- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gereja Katolik Kritik Jokowi Atas Perppu Kebiri !
TS
munapig
Gereja Katolik Kritik Jokowi Atas Perppu Kebiri !
Quote:
Sejumlah pejabat Gereja Katolik menilai bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2002 tentang Perlindungan Anak sesungguhnya tidak perlu dikeluarkan.
Perppu tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (25/5). Menurut Perppu ini, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikenai pemberatan sanksi berupa pidana penjara maksimal 20 tahun, pidana penjara seumur hidup dan hukuman mati. Selain itu, ada sanksi tambahan berupa kebiri kimiawi, pengumuman identitas pelaku ke publik dan pemasangan alat deteksi elektronik.
“Pertama, saya mengapresiasi motivasi pemerintah untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan seksual khususnya. Negara ingin hadir secara nyata di tengah-tengah persoalan yang sangat kuat. Kedua, saya harus memberikan tanggapan kritis atas kehadiran negara atas Perppu itu,” kata Pastor Paulus Christian Siswantoko, sekretaris eksekutif Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada ucanews.com, Kamis (26/5) melalui telepon di Jakarta.
Pastor Siswantoko mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberdayakan UU tentang Perlindungan Anak secara maksimal.
“Kan sudah ada. Tinggal negara itu memberdayakan aparat negaranya supaya sungguh-sungguh menggunakan UU Perlindungan Anak secara konsisten dan sesuai komitmen. Kalau itu sungguh diberdayakan, negara tidak perlu hadir lewat Perppu ini,” lanjutnya.
Merujuk pada hukuman kebiri kimiawi dan pemasangan alat deteksi elektronik, imam diosesan itu mengatakan bahwa hukuman seperti ini seolah-olah memperlakukan manusia seperti barang.
“Sebagai manusia, kita melihat logikanya begini: orang melakukan pemerkosaan, ini bukan soal organ seksualnya tetapi soal pikirannya, mentalitasnya, pemahamannya. Mengapa yang disalahkan organ seksualnya? Ini logikanya harus diluruskan,” tegasnya.
Menurut Pastor Siswantoko, Perppu itu merendahkan orang untuk bisa berubah.
“Orang bisa berubah bukan dengan intimidasi tapi diberi pemahaman, ditemani. Negara harus hadir lewat pemberdayaan manusia,” katanya.
Suster Sesilia Susana Anak Agung SSpS, koordinator Forum Peduli Perempuan dan Anak di Atambua, setuju jika pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikenai sanksi pidana penjara hingga 20 tahun.
“Tapi untuk dikebiri kimiawi, saya tidak setuju. Hukuman mati saya juga tidak setuju karena hak hidup hanya bisa dicabut oleh Tuhan,” katanya.
Namun menurut Suster Maria Resa SND dari Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI, Perppu itu perlu didukung karena merupakan penyempurnaan hukum guna melengkapi sanksi yang belum tercantum dalam UU Perlindungan Anak.
“Soal kepantasan sangat relatif karena bagaimanapun juga kejahatan seperti itu luar biasa. Harus ada instrumen hukum yang memberikan harapan bahwa ada efek jera bagi pelaku dan orang yang punya niat untuk melakukannya,” katanya.
“Gereja pada prinsipnya tidak mendukung hukuman mati dan kebiri. Hukuman yang lainnya setuju,” lanjutnya.
Sementara itu, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan bahwa Perppu itu merupakan upaya pemerintah, khususnya presiden, untuk menunjukkan komitmennya “bahwa kejahatan seksual bukan kejahatan biasa tapi kejahatan luar biasa seperti narkoba dan oleh karena itu perlakuan terhadap pelaku harus dengan cara luar biasa.”
Ia yakin bahwa sanksi yang tercantum dalam Perppu itu cukup untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“Asal mengoptimalkan hukuman tersebut. Jangan sampai ada hukuman minimal. Penegakan hukum itu akan menjadi barometer,” katanya.
Perppu tersebut dikeluarkan setelah muncul sejumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak akhir-akhir ini. Pada 2 April, seorang remaja putri berusia 14 tahun dirudapaksa dan dibunuh oleh 14 laki-aki di Propinsi Bengkulu dan tujuh pelaku sudah dihukum pidana penjara 10 tahun. Sebulan kemudian, seorang bayi berumur 2 tahun dirudapaksa dan dibunuh oleh laki-laki berusia 26 tahun di Propinsi Jawa Barat.
Data KPAI menunjukkan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak meningkat secara kontinyu: 459 insiden tercatat antara Januari dan Juni 2015. Sementara sepanjang tahun 2013 hanya tercatat 590 insiden.
Mulai 2011 hingga 2014, angka kekerasan seksual di tanah air mencapai 2.124 kasus.
Perppu tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (25/5). Menurut Perppu ini, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikenai pemberatan sanksi berupa pidana penjara maksimal 20 tahun, pidana penjara seumur hidup dan hukuman mati. Selain itu, ada sanksi tambahan berupa kebiri kimiawi, pengumuman identitas pelaku ke publik dan pemasangan alat deteksi elektronik.
“Pertama, saya mengapresiasi motivasi pemerintah untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan seksual khususnya. Negara ingin hadir secara nyata di tengah-tengah persoalan yang sangat kuat. Kedua, saya harus memberikan tanggapan kritis atas kehadiran negara atas Perppu itu,” kata Pastor Paulus Christian Siswantoko, sekretaris eksekutif Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada ucanews.com, Kamis (26/5) melalui telepon di Jakarta.
Pastor Siswantoko mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberdayakan UU tentang Perlindungan Anak secara maksimal.
“Kan sudah ada. Tinggal negara itu memberdayakan aparat negaranya supaya sungguh-sungguh menggunakan UU Perlindungan Anak secara konsisten dan sesuai komitmen. Kalau itu sungguh diberdayakan, negara tidak perlu hadir lewat Perppu ini,” lanjutnya.
Merujuk pada hukuman kebiri kimiawi dan pemasangan alat deteksi elektronik, imam diosesan itu mengatakan bahwa hukuman seperti ini seolah-olah memperlakukan manusia seperti barang.
“Sebagai manusia, kita melihat logikanya begini: orang melakukan pemerkosaan, ini bukan soal organ seksualnya tetapi soal pikirannya, mentalitasnya, pemahamannya. Mengapa yang disalahkan organ seksualnya? Ini logikanya harus diluruskan,” tegasnya.
Menurut Pastor Siswantoko, Perppu itu merendahkan orang untuk bisa berubah.
“Orang bisa berubah bukan dengan intimidasi tapi diberi pemahaman, ditemani. Negara harus hadir lewat pemberdayaan manusia,” katanya.
Suster Sesilia Susana Anak Agung SSpS, koordinator Forum Peduli Perempuan dan Anak di Atambua, setuju jika pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikenai sanksi pidana penjara hingga 20 tahun.
“Tapi untuk dikebiri kimiawi, saya tidak setuju. Hukuman mati saya juga tidak setuju karena hak hidup hanya bisa dicabut oleh Tuhan,” katanya.
Namun menurut Suster Maria Resa SND dari Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan KWI, Perppu itu perlu didukung karena merupakan penyempurnaan hukum guna melengkapi sanksi yang belum tercantum dalam UU Perlindungan Anak.
“Soal kepantasan sangat relatif karena bagaimanapun juga kejahatan seperti itu luar biasa. Harus ada instrumen hukum yang memberikan harapan bahwa ada efek jera bagi pelaku dan orang yang punya niat untuk melakukannya,” katanya.
“Gereja pada prinsipnya tidak mendukung hukuman mati dan kebiri. Hukuman yang lainnya setuju,” lanjutnya.
Sementara itu, Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan bahwa Perppu itu merupakan upaya pemerintah, khususnya presiden, untuk menunjukkan komitmennya “bahwa kejahatan seksual bukan kejahatan biasa tapi kejahatan luar biasa seperti narkoba dan oleh karena itu perlakuan terhadap pelaku harus dengan cara luar biasa.”
Ia yakin bahwa sanksi yang tercantum dalam Perppu itu cukup untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“Asal mengoptimalkan hukuman tersebut. Jangan sampai ada hukuman minimal. Penegakan hukum itu akan menjadi barometer,” katanya.
Perppu tersebut dikeluarkan setelah muncul sejumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak akhir-akhir ini. Pada 2 April, seorang remaja putri berusia 14 tahun dirudapaksa dan dibunuh oleh 14 laki-aki di Propinsi Bengkulu dan tujuh pelaku sudah dihukum pidana penjara 10 tahun. Sebulan kemudian, seorang bayi berumur 2 tahun dirudapaksa dan dibunuh oleh laki-laki berusia 26 tahun di Propinsi Jawa Barat.
Data KPAI menunjukkan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak meningkat secara kontinyu: 459 insiden tercatat antara Januari dan Juni 2015. Sementara sepanjang tahun 2013 hanya tercatat 590 insiden.
Mulai 2011 hingga 2014, angka kekerasan seksual di tanah air mencapai 2.124 kasus.
http://indonesia.ucanews.com/2016/05...perppu-kebiri/
mana nih panastak....junjungannya diprotes sama gereja katolik kok ga dibelain

baca juga : Jokowi: Perppu Kebiri dan Hukuman Mati Akan Timbulkan Efek Jera Bagi Pelaku link
0
3K
Kutip
45
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan