- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Awas, China Mau Caplok Perairan Natuna Pasca Diplomasi Gagal Caplok Kep.Parasel


TS
aconkoe
Awas, China Mau Caplok Perairan Natuna Pasca Diplomasi Gagal Caplok Kep.Parasel
Sumber Konflik Regional ASEAN vs CHINA di LCT ..












Awas, China Mau Caplok Perairan Natuna
Juli 13, 2016 01:47

Mimik wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak serius, ketika ia bersama rombongan mendarat di geladak kapal perang KRI Imam Bonjol, yang sedang berada di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Langit pada Kamis, 23 Juni 2016 itu tidak mendung, namun juga tidak sangat cerah. Mengenakan jaket abu-abu Angkatan Laut, Jokowi menatap peluncur roket anti-kapal selam RBU-6000, salah satu persenjataan utama yang terpasang di korvet kelas Parchim eks Jerman Timur itu.
Kedatangan Jokowi yang tidak biasa ini terjadi, tak lama sesudah insiden antara KRI Imam Bonjol dan 12 kapal nelayan China, yang tertangkap tangan mencuri ikan di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) perairan Natuna, 17 Juni 2016. Waktu itu KRI Imam Bonjol tengah berpatroli dan menerima laporan dari intai udara maritim, mengenai adanya 12 kapal ikan asing yang mencuri ikan.
Saat didekati, kapal-kapal asing itu bermanuver dan melarikan diri. KRI Imam Bonjol pun mengejar dan memberikan tembakan peringatan, namun diabaikan. Kapal TNI AL terpaksa menembak ke udara dan laut, karena kapal-kapal nelayan itu bandel, tidak mau mengikuti instruksi yang diserukan petugas KRI lewat pelantang. Setelah beberapa kali dilakukan tembakan peringatan, satu dari 12 kapal ikan dapat dihentikan. Setelah diperiksa, ternyata kapal itu diawaki enam pria dan seorang wanita, yang diduga berkewarganegaraan Cina.
Kapal-kapal itu mungkin berani berulah, karena keberadaan mereka “didukung” oleh kapal pengawal pantai (Coast Guard) China. Ketika KRI Imam Bonjol menangkap kapal nelayan China, Han Tan Chlou-19038, ia dibayang-bayangi oleh kapal Pengawal Pantai China. Kapal Pengawal Pantai China mengejar dan minta kapal nelayan itu dilepaskan, tapi ditolak oleh petugas di KRI Imam Bonjol.
Upaya Sistematik China
Insiden pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan China ini sudah berkembang semakin serius. Tampaknya ada upaya sistematik dan berkelanjutan oleh China dalam memanfaatkan kapal-kapal nelayan itu, untuk terus-menerus melanggar ZEEI di perairan Natuna. Jika hal ini tidak ditindak tegas oleh Indonesia, lama-lama kehadiran kapal-kapal China itu seolah-olah mendapat pembenaran, sesuai dengan klaim wilayah yang ditegaskan oleh China di Laut China Selatan (LCS).
Sesudah insiden dengan kapal-kapal China ini, Presiden Jokowi tampaknya merasa perlu melihat langsung kondisi di Natuna. Jokowi pun mengadakan rapat terbatas di atas kapal perang KRI Imam Bonjol. Rapat itu dihadiri oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mulyono, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna, dan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Arie Soedewo.
Hadir juga, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Di atas kapal perang itu, Jokowi menginstruksikan kepada TNI untuk terus menjaga dan mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Instruksi tertulis Presiden ini untuk menyemangati prajurit TNI AL, yang bertugas di garis depan mengamankan perbatasan Indonesia.
Presiden juga memerintahkan jajarannya untuk fokus meningkatkan keamanan dan perekonomian di wilayah Kepulauan Natuna, sebagai salah satu beranda terdepan Indonesia dan kawasan strategis nasional. “Saya minta kemampuan TNI dan Bakamla dalam menjaga laut harus lebih ditingkatkan, baik dalam hal kelengkapan teknologi radar maupun kesiapannya,” tegas Jokowi.
Pesan yang Jelas Buat China
Kehadiran Jokowi di kapal perang ini mendapat pemberitaan meluas di sejumlah media internasional. Ini merupakan pesan yang jelas kepada China, bahwa Indonesia tegas menolak klaim China dan tidak main-main dengan masalah kedaulatan negara. Namun, bukan berarti Indonesia mau unjuk gigi pada negara-negara di kawasan, karena Indonesia punya hubungan bersahabat dengan China.
Ketegangan antara RI dan China terkait pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan China sudah beberapa kali terjadi, dan tampaknya meningkat pada tahun terakhir ini. Persoalan muncul sejak China mengeluarkan peta Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus (nine dash lines). Garis itu ditarik berdasarkan klaim sepihak China, yang merujuk sejarah jangkauan para nelayan kekaisaran China pada masa lampau, bukan berdasarkan hukum internasional yang diakui PBB.
Pada akhir Mei 2016, KRI Oswald Siahaan menangkap kapal nelayan China, Gui Bei Yu, di Laut Natuna. Pemerintah China bereaksi keras atas penangkapan itu dan menegaskan, kapal nelayan itu tidak melanggar hukum Indonesia karena berada di wilayah penangkapan tradisional China.
Di kapal Gui Bei Yu itu ditemukan peta yang menunjukkan Laut Natuna, termasuk Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas, dalam wilayah penangkapan tradisional (traditional fishing ground) China. Bahkan, batas wilayah penangkapan itu masuk sejauh puluhan mil dari perbatasan Indonesia di Laut Natuna. Peta itu diberlakukan secara sepihak oleh China sejak 1994.
Dari situ, China mengklaim 80 persen wilayah LCS sebagai wilayahnya. Gara-gara peta sepihak itu, China pun terlibat konflik wilayah dengan negara sekitar LCS, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Mereka punya klaim wilayah di LCS yang tumpang tindih dengan klaim China. Dari semua negara itu, Filipina sudah mengajukan kasusnya ke pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, walau China mengatakan tidak mengakui dan tidak akan menerima apapun hasil keputusan mahkamah itu.
Menancapkan Hegemoni
Indonesia tidak terlibat dalam sengketa klaim itu. Kepulauan Natuna sudah jelas adalah milik Indonesia, dan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna ini juga diakui China. Namun, wilayah perairan Natuna yang berada dalam ZEEI sebagian tumpang tindih dengan perairan yang diklaim China, lewat garis putus-putus tersebut. China menyebut kawasan itu sebagai “wilayah penangkapan ikan tradisional” bagi nelayan China. Seolah-olah China mau bilang, “Natuna memang milik Indonesia, tetapi perairannya milik China.”
Istilah “wilayah penangkapan tradisional” itu tidak dikenal dalam hukum laut internasional. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sudah menolak tegas dalih yang diajukan China. Menurut Susi, tidak ada kesepakatan internasional apapun yang mengakui atau mengenali apa yang diklaim oleh Pemerintah China sebagai “wilayah penangkapan tradisional” nelayan China.
Dengan dalih “warisan sejarah” itulah, kapal-kapal nelayan China dengan seenaknya mencuri ikan di perairan Natuna, yang sebetulnya berada dalam ZEE Indonesia. Pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal menilai, persoalan sengketa wilayah terkait illegal fishing antara China dan Indonesia akan terus bergulir jika Indonesia tak bersikap tegas terhadap China. Sebaiknya memang Indonesia menegakkan betul apa yang menjadi hukum di negeri sendiri. “Meski Indonesia bersahabat dengan China, sikap China yang kerap tidak mengindahkan kesepakatan perlu ditindak tegas. Kita harus ngomong ke China untuk setop,” ujar Hasjim.
Selain itu, China tampaknya sudah mulai menancapkan hegemoninya di ASEAN, dan sudah memiliki strategi yang cukup kuat untuk dimainkan di LCS. China dengan cerdik tidak mau berhadapan dengan ASEAN sebagai kesatuan atau kekuatan regional, tetapi menggunakan pendekatan bilateral ke beberapa negara ASEAN, seperti Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Dengan “taktik pecah belah” demikian, China bisa mengeksploitasi perbedaan posisi dan kepentingan di antara negara-negara ASEAN.
Nota-nota protes dari China tentang penangkapan kapal-kapal nelayan China oleh Indonesia hanyalah gerakan kecil. Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hizkia Yosie Polimpung mengatakan, keberanian China menunjukkan hegemoninya disebabkan tidak adanya gerakan dari Indonesia. Persoalan LCS akan terus berlarut-larut karena Indonesia menolak menyatakan diri sedang bersengketa wilayah dengan China. Sedangkan China sudah memiliki strategi untuk memperkuat posisinya di kawasan ASEAN.
http://www.aktual.com/awas-china-mau...rairan-natuna/
Quote:
Rakyat Cina Marah Besar Atas Putusan Soal Cina Laut Selatan
Kamis, 14 Jul 2016 - 19:48:41 WIB

BEIJING (TEROPONGSENAYAN) - Rakyat Cina 'sangat marah' atas keputusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag yang menyatakan klaim Cina di Laut Cina Selatan tak memiliki landasan hukum.
Hal ini disampaikan pengamat politik di Beijing, Xu Liping, yang mengikuti reaksi warga Cina melalui surat kabar dan media sosial.
"Rakyat biasa sangat marah dan menganggap putusan pengadilan di Belanda sebagai ancaman terhadap kedaulatan Cina di Laut Cina Selatan," kata Xu Liping kepada BBC, Kamis (14/7/2016).
Pantauan di WeChat, salah satu aplikasi pesan yang populer, memperlihatkan desakan kepada pemerintah untuk melakukan konfrontasi.
"Beri saya senjata," kata seorang pengguna WeChat.
'Ditolak Rakyat'
Kasus klaim teritorial ini diajukan oleh pemerintah Filipina, yang membuat muncul desakan di Cina agar Cina memboikot mangga dari Filipina.
Xu Liping menjelaskan kemarahan dan frustrasi rakyat juga diarahkan ke Amerika Serikat dan Jepang.
"Warga di sini menganggap keputusahan Mahkamah di Belanda dipengaruhi oleh Amerika dan Jepang," kata Xu Liping.
Ia menjelaskan bahwa di Cina semua orang menganggap bahwa Cina punya hak kedaulatan di Laut Cina Selatan dan hal ini dikatakan secara jelas kepada murid-murid SMP dan SMA.
"Dan sekarang ada keputusan mahkamah bahwa Cina tak punya kedaulatan wilayah di Laut Cina Selatan. Keputusan ini tak bisa diterima oleh rakyat Cina. Rakyat menolak keputusan tersebut," katanya
http://www.teropongsenayan.com/44466...a-laut-selatan
Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut China Selatan
Selasa, 12 Juli 2016 | 17:19 WIB
BEIJING, KOMPAS.com - Keputusan mahkamah arbitrasi PBB di Den Haag yang menyebut China tak memiliki dasar hukum untuk mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan langsung direspon Beijing.
Kementerian Luar Negeri China, Selasa (12/7/2016) mengatakan, pemerintah China tidak menerima dan tidak akan mengakui keputusan mahkamah arbitrase internasional itu.
"Keputusan itu tak memiliki kekuatan yang mengikat. China tidak akan menerima atau mengakui keputusan tersebut," demikian pernyataan Kemenlu China.
"Beijing tidak akan menerima berbagai upaya pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah atau solusi yang dipaksakan terhadap China," tambah Kemenlu China sambil menegaskan posisinya dalam sengketa wilayah itu.
Sebelumnya, China sudah berulang kali menolak otorita mahkamah arbitrasi terkait sengketa wilayah strategis itu dengan Filipina.
China mengklaim, keputusan pengadilan internasional adalah ilegal dan bias dalam masalah sengketa di Laut China Selatan ini.
Beijing bahkan menolak mengambil kesempatan untuk mempertahankan posisinya dalam sidang di mahkamah arbitrase ini.
"Kedaulatan, hak-hak maritim serta kepentingan China di Laut China Selatan tak akan berubah dan terpengaruh dengan keputusan ini," tambah Kemenlu.
"China akan melawan dan tidak akan menerima klaim atau tindakan yang didasarkan pada keputusan tersebut."
http://internasional.kompas.com/read....china.selatan
China Siap Hadapi Konfrontasi Militer di Laut China Selatan
Selasa, 5 Juli 2016 | 10:21 WIB

Seorang prajurit Filipina berjaga di pantai Pulau Pagasa di gugusan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang disengketakan
BEIJING, KOMPAS.com – China bersiap-siap menghadapi konfrontasi militer yang mungkin saja terjadi di Laut China Selatan.
Media pemerintah China, Global Times, Selasa (5/7/2016), melaporkan, sengketa tumpang tindih klaim di Laut China Selatan telah diperkeruh oleh kehadiran militer Amerik Serikat.
Dalam tulisan tajuk-nya, harian China tersebut mengatakan, saat ini Beijing sedang mempersiapkan diri menghadapi eskalasi ketegangan.
Ketegangan itu dikhawatirkan menjelang keputusan pengadilan atas perkara gugatan Filipina atas China terkait sengketa laut di Laut China Selatan.
Pernyataan media China itu muncul seminggu menjelang keputusan akhir dari Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag, Belanda, yang akan dibacakan pada 12 Juli ini.
Militer China menggelar latihan skala besar di pantai tenggara negaranya menjelang pelantikan pemimpin Taiwan.
Ketegangan telah meningkat karena China bersikeras takkan mematuhi apapun hasil keputusan di Den Haag itu.
Sementara Manila akan berpegang teguh pada keputusan itu, yang diperkirakan akan lebih banyak menguntungkan Filipina, ketimbang China. Keterlibatan militer AS di kawasan dikecam Beijing.
"Washington telah mengerahkan dua kapal induk di sekitar Laut Cina Selatan, dan ingin mengirim sinyal ketegangan. Hal itu tergantung pada kesabaran China," katanya.
China harus mempercepat peningkatan kemampuan pencegahan militernya, kata Global Times.
Sekalipun China takkan berseteru dengan AS secara militer dalam jangka pendek. Namun, China tidak boleh membiarkan AS ikut campur tangan dalam sengketa Laut China Selatan.
"China berharap sengketa dapat diselesaikan dengan perundingan, tetapi harus siap untuk konfrontasi militer. Ini sesuai akal sehat dalam hubungan internasional."
Sebelumnya telah dilaporkan bahwa China akan melakukan latihan militer di wilayah sengketa Laut China Selatan, sebelum keputusan mahkamah arbitrase internasional terkait klaim batas laut di perairan ini.
Latihan akan dilakukan di wilayah sekitar Kepulauan Paracel, demikian isi pernyataan badan keamanan maritim China, seperti kantor berita AFP dan BBC, Senin (4/7/2016).
China secara teratur mengadakan latihan sejenis meskipun Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan juga mengklaim di kawasan yang sama sebagai bagian teritori mereka.
Ketegangan meningkat menjelang keputusan pengadilan arbitrase yang diperkirakan akan dikeluarkan minggu depan, 12 Juli.
Latihan militer China akan dilakukan sejak 5 Juli hingga 11 Juli, tepat sehari menjelang putusan pengadilan arbitrase internasional di Den Haag.
China melarang kapal-kapal memasuki wilayah itu pada saat latihan berlangsung.
http://internasional.kompas.com/read...ampaign=Kaitrd
---------------------------------------------
Nggak bisa cara diplomasi seperti ke pengadilan Arbitrase di Den Haag itu, yaaa perang.. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran elit China, Dan ASEAN vs CHINA pun bukan tak mungkin akhirnya saling berhadap-hadapan dalam perang regional terbatas di wilayah LCT itu.
Diubah oleh aconkoe 15-07-2016 07:56
0
5.4K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan