfah sebagai tersangka disampaikan oleh Amsar SH, kuasa hukum dr Ulfah dalam konferensi pers di Banda Aceh, Sabtu (16/7). “Ibu Ulfah sudah ditetapkan sebagai tersangka, itu tidak bisa kita pungkiri, itu sudah proses hukum. Kami membenarkan hal itu, benar ibu Ulfah saat ini ditetapkan sebagai tersangka,” kata Amsar.
Diberitakan Serambi Kamis 31 Maret 2016, dr Ulfah berhalangan hadir untuk menangani Suryani, karena sedang dalam keadaan sakit. Pasien yang akan melahirkan ini kemudian dirujuk ke RSUZA, karena dokter pengganti pun tidak ada.
Suryani kemudian menghembuskan napas terakhir pascaoperasi di RSUZA. Sesaat kemudian, bayi yang baru dilahirkannya juga meninggal dunia. Istri dan anak dari Muslem Puteh ini, kemudian dikebumikan satu liang di pemakaman umum Desa Lambatee, Selasa 29 Maret 2016.
Amsar menjelaskan, pihaknya mengetahui dr Ulfah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pemanggilan penyidik Polresta Banda Aceh. Katanya, dr Ulfah telah dipanggil tiga kali untuk kasus tersebut. Pemanggilan pertama sebagai saksi, sementara kedua dan ketiga dr Ulfah dipanggil sebagai tersangka.
“Pemanggilan kedua pada 2 Juni, tapi saat itu Bu Ulfah tidak bisa hadir karena sakit. Pada 9 Juni dipanggil lagi, Bu Ulfah proaktif, beliau datang untuk memberikan keterangan sebagai tersangka,” sebutnya
Dalam temu pers kemarin, Amsar juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut. Ia menyatakan pihaknya juga belum mengetahui atas dasar apa penyidik menetapkan dr Ulfah Wijaya Kesumah SpOG sebagai tersangka.
Amsar mengatakan, pihaknya secara tertulis telah menyampaikan surat permohonan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Namun hingga saat ini belum kita terima, karena itu kami belum bisa komentari terlalu banyak, yang jelas kita akan melihat dulu atas dasar apa klien kita ditetapkan sebagai tersangka. Secara hukum, Bu Ulfah juga punya hak untuk melakukan pembelaan diri,” ujarnya.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol T Saladin SH yang dihubungi Serambi, Sabtu (16/7) sore, menyebutkan apa yang disampaikan oleh kuasa hukum dr Ulfa kepada para wartawan dalam konferensi pers kemarin, terkait penetapan status kliennya sebagai tersangka, sepenuhnya hak mereka.
“Pengacara punya dasar membela kliennya. Begitu juga dengan pihak kepolisian, pasti punya dasar kuat menetapkan status seseorang. Apa itu sebagai saksi maupun sebagai tersangka,” kata T Saladin.
Ia pun berjanji akan menyampaikan secara terbuka kepada media dan publik, berkaitan dengan penetapan status tersangka terhadap dr Ulfa. “Kita akan melaksanakan konferensi pers, berkaitan dengan hal ini,” demikian T Saladin.(dan/mir)
Kabar penetapan dr Ulfah sebagai tersangka disampaikan oleh Amsar SH, kuasa hukum dr Ulfah dalam konferensi pers di Banda Aceh, Sabtu (16/7). “Ibu Ulfah sudah ditetapkan sebagai tersangka, itu tidak bisa kita pungkiri, itu sudah proses hukum. Kami membenarkan hal itu, benar ibu Ulfah saat ini ditetapkan sebagai tersangka,” kata Amsar.
Diberitakan Serambi Kamis 31 Maret 2016, dr Ulfah berhalangan hadir untuk menangani Suryani, karena sedang dalam keadaan sakit. Pasien yang akan melahirkan ini kemudian dirujuk ke RSUZA, karena dokter pengganti pun tidak ada.
Suryani kemudian menghembuskan napas terakhir pascaoperasi di RSUZA. Sesaat kemudian, bayi yang baru dilahirkannya juga meninggal dunia. Istri dan anak dari Muslem Puteh ini, kemudian dikebumikan satu liang di pemakaman umum Desa Lambatee, Selasa 29 Maret 2016.
Amsar menjelaskan, pihaknya mengetahui dr Ulfah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pemanggilan penyidik Polresta Banda Aceh. Katanya, dr Ulfah telah dipanggil tiga kali untuk kasus tersebut. Pemanggilan pertama sebagai saksi, sementara kedua dan ketiga dr Ulfah dipanggil sebagai tersangka.
“Pemanggilan kedua pada 2 Juni, tapi saat itu Bu Ulfah tidak bisa hadir karena sakit. Pada 9 Juni dipanggil lagi, Bu Ulfah proaktif, beliau datang untuk memberikan keterangan sebagai tersangka,” sebutnya
Dalam temu pers kemarin, Amsar juga mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut. Ia menyatakan pihaknya juga belum mengetahui atas dasar apa penyidik menetapkan dr Ulfah Wijaya Kesumah SpOG sebagai tersangka.
Amsar mengatakan, pihaknya secara tertulis telah menyampaikan surat permohonan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Namun hingga saat ini belum kita terima, karena itu kami belum bisa komentari terlalu banyak, yang jelas kita akan melihat dulu atas dasar apa klien kita ditetapkan sebagai tersangka. Secara hukum, Bu Ulfah juga punya hak untuk melakukan pembelaan diri,” ujarnya.
Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol T Saladin SH yang dihubungi Serambi, Sabtu (16/7) sore, menyebutkan apa yang disampaikan oleh kuasa hukum dr Ulfa kepada para wartawan dalam konferensi pers kemarin, terkait penetapan status kliennya sebagai tersangka, sepenuhnya hak mereka.
“Pengacara punya dasar membela kliennya. Begitu juga dengan pihak kepolisian, pasti punya dasar kuat menetapkan status seseorang. Apa itu sebagai saksi maupun sebagai tersangka,” kata T Saladin.
Ia pun berjanji akan menyampaikan secara terbuka kepada media dan publik, berkaitan dengan penetapan status tersangka terhadap dr Ulfa. “Kita akan melaksanakan konferensi pers, berkaitan dengan hal ini,” demikian T Saladin.(dan/mir)
Quote:
BANDA ACEH - Pernyataan Direktur Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Banda Aceh, drg Erni Rahmayani yang menyebutkan uang jasa medis untuk semua dokter, bidan, dan perawat sudah dibayar dibantah oleh salah seorang dokter rumah sakit itu, dr Serida Aini SpOG. “Bohong pernyataan direktur. Uang jasa medis belum dibayar dari Juni 2015 sampai hari ini,” tandas Serida menanggapi pernyataan Direktur RSIA sebagaimana dilansir Serambi, Jumat (1/4).
Serida yang merupakan salah seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSIA secara khusus datang ke Kantor Serambi Indonesia bersama suaminya, Muhammad Dahlan meluruskan berbagai informasi yang berkembang setelah kasus meninggalnya Suryani dan bayinya, tiga hari lalu.
Serida juga membantah pernyataan Direktur RSIA yang menyebutkan pasien Suryani yang hendak bersalin tidak tertangani maksimal karena dokter spesialis yang sedianya bertugas yaitu dr Ulfah Wijaya Kesumah SpOG sedang mengalami diare. Sementara dua dokter spesialis lainnya sedang bertugas di luar.
Menurut Serida, dua dokter lain yang dimaksud adalah dirinya dan dr T Rahmad Iqbal SpOG. Tapi, kata Serida, pada saat itu dirinya bukan sedang bertugas di tempat lain tapi sudah tidak bertugas lagi dan menghentikan pelayanan di RSIA sejak 17 Desember 2015.“Saya menghentikan pelayanan supaya ada perhatian dari direktur, karena sudah beberapa kali saya negosiasi masalah jasa medis tapi tidak didengar,” katanya.
Dia menjelaskan, meski rumah sakit tersebut memiliki tiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan, namun sejak Mei sampai Desember 2015 hanya dirinya saja yang bertugas selama 24 jam. Sedangkan dua dokter lainnya tidak masuk. “Bayangkan saya harus sendiri 24 jam setiap hari dan tidak ada hari libur,” keluh Serida dibenarkan suaminya.
Serida mengaku selama ini dia hanya berkeja penuh di RSIA dan tidak membuka praktek di luar. “Stres kerja jelas ada, beban kerja ada dan saya tinggalkan keluarga. Sangat wajar saya menuntut hak saya. Makanya beberapa kali saya nego direktur menanyakan kapan uangnya keluar, tapi tidak ditanggapi” ujarnya.
Karena tidak ditanggapi, tambahnya, akhirnya dia membuat keputusan untuk menghentikan pelayanan di RSIA dengan mengirim surat ke direktur tertanggal 16 Desember 2015. Tapi, tanpa diduga, esoknya (17 Desember 2015), dua dokter yang selama ini tidak pernah masuk malah masuk kerja hingga terakhir menangani Suryani.
“Saya berharap dengan saya buat surat seperti ini, saya akan dipanggil pihak manajemen. Ternyata satu bulan kemudian saya baru dipanggil dan bukan ditanya berkaitan dengan (surat) ini. Saya berharap mereka membuka mata lebar karena ini rumah sakit ibu dan anak yang membutuhkan dokter kandungan dan anak,” katanya.
Tak hanya itu, persoalan lain yang dialami dr Serida akibat proses itu diturunkannya pangkat dari IIIc menjadi IIIb. “Ini bukan saja kerugian jasa saja tapi dari segi administrasinya juga dirugikan. Karena saya dirugikan, saya sampai minta pindah ke Pidie Jaya. Tapi, Sekda Aceh tidak mengeluarkan izin pindah dengan alasan masih dibutuhkan,” pungkasnya.
Demo RSIA dan Dinkes
Massa yang yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan Antikorupsi (SPAK) Aceh, Jumat kemarin berunjukrasa ke RSIA dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh. Massa mendesak Gubernur Aceh mencopot Direktur RSIA serta mengevaluasi manajemen rumah sakit itu.
Massa pengunjuk rasa dari komunitas antikorupsi lainnya yang ikut dalam aksi demo itu seperti Sekolah Antikorupsi serta Komunitas Antikorupsi Aceh. Mereka mengawali aksi dengan berjalan kaki dari Taman Sari Banda Aceh ke RSIA Aceh yang berjarak kurang dari satu kilometer. Massa disambut aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sana.
Koordinator aksi, Yulindawati mengatakan, kedatangan mereka ke RSIA bukan untuk bertemu direktur atau siapapun yang ada di rumah sakit itu. Tujuan mereka sekadar mengingatkan Direktur RSIA serta tim medis agar selalu mengedepankan kepekaan sosial serta hati nurani dalam setiap memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa memandang strata, status sosial, serta faktor lainnya. “Intinya mereka perlu mengingat sumpah saat diangkat. Mereka juga harus peka dan menyadari kondisi masyarakat yang saat itu membutuhkan pertolongan. Bagaimana perasaan mereka, kalau kasus seperti yang dialami Suryani menimpa anak, istri, atau keluarga dekat mereka? Ini seharusnya ada di benak mereka, khususnya para tenaga medis,” kata Yulindawati.
Bukan yang pertama
Menurut Yulindawati, kematian Suryani dan bayinya akibat buruknya pelayanan serta lambannya penanganan di RSIA bukan yang pertama. Sebelumnya ada kasus bayi yang meninggal dunia akibat terlilit kabel inkubator atau ibu yang terpaksa melahirkan bayinya di dalam becak akibat lambannya penanganan dan kasus pasien melahirkan dibantu oleh suaminya akibat tidak adanya tenaga medis.
“Gubernur Aceh harus punya nyali mencopot Direktur RSIA dan mengevaluasi manajemen rumah sakit itu. Jangan hanya sekadar sidak dan mengeluarkan statemen di media tapi tidak ada tindak lanjut,” tandas Yulindawati.
Mengapa selama ini tidak mencuat ke publik, kata Yulindawati, karena pasien yang menjadi korban ‘kesewenang-wenangan’ dari rumah sakit itu merupakan orang kecil yang tidak memiliki power sehingga mereka takut kalau kasus yang dialami mereka persoalkan justru dikhawatirkan akan berbalik kepada mereka.
Massa yang meluahkan uneg-unegnya sekitar 20 menit di RSIA, selanjutnya bergerak ke Dinkes Aceh. Di sana mereka bertemu dengan Sekretaris Dinkes Aceh, Drs Muhammad Hasan MKes.
“Yang perlu dipahami, mulai RSIA, RSJ, dan RSUZA serta seluruh rumah sakit pemerintah lainnya, itu langsung di bawah pengawasan Gubernur. Pak Gubernur yang memiliki hak prerogatif mempertahankan atau mencopot seorang direktur rumah sakit. Kami tidak punya kewenangan apa-apa,” sebut Muhammad Hasan.
Keberadaan Dinkes, menurut Hasan sama kedudukannya dengan rumah sakit, sehingga Dinkes tidak memiliki kewenangan mengintervensi, melakukan pembinaan serta pengawasan. “Begitu juga bila ada rumah sakit atau puskesmas di kabupaten/kota yang memberi pelayanan buruk. Itu dikawal langsung oleh dinas kabupaten/kota setempat,” demikian Muhammad Hasan.(mas/mir)
Serida yang merupakan salah seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan di RSIA secara khusus datang ke Kantor Serambi Indonesia bersama suaminya, Muhammad Dahlan meluruskan berbagai informasi yang berkembang setelah kasus meninggalnya Suryani dan bayinya, tiga hari lalu.
Serida juga membantah pernyataan Direktur RSIA yang menyebutkan pasien Suryani yang hendak bersalin tidak tertangani maksimal karena dokter spesialis yang sedianya bertugas yaitu dr Ulfah Wijaya Kesumah SpOG sedang mengalami diare. Sementara dua dokter spesialis lainnya sedang bertugas di luar.
Menurut Serida, dua dokter lain yang dimaksud adalah dirinya dan dr T Rahmad Iqbal SpOG. Tapi, kata Serida, pada saat itu dirinya bukan sedang bertugas di tempat lain tapi sudah tidak bertugas lagi dan menghentikan pelayanan di RSIA sejak 17 Desember 2015.“Saya menghentikan pelayanan supaya ada perhatian dari direktur, karena sudah beberapa kali saya negosiasi masalah jasa medis tapi tidak didengar,” katanya.
Dia menjelaskan, meski rumah sakit tersebut memiliki tiga dokter spesialis kebidanan dan kandungan, namun sejak Mei sampai Desember 2015 hanya dirinya saja yang bertugas selama 24 jam. Sedangkan dua dokter lainnya tidak masuk. “Bayangkan saya harus sendiri 24 jam setiap hari dan tidak ada hari libur,” keluh Serida dibenarkan suaminya.
Serida mengaku selama ini dia hanya berkeja penuh di RSIA dan tidak membuka praktek di luar. “Stres kerja jelas ada, beban kerja ada dan saya tinggalkan keluarga. Sangat wajar saya menuntut hak saya. Makanya beberapa kali saya nego direktur menanyakan kapan uangnya keluar, tapi tidak ditanggapi” ujarnya.
Karena tidak ditanggapi, tambahnya, akhirnya dia membuat keputusan untuk menghentikan pelayanan di RSIA dengan mengirim surat ke direktur tertanggal 16 Desember 2015. Tapi, tanpa diduga, esoknya (17 Desember 2015), dua dokter yang selama ini tidak pernah masuk malah masuk kerja hingga terakhir menangani Suryani.
“Saya berharap dengan saya buat surat seperti ini, saya akan dipanggil pihak manajemen. Ternyata satu bulan kemudian saya baru dipanggil dan bukan ditanya berkaitan dengan (surat) ini. Saya berharap mereka membuka mata lebar karena ini rumah sakit ibu dan anak yang membutuhkan dokter kandungan dan anak,” katanya.
Tak hanya itu, persoalan lain yang dialami dr Serida akibat proses itu diturunkannya pangkat dari IIIc menjadi IIIb. “Ini bukan saja kerugian jasa saja tapi dari segi administrasinya juga dirugikan. Karena saya dirugikan, saya sampai minta pindah ke Pidie Jaya. Tapi, Sekda Aceh tidak mengeluarkan izin pindah dengan alasan masih dibutuhkan,” pungkasnya.
Demo RSIA dan Dinkes
Massa yang yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan Antikorupsi (SPAK) Aceh, Jumat kemarin berunjukrasa ke RSIA dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh. Massa mendesak Gubernur Aceh mencopot Direktur RSIA serta mengevaluasi manajemen rumah sakit itu.
Massa pengunjuk rasa dari komunitas antikorupsi lainnya yang ikut dalam aksi demo itu seperti Sekolah Antikorupsi serta Komunitas Antikorupsi Aceh. Mereka mengawali aksi dengan berjalan kaki dari Taman Sari Banda Aceh ke RSIA Aceh yang berjarak kurang dari satu kilometer. Massa disambut aparat kepolisian yang sudah berjaga-jaga di sana.
Koordinator aksi, Yulindawati mengatakan, kedatangan mereka ke RSIA bukan untuk bertemu direktur atau siapapun yang ada di rumah sakit itu. Tujuan mereka sekadar mengingatkan Direktur RSIA serta tim medis agar selalu mengedepankan kepekaan sosial serta hati nurani dalam setiap memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa memandang strata, status sosial, serta faktor lainnya. “Intinya mereka perlu mengingat sumpah saat diangkat. Mereka juga harus peka dan menyadari kondisi masyarakat yang saat itu membutuhkan pertolongan. Bagaimana perasaan mereka, kalau kasus seperti yang dialami Suryani menimpa anak, istri, atau keluarga dekat mereka? Ini seharusnya ada di benak mereka, khususnya para tenaga medis,” kata Yulindawati.
Bukan yang pertama
Menurut Yulindawati, kematian Suryani dan bayinya akibat buruknya pelayanan serta lambannya penanganan di RSIA bukan yang pertama. Sebelumnya ada kasus bayi yang meninggal dunia akibat terlilit kabel inkubator atau ibu yang terpaksa melahirkan bayinya di dalam becak akibat lambannya penanganan dan kasus pasien melahirkan dibantu oleh suaminya akibat tidak adanya tenaga medis.
“Gubernur Aceh harus punya nyali mencopot Direktur RSIA dan mengevaluasi manajemen rumah sakit itu. Jangan hanya sekadar sidak dan mengeluarkan statemen di media tapi tidak ada tindak lanjut,” tandas Yulindawati.
Mengapa selama ini tidak mencuat ke publik, kata Yulindawati, karena pasien yang menjadi korban ‘kesewenang-wenangan’ dari rumah sakit itu merupakan orang kecil yang tidak memiliki power sehingga mereka takut kalau kasus yang dialami mereka persoalkan justru dikhawatirkan akan berbalik kepada mereka.
Massa yang meluahkan uneg-unegnya sekitar 20 menit di RSIA, selanjutnya bergerak ke Dinkes Aceh. Di sana mereka bertemu dengan Sekretaris Dinkes Aceh, Drs Muhammad Hasan MKes.
“Yang perlu dipahami, mulai RSIA, RSJ, dan RSUZA serta seluruh rumah sakit pemerintah lainnya, itu langsung di bawah pengawasan Gubernur. Pak Gubernur yang memiliki hak prerogatif mempertahankan atau mencopot seorang direktur rumah sakit. Kami tidak punya kewenangan apa-apa,” sebut Muhammad Hasan.
Keberadaan Dinkes, menurut Hasan sama kedudukannya dengan rumah sakit, sehingga Dinkes tidak memiliki kewenangan mengintervensi, melakukan pembinaan serta pengawasan. “Begitu juga bila ada rumah sakit atau puskesmas di kabupaten/kota yang memberi pelayanan buruk. Itu dikawal langsung oleh dinas kabupaten/kota setempat,” demikian Muhammad Hasan.(mas/mir)
Sejak kapan orang nolak nolong ditangkap pidana.
Kapan nolak nolong, kalo capek, berhalangan datang, sudah tidak kerjasama/hubungan baik dokter-pasien, tidak mampu nangani.
Polisi sama lsm emg geblek. Gimana rs yg gak ada spesialisnya, siapa yg mau lu penjara. Tolol. Yg penting prosedurnya bener, gak ada dokter, langsung rujuk. Dari dulu gitu.
Lawan aja, jangan kasih diyat ke keluarganya, nanti ngelunjak. Pasti gak dipenjara. Cuman capek tenaga.
Berhubung di rs pemerintah, apakah ini pasien bpjs??. Sebab bpjs sendiri yg bilang, gak pa2, dibayar murah, tp pasien banyak dapatnya juga banyak. Tnyt kecapean, wuahahaha.
Apakah di era bpjs angka kematian ibu dan bayi meningkat, kalau iya, yg dosa yg buat kebijakan.
Belum lg rsu nya korup juga. Rsu salah satu mesin penghasil uang buat pemda nya. Jd yg korup belum tentu hanya rs, tapi juga yu no lah.
Diubah oleh jangan.percaya 28-07-2016 19:42


tien212700 memberi reputasi
1
8K
Kutip
53
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan