- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Bahasa Jurnalistik


TS
dianasapi
Bahasa Jurnalistik
BAGIAN I
MITOS DALAM JURNALISME
A. DUA MAZHAB KOMUNIKASI
Komunikasi adalah salah satu cara manusia mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan komunikasi, manusia mengaktualisasikan segala potensinya. Dalam setiap gerak, manusia berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, mikro, meso, dan makro. Komunikasi juga merupakan konsekuensal dari posisi manusia sebagai makhluk sosial.
Definisi komunikasi sangat beragam. Littlejohn dan Karen A. Foss mencatat keberagaman definisi komunikasi karena berangkat dari tiga level yang berbeda, yaitu, level of observations atau abstractness, intentionality, normative judgement.
Sepanjang sejarahnya, komunikasi mengenal dua aliran/mazhab pemikiran. Yakni aliran perpindahan pesan (mazhab transmisi) dan aliran pertukaran makna (mazhab semiotika). Aliran penyampaian pesan (transmission of massages) adalah yang pertama dan tertua. Ia berkembang di Amerika Serikat, tepatnya sebelum perang Dunia II. Oleh karena itu, komunikasi selalu diindentikan dengan penyampaian pesan dari komunitor ke komunikasi. Hal ini wajar karena mazhab ini adalah yang pertama dan sudah ada sejak disiplin komunikasi pertama kali digulirkan. Ungkapan Harold Lasswell who says what, in which channel, to whom, with what effect adalah yang menandaskan tentang aliran perpindahan pesan ini.
Elemen poko dari aliran transmisi ini adalah komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Dalam persfektif ini, komunikasi adalah sebuah proses perpindahan pesan atau komunikasi bisa dipahami sebagai proses-proses penyampaian pesan baik verbal maupun no verbal.
Sedangkan aliran pertukaran makna (production and exchange of meanings) digagas datang belakangan. Tepatnya datang setelah perang Dunia II. Ia berkembang di Eropa. Mazhab ini di populerkan oleh tokoh seperti James Carey dan John Fiske. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda dan makna. Komunikasi dalam pendekatan semiotik ini melibatkan unsur bahasa (linguistik) dan aspek-aspek seni
B. KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Teori konstruksi realitas sosial adalah Has Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini di lansir dalam buku the sosial construction of reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (diterjemahkan menjadi Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1991). Sejak dicetuskan pada 1966, teori ini banyak menginsfirasi kajian dirana ilmu sosial, termasuk komunikasi. Namun tidak jarang muncul kritik dan masukan pada teori tersebut. Termasuk teori untuk melengkapi sesuai dengan perkembangan sosial yang terus berjalan.
Secara umum, teori Berger dan Luckman membahas tentang sosiologi pengetahuan. Keduanya berusaha mengambalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka rana sosiologi. Ada beberapa langkah yang dilakukan keduanya. Antara lain, mereka mencoba mendefinisikan pengertian apa itu ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’ dalam konteks sosial. Selain itu, Berger dan Luckman, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman intersubjektivitas dalam konstruksi realitas sosial. Terakhir, mereka memilih logika yang tepat dan relevan untuk sosiologi pengetahuan.
Menurut keduanya, kenyataan dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisis terjadinya kenyatan tersebut. Dalam pengertian tersebut, setuap individu dalam masyarakat merupakan pihak yang membangun masyarakat, pengalaman individu tidak bisa dipisahkan dengan gerakan dan dinamika masyarakatnya. Dari sini lah lahirnya tiga konsep mereka yang terkenal, yakni, proses-proses dialektis objektivitasi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Internalisasi adalah proses ketika masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan realitas objektif ditafsirkan secara subyektif oleh setiap individu. Dalam proses penafsiran tersebut terjadilah internalisasi. Dengan demikian, internalisasi merupakan proses manusia untuk memasukan dunia yang dihuni bersama individu yang lain. Objektifitasi merupakan hasil yang digapai (mental dan fisik) dari eksternalisasi. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif setiap individu. Ian menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami masing-masing individu. Pada tahap inilah masyarakat harus dilihat sebagai realitas yang objektif. Sedangkan eksternalisasi adalah usaha atau ekspresi setiap individu kedalam dunia, baik mental ataupun fisik. Proses ini adalah ekspresi untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat.
C. KONSTRUKSI REALITAS MEDIA
Media massa dengan segala perangkat dan kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ia adalah urut nadi dan kesadaran. Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa, baik itu negatif ataupun positif bahkan biasa dikatakan bahwa media massa merupakan sesuatu yang given.
Menurut Akbar S. Ahmed ada beberapa karakteristik media. Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua, media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menakhlukan kematian. Kelima, pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Ketujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi, tetapi lemah karena antropologi kultural. Kesembilan, dalam dunia kita media emmainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan terus meningkatkan peran tersebut.
Sejak kemunculan internet, plus kemudahan mengaksesnya, berbagai aspek kehidupan masyarakat berubah secara drastis dan dramatis. Internet juga sering disebut konvergasi media dan media internal. Kemunculan media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Internet memiliki memampuan yang belum ada sebelumnya untuk mengembangkan bentuk baru relasi sosial dan untuk mendeskripsikannya melalui kebaruan interaktivitas. Karena itu, internet kini telah menjadi sumber individu bebas dan kelompok kecil dalam dunia egalitarian yang didalamnya individu tidak dirintangi oleh batasan bangsa, kelas, gender, atau properti. Setelah media cetak dan elektronik menghegemoni masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, kini internet menjadi biang arus informasi.
Harus diakui internet menciptakan kebebasan individu yang tidak pernah ada dan terbayangkan sebelumnya. Tanpa sekat kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama, geografis, dan strata sosial) individu bebas melakukan aktifitas diruang cyberpublik. Ia bebas berpendapat, berekspresi, dan berserikat tanpa ketakutan. Dalam situasi dan kondisi ini, kontrol etika dan moral cenderung mengendur. Etika sosial dari keluarga, masyarakat, negara, dan institusi formal lain yang selama ini mengikat dan membatasi ruang gerak akan memudar. John Perry Barlow melihat internet sebagai keterputusan yang membebaskan diri dari semua bentuk kekuasaan negara yang akan mencoba meregulasinya.
Sebuah berita dimedia bukan hanya rangkaian fakta yang tersusun menjadi sebuah kalimat, paragraf, tayangan, dan siaran. Ia juga merupakan resperentasi dari pikiran dan sikap penulis, kameramen, asisten redaktur, redaktur, produser, dan editor, plus kebijakan redaksi yang tertuang dalam editorial atau tajuk rencana. Minimal segala latar belakang budaya, pergaulan, dan pendidikan wartawan sangat mempengaruhi bagaimana fakta dikonstuksi dalam sebuah berita. Fakta yang hanya ditulis apa adanya akan kering gaya dan tidak nyaman dibaca. Gaya menyajian ini pula membuat berbagai warna. Dengan demikian, mulai dari mencari, menemukan, dan menkonstruksi fakta, wartawan sudah dikonstruksi dengan berbagai hal yang tidak netral dan independen.
Ada tiga pertimbangan sebuah peristiwa menjadi berita di media, yaitu ideologis, politis, dan bisnis. Pertimbangan ideologis terjadi karena faktor pemilik atau nilai-nilai yang dihayatinya. Pertimbangan politis berangkat dari kenyataan bahwa pers tidak terlepas dari kehidupan politik. Apalagi pers adalah disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Sedangkan kepentingan bisnis berkaitan dengan pemasukan dari iklan. Ketiga pertimbangan itu juga berpengaruh pada sudut pandang berita. Disinilah kebijakan redaksi menentukan arah sebuah berita. Makanya tidak ada berita yang netral, tuna-ideologi, dan tanpa kepentingan. Sebab berita, seperti produk media lain. Merupakan hasil seleksi dan rekonstruksi.
D. BAHASA DAN KONSTRUKSI REALITAS MEDIA
Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Dengan bahasa manusia melakukan komunikasi. Menurut Poepoprodjo yang dikutip Alex Sobur, hakikat bahasa adalah bahasa penutur (lisan). Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Selain untuk komunikasi, bahasa merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang. Dalam keseharian, kemampuan bahasa ditentukan oleh penggunaan, makna, simbol, dan komunikasi. Bahasa, kata Ahmad Mulyana, adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis. Karenanya bahasa bisa dijaadikan alat komunikasi. Bahasa merupakan tanda yang merepresentasikan kekuasaan, gaya hidup, cara berfikir, dan sebagainya.
Seperti dipaparkan diatas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi, yaitu makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Oleh sebab itu, menurut Arthur Asa Berger, makna bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan resektor ketika tindakan semik sedang berlangsung.
Dengan demikian, makna timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai medium. Salah satu bentuk interaksi adalah melalui bahasa tulisan dalam media cetak yang dikenal dengan nama berita. Berita yang semula merupakan fakta yang dirangkai secara pribadi dalam institusi media karena di publikasikan melalui media cetak ia menimbulkan makna bagi orang lain. Oleh sebab itu, bahasa dalam bentuk berita tidak bisa bebas dari nilai. Ia di konstruksi dan mengkonstruksi makna-makna tertentu, tergantung dari orang yang membuat dan membacanya.
J.S. Badudu seperti dikutip Eriyanto secara komprehensif mendefinisikan wacana dalam dua bentuk, pertama sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan. Wacana menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain sehingga membentuk kesatuan struktur sehingga ada keserasian diantara kalimat-kalimat tersebut. Kedua wacana sebagai kesatuan bahasa yang tertinggi dan terlengkap. Ia berada diatas klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkeseimbangan. Ia memiliki awal dan akhir nyata yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan.
Ada tiga strategi yang digunakan membuat wacana, yaitu, signing, framing, dan priming. Signing adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana dihadapan khalayak.
E. REPRESENTASI MAKNA MEDIA
Dalam pandangan Judi Giles dan Tim Middleon, represent mempunyai tiga pengertian, yakni, to stand in for (melambungkan), to speak or act on behalf of (berbicara atas nama seseorang), dan to re-present (menghadirkan kembali peristiwa yang sudah terjadi). Representasi merupakan sebuah tanda yang tidak sama dengan yang sebenarnya. Hanya saja ia ditautkan melalui realitas yang menjadi referensinya.
Kata representasi menurut Graeme Burton memiliki definisi yang simpel dan menyeluruh. Definisi sederhana menyangkut stereotip, sedangkan versi yang menyeluruh berkaitan dengan sisi media yang tampak dari teknologi. Sedangkan Marcel Denasi memberi definisi representasi yang sangat lengkap. Menurutnya representasi sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan sebagainya) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, dan memproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.
Pengertian representasi nyaris sama dengan pencitraan, yaitu proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa. Pencitraan berkaitan dengan empat hal, yaitu (1) representasi dimana citra merupakan cermin realitas, (2) ideologi dimana citra menyembunyikan dan memberi gambaran yang salah tentang realitas, (3) citra menyembunyi bahwa tidak ada realitas, dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan relitas apapun.
Representasi menurut Graeme Burton sangat ideologis. Sebab makna-makna tersebut berkaitan dengan (1) siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, (2) bagaimana kekuasaan diterapkan, (3) nilai-nilai yang mendominasi cara berfikir tentang masyarakat dan hubungan sosial. Secara singkat, Burton menjelaskan ideologi mendefinisikan sistem representasi. Tindakan representasi menjadi perwujudan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Karena itu representasi menjadi ungkapan ideologi serta ungkapan wacana, dan tersebut terutama menyangkut kekuasaan.
Seperti dipaparkan diatas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi. Yaitu, makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut, sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Menurut Arthur Asa Berger, makna itu bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan reseptor ketika tindakan semik sedang berlangsung.
F. JURNALISTIK ONLINE
Media yang diyakini muncul pertama kali pada era Julius Cesar. Saat itu ada dua media massa, yaitu, Acta Diurna dan Acta Senatus. Acta Diurna adalah pengumuman dari agenda dan kegiatan kerajaan. Saat ini populer dengan lembaga ekskutif. Sedangkan Acta Senatus merupakan catatan harian tentang agenda dan kegiatan senat atau setara dengan dewan perwakilan rakyat saat ini.
Beberapa karakteristik media/jurnalisme online, anatara lain:
1. Unlimited space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin, tanpa batas.
2. Audiens Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi.
3. Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus emmbaca secara berurutan.
4. Stronge and retrieval. Jusnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa di akses kembali dengan mudah kapan dan dimana saja.
5. Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsun.
6. Multimedia capabelity. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus.
7. Interactivity. Jurnalistik onloine memungkinkan interkasi langsung antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.
G. MITOS JURNALISME SEBAGAI PILAR KEEMPAT DEMOKRASI
Di era modern dengan kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Ia bukan lembaga sosial sebagai mana fungsi dasarnya, yakni, menyampaikan berita. Maka lengkaplahn penderitaan pers Indonesia ketika media bersinergi dengan bisnis dan politik. Berita sebagai jantung jurnalisme kehilangan substansinya.
Media hanya bisa menjadi pilar ke empat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi, dan bisnis serta pemegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis. Sebaliknya, jika dalam satu naungan kekuasaan, ungkapan Lord Acton ‘power teends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely’ (kekuasaan itu cenderung berbuat korup, kekuasaan yang absolut dengan sendirinya pastilah korup) menemukan kebenarannya.
Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan author makna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas sahwat politik adalah pers dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar ke empat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.
H. TEKS DAN WACANA PERSPEKTIF TEORI KRITIS
Ada tiga kunci yang menjadi konsentrasi dalam penelitian ini. Yaitu, teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa. Teks bukan hanya yang ada di atas kertas. Ia ekpresi semua bentuk komunikasi. Teks meliputi gambar, suara, citra, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks berarti memasukan semua sutuasi dan kondisi yang berbeda diluar teks. Ia adalah komisi yang membentuk teks, baik produksi maupun konsumsinya. Wacana adalah makna dari teks dan konteks secara bersama.
Saat ini, analisis wacana krisis menjadi primadona dalam penelitian teks (media khususnya). Analisis wacana model ini berupaya membongkar maksud tersembunyi dalam satu pertanyaan. Doktrin paling fundamental analisis wacana krisis adalah wanaca tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Ia merupakan alat dan praktik kekuasaan. Menurut fairclough dan wodok, praktik wacana bisa menampilkan efek ideologis dalam memperoduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas. Pendekatannya berawal dari Marxist.
Beberapa karakteristik analisis wacana kritis adalah :
1. Tindakan. Wacana di pahami sebagai tindakan yaitu mengasosialisasikan wacana sebagai bentuk interaksi.
2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari sebuah wacana.
3. Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu sehingga tidak dapat di mengerti jika tanpa konteks.
4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan.
5. Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau efek ideologi.
Sementara itu, analisis wacana kritis berkembang menjadi bebrapa varian. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan para penelitinya. Antara lain, pertama, analisis bahasa kritis (critical languistics), analisis wacana pendekatan perancis (french discource analysis), kognisi sosial (social cognitive approach), pendekatan perubahan sosial (sosiocultural change analysis), dan pendekatan wacana sejarah (discource historical approaches).
MITOS DALAM JURNALISME
A. DUA MAZHAB KOMUNIKASI
Komunikasi adalah salah satu cara manusia mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan komunikasi, manusia mengaktualisasikan segala potensinya. Dalam setiap gerak, manusia berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, mikro, meso, dan makro. Komunikasi juga merupakan konsekuensal dari posisi manusia sebagai makhluk sosial.
Definisi komunikasi sangat beragam. Littlejohn dan Karen A. Foss mencatat keberagaman definisi komunikasi karena berangkat dari tiga level yang berbeda, yaitu, level of observations atau abstractness, intentionality, normative judgement.
Sepanjang sejarahnya, komunikasi mengenal dua aliran/mazhab pemikiran. Yakni aliran perpindahan pesan (mazhab transmisi) dan aliran pertukaran makna (mazhab semiotika). Aliran penyampaian pesan (transmission of massages) adalah yang pertama dan tertua. Ia berkembang di Amerika Serikat, tepatnya sebelum perang Dunia II. Oleh karena itu, komunikasi selalu diindentikan dengan penyampaian pesan dari komunitor ke komunikasi. Hal ini wajar karena mazhab ini adalah yang pertama dan sudah ada sejak disiplin komunikasi pertama kali digulirkan. Ungkapan Harold Lasswell who says what, in which channel, to whom, with what effect adalah yang menandaskan tentang aliran perpindahan pesan ini.
Elemen poko dari aliran transmisi ini adalah komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Dalam persfektif ini, komunikasi adalah sebuah proses perpindahan pesan atau komunikasi bisa dipahami sebagai proses-proses penyampaian pesan baik verbal maupun no verbal.
Sedangkan aliran pertukaran makna (production and exchange of meanings) digagas datang belakangan. Tepatnya datang setelah perang Dunia II. Ia berkembang di Eropa. Mazhab ini di populerkan oleh tokoh seperti James Carey dan John Fiske. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda dan makna. Komunikasi dalam pendekatan semiotik ini melibatkan unsur bahasa (linguistik) dan aspek-aspek seni
B. KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
Teori konstruksi realitas sosial adalah Has Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini di lansir dalam buku the sosial construction of reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (diterjemahkan menjadi Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1991). Sejak dicetuskan pada 1966, teori ini banyak menginsfirasi kajian dirana ilmu sosial, termasuk komunikasi. Namun tidak jarang muncul kritik dan masukan pada teori tersebut. Termasuk teori untuk melengkapi sesuai dengan perkembangan sosial yang terus berjalan.
Secara umum, teori Berger dan Luckman membahas tentang sosiologi pengetahuan. Keduanya berusaha mengambalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka rana sosiologi. Ada beberapa langkah yang dilakukan keduanya. Antara lain, mereka mencoba mendefinisikan pengertian apa itu ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’ dalam konteks sosial. Selain itu, Berger dan Luckman, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman intersubjektivitas dalam konstruksi realitas sosial. Terakhir, mereka memilih logika yang tepat dan relevan untuk sosiologi pengetahuan.
Menurut keduanya, kenyataan dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisis terjadinya kenyatan tersebut. Dalam pengertian tersebut, setuap individu dalam masyarakat merupakan pihak yang membangun masyarakat, pengalaman individu tidak bisa dipisahkan dengan gerakan dan dinamika masyarakatnya. Dari sini lah lahirnya tiga konsep mereka yang terkenal, yakni, proses-proses dialektis objektivitasi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Internalisasi adalah proses ketika masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan realitas objektif ditafsirkan secara subyektif oleh setiap individu. Dalam proses penafsiran tersebut terjadilah internalisasi. Dengan demikian, internalisasi merupakan proses manusia untuk memasukan dunia yang dihuni bersama individu yang lain. Objektifitasi merupakan hasil yang digapai (mental dan fisik) dari eksternalisasi. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif setiap individu. Ian menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami masing-masing individu. Pada tahap inilah masyarakat harus dilihat sebagai realitas yang objektif. Sedangkan eksternalisasi adalah usaha atau ekspresi setiap individu kedalam dunia, baik mental ataupun fisik. Proses ini adalah ekspresi untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat.
C. KONSTRUKSI REALITAS MEDIA
Media massa dengan segala perangkat dan kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ia adalah urut nadi dan kesadaran. Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa, baik itu negatif ataupun positif bahkan biasa dikatakan bahwa media massa merupakan sesuatu yang given.
Menurut Akbar S. Ahmed ada beberapa karakteristik media. Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua, media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menakhlukan kematian. Kelima, pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Ketujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi, tetapi lemah karena antropologi kultural. Kesembilan, dalam dunia kita media emmainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan terus meningkatkan peran tersebut.
Sejak kemunculan internet, plus kemudahan mengaksesnya, berbagai aspek kehidupan masyarakat berubah secara drastis dan dramatis. Internet juga sering disebut konvergasi media dan media internal. Kemunculan media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Internet memiliki memampuan yang belum ada sebelumnya untuk mengembangkan bentuk baru relasi sosial dan untuk mendeskripsikannya melalui kebaruan interaktivitas. Karena itu, internet kini telah menjadi sumber individu bebas dan kelompok kecil dalam dunia egalitarian yang didalamnya individu tidak dirintangi oleh batasan bangsa, kelas, gender, atau properti. Setelah media cetak dan elektronik menghegemoni masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, kini internet menjadi biang arus informasi.
Harus diakui internet menciptakan kebebasan individu yang tidak pernah ada dan terbayangkan sebelumnya. Tanpa sekat kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama, geografis, dan strata sosial) individu bebas melakukan aktifitas diruang cyberpublik. Ia bebas berpendapat, berekspresi, dan berserikat tanpa ketakutan. Dalam situasi dan kondisi ini, kontrol etika dan moral cenderung mengendur. Etika sosial dari keluarga, masyarakat, negara, dan institusi formal lain yang selama ini mengikat dan membatasi ruang gerak akan memudar. John Perry Barlow melihat internet sebagai keterputusan yang membebaskan diri dari semua bentuk kekuasaan negara yang akan mencoba meregulasinya.
Sebuah berita dimedia bukan hanya rangkaian fakta yang tersusun menjadi sebuah kalimat, paragraf, tayangan, dan siaran. Ia juga merupakan resperentasi dari pikiran dan sikap penulis, kameramen, asisten redaktur, redaktur, produser, dan editor, plus kebijakan redaksi yang tertuang dalam editorial atau tajuk rencana. Minimal segala latar belakang budaya, pergaulan, dan pendidikan wartawan sangat mempengaruhi bagaimana fakta dikonstuksi dalam sebuah berita. Fakta yang hanya ditulis apa adanya akan kering gaya dan tidak nyaman dibaca. Gaya menyajian ini pula membuat berbagai warna. Dengan demikian, mulai dari mencari, menemukan, dan menkonstruksi fakta, wartawan sudah dikonstruksi dengan berbagai hal yang tidak netral dan independen.
Ada tiga pertimbangan sebuah peristiwa menjadi berita di media, yaitu ideologis, politis, dan bisnis. Pertimbangan ideologis terjadi karena faktor pemilik atau nilai-nilai yang dihayatinya. Pertimbangan politis berangkat dari kenyataan bahwa pers tidak terlepas dari kehidupan politik. Apalagi pers adalah disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Sedangkan kepentingan bisnis berkaitan dengan pemasukan dari iklan. Ketiga pertimbangan itu juga berpengaruh pada sudut pandang berita. Disinilah kebijakan redaksi menentukan arah sebuah berita. Makanya tidak ada berita yang netral, tuna-ideologi, dan tanpa kepentingan. Sebab berita, seperti produk media lain. Merupakan hasil seleksi dan rekonstruksi.
D. BAHASA DAN KONSTRUKSI REALITAS MEDIA
Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Dengan bahasa manusia melakukan komunikasi. Menurut Poepoprodjo yang dikutip Alex Sobur, hakikat bahasa adalah bahasa penutur (lisan). Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Selain untuk komunikasi, bahasa merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang. Dalam keseharian, kemampuan bahasa ditentukan oleh penggunaan, makna, simbol, dan komunikasi. Bahasa, kata Ahmad Mulyana, adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis. Karenanya bahasa bisa dijaadikan alat komunikasi. Bahasa merupakan tanda yang merepresentasikan kekuasaan, gaya hidup, cara berfikir, dan sebagainya.
Seperti dipaparkan diatas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi, yaitu makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Oleh sebab itu, menurut Arthur Asa Berger, makna bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan resektor ketika tindakan semik sedang berlangsung.
Dengan demikian, makna timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai medium. Salah satu bentuk interaksi adalah melalui bahasa tulisan dalam media cetak yang dikenal dengan nama berita. Berita yang semula merupakan fakta yang dirangkai secara pribadi dalam institusi media karena di publikasikan melalui media cetak ia menimbulkan makna bagi orang lain. Oleh sebab itu, bahasa dalam bentuk berita tidak bisa bebas dari nilai. Ia di konstruksi dan mengkonstruksi makna-makna tertentu, tergantung dari orang yang membuat dan membacanya.
J.S. Badudu seperti dikutip Eriyanto secara komprehensif mendefinisikan wacana dalam dua bentuk, pertama sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan. Wacana menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain sehingga membentuk kesatuan struktur sehingga ada keserasian diantara kalimat-kalimat tersebut. Kedua wacana sebagai kesatuan bahasa yang tertinggi dan terlengkap. Ia berada diatas klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkeseimbangan. Ia memiliki awal dan akhir nyata yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan.
Ada tiga strategi yang digunakan membuat wacana, yaitu, signing, framing, dan priming. Signing adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana dihadapan khalayak.
E. REPRESENTASI MAKNA MEDIA
Dalam pandangan Judi Giles dan Tim Middleon, represent mempunyai tiga pengertian, yakni, to stand in for (melambungkan), to speak or act on behalf of (berbicara atas nama seseorang), dan to re-present (menghadirkan kembali peristiwa yang sudah terjadi). Representasi merupakan sebuah tanda yang tidak sama dengan yang sebenarnya. Hanya saja ia ditautkan melalui realitas yang menjadi referensinya.
Kata representasi menurut Graeme Burton memiliki definisi yang simpel dan menyeluruh. Definisi sederhana menyangkut stereotip, sedangkan versi yang menyeluruh berkaitan dengan sisi media yang tampak dari teknologi. Sedangkan Marcel Denasi memberi definisi representasi yang sangat lengkap. Menurutnya representasi sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan sebagainya) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, dan memproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.
Pengertian representasi nyaris sama dengan pencitraan, yaitu proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa. Pencitraan berkaitan dengan empat hal, yaitu (1) representasi dimana citra merupakan cermin realitas, (2) ideologi dimana citra menyembunyikan dan memberi gambaran yang salah tentang realitas, (3) citra menyembunyi bahwa tidak ada realitas, dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan relitas apapun.
Representasi menurut Graeme Burton sangat ideologis. Sebab makna-makna tersebut berkaitan dengan (1) siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, (2) bagaimana kekuasaan diterapkan, (3) nilai-nilai yang mendominasi cara berfikir tentang masyarakat dan hubungan sosial. Secara singkat, Burton menjelaskan ideologi mendefinisikan sistem representasi. Tindakan representasi menjadi perwujudan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Karena itu representasi menjadi ungkapan ideologi serta ungkapan wacana, dan tersebut terutama menyangkut kekuasaan.
Seperti dipaparkan diatas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi. Yaitu, makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut, sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Menurut Arthur Asa Berger, makna itu bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan reseptor ketika tindakan semik sedang berlangsung.
F. JURNALISTIK ONLINE
Media yang diyakini muncul pertama kali pada era Julius Cesar. Saat itu ada dua media massa, yaitu, Acta Diurna dan Acta Senatus. Acta Diurna adalah pengumuman dari agenda dan kegiatan kerajaan. Saat ini populer dengan lembaga ekskutif. Sedangkan Acta Senatus merupakan catatan harian tentang agenda dan kegiatan senat atau setara dengan dewan perwakilan rakyat saat ini.
Beberapa karakteristik media/jurnalisme online, anatara lain:
1. Unlimited space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin, tanpa batas.
2. Audiens Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi.
3. Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus emmbaca secara berurutan.
4. Stronge and retrieval. Jusnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa di akses kembali dengan mudah kapan dan dimana saja.
5. Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsun.
6. Multimedia capabelity. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus.
7. Interactivity. Jurnalistik onloine memungkinkan interkasi langsung antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.
G. MITOS JURNALISME SEBAGAI PILAR KEEMPAT DEMOKRASI
Di era modern dengan kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Ia bukan lembaga sosial sebagai mana fungsi dasarnya, yakni, menyampaikan berita. Maka lengkaplahn penderitaan pers Indonesia ketika media bersinergi dengan bisnis dan politik. Berita sebagai jantung jurnalisme kehilangan substansinya.
Media hanya bisa menjadi pilar ke empat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi, dan bisnis serta pemegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis. Sebaliknya, jika dalam satu naungan kekuasaan, ungkapan Lord Acton ‘power teends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely’ (kekuasaan itu cenderung berbuat korup, kekuasaan yang absolut dengan sendirinya pastilah korup) menemukan kebenarannya.
Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan author makna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas sahwat politik adalah pers dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar ke empat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.
H. TEKS DAN WACANA PERSPEKTIF TEORI KRITIS
Ada tiga kunci yang menjadi konsentrasi dalam penelitian ini. Yaitu, teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa. Teks bukan hanya yang ada di atas kertas. Ia ekpresi semua bentuk komunikasi. Teks meliputi gambar, suara, citra, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks berarti memasukan semua sutuasi dan kondisi yang berbeda diluar teks. Ia adalah komisi yang membentuk teks, baik produksi maupun konsumsinya. Wacana adalah makna dari teks dan konteks secara bersama.
Saat ini, analisis wacana krisis menjadi primadona dalam penelitian teks (media khususnya). Analisis wacana model ini berupaya membongkar maksud tersembunyi dalam satu pertanyaan. Doktrin paling fundamental analisis wacana krisis adalah wanaca tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Ia merupakan alat dan praktik kekuasaan. Menurut fairclough dan wodok, praktik wacana bisa menampilkan efek ideologis dalam memperoduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas. Pendekatannya berawal dari Marxist.
Beberapa karakteristik analisis wacana kritis adalah :
1. Tindakan. Wacana di pahami sebagai tindakan yaitu mengasosialisasikan wacana sebagai bentuk interaksi.
2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari sebuah wacana.
3. Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu sehingga tidak dapat di mengerti jika tanpa konteks.
4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan.
5. Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau efek ideologi.
Sementara itu, analisis wacana kritis berkembang menjadi bebrapa varian. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan para penelitinya. Antara lain, pertama, analisis bahasa kritis (critical languistics), analisis wacana pendekatan perancis (french discource analysis), kognisi sosial (social cognitive approach), pendekatan perubahan sosial (sosiocultural change analysis), dan pendekatan wacana sejarah (discource historical approaches).
0
2.6K
21


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan