Satu.

Suara takbir dan mercon terdengar saling bersahutan.
Ah ini dia, malam takbir datang lagi!
Alhamdulillah, terimakasih atas kesempatan hidup yang lagi-lagi masih diperpanjang hingga hari ini, semoga tahun depan aku masih bisa melepas rindu dengan ramadhan.

Sudah tahun ke-14. Di setiap malam takbir selalu seperti ini,
Kau turunkan aku di lapangan tempat dulu kita biasa shalat Ied dengan lengkap.
Kemudian aku melambaikan tangan, memandangi punggungmu hingga menghilang di ujung jalan.
"Jangan lupa kabari kalau sudah sampai rumah ya, Pa"

Sepanjang jalan tak henti kita membahas Freddy Mercury yang tak pernah ada gantinya, menyebutkan judul lagu-lagu Queen yg tak pernah dimakan zaman, bercerita soal kaset The Beatles dan Rolling Stones yang kau koleksi tapi kemudian lupa disimpan dimana. Aku selalu ingat, kau selalu menyempatkan membahas itu semua di waktu2 singkat pertemuan kita.

Sudah tahun ke-14. Wajah sendu itu selalu terlihat di setiap tahun. Di setiap kau mengantarku di malam takbir. Maksudku, di setiap aku pamit.
"Hati-hati di jalan, Pa"
Aku, kalau aku tersenyum, mataku akan semakin menyipit.
Aku tersenyum lebar. Berusaha selebar mungkin.
Agar kaca-kaca di mataku tersamarkan.
Agar kaca-kaca di matamu tak terlihat pantulannya di mataku.

Ini tahun ke-14. Perjalanan kita di malam takbir selalu lebih lambat dari perjalanan normal biasanya. Rasa2nya kecepatanmu dalam berkendara berada disitu-situ saja. Semakin dekat dengan tujuan, semakin lambat pula kau berkendara.

Ketika tiba, kau akan memandangi wajahku agak lama sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.

"Lagi apa kak? Papa masih di jalan nih"
Belum ada 30 menit berlalu.
Rindu jelas terdengar dan terasa dari ujung sana.

Aku rindu, sama sepertimu, Pa.
Masih ingin menyimak kau bercerita ingatan2 tentang kenakalanku di masa kecil sambil sesekali terkekeh.
Tapi aku masih saja sembunyi.

Maafkan aku, Pa.

Sampai jumpa kembali.

Dua
Tiga