Massa demonstran Turki berkumpul di Lapangan Taksim, Istanbul, 24 Juli 2016.
Kegagalan upaya kudeta oleh faksi dalam tubuh militer di Turki yang berlangsung pada Jumat (15/7) berbuntut klaim dari Amnesty International. Lembaga nonpemerintah yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM) itu menyatakan ada bukti bahwa mereka yang ditangkap pascakudeta mengalami pemukulan dan penyiksaan.

Bahkan, pada kasus tertentu, para tahanan mengalami pemerkosaan.

Dilansir di laman resminya, Amnesty telah menemui para pengacara, dokter, dan seorang petugas fasilitas penahanan mengenai kondisi para tawanan. Organisasi itu mengaku telah mendengar pelbagai laporan mengenai orang-orang yang ditahan di beberapa lokasi tak resmi seperti gelanggang olah raga dan istal. Bahkan, ada tiga hakim yang diketahui disekap di koridor-koridor pengadilan.

Pihak-pihak yang memberikan informasi kepada kelompok itu ingin agar identitasnya tetap dirahasiakan.

"Pihak berwenang Turki harus menghentikan tindakan menjijikkan itu dan mengizinkan lembaga pengawas internasional untuk menyambangi para tahanan tersebut," ujar direktur Amnesty Internasional sayap Eropa, John Dalhuisen, dikutip laman The Independent.

Sabtu pekan lalu (23/7), pemerintah Turki memutuskan untuk menambah masa penahanan para tersangka--tanpa melewati meja hijau--dari empat hari menjadi 30 hari. Dengan adanya kebijakan baru itu, tulis Amnesty, para tahanan kian terpapar ancaman penyiksaan dan perlakuan buruk lain.

Otoritas Turki bahkan berhak meninjau atau merekam pertemuan yang terjadi antara para tawanan praperadilan dengan pengacaranya. Bahkan, para tahanan tidak memiliki kebebasan untuk memilih kuasa hukum yang dapat mewakili mereka dalam kasusnya. Ujungnya, hak untuk mendapatkan sidang yang tidak berat sebelah menjadi muskil.

Padahal, Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim, pada 23 Juli menjanjikan bahwa sekitar 13 ribu orang--termasuk 8.831 serdadu militer--bakal disidang dengan adil.

Sementara, seorang petinggi di Ankara, yang tidak ingin identitasnya diungkap, menyanggah tudingan itu. "Kami jelas menampik tuduhan itu dan mendorong pelbagai kelompok advokasi untuk memberikan laporan berimbang mengenai langkah-langkah hukum atas orang-orang yang telah menewaskan sekitar 250 warga sipil," ujarnya seperti dilansir laman Deutsche Welle.

Adapun, pemerintah berencana akan menutup lima belas universitas, lebih dari 1000 sekolah dan asrama, pun perkumpulan dan serikat yang memiliki kaitan dengan Kiai Fethullah Gulen.

"Sang pemimpin teroris, Fethullah Gulen, lebih berbahaya dari Osama bin Laden," ujar Menteri Turki untuk urusan Uni Eropa, Omar Celik, pada Sabtu (23/4), dikutip The Irish Times.

Pemerintah Turki pun telah berancang-ancang untuk mempekerjakan 20 ribu guru baru demi menggantikan guru-guru lain yang sebelumnya dipecat. Tindakan itu diambil guna mencegah kembalinya mereka untuk bekerja di sektor pendidikan.

Upaya kudeta 15 Juli itu sepertinya tidak terduga. Namun, sejak berhasil lolos dari ancaman kudeta, Erdogan langsung bergerak membersihkan pemerintahannya dari pelbagai unsur yang kemungkinan bakal mengintai otoritasnya.

Turki sendiri bukan negeri yang suci dari kup. Sejak 1960, pihak militer telah beberapa kali beraksi untuk menjatuhkan pemerintahan sah. Militer melakukan itu sebagian karena membela gagasan sang pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Sosok itu dikenal sebagi peletak dasar prinsip-prinsip demokrasi dan sekuler di Turki.

Erdogan sendiri bukan seorang pengikut Ataturk. Ia acap menampilkan kesalihan dirinya secara terbuka serta mereformasi kurikulum sekolah dengan memasukkan lebih banyak pelajaran agama. Namun, masalahnya, Erdogan pun dikenal mudah membungkam para jurnalis dan kaum akademis.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...an-pascakudeta

---