- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
UU Pilkada Perberat Syarat Independen, Bagimana dengan Bekas Napi?


TS
everesthome
UU Pilkada Perberat Syarat Independen, Bagimana dengan Bekas Napi?
UU Pilkada Perberat Syarat Independen, Bagimana dengan Bekas Napi?
Jumat 10 Jun 2016, 11:56 WIB
Jakarta - Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang revisinya baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dinilai mempersulit peluang calon independen. Namun UU tak mengatur secara detail bagi calon kepala daerah yang mantan narapidana.
Pasca Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, narapidana berpeluang ikut pilkada.
Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menyebutkan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dua orang mantan terpidana yakni Jumanto dan Fathor Rasyid melakukan uji materi ke MK atas pasal tersebut. Mereka menilai Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada diskriminatif karena menghukum seseorang tanpa batas waktu. MK mengabulkan permohonan Jumanto dan Fathor.
Menurut MK ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
"Ketika Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah," begitu putusan MK yang keluar pada 9 Juli 2015.
Keputusan MK ini menjadi pertimbangan Panitia Kerja Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat saat membahas revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Salah satunya soal bekas narapidana yang akan maju pilkada. Mantan narapida bisa maju pilkada jika sudah mengumumkan kepada publik tentang status yang pernah dia sandang.
"Persyaratan terkait mantan narapidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika telah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana," bunyi revisi UU Pilkada pada bagian Umum yang dikutip detikcom, Jumat (10/6/2016).
Selanjutnya mantan narapidana tersebut bisa maju lewat jalur partai politik atau pun independen. Apabila ingin maju lewat independen, maka dia harus melewati tahap verifikasi faktual untuk salinan KTP dukungan.
Sejumlah pihak menilai ketentuan harus verifikasi faktual untuk salinan KTP dukungan bagi calon independen itu sangat menyulitkan petugas KPU maupun pasangan kandidat.
sumber
Sudah jelas, para anggota dHewan Yang Mulia, pasti lebih suka mantan Napi jadi kepala daerah, daripada calon independen.
Jumat 10 Jun 2016, 11:56 WIB
Jakarta - Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang revisinya baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dinilai mempersulit peluang calon independen. Namun UU tak mengatur secara detail bagi calon kepala daerah yang mantan narapidana.
Pasca Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, narapidana berpeluang ikut pilkada.
Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menyebutkan bahwa calon kepala daerah adalah yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dua orang mantan terpidana yakni Jumanto dan Fathor Rasyid melakukan uji materi ke MK atas pasal tersebut. Mereka menilai Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada diskriminatif karena menghukum seseorang tanpa batas waktu. MK mengabulkan permohonan Jumanto dan Fathor.
Menurut MK ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan, yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
"Ketika Pasal 7 huruf g UU nomor 8 tahun 2015 menentukan bahwa calon kepala daerah harus memenuhi persyaratan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka sama artinya seseorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah," begitu putusan MK yang keluar pada 9 Juli 2015.
Keputusan MK ini menjadi pertimbangan Panitia Kerja Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat saat membahas revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Salah satunya soal bekas narapidana yang akan maju pilkada. Mantan narapida bisa maju pilkada jika sudah mengumumkan kepada publik tentang status yang pernah dia sandang.
"Persyaratan terkait mantan narapidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika telah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana," bunyi revisi UU Pilkada pada bagian Umum yang dikutip detikcom, Jumat (10/6/2016).
Selanjutnya mantan narapidana tersebut bisa maju lewat jalur partai politik atau pun independen. Apabila ingin maju lewat independen, maka dia harus melewati tahap verifikasi faktual untuk salinan KTP dukungan.
Sejumlah pihak menilai ketentuan harus verifikasi faktual untuk salinan KTP dukungan bagi calon independen itu sangat menyulitkan petugas KPU maupun pasangan kandidat.
sumber
Sudah jelas, para anggota dHewan Yang Mulia, pasti lebih suka mantan Napi jadi kepala daerah, daripada calon independen.
0
1.4K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan