- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah #MercusuarMandiri | Video Lebaran Paling Mengharukan Gan !


TS
tuyulasik
Kisah #MercusuarMandiri | Video Lebaran Paling Mengharukan Gan !
Quote:
Kalian tentu tahu kan gan,
di bulan puasa dan menjelang hari raya seperti ini selain iklan sirop
banyak iklan atau video yang menggugah perasaan
di bulan puasa dan menjelang hari raya seperti ini selain iklan sirop

banyak iklan atau video yang menggugah perasaan

Quote:

Dari beberapa video yang ane lihat menurut ane inilah video yang paling keren gan!

Ceritanya tentang seorang lelaki penjaga mercusuar di sebuah pulau terpencil.
Bagaimana ia melewati hari-hari seorang diri, jauh dari sanak famili.
Biar lebih meresapi nih ane kasih ceritanya juga

Spoiler for Jangan mewek:
Pulau Lengkuas sudah tidak asing lagi bagi para pejalan. Selain karena alamnya yang cantik, pulau ini menjadi sangat ikonik karena keberadaan mercusuarnya yang sudah ada sejak jaman Belanda. Jadi cukup historis, Gan.

Sebagai destinasi wisata, Pulau Lengkuas dapat diakses dari Tanjung Kelayang, Belitung dengan menyeberang menggunakan perahu motor selama setengah jam. Sesampainya di pulau ini, para pejalan bisa menikmati alam Pulau Lengkuas: pantai dengan pasir putih, laut teduh berwarna turquoise, dan barisan batu granit raksasa khas pantai-pantai di Belitung.
Nah, masalahnya, dari sekian banyak pejalan, fotografer atau blogger yang datang ke Pulau Lengkuas, selalu saja yang diulas adalah panorama alamnya yang spektakuler. Jarang sekali ada yang menulis tentang kehidupan para penghuninya.
Padahal, selain segerombolan biawak, sekawanan penyu, beberapa jenis krustasea dan burung laut, Pulau Lengkuas juga dihuni oleh dua orang manusia. Jika para turis datang dan pergi, dua orang ini menetap. Hidup dan menghidupi. Menjadi bagian dari ekosistem dan daur kehidupan di pulau tersebut.
Salah satu dari dua orang penjaga Pulau Lengkuas bernama Suherman, sesosok pria paruh baya berkulit legam karena terlalu lama mencumbu lautan. Matanya teduh, tutur katanya terjaga. Sesekali saya masih bisa mendengar logat Betawinya yang kental.
“Saya lahir dan besar di Priok, Mas…” kata Suherman. Siang itu kami duduk di balai dinasnya dan Ia mulai bercerita bahwa setengah hidupnya habis untuk menjaga batas-batas laut negeri ini. “Saya jadi penjaga mercusuar sejak tahun 1990, sedangkan umur saya tahun ini lima puluh dua.”
Herman ingat betul, bahwa tugas pertamanya sebagai penjaga mercusuar adalah Pulau Srutu, sebuah pulau kecil di Selat Karimata. Ia menggambarkan keadaan di pulau itu serbasulit. Kontur tanahnya berbukit batu. Letaknya jauh dari mana-mana.
Sebulan sekali, ketika ransum datang, ia harus menuruni bukit, lalu membawanya kembali ke mercusuar yang ada di puncak bukit. Karena medannya cukup berat, ditambah beban ransum yang tidak enteng, sehari Herman hanya bisa mencicilnya tiga kali. Jika ada ransum lebih, ia tinggalkan di pinggir pantai untuk diambil keesokan harinya. “…yang penting mah ransum makanannya diselametin dulu,” kata Herman.
Di Pulau Lengkuas pun sebetulnya kehidupan Herman tidak mudah. Air bersih jadi kendala utama. Hidup di sebuah pulau yang tidak memiliki sumber mata air sendiri, memaksa Herman untuk pandai-pandai menyimpan dan menggunakan air bersih.
Baginya, air tawar adalah benda yang sangat berharga. Karena untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Air tawar yang tersedia di Pulau Lengkuas adalah air tadah hujan. Tidak ada sumur artesis atau PDAM.
“Makanya saya suka kesel tuh sama turis yang datang, mereka numpang kencing atau mandi tapi komplain karena airnya asin. Lah mereka pikir pulau ini resort apa?” kata Herman,”Pulau ini tempat kerja, bukan tempat wisata!"
Pulau Lengkuas, sejak zaman kolonial memang diperuntukkan sebagai titik penting navigasi laut. Nama Lengkuas sendiri sebetulnya adalah versi slang masyarakat lokal untuk menyebut mercusuar atau rumah lampu, licht huis dalam bahasa Belanda.
Kepangkatan yang diterima oleh Herman dan puluhan penjaga mercusuar lain di negeri ini juga masih menggunakan sistem yang digunakan Belanda, yang saat ini berada langsung di bawah Menteri Perhubungan, bukan Kementerian Pariwisata.
Saya pasti bisa memahami kejengkelan Herman, karena saya tahu betul kedegilan para turis. Memang sudah kodratnya para turis di era digital untuk selalu haus eksotika dan berburu citra, tapi selalu alfa untuk memahami sebuah destinasi lebih dalam lagi. Mereka bertingkah seperti kawanan, datang dalam gerombolan, untuk mampir dan kemudian pergi lagi.
Jika para turis pergi hanya meninggalkan kenangan dan kesan, tentu bole-bole saja. Masalahnya para turis pergi dengan meninggalkan sampah, Gan. Ini masalah klasik pariwisata di Indonesia yang sekarang juga menjadi masalah krusial di Pulau Lengkuas.
“Kalau para turis itu niatnya baik, tolong bawa itu sampah pulang,” kata Herman di tengah obrolan. Saya yang juga turis ini merasa tertohok.
Saat berkeliling pulau yang luasnya tidak seberapa ini, saya memang melihat ada beberapa tumpukan sampah yang ditinggalkan para turis. Pada sore hari, banyak biawak yang berkerumun mengais sisa-sisa makanan dari tumpukan sampah yang mulai menggunung itu. Saya bisa mencium bau amis dan busuk yang menguar. Bungkus permen dan makanan ringan berceceran di sela rerumput. Sesekali Herman dan rekannya meluangkan waktu untuk membakar tumpukan sampah itu, sekedar untuk mengurangi volume, tapi tidak bisa menyembuhkan pangkal penyakitnya.
Saya sepakat dengan Paul Theroux, penulis perjalanan terkenal, yang pernah bilang, “Ketika sebuah destinasi disebut surga, maka saat itu juga ia berubah menjadi neraka.”

Namun, bagaimana pun juga Herman bangga sekali dengan pekerjaannya. Ia merasa, pekerjaan yang ia jalani memiliki harkat yang sangat tinggi. Karena sudah menjadi tugasnya untuk memberi petunjuk jalan pada nelayan, atau menghindarkan pelaut dari maut.
Hanya saja, sebagai seorang yang bekerja jauh dari keluarga, ia merasa memiliki rindu yang tak pernah tuntas. Pada istrinya, pada ketiga anaknya. “Anak saya yang pertama kuliah di UHAMKA, yang kedua SMK, yang paling kecil masih SD,” kata Herman.
Kesempatannya untuk pulang dan bertemu dengan anak-anak hanya terjadi setiap setengah tahun sekali. Itu pun untuk waktu yang tidak lama karena harus bergantian dengan rekannya. Jika satu orang pulang, yang satu harus stand by.

Saya tidak sempat tanya Herman, bagaimana rasanya jika menjaga pulau seorang diri? Barangkali gambaran yang paling dekat bisa didapat dari video mercusuar Mandiri di bawah ini, atau jika Agan ingat film klasik berjudul "Cast Away" yang dibintangi Tom Hanks.

Quote:
Nah biar gak penasaran ini gan video yang ane ceritain tadi 
ada 2 part jadi nontonnya pelan-pelan dan diresapi

ada 2 part jadi nontonnya pelan-pelan dan diresapi

Quote:
Part 1

Quote:
Part 2

Nah gimana menurut ente gan

ditunggu komennya yak

0
2.3K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan