- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Tekanan-tekanan yang dihadapi Inggris pasca-referendum


TS
BeritagarID
Tekanan-tekanan yang dihadapi Inggris pasca-referendum

Pengunjuk rasa berkumpul di depan Gedung Parlemen Inggris menolak hasil referendum, Jumat (24/6/2016) waktu Inggris.
Hasil referendum yang menunjukkan mayoritas warga Inggris ingin keluar dari Uni Eropa menjadi keputusan yang tidak mudah. Inggris kembali mendapatkan tekanan baik dari dalam maupun luar negeri atas keputusan tersebut.
Dari dalam negeri, keputusan itu mengundang aksi unjuk rasa yang tak henti oleh kelompok anak muda yang menentang hasil tersebut. Mereka mengaku kecewa. "Tidak ada perbatasan! Tidak ada Boris!" teriaknya.
Boris merujuk kepada Boris Johnson, politikus pendukung Brexit yang juga diusulkan sebagai salah satu pengganti David Cameron sebagai Perdana Menteri Inggris berikutnya.
Di London Timur, Glasgow dan Edinburgh, demonstran antirasisme berkumpul dan menyatakan dukungan mereka bagi pengungsi dan migran. Untuk diketahui, British Exit atau Brexit, diduga muncul atas ketakutan sebagian warga Inggris atas arus pengungsi dan migran yang masuk ke Inggris dan mengambil lahan pekerjaan mereka.
Perpecahan dalam negeri juga tak bisa dihindari. Menteri pertama Skotlandia mendesak perundingan secara langsung dengan Brussel, ibu kota negara Belgia, yang menjadi markas besar Uni Eropa.
Skotlandia, menjadi wilayah dengan perolehan suara bertahan di EU terbesar dalam referendum yang digelar Kamis (23/6/2016) waktu Inggris itu. Mereka tidak pernah menghendaki perceraian dengan UE.
Selain Cameron, wakil Inggris di Badan Eksekutif Uni Eropa, yang juga Komisioner Keuangan, Jonathan Hill, mengumumkan pengunduran diri pada Sabtu (25/6/2016) waktu Brussel. "Saya tidak pantas untuk tetap menjalankan jabatan sebagai komisioner Inggris seolah-olah tidak terjadi apa-apa," kata Hill.
Serah terima jabatan Hill akan dilaksanakan pada pekan mendatang.
Jerman dan Prancis, mendesak agar Inggris segera merundingkan proses pemisahan dari UE. Paris, ibu kota Prancis, memperingatkan jika tidak, populisme atau paham yang menjunjung tinggi hak rakyat kecil, akan mulai memunculkan pengaruhnya pasca-referendum.
Para pemimpin Eropa menduga akan ada ketidakpastian selama berbulan-bulan sebelum pembicaraan bisa dimulai. Dan hal itu tidak dapat diterima oleh ke-27 negara anggota UE. Inggris, berdasarkan Lisbon Treaty, memiliki waktu dua tahun untuk bernegosiasi sebelum akhirnya benar-benar bisa lepas dari UE.
Nampaknya waktu itu menjadi terlalu panjang bagi anggota negara UE lainnya yang agaknya sudah "ikhlas" kehilangan Inggris.
"Proses ini harus dijalankan sesegera mungkin, supaya kita bisa memusatkan perhatian pada masa depan Eropa," kata Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier setelah menggelar pertemuan bersama enam negara pendiri UE: Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg.
Bank Sentral Eropa menambah tekanan. Bank Sentral Eropa mengatakan bahwa industri Inggris, yang mempekerjakan 2,2 juta orang, akan kehilangan haknya untuk melayani para pelanggan di UE. Kondisi itu bisa dihindari jika Inggris mendaftarkan diri ke pasar tunggal.
Keputusan Inggris meninggalkan UE, kelompok perdagangan terbesar di dunia, menjadi pukulan terbesar sejak Perang Dunia terhadap upaya Eropa membina kesatuan leih luas.
Entah bagaimana Inggris akan menghadapi tekanan-tekanan ini. Cameron, sebelum mundur, pernah berujar akan berusaha mengatasi keadaan selama beberapa pekan mendatang, tetapi dia meminta PM Inggris yang baru untuk melaksanakan negosiasi ulang dengan UE.
Namun, hingga saat ini belum jelas siapa yang akan menggantikan posisi Cameron tersebut.
Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...sca-referendum
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
1.2K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan