- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Betulkah Ada Potensi Ancaman bila Pasal Penghinaan Presiden Ditolak? Bisa di Dorrr!


TS
ts4l4sa
Betulkah Ada Potensi Ancaman bila Pasal Penghinaan Presiden Ditolak? Bisa di Dorrr!
Hendropriyono: Hukum Tidak Bicara, Nanti Senjata yang Berbicara
07 AGS 2015

Hendropriyono
Rimanews - Bekas Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Hendropriyono setuju dengan langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara. Sebab, kata dia, bila tidak ada hukum yang mengatur pasal penghinaan, maka senjata yang akan berbicara.
"Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero (filsuf) yang bilang begitu. Hukum yang harus bisa menyelesaikan," kata Hendropriyono usai menghadiri acara Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya kepada dua Jenderal Polis Diraja Malaysia (PDRM) di Mabes Polri, Jumat (07/08/2015).
Kata Hendro, pasal penghinaan kepala negara yang diusulkan ke DPR, akan merujuk pada jabatan dan juga pribadi seorang kepala negara.
"Jadi sebetulnya penghinaan ke Presiden nanti kena ke pribadi. Itu menempel karena Presiden cuma satu. Di seluruh dunia menghina Presiden itu ada pasalnya," ujarnya.
Menurut Hendro, mengkritik Presiden dengan menghina berbeda. Ia mencontohkan, kalau melakulan kesalahan lalu dikritik tidak masalah.
"Tapi kalau eh lu presiden b*ngs*t lu, itu menghina," ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah bermaksud mengajukan 786 pasal di RUU KUHP ke DPR, termasuk pasal yang mengatur penghinaan Presiden.
Pada pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, tertulis setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 5 tahun.
http://nasional.rimanews.com/hukum/r...yang-Berbicara
Materi Pasal Penghinaan Presiden Masih Sama dengan yang Dibatalkan MK'
Jumat, 07 Agustus 2015, 18:06 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Humas Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ansarudin mengatakan terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal penghinaan presiden sebagian besar materinya sama dengan tiga pasal yang dibatalkan oleh MK pada 2006 silam.
"Pemerintah kan hanya menawarkan kembali, keputusan kan tergantung dengan DPR. Lagipula DPR sepertinya sudah sepakat untuk menolak," ujar Ansarudin, Jumat (7/8).
Ansarudin menjelaskan sebagian besar materi yang diajukan dalam revisi sama dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang dibatalkan melalui putusan MK.
Perbedaannya, lanjut Ansarudin, dalam revisi yang diajukan delik aduan sebagai individu, dalam putusan MK pada tahun 2006 delik ketentuannya bersifat umum sehingga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan disalahartikan.
"Saya memang belum melihat putusan MK tahun 2006, tapi sepertinya secara umum sama," ucapnya.
Diharapkan, sambung Ansarudin, bila revisi KUHP dikabulkan maka harus dijalankan dengan parameter yang tepat sehingga tidak menjadi pasal karet untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang memberikan kritikan tajam.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berencana akan tetap memunculkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasalnya, penerapan pasal itu diperlukan untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin negara sebagai individu.
Menurut Yasonna, pasal itu sudah digulirkan pada zaman pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dibahas sampai tingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Yasonna mengaku pasal yang akan ditetapkan saat ini cukup berbeda dengan sebelumnya. Tepatnya mengenai delik umum untuk penangkapan orang yang melakukan penghinaan.
Revisi RUU KUHP tentang pasal itu difungsikan sebagai perangkat hukum yang semestinya melindungi dan menjaga hak setiap individu, tidak terkecuali presiden dan jajaran pejabat pemerintahan lain.
http://nasional.republika.co.id/beri...-dibatalkan-mk
Pasal Penghinaan Presiden Bisa Jadi Bencana
Jum'at, 7 Agustus 2015 - 06:02 wib
JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap Presiden sudah masuk dalam RUU KUHP yang diusulkan pemerintah lewat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly ke DPR.
'Bola panas' itu kini ada di parlemen, menerima atau menolak pasal yang sudah pernah dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 silam tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio meminta DPR dengan tegas menolak usulan tersebut. Pasalnya, aturan yang berpotensi jadi pasal karet itu akan jadi bencana bagi demokrasi Indonesia. "Kalau misal DPR mengesahkan itu maka akan jadi bencana," ungkap Agung kepada Okezone, di Jakarta, Jumat (7/8/2015).
Agung menjelaskan, Undang-Undang KUHP sendiri sudah menaungi pasal yang mengatur tentang penghinaan, suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) dan ancaman.
Tanpa pasal ini pun, lanjut Agung, Jokowi secara pribadi tetap punya hak untuk melaporkan pihak-pihak yang dianggapnya sudah melakukan hal di luar batas."Itu berlaku bagi siapapun orangnya bahkan Presiden. Ketika dia difitnah kemudian diejek, SARA dan diancam bisa masuk pidana. Bisa dilaporkan dan ditangkap. Tidak perlu pasal khusus karena berpotensi jadi pasal karet," tutup Agung.
http://news.okezone.com/read/2015/08...a-jadi-bencana
BBC London:
Pasal penghinaan presiden timbulkan kontroversi
Jokowi mengatakan pasal-pasal ini justru melindungi mereka yang mengkritisi dan memberi pengawasan
5 Agustus 2015
Rencana pemerintah untuk memasukkan lagi pasal-pasal penghinaan presiden ke dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai pengamat sebagai langkah yang tidak bijak.
Peneliti sekaligus Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, mengatakan bahwa dengan mempertahankan pasal-pasal penghinaan Presiden ke Revisi KUHP, pemerintah mengajarkan hal yang tidak baik pada masyarakat.
"Selama ini pemerintah bilang, kita hormati keputusan pengadilan. Pengadilan sudah memutuskan bahwa pasal-pasal penghinaan presiden tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kalau pemerintah tetap ngotot berarti pemerintah sendiri yang mengajarkan untuk jangan patuh pada keputusan pengadilan," kata Anggara.
Keputusan pengadilan yang dimaksud adalah keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden sehingga hilang dari KUHP.
Namun pada draf revisi RUU KUHP yang diserahkan ke DPR, pemerintah kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden tersebut.
Secara teknis hukum, memasukkan lagi pasal-pasal tentang penghinaan presiden juga tak bisa dilakukan.
Mahkamah Konstitusi sudah secara detail menyebut bahwa ketentuan-ketentuan yang sebangun dengan pasal-pasal penghinaan presiden yang sudah mereka batalkan tak bisa masuk lagi ke KUHP di masa mendatang. "Secara spesifik mereka mem-point out itu," kata Anggara.
Publik dapat menyampaikan opini kepada Presiden Jokowi melalui media sosial.
Lindungi masyarakat
Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penghidupan pasal ini justru untuk melindungi masyarakat yang mengkritik kepentingan umum.
"Untuk memproteksi masyarakat yang kritis, orang-orang yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan, untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik, kamu. Justru memproteksi, jadi yang mengkritisi, memberikan pengawasan, ingin memberikan koreksi, silakan," kata Jokowi.
Menjawab poin ini, menurut Anggara, secara praktik, pendekatan ini tidak realistis di lapangan.
Selain itu, Indonesia juga sudah menjadi negara pihak dalam Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik. Salah satu pasal aturan internasional tersebut menyatakan bahwa pemimpin dan pejabat negara tak boleh dikritik karena saat menghadapi kritik paling keras sekalipun, mereka masih punya media untuk menyampaikan klarifikasi.
"Kalau argumennya untuk melindungi kepentingan umum, secara praktik tidak pernah terjadi. Karena kalau melihat tren penggunaan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden atau pemerintah, 99% nggak akan lolos dari jeratan itu," ujar Anggara.
Pada Selasa (4/8), anggota tim komunikasi presiden Teten Masduki menyatakan pada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan bahwa pasal ini sudah diusulkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada wartawan juga mengatakan bahwa pasal yang akan dimasukkan lagi dalam revisi KUHP ini berbeda dengan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...hinaanpresiden
Komisi III - DPR RI:
Pasal Penghinaan Presiden Rentan Kepentingan
Jumat, 07/08/2015 15:07 WIB
Komisi III: Pasal Penghinaan Presiden Rentan KepentinganPresiden Joko Widodo. (Reuters/Roger Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J Mahesa mengatakan perlunya pemaparan secara rigid atas pasal penghinaan presiden yang kembali dimasukkan ke rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pengaturan secara rinci diperlukan agar tidak ditafsirkan lain dan memunculkan banyak interpretasi.
Pengaturan secara detil terkait pasal penghinaan juga diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan pasal dari orang-orang berkepentingan.
"Jangan ngambang. Sampai penegak hukum bisa memperluas dan mengembangkan pasal ini untuk hal yang tidak jelas," ujar Desmond, Jumat (7/8).
Diketahui, RKUHP ini telah diterima Komisi Hukum DPR dan akan dibahas bersama pemerintah usai masa reses nanti. Desmond mengatakan dirinya pun telah diundang pemerintah Belanda untuk membahas lebih lanjut tentang KUHP.
KUHP merupakan pengadopsian produk hukum negara Belanda. Pasal penghinaan itu pun dibentuk untuk menjaga martabat raja dan ratu yang merupakan lambang negara. Diketahui, Belanda adalah negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
Sementara Indonesia merupakan negara dengan sistem presidensil dimana presiden berlaku sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Adapun yang menjadi simbol negara Indonesia adalah Garuda Pancasila.
"Dapat pasal ini kan dari Belanda. Pasal ini kan antara perlu tidak perlu, tapi sudah dibatalkan MK secara signifikan," ujar Desmond.
"Kesimpulannya pasal ini melanggar UUD," tuturnya.
Diketahui, sebanyak lima pasal terkait penghinaan presiden ini sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Pasal-pasal yang dibatalkan MK adalah pasal 134, 136 bis, 137, 154 dan 155.
Pada 17 Juli 2007, MK menyatakan pasal 154 dan 155 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi karena dianggap produk kolonial yang tak lagi sesuai dengan Indonesia yang merupakan negara hukum yang demokratis.
Kelima pasal tersebut "bangkit kembali" di RKUHP pada pasal 262, 263, 264, 284 dan 285. Dalam RKUHP pasal 262 mengatur, setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sementara itu terkait penghinaan muncul dalam pasal 263, orang yang dimuka unum menghina presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Dalam pasal 264, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum atau memperdengarkan rekaman dan terdengar umum yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud diketahui umum maka dipidana penjara paling lama lima tahun.
http://www.cnnindonesia.com/politik/...n-kepentingan/
Pimpinan DPR Akan Tolak Pasal Penghinaan Presiden
Jumat, 07/08/2015 17:16 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang Politik Hukum dan Keamanan Fadli Zon mengatakan besarnya kemungkinan penolakan terhadap pasal penghinaan presiden, saat dibahas di DPR.
Diketahui, lima pasal terkait penghinaan presiden dimasukkan kembali ke rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RKUHP ini telah diterima Komisi Hukum DPR dan akan dibahas bersama pemerintah usai masa reses mendatang.
"Kami punya semangat untuk menolak itu," ujar Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/8).
Menurutnya, dihidupkannya kembali pasal tersebut malah akan membuat permasalahan baru. Pasal tersebut menjadi pasal karet dan dapat diinterpretasikan dengan bebas karena tidak didetilkannya definisi penghinaan dalam pasal-pasal tersebut.
Selain itu, ia mengingatkan presiden sama kedudukannya dengan masyarakat biasa di hadapan konstitusi, hukum dan pemerintahan. Menurutnya, presiden masih tetap bisa mengadukan apabila merasa dihina. Pelaku penghinaan dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik.
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil. Menurutnya, perlakuan hukum yang sama perlu diberikan terhadap presiden dan rakyat lainnya. Menurutnya, hukuman yang diberikan kepada si pelaku menjadi titik masalah baru.
"Ketika orang demo, polisi bisa gunakan pasal itu, ancamannya lima sampai sembilan tahun. Polisi bisa menahan," ujar Arsil.
Pasal penghinaan presiden sesungguhnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Saat itu pasal yang dihapus berbunyi “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”
Kini kausa serupa yang dimasukkan ke dalam Pasal 263 Ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Delik itu diperluas pada Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
http://www.cnnindonesia.com/politik/...naan-presiden/
---------------------------------
Kayaknya saat ini ada yang merasa "adigang, adigung, adiguna", mentang-mentang lagi di amanahi rakyat kekuasaan!

07 AGS 2015

Hendropriyono
Rimanews - Bekas Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Hendropriyono setuju dengan langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara. Sebab, kata dia, bila tidak ada hukum yang mengatur pasal penghinaan, maka senjata yang akan berbicara.
"Siapa saja kalau dihina dan hukum tidak bicara, nanti yang bicara senjata. Itu kan Cicero (filsuf) yang bilang begitu. Hukum yang harus bisa menyelesaikan," kata Hendropriyono usai menghadiri acara Penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Nararya kepada dua Jenderal Polis Diraja Malaysia (PDRM) di Mabes Polri, Jumat (07/08/2015).
Kata Hendro, pasal penghinaan kepala negara yang diusulkan ke DPR, akan merujuk pada jabatan dan juga pribadi seorang kepala negara.
"Jadi sebetulnya penghinaan ke Presiden nanti kena ke pribadi. Itu menempel karena Presiden cuma satu. Di seluruh dunia menghina Presiden itu ada pasalnya," ujarnya.
Menurut Hendro, mengkritik Presiden dengan menghina berbeda. Ia mencontohkan, kalau melakulan kesalahan lalu dikritik tidak masalah.
"Tapi kalau eh lu presiden b*ngs*t lu, itu menghina," ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah bermaksud mengajukan 786 pasal di RUU KUHP ke DPR, termasuk pasal yang mengatur penghinaan Presiden.
Pada pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, tertulis setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 5 tahun.
http://nasional.rimanews.com/hukum/r...yang-Berbicara
Materi Pasal Penghinaan Presiden Masih Sama dengan yang Dibatalkan MK'
Jumat, 07 Agustus 2015, 18:06 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Humas Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ansarudin mengatakan terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal penghinaan presiden sebagian besar materinya sama dengan tiga pasal yang dibatalkan oleh MK pada 2006 silam.
"Pemerintah kan hanya menawarkan kembali, keputusan kan tergantung dengan DPR. Lagipula DPR sepertinya sudah sepakat untuk menolak," ujar Ansarudin, Jumat (7/8).
Ansarudin menjelaskan sebagian besar materi yang diajukan dalam revisi sama dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang dibatalkan melalui putusan MK.
Perbedaannya, lanjut Ansarudin, dalam revisi yang diajukan delik aduan sebagai individu, dalam putusan MK pada tahun 2006 delik ketentuannya bersifat umum sehingga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan disalahartikan.
"Saya memang belum melihat putusan MK tahun 2006, tapi sepertinya secara umum sama," ucapnya.
Diharapkan, sambung Ansarudin, bila revisi KUHP dikabulkan maka harus dijalankan dengan parameter yang tepat sehingga tidak menjadi pasal karet untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang memberikan kritikan tajam.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berencana akan tetap memunculkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasalnya, penerapan pasal itu diperlukan untuk menjaga kewibawaan seorang pemimpin negara sebagai individu.
Menurut Yasonna, pasal itu sudah digulirkan pada zaman pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dibahas sampai tingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Yasonna mengaku pasal yang akan ditetapkan saat ini cukup berbeda dengan sebelumnya. Tepatnya mengenai delik umum untuk penangkapan orang yang melakukan penghinaan.
Revisi RUU KUHP tentang pasal itu difungsikan sebagai perangkat hukum yang semestinya melindungi dan menjaga hak setiap individu, tidak terkecuali presiden dan jajaran pejabat pemerintahan lain.
http://nasional.republika.co.id/beri...-dibatalkan-mk
Pasal Penghinaan Presiden Bisa Jadi Bencana
Jum'at, 7 Agustus 2015 - 06:02 wib
JAKARTA - Pasal penghinaan terhadap Presiden sudah masuk dalam RUU KUHP yang diusulkan pemerintah lewat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly ke DPR.
'Bola panas' itu kini ada di parlemen, menerima atau menolak pasal yang sudah pernah dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 silam tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio meminta DPR dengan tegas menolak usulan tersebut. Pasalnya, aturan yang berpotensi jadi pasal karet itu akan jadi bencana bagi demokrasi Indonesia. "Kalau misal DPR mengesahkan itu maka akan jadi bencana," ungkap Agung kepada Okezone, di Jakarta, Jumat (7/8/2015).
Agung menjelaskan, Undang-Undang KUHP sendiri sudah menaungi pasal yang mengatur tentang penghinaan, suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) dan ancaman.
Tanpa pasal ini pun, lanjut Agung, Jokowi secara pribadi tetap punya hak untuk melaporkan pihak-pihak yang dianggapnya sudah melakukan hal di luar batas."Itu berlaku bagi siapapun orangnya bahkan Presiden. Ketika dia difitnah kemudian diejek, SARA dan diancam bisa masuk pidana. Bisa dilaporkan dan ditangkap. Tidak perlu pasal khusus karena berpotensi jadi pasal karet," tutup Agung.
http://news.okezone.com/read/2015/08...a-jadi-bencana
BBC London:
Pasal penghinaan presiden timbulkan kontroversi
Jokowi mengatakan pasal-pasal ini justru melindungi mereka yang mengkritisi dan memberi pengawasan
5 Agustus 2015
Rencana pemerintah untuk memasukkan lagi pasal-pasal penghinaan presiden ke dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai pengamat sebagai langkah yang tidak bijak.
Peneliti sekaligus Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, mengatakan bahwa dengan mempertahankan pasal-pasal penghinaan Presiden ke Revisi KUHP, pemerintah mengajarkan hal yang tidak baik pada masyarakat.
"Selama ini pemerintah bilang, kita hormati keputusan pengadilan. Pengadilan sudah memutuskan bahwa pasal-pasal penghinaan presiden tersebut bertentangan dengan konstitusi. Kalau pemerintah tetap ngotot berarti pemerintah sendiri yang mengajarkan untuk jangan patuh pada keputusan pengadilan," kata Anggara.
Keputusan pengadilan yang dimaksud adalah keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2006 yang membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden sehingga hilang dari KUHP.
Namun pada draf revisi RUU KUHP yang diserahkan ke DPR, pemerintah kembali memasukkan pasal penghinaan terhadap presiden tersebut.
Secara teknis hukum, memasukkan lagi pasal-pasal tentang penghinaan presiden juga tak bisa dilakukan.
Mahkamah Konstitusi sudah secara detail menyebut bahwa ketentuan-ketentuan yang sebangun dengan pasal-pasal penghinaan presiden yang sudah mereka batalkan tak bisa masuk lagi ke KUHP di masa mendatang. "Secara spesifik mereka mem-point out itu," kata Anggara.
Publik dapat menyampaikan opini kepada Presiden Jokowi melalui media sosial.
Lindungi masyarakat
Dalam pernyataannya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penghidupan pasal ini justru untuk melindungi masyarakat yang mengkritik kepentingan umum.
"Untuk memproteksi masyarakat yang kritis, orang-orang yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan, untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jangan dibalik-balik, kamu. Justru memproteksi, jadi yang mengkritisi, memberikan pengawasan, ingin memberikan koreksi, silakan," kata Jokowi.
Menjawab poin ini, menurut Anggara, secara praktik, pendekatan ini tidak realistis di lapangan.
Selain itu, Indonesia juga sudah menjadi negara pihak dalam Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik. Salah satu pasal aturan internasional tersebut menyatakan bahwa pemimpin dan pejabat negara tak boleh dikritik karena saat menghadapi kritik paling keras sekalipun, mereka masih punya media untuk menyampaikan klarifikasi.
"Kalau argumennya untuk melindungi kepentingan umum, secara praktik tidak pernah terjadi. Karena kalau melihat tren penggunaan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden atau pemerintah, 99% nggak akan lolos dari jeratan itu," ujar Anggara.
Pada Selasa (4/8), anggota tim komunikasi presiden Teten Masduki menyatakan pada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan bahwa pasal ini sudah diusulkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada wartawan juga mengatakan bahwa pasal yang akan dimasukkan lagi dalam revisi KUHP ini berbeda dengan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...hinaanpresiden
Komisi III - DPR RI:
Pasal Penghinaan Presiden Rentan Kepentingan
Jumat, 07/08/2015 15:07 WIB
Komisi III: Pasal Penghinaan Presiden Rentan KepentinganPresiden Joko Widodo. (Reuters/Roger Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J Mahesa mengatakan perlunya pemaparan secara rigid atas pasal penghinaan presiden yang kembali dimasukkan ke rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pengaturan secara rinci diperlukan agar tidak ditafsirkan lain dan memunculkan banyak interpretasi.
Pengaturan secara detil terkait pasal penghinaan juga diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan pasal dari orang-orang berkepentingan.
"Jangan ngambang. Sampai penegak hukum bisa memperluas dan mengembangkan pasal ini untuk hal yang tidak jelas," ujar Desmond, Jumat (7/8).
Diketahui, RKUHP ini telah diterima Komisi Hukum DPR dan akan dibahas bersama pemerintah usai masa reses nanti. Desmond mengatakan dirinya pun telah diundang pemerintah Belanda untuk membahas lebih lanjut tentang KUHP.
KUHP merupakan pengadopsian produk hukum negara Belanda. Pasal penghinaan itu pun dibentuk untuk menjaga martabat raja dan ratu yang merupakan lambang negara. Diketahui, Belanda adalah negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
Sementara Indonesia merupakan negara dengan sistem presidensil dimana presiden berlaku sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Adapun yang menjadi simbol negara Indonesia adalah Garuda Pancasila.
"Dapat pasal ini kan dari Belanda. Pasal ini kan antara perlu tidak perlu, tapi sudah dibatalkan MK secara signifikan," ujar Desmond.
"Kesimpulannya pasal ini melanggar UUD," tuturnya.
Diketahui, sebanyak lima pasal terkait penghinaan presiden ini sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. Pasal-pasal yang dibatalkan MK adalah pasal 134, 136 bis, 137, 154 dan 155.
Pada 17 Juli 2007, MK menyatakan pasal 154 dan 155 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi karena dianggap produk kolonial yang tak lagi sesuai dengan Indonesia yang merupakan negara hukum yang demokratis.
Kelima pasal tersebut "bangkit kembali" di RKUHP pada pasal 262, 263, 264, 284 dan 285. Dalam RKUHP pasal 262 mengatur, setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sementara itu terkait penghinaan muncul dalam pasal 263, orang yang dimuka unum menghina presiden atau wakil presiden dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Dalam pasal 264, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum atau memperdengarkan rekaman dan terdengar umum yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud diketahui umum maka dipidana penjara paling lama lima tahun.
http://www.cnnindonesia.com/politik/...n-kepentingan/
Pimpinan DPR Akan Tolak Pasal Penghinaan Presiden
Jumat, 07/08/2015 17:16 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang Politik Hukum dan Keamanan Fadli Zon mengatakan besarnya kemungkinan penolakan terhadap pasal penghinaan presiden, saat dibahas di DPR.
Diketahui, lima pasal terkait penghinaan presiden dimasukkan kembali ke rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). RKUHP ini telah diterima Komisi Hukum DPR dan akan dibahas bersama pemerintah usai masa reses mendatang.
"Kami punya semangat untuk menolak itu," ujar Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/8).
Menurutnya, dihidupkannya kembali pasal tersebut malah akan membuat permasalahan baru. Pasal tersebut menjadi pasal karet dan dapat diinterpretasikan dengan bebas karena tidak didetilkannya definisi penghinaan dalam pasal-pasal tersebut.
Selain itu, ia mengingatkan presiden sama kedudukannya dengan masyarakat biasa di hadapan konstitusi, hukum dan pemerintahan. Menurutnya, presiden masih tetap bisa mengadukan apabila merasa dihina. Pelaku penghinaan dapat dikenakan pasal pencemaran nama baik.
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil. Menurutnya, perlakuan hukum yang sama perlu diberikan terhadap presiden dan rakyat lainnya. Menurutnya, hukuman yang diberikan kepada si pelaku menjadi titik masalah baru.
"Ketika orang demo, polisi bisa gunakan pasal itu, ancamannya lima sampai sembilan tahun. Polisi bisa menahan," ujar Arsil.
Pasal penghinaan presiden sesungguhnya telah dihapus Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Saat itu pasal yang dihapus berbunyi “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.”
Kini kausa serupa yang dimasukkan ke dalam Pasal 263 Ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Delik itu diperluas pada Pasal 264 RUU KUHP yang berbunyi, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
http://www.cnnindonesia.com/politik/...naan-presiden/
---------------------------------
Kayaknya saat ini ada yang merasa "adigang, adigung, adiguna", mentang-mentang lagi di amanahi rakyat kekuasaan!

0
2.8K
34


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan