- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Lounge Pictures
OMG ada akuarium maksiat di Red Light District


TS
Romanzol
OMG ada akuarium maksiat di Red Light District

Quote:
Quote:
Merdeka.com - Ada sensasi tersendiri saat menjelajah pusat Kota Amsterdam menjelang malam. Hari masih terang meski jam tangan sudah menunjukkan pukul 19.00. Walaupun matahari belum terbenam, geliat kehidupan malam di pusat Kota Amsterdam sudah mulai berdenyut.
Tidak dipungkiri, kawasan prostitusi Amsterdam sudah tersohor dan menjadi bagian dari destinasi wisatawan. Entah sekadar melihat secara langsung bebasnya pramuriaan di kawasan ini, atau ikut larut dalam lingkaran maksiat. Cukup berjalan 10 menit dari Amsterdam Centraal Station atau Stasiun Kereta Amsterdam, atau sekitar 1 kilometer ke arah barat stasiun, sudah memasuki kawasan dengan lampu-lampu berwarna merah redup. Karena alasan itulah kawasan ini dikenal dan dinamakan Red Light District atau Zeedijk dalam bahasa Belanda. Letaknya tak jauh dari dam square di jantung Amsterdam.
Kawasan ini cukup tersohor sebagai pusat prostitusi bebas di Belanda. Sama tersohornya dengan kawasan Dolly di Jawa Timur yang disebut-sebut sebagai kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Bisa dibilang, pemerintah kerajaan Belanda sangat liberal soal pramuriaan. Prostitusi dilegalkan secara hukum. Karena itu ada aturan hukum yang mengikat pekerja seks. Mulai dari batasan usia hingga kewajiban mengikuti test kesehatan.
Tidak hanya itu, mereka juga wajib membayar pajak cukup tinggi. pramurianya ada izin khusus dan mereka bayar pajak atas pekerjaan mereka. Mereka bayar 33 persen (dari pendapatan) tapi dijamin dari perawatan juga, ujar Burhan, warga Belanda keturunan Indonesia, saat berbincang dengan merdeka.com akhir pekan lalu.
Model pramuria di kawasan ini pun beragam. Mulai dari berambut pirang, rambut hitam terurai, berbadan kurus atau gemuk, berwajah Eropa hingga Asia. Semua tersedia tergantung keinginan lelaki hidung belang. Sepanjang jalan banyak perempuan nakal (pramuria), katanya.
Di kawasan ini, ada dua jalan yang dipisahkan sungai dengan air tenang. Sepanjang mata memandang, baik di kanan maupun kiri jalan, berjajar rumah-rumah prostitusi pemuas syahwat. Salah satu keunikan dari Red Light District, pramuria tidak menjajakan diri di tepi jalan, melainkan di dalam ruangan kaca di rumah tersebut. Mereka menjajakan diri seperti dagangan di sebuah etalase kaca toko. Layaknya ikan hias dalam sebuah akuarium. Untuk menarik perhatian, mereka tampil nyaris telanjang. Hanya berbalut bra dan celana dalam untuk menutupi tubuh mereka.
Tentu saja ini menarik perhatian setiap orang yang melintas di kawasan itu. Dari balik kaca, perempuan berambut pirang dengan bra dan celana dalam warna merah jambu, bergoyang mencari perhatian pengunjung, mengumbar birahi. Tatapannya nakal menggoda setiap mata lelaki yang melintas di depannya. Bila pengunjung tidak melihat ke arahnya, tanpa ragu dia mengetuk kaca berharap pandangan pengunjung mengarah pada dirinya.
Di sisi jalan lain, seorang pria Asia nampak berbincang dengan si pramuria. Pintu dibuka, transaksi pun dimulai. Tak berselang lama, pria itu langsung masuk ke dalam rumah, disusul perempuan penjaja syahwat yang meninggalkan ruang kacanya.
Tarif pramuria di Red Light District cukup menguras kantong. Tapi tergantung negosiasi sebelum transaksi. Salah satu pramuria di kawasan itu membanderol harga sekitar 80 Euro atau sekitar Rp 1.279.000. Tarif itu masih bisa dinego. Tawar menawar hal lumrah dalam sebuah transaksi, termasuk transaksi pemuas syahwat. Itu untuk short time, katanya salah seorang pramuria saat melakukan tawar menawar. Sementara untuk long time, banderolnya bervariasi, bisa menembus di atas 250 Euro atau sekitar Rp 3.995.000
Tidak dipungkiri, kawasan prostitusi Amsterdam sudah tersohor dan menjadi bagian dari destinasi wisatawan. Entah sekadar melihat secara langsung bebasnya pramuriaan di kawasan ini, atau ikut larut dalam lingkaran maksiat. Cukup berjalan 10 menit dari Amsterdam Centraal Station atau Stasiun Kereta Amsterdam, atau sekitar 1 kilometer ke arah barat stasiun, sudah memasuki kawasan dengan lampu-lampu berwarna merah redup. Karena alasan itulah kawasan ini dikenal dan dinamakan Red Light District atau Zeedijk dalam bahasa Belanda. Letaknya tak jauh dari dam square di jantung Amsterdam.
Kawasan ini cukup tersohor sebagai pusat prostitusi bebas di Belanda. Sama tersohornya dengan kawasan Dolly di Jawa Timur yang disebut-sebut sebagai kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Bisa dibilang, pemerintah kerajaan Belanda sangat liberal soal pramuriaan. Prostitusi dilegalkan secara hukum. Karena itu ada aturan hukum yang mengikat pekerja seks. Mulai dari batasan usia hingga kewajiban mengikuti test kesehatan.
Tidak hanya itu, mereka juga wajib membayar pajak cukup tinggi. pramurianya ada izin khusus dan mereka bayar pajak atas pekerjaan mereka. Mereka bayar 33 persen (dari pendapatan) tapi dijamin dari perawatan juga, ujar Burhan, warga Belanda keturunan Indonesia, saat berbincang dengan merdeka.com akhir pekan lalu.
Model pramuria di kawasan ini pun beragam. Mulai dari berambut pirang, rambut hitam terurai, berbadan kurus atau gemuk, berwajah Eropa hingga Asia. Semua tersedia tergantung keinginan lelaki hidung belang. Sepanjang jalan banyak perempuan nakal (pramuria), katanya.
Di kawasan ini, ada dua jalan yang dipisahkan sungai dengan air tenang. Sepanjang mata memandang, baik di kanan maupun kiri jalan, berjajar rumah-rumah prostitusi pemuas syahwat. Salah satu keunikan dari Red Light District, pramuria tidak menjajakan diri di tepi jalan, melainkan di dalam ruangan kaca di rumah tersebut. Mereka menjajakan diri seperti dagangan di sebuah etalase kaca toko. Layaknya ikan hias dalam sebuah akuarium. Untuk menarik perhatian, mereka tampil nyaris telanjang. Hanya berbalut bra dan celana dalam untuk menutupi tubuh mereka.
Tentu saja ini menarik perhatian setiap orang yang melintas di kawasan itu. Dari balik kaca, perempuan berambut pirang dengan bra dan celana dalam warna merah jambu, bergoyang mencari perhatian pengunjung, mengumbar birahi. Tatapannya nakal menggoda setiap mata lelaki yang melintas di depannya. Bila pengunjung tidak melihat ke arahnya, tanpa ragu dia mengetuk kaca berharap pandangan pengunjung mengarah pada dirinya.
Di sisi jalan lain, seorang pria Asia nampak berbincang dengan si pramuria. Pintu dibuka, transaksi pun dimulai. Tak berselang lama, pria itu langsung masuk ke dalam rumah, disusul perempuan penjaja syahwat yang meninggalkan ruang kacanya.
Tarif pramuria di Red Light District cukup menguras kantong. Tapi tergantung negosiasi sebelum transaksi. Salah satu pramuria di kawasan itu membanderol harga sekitar 80 Euro atau sekitar Rp 1.279.000. Tarif itu masih bisa dinego. Tawar menawar hal lumrah dalam sebuah transaksi, termasuk transaksi pemuas syahwat. Itu untuk short time, katanya salah seorang pramuria saat melakukan tawar menawar. Sementara untuk long time, banderolnya bervariasi, bisa menembus di atas 250 Euro atau sekitar Rp 3.995.000
Quote:
Jangan Lupa gan komeng
dan batanya







Diubah oleh Romanzol 14-06-2014 05:58


4iinch memberi reputasi
1
30.8K
Kutip
41
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan