Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Yogyakarta setelah 10 tahun gempa, apa yang patut diwaspadai?
Yogyakarta setelah 10 tahun gempa, apa yang patut diwaspadai?
Sejumlah ibu berdoa dan menangis saat memperingati detik-detik gempa di titik pusat gempa, Kecamatan Pundong, Bantul, Jumat (27/5).
Gempa Yogyakarta sudah 10 tahun berlalu. Gempa tektonik pada 27 Mei 2006, berkekuatan 5,9 SR menewaskan lebih dari lima ribu orang. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, gempa saat itu disebabkan aktivitas sesar aktif di bagian selatan Yogyakarta ke arah barat daya - timur laut. Wilayah Jawa Selatan memang rentan dengan gempa. Lempeng Indo-Australia membentang sepanjang selatan pulau Jawa.

Menurut laporan Bappenas, Yogyakarta sudah beberapa kali diguncang gempa dengan kekuatan di atas 5 SR di Yogyakarta dan sekitarnya. Yakni pada 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan terakhir tahun 2006. Gempa dengan kerusakan dan korban jiwa yang besar terjadi tahun 1867, 1943 dan 2006.

Menurut penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bagian atas bumi terpecah menjadi beberapa lempeng tektonik besar. Lempeng tektonik ini seperti perahu di atas air. Mereka bergerak bebas dan saling berinteraksi satu sama lain. Umumnya, gerakan lambat dan tak dirasakan oleh manusia. Dalam setahun hanya bergerak sebesar 0-15 cm. Ada tiga kemungkinan pergerakan lempeng, saling menjauhi (spreading), saling mendekati (collision) dan saling geser (transform).

Nah, kadang gerakan lempeng ini macet dan saling mengunci. Sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung terus hingga lempeng tektonik tersebut tidak lagi kuat menahan gerakan. Maka, terjadi pelepasan mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi tektonik.

Yogyakarta, mendapat tambahan potensi gempa vulkanik dengan adanya gunung Merapi. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari 129 gunung api yang ada di Indonesia, gunung Merapi termasuk yang paling aktif. Erupsi Merapi termasuk sering dalam 100 tahun terakhir. Rata-rata erupsi terjadi sekali dalam 2-5 tahun.

Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono menjelaskan, gempa vulkanik ini justru dibutuhkan. Sebab gunung berapi perlu melepaskan energinya. Dengan adanya gempa-gempa kecil ini, maka bisa mengurangi kemungkinan gempa besar. "Kalau sekarang ada gempa kecil-kecil kapan energi ini terkumpul," ujar Mbah Rono, sapaan akrab Surono seperti dikutip dari Liputan6.com.

Menurut Mbah Rono, masyarakat Yogyakarta tak perlu khawatir dengan gempa kecil yang saat ini sering terjadi. Sebab gempa besar belum akan terjadi hingga waktu yang lama. Selain di 2006, gempa besar juga pernah terjadi di Yogyakarta pada 1943.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya rusak gempa bumi adalah profil gempa, kondisi tanah di lokasi gempa, dan kondisi bangunan. Pada gempa Yogyakarta, korban jiwa mencapai 5.048 orang dan korban luka 27.808 jiwa. Jumah rumah yang rusak sebanyak 240.396 buah.

Banyaknya rumah yang rusak ini menarik penelitian dari Fakultas Teknik UGM. Menurut hasil penelitian Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, bahan bangunan yang runtuh digoyang gempa adalah bangunan dari batu dan bata namun tak dilengkapi dengan tulang besi. Sehingga, bangunan yang tak disangga, jadi mudah runtuh dan menimpa korban.

Penelitian yang digelar di dua kecamatan di Bantul yang terimbas gempa Imogiri dan Pundong, itu menemukan bahan bangunan yang disarankan untuk daerah gempa adalah kayu dan bambu. Sebab, dua bahan bangunan ini ringan tapi memiliki daya sokong kuat terhadap beban bangunan. Namun sayangnya, masyarakat lebih banyak menggunakan bahan bangunan batu dan bata, karena mudah didapat.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...tut-diwaspadai

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan