Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jokolelono101Avatar border
TS
jokolelono101
Profesor Australia: Indonesia Tak Punya Kapasitas untuk Jadi Kekuatan Baru di Dunia
Profesor Australia: Indonesia Tak Punya Kapasitas untuk Jadi Kekuatan Baru di Dunia

Profesor Richard Robison saat memberikan kuliah umum dengan topik "Why Indonesia Will Not Be The Next Rising Power in Asia" di kampus Universitas Melbourne, Selasa (5/7/2016) malam.

MELBOURNE, KOMPAS.com - Indonesia diprediksi tidak akan menjadi kekuatan baru, baik di Asia maupun di pentas internasional, sebagaimana diperkirakan selama ini.

Tidak terlihat adanya intensi dan kapasitas pemimpin politik dan ekonomi untuk memproyeksikan kekuatan Indonesia menjadi salah satu penyebabnya.

Demikian kesimpulan yang dapat ditarik dari kuliah umum Profesor Richard Robison di kampus Universitas Melbourne, Selasa (5/7/2016) malam.

Kegiatan ini dilaksanakan mahasiswa asal Indonesia di Universitas Melbourne yang dipandu oleh dosen di universitas tersebut, Profesor Vedy R. Hadiz.


Richard terkenal dengan karya-karyanya mengenai ekonomi politik Indonesia, di antaranya "Indonesia: The Rise of Capital" yang telah menjadi buku referensi yang berpengaruh.

Dalam pemaparannya, Richard mengkritisi anggapan populer saat ini mengenai "kebangkitan Indonesia" sebagai kekuatan regional dan internasional.

Banyak pakar berpendapat, kebangkitan tersebut didorong kemampuan menjaga pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan melewati transisi demokrasi.

Selain itu, Indonesia juga dipuji sebagai model bagaimana demokrasi berjalan di negara mayoritas Muslim.

Namun Richard mempertanyakan dasar-dasar pandangan tersebut. Dia menyebutkan, kekuatan ekonomi dan sosial di Indonesia dibangun dengan cara yang tidak mensyaratkan proyeksi eksternal kekuatan negara.

Catatan historis membuktikan, konstelasi domestik kepentingan-kepentingan sosial cenderung menentukan apakah proyeksi kekuatan negara diperlukan dalam kebangkitannya.

Dalam sesi diskusi, salah satu peserta menanyakan apakah Indonesia memang tidak memiliki intensi dan kapasitas untuk memproyeksikan kekuatan negara ke panggung internasional?

"Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat," jawab Richard.

"Dan negara yang kuat itu diukur dari kemampuannya mempengaruhi the setting of rules dan seterusnya," sambung dia.

"Dalam realitasnya yang kita lihat, ada dua atau tiga blok dengan satu blok yang sangat dominan. Coba lihat Uni Eropa yang masih terus bertarung dengan AS dalam isu perdagangan dan hak cipta intelektual," ungkap dia.

"AS benar-benar memegang hegemoni dalam bidang ini," tegas dia.

Dengan demikian banyak negara, kata Richard, sangat sulit untuk bisa masuk dan mempengaruhi hal itu.

"Yang paling bisa mereka lakukan adalah memenangkan perdebatan di forum ini atau di forum itu, dan mencoba menegosiasikan satu hal," kata dia lagi.

Dia lalu mengatakan, "pertarungan besar" berada di luar jangkauan kebanyakan negara, termasuk Indonesia.

"Inilah salah satu alasan mengapa kita melihat, argumen mengenai kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan baru Asia memiliki kelemahan," ungkapnya.

"Indonesia mungkin memiliki intensi untuk menunjukkan pengaruhnya, tapi dalam bidang apa?" sambung Richard.

Menurut dia, tidak ada pengembangan suatu tujuan yang jelas untuk misalnya mengekspor keahlian tertentu.

"Saya berpendapat bahwa tidak adanya intensi ini karena tidak ada desakan dari dalam, bisa dikatakan perekonomian domestik itu, semuanya menyangkut perdebatan mengenai deal-deal terbaik secara domestik semata-mata," paparnya.

"Dan tentu saja, tidak perlu dipertanyakan bahwa Indonesia tak memiliki kapasitas memproyeksikan kekuatan dirinya ke panggung internasional," ujar Richard.

Kuliah umum dan diskusi yang berlangsung dua jam tersebut juga dihadiri Konsul Jenderal RI untuk Victoria dan Tasmania Dewi Wahab.

Dalam diskusi, Konjen Dewi, mengaku berbeda pendapat dengan Richard. Dia lalu mengajukan sejumlah contoh keberhasilan diplomasi RI di berbagai isu internasional.

Namun Richard menegaskan, poin utama dari kuliahnya adalah pada dasar-dasar argumen tentang kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan baru. Menurut Richard hal itu sangat lemah.

Dia menyatakan tidak melihat adanya perencanaan maupun upaya sistematis secara domestik untuk memproyeksi kekuatan negara RI ke pentas internasional.

Richard kini adalah profesor emeritus pada Asia Research Centre di Universitas Murdoch. Dia juga pernah menjabat Profesor dan Direktur Australian Research Council’s Special Centre for Research on Politics and Society in Contemporary Asia

Riset Ekonom Faisal Basri: Sangat Kecil Peluang Indonesia Tampil Jadi Negara Berpendapatan Tinggi


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengutip laporan hasil penelitiannya, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyatakan, peluang Indonesia tampil menjadi negara berpendapatan tinggi sangat kecil di masa datang.

Bahkan menurutnya, peluang tersebut hanya sekitar 3 persen.

Adapun peluang Indonesia untuk terperangkap dalam pendapatan rendah sangat besar, yakni mencapai 80 persen.

Dalam sebuah studinya bertajuk 'Mengelak dari Jebakan Penghasilan Menengah di Indonesia: Analisa Risiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional', Faisal menjelaskan. peluang Indonesia untuk menjadi negara pendapatan menengah hanya 16 persen.

"Kinerja ekonomi Indonesia juga sangat sensitif terhadap krisis yang bersifat eksternal dan memerlukan waktu yang lama untuk kembali pulih. Padahal perekonomian Indonesia dibandingkan tahun 1960 relatif semakin agak tertutup perekonomiannya jika diukur dari peran ekspor barang terhadap Produk Domestik Bruto secara Paritas Daya Beli," kata Faisal Basri dalam diskusi di Unika Atma Jaya, Senin (18/4/2016).

Faisal menyebut, struktur ekspor Indonesia saat ini masih belum memperlihatkan perbaikan dalam meningkatkan peran dari ekspor berbasis teknologi tinggi. Nilai kontribusinya dalam ekspor juga sangat rendah dan semakin menurun.

Adapun kinerja sektor manufaktur juga lemah. Sementara itu, sumber daya manusia Indonesia amat lemah terutama dalam kualitas.

Lemahnya kemampuan kognitif pelajar Indonesia harus segera diperbaiki agar transformasi perekonomian Indonesia mampu bergerak mulus dari ketergantungan kepada industri berbasis upah murah menuju basis produksi dengan keahlian lebih tinggi.

"Untuk menghindar dari perangkap pendapatan rendah dan menengah, solusinya hanya melalui penguatan sektor industri. Untuk itu, peran kepemimpinan nasional dalam hal ini Presiden sangat vital dan sangat menentukan. Nawacita harus digunakan untuk menyukseskan kebijakan industri," jelas Faisal.

Profesor Australia: Indonesia Tak Punya Kapasitas untuk Jadi Kekuatan Baru di Dunia


http://internasional.kompas.com/read...campaign=Khlwp

http://www.tribunnews.com/bisnis/201...dapatan-tinggi


http://www.cebr.com/reports/welt-2016/
Diubah oleh jokolelono101 08-07-2016 07:17
0
3.1K
22
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan