Kaskus

News

ichanadiraAvatar border
TS
ichanadira
Hukuman Mati adalah Dilema Indonesia
Hukuman mati merupakan isu hukum pidana yang memiliki banyak pro kontra terhadapnya. Masalah ini dibahas pada ranah internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB yang kemudian menyepakati untuk menghapus putusan hukuman mati dikarenakan tidak menjunjung hak untuk hidup yang mendasar pada diri manusia sesuai pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dari tahun ke tahun sejak 2007 terjadi peningkatan persetujuan terhadap penghapusan hukuman mati. Sejauh ini di Asia Tenggara sendiri hanya tiga negara yang menghapuskan status hukuman mati yaitu Filipina, Kamboja dan Timor Leste sementara negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati di Asia Tenggara yaitu Brunei Darussalam, Laos, Myanmar yang masih menetapkan hukuman mati namun tidak melaksanakan eksekusi selama bertahun-tahun (Rights, 2013).
Berdasarkan pemungutan suara mengenai moratorium penggunaan hukuman mati di 11 negara Asia Tenggara bahwa terdapat tiga negara yang menyetujui (Filipina, Kamboja, Timor Leste), empat negara yang menolak (Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Singapura) dan empat negara memilih abstain (Indonesia, Laos, Thailand, Vietnam). Hal ini menunjukkan bahwa di Asia Tenggara secara berangsur-angsur penolakan terhadap moratorium hukuman mati menurun tetapi tidak meningkatkan untuk menyetujui kesepakatan tersebut. Pada beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati seringkali terkait pelanggaran narkoba. Salah satu landasan pemikiran tentang hukuman mati yaitu berdasarkan teori pembalasan dimana hukuman mati sebagai bentuk upaya untuk menegakkan kesusilaan dan keadilan (Lubis, 2012). Namun sampai saat ini belum terdapat bukti yang mendukung bahwa hukuman mati memberikan efek jera lebih baik daripada hukuman kurungan penjara seumur hidup dalam mencegah terjadinya kejahatan narkoba. Berdasarkan Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa kerasnya bentuk hukuman yang diberikan tidak lebih efektif, namun kepastian hukum yang jelas seperti pelaksanaan sistem yang adil dan berfungsi sebagaimana mestinya maka kejahatan tersebut akan lebih mampu dicegah.
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCR) menjamin hak untuk hidup yang melekat pada diri manusia dalam pasal 6 ayat 1 tetapi hal ini terdapat pengecualian dalam ayat 2 yang menyatakan bahwa putusan hukuman mati dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan Konvenan. Berdasarkan hasil yurisprudensi hak asasi manusia internasional pada tahun 2013 menyatakan bahwa kategori kejahatan yang serius adalah pembunuhan dan pembunuhan berencana. Laporan tersebut mengecam negara-negara yang memberi putusan hukuman mati untuk pelanggaran narkoba, kejahatan ekonomi dan politik, perzinaan dan hubungan konsensual sesama jenis (Rights, 2013).
Permasalahannya Indonesia sampai saat ini masih menerapkan hukuman mati terkait pelanggaran yang dikecam oleh ICCR seperti kasus narkoba. Undang-Undang Dasar di Indonesia pasal 28A menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupannya jika dikaji bersamaan dengan pasal 6 ayat 1 ICCPR bahwa sebenarnya Indonesia memiliki pandangan yang sama untuk melindungi seluruh hak hidup individu, akan tetapi yang berbeda adalah keputusan hukumnya. Jika bagi ICCR kejahatan yang paling serius adalah pembunuhan dan pembunuhan berantai maka mungkin di Indonesia tidak sepenuhnya bisa diterima.
Sejauh ini kasus pelanggaran hukum yang mayoritas terjadi di Indonesia terkait dengan pelanggaran ekonomi dan politik seperti korupsi dan narkoba, meskipun sampai saat ini belum ada terpidana korupsi yang dijatuhi hukuman mati. Dilansik dari Koran Harian Terbit tanggal 27 April 2015 bahwa Sekertaris Jenderal Ban Ki Moon meminta Presiden Jokowi untuk melakukan penangguhan kepada terpidana hukuman mati kasus narkoba karena dianggap bukan kejahatan yang serius. Hal tersebut tidak disetujui oleh Pemerintah Indonesia, Desra Percaya selaku Duta Besar RI untuk PBB New York menyatakan bahwa setiap negara memiliki tantangan yang khas.Pasal 24 dari Konvensi memberikan kewenangan untuk memberikan hukuman yang tegas pada pelaku kejahatan narkoba (Santi, 2015).
Barangkali pembunuhan berencana dinyatakan sebagai kejahatan yang paling serius dikarenakan adanya keinginan untuk menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja dan terorganisir sehingga membahayakan orang lain. Apa mungkin penggunaan narkoba tidak secara langsung membahayakan orang lain karena dikonsumsi secara pribadi? Bagi saya itu adalah hal yang ironi karena pengguna narkoba berpeluang untuk menyebarkan atau menjual barang-barang tersebut pada orang lain di sekitarnya. Lalu apakah salah jika memberikan hukuman ini kepada pelaku yang melanggar hukum dimana ia sampai merugikan banyak orang. Memang pemberian hukuman mati kepada terpidana mati tidak secara langsung menunjukkan penurunan terkait kasus narkoba, atau orang lain mungkin tidak merasa jera ketika tahu bahwa hukuman mati menjadi putusan paling akhir yang bersifat khusus pada kasus-kasus tertentu. Tetapi apa yang terjadi jika kehajatan seperti ini diberlakukan hukuman yang berbeda misalnya dengan penjara seumur hidup.
Kemudian seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa kepastian hukum dan pelaksanaan sistem yang adil dan berfungsi sebagaimana mestinya lebih mungkin untuk mencegah kasus pelanggaran hukum. Sesuai penyataan Zeid Ra’ad Al Hussein seorang Komisaris Tinggi HAM PBB bahwa tidak ada peradilan di belahan dunia manapun yang amat mumpuni hingga mampu menjamin nyawa tidak bersalah akan di rampas. Bentuk peradilan yang tidak adil dapat menghasilkan putusan terhadap orang tidak bersalah sehingga menyebabkan penghilangan nyawa seseorang secara sewenang-wenang. Hal ini menjadi dilema bagi negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati, di satu sisi sebagai bentuk pembalasan terhadap pelanggar hukum namun di sisi lain sistem hukum yang mumpuni bahkan belum bisa memastikan bahwa seseorang yang dihukum benar-benar terbukti bersalah. Mungkin inilah yang menyebabkan Indonesia memutuskan untuk abstain dalam pemungutan suara dalam moratorium penggunaan hukuman mati.

Daftar Pustaka:
Anonim. (2015, April 27). Profil 10 Terpidana yang Akan Ditembak Mati. Dipetik June 21, 2016, dari Koran Harian Terbit: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/04/27/26625/25/25/Profil-10-Terpidana-yang-Akan-Ditembak-Mati
Lubis, E. I. (2012). Opinio Juris. Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia, 33.
Rights, U. N. (2013). Berpaling dari Hukuman Mati: Kajian dari Asia Tenggara. Bangkok: Office of The High Commissioner for Human Rights.
Santi, N. (2015, Februari 16). RI Sayangkan Sikap Sekjen PBB Soal Hukuman Mati. Dipetik Juni 21, 2016, dari Tempo.Co: https://m.tempo.co/read/news/2015/02/16/116642961/ri-sayangkan-sikap-sekjen-pbb-soal-hukuman-mati
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 3 suara
Hukuman Mati adalah Dilema Indonesia
Indonesia harus tegas menolak moratorium hukuman mati
67%
Indonesia membuka diri untuk menyetujui moratorium hukuman mati
33%
Indonesia tetap abstain
0%
Diubah oleh ichanadira 22-06-2016 09:02
0
1.6K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan