Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Menyorot peran TNI dalam revisi UU terorisme
Menyorot peran TNI dalam revisi UU terorisme
Pendekatan kekerasan akan melahirkan terorisme baru
Kiprah TNI membantu penanganan teroris dalam operasi Tinombala, patut diapresiasi positif. Santoso alias Abu Wardah, pimpinan MIT (Mujahidin Indonesia Timur), tewas dalam baku tembak dengan tim Alfa 29 Yonif Raider 515/9/2 Kostrad, (18/7/2016).

Begitu pun penangkapan Jumiatun Muslimayatun, alias Umi Delima, istri kedua Santoso. Tim Batalion 303 Rider Kostrad, melakukan penangkapan terhadap Delima tanpa kekerasan.

Dua peristiwa tersebut menunjukkan dua hal. Pertama TNI memiliki kecakapan dalam perlawanan terhadap terosris di hutan. Kedua, dalam operasinya TNI tetap menjaga HAM.

Sukses operasi Tinombala memang, bukan sukses TNI semata. Operasi ini adalah operasi gabungan TNI-Polri. Ada peran TNI Angkatan Udara yang mengamati pergerakan kelompok Santoso melalui drone, ada pula peran Densus 88 serta pasukan Brimob.

Kendati begitu, peristiwa tersebut seolah menguatkan desakan beberapa pihak yang menginginkan TNI diberi peran optimal dalam pemberantasan terorisme. Saat ini pemerintah dan DPR tengah membahas revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Ihwal peran TNI dalam penanganan terorisme menjadi perdebatan yang seru.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, mengatakan bahwa memasukkan unsur TNI dalam RUU Terorisme adalah sebuah keharusan. Alasannya, ancaman terorisme sudah semakin luas dan ganas. Gerakan teroris pun terus membesar dengan berbagai cara.

Ringkasnya penanganan terorisme saat ini tidak bisa hanya mengandalkan Detasemen Khusus 88 Anti Teror, milik Polri. Harus ada integrasi kekuatan Polri dan TNI.

Pasal 43B ayat (1) draf RUU yang disiapkan pemerintah, menyebutkan: "Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh kepolisian negara republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme".

Ayat (2) menyebutkan, "Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada kepolisian negara republik Indonesia".

Pasal tersebut oleh sejumlah pihak penggiat HAM, diminta untuk dihapus. Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, dikhawatirkan akan rentan dengan pelanggaran HAM. Selain itu, peran TNI dalam UU Terorisme, bisa menggeser model penanganan terorisme dari penegakan hukum menjadi model perang.

Pendekatan penanganan terorisme, dikenal ada tiga model, yaitu: criminal justice system, internal security model dan war model. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, sebagai negara demokrasi, penanganan terorisme melalui criminal justice system tentu menjadi paling ideal.

Faktor penegakan hukum mesti didahulukan. Pelibatan TNI akan membawa pendekatan yang berbeda dan terkesan kebablasan. Pertama karena TNI bukanlah penegak hukum. Kedua, doktrin TNI adalah membunuh atau dibunuh.

Dalam pengamatan Tito, keinginan memberi peran TNI dalam UU Terorisme, susah terwujud. Pasalnya pendekatan keamanan antara Polisi dan TNI berbeda. Selain itu fungsi penyidikan kasus teroris hanya ada pada Polri.

Meski begitu bukan berarti TNI harus kalis dalam operasi penindakan terorisme. Dalam kasus seperti pengejaran terhadap Santoso, peran TNI tetap diperlukan dalam kapasitas membantu polisi membekuk teroris. Operasi Tinombala, yang merupakan gabungan TNI-Polri sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian.

Keteribatan TNI dalam penanganan terorisme, sebenarnya memang tidak perlu diatur dalam UU terorisme. Dalam UU No.34/2004 tentang TNI, tentara sudah diberi peran dalam penanganan terorisme. Pasal 7 Ayat 1 menyebutkan dengan jelas tugas pokok TNI.

Sedang Ayat 2, menyebutkan, tugas pokok selain perang, antara lain operasi militer selain perang, di antaranya mengatasi aksi terorisme. Namun ketentuan Ayat 2 tersebut, dibatasi dengan Ayat 3, yang berbunyi: dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Artinya, TNI tanpa UU Terosime pun sebenarnya sah hukumnya mengatasi aksi terorisme. Syaratnya harus ada keputusan politik negara. Yaitu diperintahkan oleh presiden selaku Panglima Tertinggi, melaui sebuah Keputusan Presiden.

Sesungguhnya perdebatan pemberian peran TNI pada UU pemberantasan terorisme, bisa disebut buang-buang energi. Sebab, siapa yang berhak dalam penanganan (operasi penangkapan) teroris, bukan butir paling penting dalam UU tersebut. Hal yang lebih penting, masih banyak. Misalnya hak para korban aksi terorisme, juga deradikalisasi.

Korban aksi teroris, selama ini tak punya hak perlindungan yang kuat. Bila pun kemudian pemerintah melakukan bantuan pengobatan atau perawatan, sifatnya hanya kebijakan tanpa kewajiban yang diatur UU. Beberapa korban, tergabung dalam Asosiasi Korban Bom terorisme di Indonesia (Askobi ), kurang mendapat perhatian pemerintah.

Deradikalisasi, juga menjadi hal sangat penting diatur dalam UU Terorisme. Deradikalisasi, dinilai gagal, ketika aksi teror bom bunuh diri terjadi di kawasan Sarinah, Jakarta, tahun lalu. Dua di antara 4 pelaku ternyata pernah terlibat aksi terkait terorisme. Artinya keduanya pernah menjalani program deradikalisasi dalam penjara.

Santoso pun, adalah produk gagal deradikalisasi. Ini tertulis dalam buku Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso (2008), yang ditulis Tito Karnavian (sekarang Kepala Polri). Santoso tercatat sebagai satu dari 174 orang eks binaan kelompok radikal yang menerima bantuan usaha dari Pemda Poso dalam program deradikalisasi. Dalam program ini Santoso menerima bantuan untuk usaha mandiri sebesar Rp10 juta.

Sayangnya, program deradikalisasi menjadi tidak efektif, karena tidak semua peserta program punya rencana yang baik. Santoso adalah salah satunya. Ia kemudian kembali ke dunia radikalisme.

Kegagalan program deradikalisasi selama ini, semestinya bisa menjadi cambuk dalam revisi UU Terorisme. Sukses program deradikalisasi, tidak hanya ditentukan pada pelaksanaan program yang dilakukan BNPT dan LSM, namun juga sangat dipengaruhi oleh proses penanganan terorisme sejak awal.

Pendekatan kekerasan dalam penangkapan dan penanganan teroris--apalagi sampai jatuh korban jiwa-- membuktikan tidak membuahkan hasil yang baik, ketika kemudian program deradikalisasi dijalankan. Sebaliknya malah melahirkan dendam, dan memicu munculnya teroris baru.

UU Terorisme yang targetnya selesai Oktober mendatang semestinya memiliki semangat kemanusiaan dalam penanganan terorisme. Selain itu sebisa mungkin menghindari penggunaan kekerasan. Dengan begitu program deradikalisasi bisa membuahkan hasil, dan tidak terus-menerus melahirkan teroris generasi baru.
Menyorot peran TNI dalam revisi UU terorisme


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...i-uu-terorisme

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3.8K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan