- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ciuman Pertamaku hanya untuk ...


TS
GoldenLeader
Ciuman Pertamaku hanya untuk ...
Erix Imam Rizki, itu namanku. Setidaknya, itu nama terakhirku yang aku ketahui setelah beberapa kali Papa dan Mama mengganti namaku. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara dan aku adalah anak lelaki satu-satunya. Aku terlahir sebagai seorang pendiam, bahkan terkadang sangat pendiam, tapi... aku menikmatinya.
“Barangnya udah di tas semua kan?” tanya Papa.
“Udah semua kok Pa. Erix naik ke bus sekarang ya Ma, Pa, Kakak,” balasku sambil menyalami mereka.
“Iya. Hati-hati ya Rix. Nanti sampai disana telpon Om Ian ya biar dijemput. Salam ya buat semua,” jawab Mama.
“Iya Ma, Insya Allah,” jawabku sambil tersenyum sambil menaiki bus yang akan melaju membawaku.
MALAM INI, aku akan berangkat ke Medan. Aku akan mengunjungi Om dan Tanteku. Sejak kuliah, aku sudah tidak pernah lagi ke tempat mereka. Rasanya tidak adil jika hanya Om dan Tanteku saja yang terus-terusan pulang ke Aceh, sedangkan aku tidak pernah mengunjungi mereka. Kebetulan saat ini ada libur 3-5 hari menjelang ujian final.
Dinginnya AC bus ditambah cuaca malam hari dan alunan musik blues membuat siapa saja yang ada di bus ini terlelap dengan nyenyaknya. Tak terkecuali denganku, mataku juga terasa semakin berat menutup mata dengan secepatnya. “Aceh, sampai jumpa lagi 1 minggu kemudian,” ucapku dalam hati, seraya menyelimuti diri dengan selimut yang disediakan di bus. Perjalanan ke Medan malam ini pun aku lewatkan dengan tidur.
Suara azan Subuh membangunkanku dan semua penumpang. Rupanya, kami baru saja tiba di terminal bus Medan. Aku melihat ke arah jam yang di pasang di dekat TV bus menunjukan pukul 05:00 WIB dan aku tersadar akan satu hal, dari semalam aku lupa memberitahu Om Ian untuk menjemputku ke terminal. “Ah sudahlah, naik betor (becak motor) saja,” pikirku saat itu. Kemudian aku pun turun sambil membawa tas punggungku. Ketika turun dari bus, salah satu betor langsung menghampiriku.
“Ayo, sama saya aja Bang. Mau kemana?” tanya abang betornya ramah.
“Antar ke Bumi Asri ya Bang,” jawabku sambil naik ke betornya.
“Oke Bang. Gerak kita,”balasnya lagi.
Pagi ini terasa begitu damai, apalagi ketika angin subuh membelai mukaku secara perlahan. Terasa begitu dingin dan sangat nyaman. Maklum, moment seperti ini sangat jarang ku dapatkan. Aku bukanlah tipe morning person yang bisa bangun pagi dengan mudahnya. “Seandainya bisa setiap hari begini,” ucapku dalam hati. Ketika di jalan, tidak banyak percakapan antara aku dengan abang betornya, hanya sedikit obrolan ringan saja.
“Itu Bang, yang dekat mushalla ya.” kataku setelah memasuki komplek.
“Owh. Iya Bang,” balasnya.
Akhirnya, sampai juga di rumahnya Om Ian. Aku turun dari betor dan membayar ongkos betornya seraya mengucapkan terima kasih. Aku pun berjalan menuju rumah Om Ian.
“Assalamualaikum...” ucapku sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam. Siapa ya?” jawab seorang wanita di dalam, tidak lama setelah mendengar salamku.
“Ini Erix, Tante.” jawabku dan dengan cepat membuka pintunya.
“Erix, kamu kapan kesininya? Kok gak bilang-bilang! Kan bisa dijemput sama Om Ian.”
“Barusan sampainya Tante. Semalam lupa ngabarin Om Ian. Hehe” jawabku lagi sambil menyalaminya.
Aku pun disuruh masuk oleh Tante Lia dan diantar ke kamar Bang Dion, abang sepupuku.
“Kamu tidur disini aja ya Rix. Bang Dionnya kan lagi di Jakarta, bulan depan baru balik. Atau kamu mau di kamar tamu aja?”
“Udah, saya di kamar Bang Dion aja. Disini banyak yang bisa dimainin,” kataku sambil melirik komputer dan beberapa alat musiknya.
“Ya udah, kamu istirahat aja dulu Rix. Om Ian masih di mushalla, tadi mungkin gak liat kamu.”
“Owh iya Tante, gak apa-apa,”
Aku merebahkan badan sebentar di kasur, lalu tiba-tiba teringat belum shalat Subuh. Aku pun bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan shalat Subuh. Selesai shalat aku duduk di teras sambil menunggu Om Ian pulang. Tidak berapa lama, Om Ian pun pulang. Dia terkejut dan heran melihatku di depan rumahnya.
“Hah, Erix? Kamu kapan sampainya?”
“Barusan Om, sekitar satu jam yang lalu,”
“Kamu sendirian? Kenapa gak telpon Om, kan bisa Om jemput,”
“Iya sendirian. Maunya sih gitu Om, tapi semalam kelupaan. Hehe,” jawabku dan kemudian kami melanjutkan obrolan ringan yang bahasannya tentang kuliahku dan keluarga di rumah.
SIANG HARI aku terjaga dari tidurku. Setelah ngobrol tadi pagi sama Om Ian aku memutuskan untuk tidur, Om Ian dan Tante Lia juga berangkat kerja dan aku sendirian di rumah tidak tahu mau ngapain. Walaupun hari ini begitu membosankan, tapi waktu tetap berjalan dengan begitu cepat. Tidak terasa siang sudah berganti malam dan jam sudah menunjukan waktu pukul 22:00 WIB.
Aku merebahkan diri ke kasur, namun tiba-tiba handphoneku diatas meja berdering karena ada panggilan masuk. Aku bangun dan mengambilnya, lalu kembali merebahkan diri ke kasur sambil mengangkat panggilan tersebut.
“Halo... Rix, kamu di Medan ya? Kok gak ngasih tau?”
“Iya, ini di Medan. Lah, itu kamu kan udah tau, Sya?”
“Iya tau, tapi bukan kamunya yang kasih tau. Tadi aku liat tweetmu di Twitter,”
“Iya-iya maaf. Rencananya sih besok mau aku kasih tau,”
“Eh, besok aku jemput ya? Kirim alamatmu yah!”
“Hmm... Mau kemana? Besok hari Minggu aku mau tiduran di rumah,”
“Pokoknya besok jam 10 pagi aku jemput. Titik! Alamatnya jangan lupa.” dan panggilan pun diputuskan dengan sepihak.
“Huh! Tasya... Tasya...,” ucapku pelan.
Tasya adalah kenalanku dan juga temanku. Aku bertemu dengannya ketika terakhir kali aku ke Medan, saat libur kenaikan kelas 3 SMA. Siang itu, aku pulang mengantar pulang Bang Dion ke kampusnya. Dalam perjalanan pulang tersebut, aku melihat seorang wanita yang sedang mendorong motornya yang kempes. Aku pun melewatinya dan tidak menawarkan bantuan karena saat itu aku berpikir ada tempat tambal ban yang dekat di depan. Aku melanjutkan perjalanannya. Sudah 500 meter aku melaju, tapi aku tidak melihat ada tempat tambal ban. Aku juga baru ingat, di daerah itu tempat sepi dan rawan kriminal. Aku memutar balik motor dan kembali ke arah wanita tadi. Aku melihatnya sudah tidak lagi mendorong motor. Dia duduk disamping motornya sambil menangis sesunggukan. Aku berhenti tepat di depan motornya kemudian turun dari motorku.
“Bannya kempes?” tanyaku membuka obrolan.
“Iya,” jawabnya singkat sambil menyeka air matanya.
“Aku bantu dorong ya, soalnya tambal bannya jauh dan juga disini daerah rawan kriminal,”
“Iya,” jawabnya masih singkat.
Kemudian, aku pun menyuruh gadis itu untuk mengendarai motorku dan aku mendorong motornya. Dia mengikutiku pelan dari belakang. Sesekali dia juga minta gantian untuk mendorongnya, mungkin karena merasa tidak enak. Aku hanya tersenyum dan terus mendorongnya. 750 meter lebih, rupanya ada tempat tambal ban. Aku mendorong motornya ke tempat tambal ban tersebut. Aku pun tersenyum lega.
“Makasih ya,” ucapnya sambil tersenyum.
“Iya, sama-sama,” ucapku sambil tersenyum juga.
“Oh ya, kenalin, namaku Tasya,” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Namaku Erix,” jawabku juga sambil membalas jabatan tangannya.
“Sekali lagi makasih yah,”
“Iya-iya. Hehehe,”
“Ya udah kalau gitu aku pulang dulu ya,” kataku.
“Eh eh... Masa langsung pulang. Aku gak enak dong udah ngerepotin kamu. Aku traktir minum dulu gimana?”
“Hmm... boleh deh.” kemudian kami berjalan menuju kios depan.
Di kios itu kami berbincang-bincang sedikit. Arah perbincangannya masih seputar pribadi. Umurku dan umurnya tidak jauh berbeda, hanya beda 1 tahun. Tasya dari logatnya bukan orang Medan. Aku memberanikan diri dan menanyakannya. Rupanya memang benar Tasya bukan orang Medan asli. Dia asli Jakarta, tapi keluarganya pindah ke Medan beberapa bulan yang lalu ikut Papanya yang dinas di Medan. “Owalah, pantes logatnya gak Medan dan wajahnya mirip artis, rupanya Jakarta toh,” kataku dalam hati. Obrolan pun berlanjut dan meluas ke bahasan pendidikan, dan lain-lain.
“Dek, tambal bannya udah siap ini.” teriak tukang tambal ban di seberang jalan. Tasya pun membayar minuman di kios lalu kami ke tempat tambal ban.
“Makasih ya Pak. Ini berapa ongkosnya?” tanya Tasya.
“10 ribu aja Dek,”
“Ini Pak,” kata Tasya sambil menyerahkan selembar uang.
“Kalau gitu aku pulang dulu ya,” kataku.
“Iiiya... Eh, boolleh minta nomor kamu Rix?” tanyanya sedikit ragu.
“Oh, boleh. Sini handphonenya kamu biar aku catat.”
“Ini Rix. Handphonemu juga dong, biar aku catat nomorku” kata Tasya sambil menyerahkan handphonenya.
“Oh iya, nih” jawabku sambil menyerahkan handphoneku.
Tidak beberapa lama:
“Nih, udah Rix.”
“Owh, ini udah juga Sya.” sambil mengembalikan handphonenya.
“Erix Imam Rizki?” tanyanya.
“Aldella Natasya?” tanyaku.
Kami pun saling tersenyum.
Itu adalah kisah pertemuanku yang pertama dan terakhir dengan Tasya. Setelah hari itu kami tidak pernah lagi berjumpa karena aku kembali ke Aceh. Meskipun begitu, kami sangat akrab hingga sekarang walaupun hanya hanya berkomunikasi melalui telpon dan Twitter.
“Sekian tahun kami kita tidak berjumpa. Kira-kira seperti apa Tasya sekarang ya?” ucapku sambil melamun diatas kasur. Aku pun tertidur dalam lamunanku.
***
Part #1
“Barangnya udah di tas semua kan?” tanya Papa.
“Udah semua kok Pa. Erix naik ke bus sekarang ya Ma, Pa, Kakak,” balasku sambil menyalami mereka.
“Iya. Hati-hati ya Rix. Nanti sampai disana telpon Om Ian ya biar dijemput. Salam ya buat semua,” jawab Mama.
“Iya Ma, Insya Allah,” jawabku sambil tersenyum sambil menaiki bus yang akan melaju membawaku.
MALAM INI, aku akan berangkat ke Medan. Aku akan mengunjungi Om dan Tanteku. Sejak kuliah, aku sudah tidak pernah lagi ke tempat mereka. Rasanya tidak adil jika hanya Om dan Tanteku saja yang terus-terusan pulang ke Aceh, sedangkan aku tidak pernah mengunjungi mereka. Kebetulan saat ini ada libur 3-5 hari menjelang ujian final.
Dinginnya AC bus ditambah cuaca malam hari dan alunan musik blues membuat siapa saja yang ada di bus ini terlelap dengan nyenyaknya. Tak terkecuali denganku, mataku juga terasa semakin berat menutup mata dengan secepatnya. “Aceh, sampai jumpa lagi 1 minggu kemudian,” ucapku dalam hati, seraya menyelimuti diri dengan selimut yang disediakan di bus. Perjalanan ke Medan malam ini pun aku lewatkan dengan tidur.
Suara azan Subuh membangunkanku dan semua penumpang. Rupanya, kami baru saja tiba di terminal bus Medan. Aku melihat ke arah jam yang di pasang di dekat TV bus menunjukan pukul 05:00 WIB dan aku tersadar akan satu hal, dari semalam aku lupa memberitahu Om Ian untuk menjemputku ke terminal. “Ah sudahlah, naik betor (becak motor) saja,” pikirku saat itu. Kemudian aku pun turun sambil membawa tas punggungku. Ketika turun dari bus, salah satu betor langsung menghampiriku.
“Ayo, sama saya aja Bang. Mau kemana?” tanya abang betornya ramah.
“Antar ke Bumi Asri ya Bang,” jawabku sambil naik ke betornya.
“Oke Bang. Gerak kita,”balasnya lagi.
Pagi ini terasa begitu damai, apalagi ketika angin subuh membelai mukaku secara perlahan. Terasa begitu dingin dan sangat nyaman. Maklum, moment seperti ini sangat jarang ku dapatkan. Aku bukanlah tipe morning person yang bisa bangun pagi dengan mudahnya. “Seandainya bisa setiap hari begini,” ucapku dalam hati. Ketika di jalan, tidak banyak percakapan antara aku dengan abang betornya, hanya sedikit obrolan ringan saja.
“Itu Bang, yang dekat mushalla ya.” kataku setelah memasuki komplek.
“Owh. Iya Bang,” balasnya.
Akhirnya, sampai juga di rumahnya Om Ian. Aku turun dari betor dan membayar ongkos betornya seraya mengucapkan terima kasih. Aku pun berjalan menuju rumah Om Ian.
“Assalamualaikum...” ucapku sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumsalam. Siapa ya?” jawab seorang wanita di dalam, tidak lama setelah mendengar salamku.
“Ini Erix, Tante.” jawabku dan dengan cepat membuka pintunya.
“Erix, kamu kapan kesininya? Kok gak bilang-bilang! Kan bisa dijemput sama Om Ian.”
“Barusan sampainya Tante. Semalam lupa ngabarin Om Ian. Hehe” jawabku lagi sambil menyalaminya.
Aku pun disuruh masuk oleh Tante Lia dan diantar ke kamar Bang Dion, abang sepupuku.
“Kamu tidur disini aja ya Rix. Bang Dionnya kan lagi di Jakarta, bulan depan baru balik. Atau kamu mau di kamar tamu aja?”
“Udah, saya di kamar Bang Dion aja. Disini banyak yang bisa dimainin,” kataku sambil melirik komputer dan beberapa alat musiknya.
“Ya udah, kamu istirahat aja dulu Rix. Om Ian masih di mushalla, tadi mungkin gak liat kamu.”
“Owh iya Tante, gak apa-apa,”
Aku merebahkan badan sebentar di kasur, lalu tiba-tiba teringat belum shalat Subuh. Aku pun bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan shalat Subuh. Selesai shalat aku duduk di teras sambil menunggu Om Ian pulang. Tidak berapa lama, Om Ian pun pulang. Dia terkejut dan heran melihatku di depan rumahnya.
“Hah, Erix? Kamu kapan sampainya?”
“Barusan Om, sekitar satu jam yang lalu,”
“Kamu sendirian? Kenapa gak telpon Om, kan bisa Om jemput,”
“Iya sendirian. Maunya sih gitu Om, tapi semalam kelupaan. Hehe,” jawabku dan kemudian kami melanjutkan obrolan ringan yang bahasannya tentang kuliahku dan keluarga di rumah.
SIANG HARI aku terjaga dari tidurku. Setelah ngobrol tadi pagi sama Om Ian aku memutuskan untuk tidur, Om Ian dan Tante Lia juga berangkat kerja dan aku sendirian di rumah tidak tahu mau ngapain. Walaupun hari ini begitu membosankan, tapi waktu tetap berjalan dengan begitu cepat. Tidak terasa siang sudah berganti malam dan jam sudah menunjukan waktu pukul 22:00 WIB.
Aku merebahkan diri ke kasur, namun tiba-tiba handphoneku diatas meja berdering karena ada panggilan masuk. Aku bangun dan mengambilnya, lalu kembali merebahkan diri ke kasur sambil mengangkat panggilan tersebut.
“Halo... Rix, kamu di Medan ya? Kok gak ngasih tau?”
“Iya, ini di Medan. Lah, itu kamu kan udah tau, Sya?”
“Iya tau, tapi bukan kamunya yang kasih tau. Tadi aku liat tweetmu di Twitter,”
“Iya-iya maaf. Rencananya sih besok mau aku kasih tau,”
“Eh, besok aku jemput ya? Kirim alamatmu yah!”
“Hmm... Mau kemana? Besok hari Minggu aku mau tiduran di rumah,”
“Pokoknya besok jam 10 pagi aku jemput. Titik! Alamatnya jangan lupa.” dan panggilan pun diputuskan dengan sepihak.
“Huh! Tasya... Tasya...,” ucapku pelan.
Tasya adalah kenalanku dan juga temanku. Aku bertemu dengannya ketika terakhir kali aku ke Medan, saat libur kenaikan kelas 3 SMA. Siang itu, aku pulang mengantar pulang Bang Dion ke kampusnya. Dalam perjalanan pulang tersebut, aku melihat seorang wanita yang sedang mendorong motornya yang kempes. Aku pun melewatinya dan tidak menawarkan bantuan karena saat itu aku berpikir ada tempat tambal ban yang dekat di depan. Aku melanjutkan perjalanannya. Sudah 500 meter aku melaju, tapi aku tidak melihat ada tempat tambal ban. Aku juga baru ingat, di daerah itu tempat sepi dan rawan kriminal. Aku memutar balik motor dan kembali ke arah wanita tadi. Aku melihatnya sudah tidak lagi mendorong motor. Dia duduk disamping motornya sambil menangis sesunggukan. Aku berhenti tepat di depan motornya kemudian turun dari motorku.
“Bannya kempes?” tanyaku membuka obrolan.
“Iya,” jawabnya singkat sambil menyeka air matanya.
“Aku bantu dorong ya, soalnya tambal bannya jauh dan juga disini daerah rawan kriminal,”
“Iya,” jawabnya masih singkat.
Kemudian, aku pun menyuruh gadis itu untuk mengendarai motorku dan aku mendorong motornya. Dia mengikutiku pelan dari belakang. Sesekali dia juga minta gantian untuk mendorongnya, mungkin karena merasa tidak enak. Aku hanya tersenyum dan terus mendorongnya. 750 meter lebih, rupanya ada tempat tambal ban. Aku mendorong motornya ke tempat tambal ban tersebut. Aku pun tersenyum lega.
“Makasih ya,” ucapnya sambil tersenyum.
“Iya, sama-sama,” ucapku sambil tersenyum juga.
“Oh ya, kenalin, namaku Tasya,” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Namaku Erix,” jawabku juga sambil membalas jabatan tangannya.
“Sekali lagi makasih yah,”
“Iya-iya. Hehehe,”
“Ya udah kalau gitu aku pulang dulu ya,” kataku.
“Eh eh... Masa langsung pulang. Aku gak enak dong udah ngerepotin kamu. Aku traktir minum dulu gimana?”
“Hmm... boleh deh.” kemudian kami berjalan menuju kios depan.
Di kios itu kami berbincang-bincang sedikit. Arah perbincangannya masih seputar pribadi. Umurku dan umurnya tidak jauh berbeda, hanya beda 1 tahun. Tasya dari logatnya bukan orang Medan. Aku memberanikan diri dan menanyakannya. Rupanya memang benar Tasya bukan orang Medan asli. Dia asli Jakarta, tapi keluarganya pindah ke Medan beberapa bulan yang lalu ikut Papanya yang dinas di Medan. “Owalah, pantes logatnya gak Medan dan wajahnya mirip artis, rupanya Jakarta toh,” kataku dalam hati. Obrolan pun berlanjut dan meluas ke bahasan pendidikan, dan lain-lain.
“Dek, tambal bannya udah siap ini.” teriak tukang tambal ban di seberang jalan. Tasya pun membayar minuman di kios lalu kami ke tempat tambal ban.
“Makasih ya Pak. Ini berapa ongkosnya?” tanya Tasya.
“10 ribu aja Dek,”
“Ini Pak,” kata Tasya sambil menyerahkan selembar uang.
“Kalau gitu aku pulang dulu ya,” kataku.
“Iiiya... Eh, boolleh minta nomor kamu Rix?” tanyanya sedikit ragu.
“Oh, boleh. Sini handphonenya kamu biar aku catat.”
“Ini Rix. Handphonemu juga dong, biar aku catat nomorku” kata Tasya sambil menyerahkan handphonenya.
“Oh iya, nih” jawabku sambil menyerahkan handphoneku.
Tidak beberapa lama:
“Nih, udah Rix.”
“Owh, ini udah juga Sya.” sambil mengembalikan handphonenya.
“Erix Imam Rizki?” tanyanya.
“Aldella Natasya?” tanyaku.
Kami pun saling tersenyum.
Itu adalah kisah pertemuanku yang pertama dan terakhir dengan Tasya. Setelah hari itu kami tidak pernah lagi berjumpa karena aku kembali ke Aceh. Meskipun begitu, kami sangat akrab hingga sekarang walaupun hanya hanya berkomunikasi melalui telpon dan Twitter.
“Sekian tahun kami kita tidak berjumpa. Kira-kira seperti apa Tasya sekarang ya?” ucapku sambil melamun diatas kasur. Aku pun tertidur dalam lamunanku.
***
Part #1
Diubah oleh GoldenLeader 01-07-2016 06:07


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan