Kaskus

News

BeritagarIDAvatar border
TS
BeritagarID
Nasib orang Rohingya di bawah pemerintahan baru
Nasib orang Rohingya di bawah pemerintahan baru
Seorang warga Rohingya di Rakhine, Myanmar, 3 Mei 2016.
Orang-orang Rohingya bagai kaum ditolak bumi. Di dua negeri yang mereka sebut rumah--Myanmar dan Bangladesh--mereka tidak diakui sebagai warga negara. Di luar 'kampung halaman', mereka terpasung di kamp pengungsian belaka. Label "manusia perahu" melekat pada anggota suku Rohingya yang mencari tanah harapan dan seakan mempertebal identitas mereka sebagai bangsa tertampik daratan.

Nahas terbaru menimpa kelompok Rohingya di barak penampungan Thailand bagian selatan. Dilansir ABC News, 21 orang Rohingya kabur dari bangsal penawanan Phangnga setelah menggergaji jeruji besi. Dalam pengejaran, seorang ditembak mati dan tiga lainnya ditangkap setelah menyambit para polisi dan petugas imigrasi dengan batu.

Menurut pihak berwenang setempat, insiden terjadi karena para pengungsi "tertekan dan kangen rumah" setelah setahun berada di rumah detensi tersebut. Karena dianggap melawan, polisi melepaskan tembakan ke arah pengungsi.

Aung San Suu Kyi, yang secara de facto menjadi pemimpin Myanmar, dianggap tidak dapat menyediakan obat bagi kesusahan orang-orang Rohingya. Pasalnya, pada Ahad lalu (22/5), saat berbicara di hadapan media bersama Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, penerima Nobel Perdamaian pada 1991 itu menolak untuk menggunakan kata Rohingya.

"Penggunaan kata-kata semacam itu harus dibatasi...karena sulit untuk menemukan solusi damai dan masuk akal bagi masalah kita" jika yang dipilih adalah kata-kata demikian, ujarnya dikutip Benarnews. Suu Kyi merujuk kata "Rohingya" sebagai istilah melecehkan bagi para pemeluk Buddha yang tinggal di provinsi Rakhine bagian barat.

Pada kesempatan sama, Suu Kyi meminta "cukup ruang" untuk membenahi prahara yang membekap penduduk Muslim Rohinga di Myanmar.

Ihwal penolakan kata Rohingya ini telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri--yang dipimpin oleh Suu Kyi--pada awal Mei lalu. Saat itu, kementerian meminta para diplomat negara-negara sahabat untuk tidak lagi memakai kata Rohingya. "Kami tidak pernah menerima istilah ini," ujar Kyaw Zay Ya dari Kementerian Luar Negeri Myanmar dikutip The Telegraph (6/5).

Dalam hemat Kyaw, istilah Rohingya tidak berterima karena"Rohingya tidak diakui sebagai bagian dari 135 kelompok etnis" di Myanmar. "Pemakaian istilah kontroversial itu tidak mendukung proses rekonsiliasi nasional".

Sepekan setelah itu, Amerika Serikat, melalui duta besarnya yang bertugas di Myanmar, Scot Marciel, menyatakan takkan menuruti permintaan Suu Kyi. Amerika, ujarnya, memandang bahwa "masyarakat di berbagai tempat berhak, atau dapat, memutuskan sendiri sebutan bagi mereka," ujarnya pada 10 Mei 2016 dikutip The Guardian. "Itu bukan keputusan politik," ujarnya, "tapi hal yang biasa saja."

Orang Rohingya telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad. Banyak pihak di negeri itu memandang Rohingya sebagai pendatang gelap. Para pendatang dari suku tersebut acap dikurung di kamp konsentrasi. Selain itu, kewarganegaraan mereka pun dicabut.

Sekitar 80 persen penduduk Myanmar menganut ajaran Buddha dan menopang kebijakan anti-Islam. Seperti pemerintah, masyarakat lebih memilih "Rohingya" ketimbang "Bengali". Istilah tersebut lantas memperkuat keyakinan bahwa orang Rohingya pendatang gelap dari Bangladesh.

Pada kasus lain, sebuah desa bernama Thaungtan, memajang pesan: "Muslim dilarang bermalam. Muslim dilarang menyewa kamar. Dilarang Menikahi Seorang Muslim".


Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...erintahan-baru

---

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
890
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan