- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kesaksian Tragis Kopral Suparno, Prajurit Korban 1965


TS
kimchilia
Kesaksian Tragis Kopral Suparno, Prajurit Korban 1965
Quote:
Kesaksian Tragis Kopral Suparno, Prajurit Korban 1965
Reporter: Prima Gumilang
Jakarta, CNN Indonesia -- Peristiwa 1965 menghancurkan kehidupan banyak orang, tak terkecuali Kopral II Suparno, mantan anggota Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya. Tanpa alasan jelas, dia dituding bagian dari Partai Komunis Indonesia, ditodong senjata oleh sesama tentara, dan dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Di sela Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang berlangsung di Hotel Aryaduta Jakarta, Suparno menceritakan kisah hidupnya yang tragis. Berikut cerita Suparno seperti ia tuturkan kepada wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang.
Saya anggota 530/Para dari Madiun. Saya datang ke Jakarta September 1965 atas perintah Panglima, untuk ikut ulang tahun ABRI 5 Oktober.
Saya berangkat dari Madiun. Begitu sampai Jakarta, ditempatkan di Kebon Jeruk. Kesatuan kami, satu batalyon, riil ada 1.056 orang. Sebagian kecil ada di asrama.
Pekerjaan sehari-hari kami di Jakarta baris-berbaris, olahraga, senam. Pernah diinspeksi sama Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di Senayan tentang kesiapan pasukan.
Tanggal 30 September, kesatuan saya berada di halaman Monas, duduk santai menunggu perintah, belum ada kejadian.
Baru mendengar dari RRI berita penculikan (jenderal Angkatan Darat) tanggal 1 Oktober, jam 04.00 pagi. Kami masih tenang saja di Monas.
Antara jam 11.00-13.00, ada perintah mengevakuasi kami ke Markas Kostrad. Kami bersenjata lengkap.
Anehnya, perintah (yang kami terima untuk ke Jakarta) kan untuk upacara Hari Ulang Tahun ABRI, tapi kenapa kami harus di posisi garis depan? Berarti kan kami harus siaga satu siap tempur.
Itu anehnya, padahal itu perintah Pangkostrad yang diterima batalyon saya, Kapten Sukardi.
Setelah kami di Makostrad, di situ sudah ada Basuki Rachmat, Panglima Kodam (Komando Daerah Militer). Dia panglima (di atas) saya langsung. Lalu di belakangnya ada Mayjen Soeharto, Pangkostrad. Jadi ada dua panglima. Pangkostrad itu itu panglima operasi untuk tugas tempur.
Jadi di Aula Kostrad, di sana sudah berdiri Mayjen Basuki Rachmat dan Pak Harto dengan membawa tongkat komando. Basuki Rachmat memberikan amanat, “Anak-anakku sekalian dari (Batalyon) 530, kalian tidak salah. Kalian tidak tahu apa-apa.”
Itu yang saya pegang teguh.
Tapi kalau begitu, kenapa saya dikorbankan seperti ini? Saya ditahan lima tahun tanpa proses hukum. Saya cuma diperiksa sekali di Denpom (Detasemen Polisi Militer) Madiun.
Tanggal 1 Desember, saya dapat surat cuti ke Madiun. Saya pulang naik kereta api. Sampai di Madiun pagi, tanggal 2 Desember 1965, saya ke rumah istri saya. Setelah itu saya pamit ke istri, “Bu, saya mau ke batalyon mengambil jatah beras, gula, sabun.”
Setelah ambil jatah, saya naikkan (barang-barang) becak. Saya naik becak, mau keluar melalui pintu gerbang.
Sebelum pintu gerbang, saya ditodong senjata oleh tentara. Saya enggak tahu itu siapa. Saya ditodong, disuruh turun. Saya tolak, saya bilang, “Maksudnya apa? Ikuti saja saya.”
Akhirnya saya diikuti, dicegat depan-belakang. Saya naik becak pelan. Ketika saya mau belok ke rumah, saya sempat nengok ke belakang, ada kurang lebih satu regu tentara. Saya lari dari Kodim (Komando Distrik Militer). Kodim kan dekat rumah saya. Setelah lari, saya punya firasat mereka mengepung saya.
Ada lima orang yang bawa jip. Saya diperintah paksa oleh salah satu pimpinannya untuk angkat tangan. Saya ditodong senjata laras panjang, lalu diminta bawa pakaian ganti.
“Pakaian apa, Pak?” tanya saya. Dijawab, “Pakaian seadanya, pakaian dalam.” Saya ikuti dia naik ke jip. Mau dibawa ke mana, saya enggak tahu.
Tahu-tahu saya dibelokkan ke Denpom. Saya diturunkan, lalu ditinggal begitu saja.
Saya menunggu panggilan dari dalam Denpom. Sekitar jam 12.00 saya dipanggil masuk, dilucuti. Dilepas semua termasuk pistol, pisau, baret, baju seragam. Saya waktu itu dalam keadaan tugas.
Saya dilucuti lalu diperiksa jam tujuh malam. Ditanya tentang keadaan Jakarta. Ya enggak tahu. Yang jelas ada pertanyaan soal penculikan jenderal.
Pengetahuan saya kan terbatas sekali. Saya kopral. Saya jawab setahu yang saya lihat.
Saya dibacakan, “Ini pertanyaan untuk kamu, ada 25 poin.” Pertanyaan ke-25, saya dituduh mau membunuh perwira letnan satu dengan maksud menggantikan posisi beliau.
Seorang perwira letnan satu, sementara saya kopral. Sekolah saya cuma SD kelas enam. Apa mungkin? Apa masuk akal? Jadi saya anggap itu sangat kejam.
Kenapa saya tidak diadili sehingga saya tahu betul apa salah saya ditahan sampai lima tahun? Inilah yang saya perjuangkan, terutama hak-hak saya sebagai manusia.
Saya enggak pernah diadili, langsung dipenjara lima tahun. Diduga terlibat G30S/PKI. Itu saja. Diduga!
Saya bebas dari penjara tahun 1970, masih terus dalam pengawasan.
Saya bebas, pulang ke rumah, lalu istri saya minta cerai. Dia kimpoi, saya disuruh datang. Saya nikahkan di depan penghulu.
Saya maunya membina anak-anak, menyekolahkan sampai mereka dewasa.
Istri saya memaksa cerai karena kebutuhan ekonomi dan sebagainya. Saya merasa lima tahun tidak bisa mencukupi kewajiban saya sebagai suami, baik materi maupun batin. Terpaksa saya tanda tangani di muka penghulu, silakan kimpoi lagi.
Silakan. Yang penting saya titip anak saya, bimbing dengan baik, jangan sampai dianiaya. Dua anak, perempuan dan laki.
Saya ada delapan cucu dan buyut dua. Pekerjaan saya saat ini menjual pernak-pernik bersama anak.
Padahal keberangkatan saya ke Jakarta September 1965 itu atas perintah Pangkostrad. Seorang prajurit tak akan menjalankan apapun tanpa perintah atasan.
Reporter: Prima Gumilang
Quote:
Tragedi 1965 menghancurkan hidup banyak orang, tak terkecuali Kopral II Suparno, mantan anggota Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya yang dituding PKI. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Jakarta, CNN Indonesia -- Peristiwa 1965 menghancurkan kehidupan banyak orang, tak terkecuali Kopral II Suparno, mantan anggota Batalyon 530/Para Brigade III Brawijaya. Tanpa alasan jelas, dia dituding bagian dari Partai Komunis Indonesia, ditodong senjata oleh sesama tentara, dan dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Di sela Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang berlangsung di Hotel Aryaduta Jakarta, Suparno menceritakan kisah hidupnya yang tragis. Berikut cerita Suparno seperti ia tuturkan kepada wartawan CNNIndonesia.com, Prima Gumilang.
Saya anggota 530/Para dari Madiun. Saya datang ke Jakarta September 1965 atas perintah Panglima, untuk ikut ulang tahun ABRI 5 Oktober.
Saya berangkat dari Madiun. Begitu sampai Jakarta, ditempatkan di Kebon Jeruk. Kesatuan kami, satu batalyon, riil ada 1.056 orang. Sebagian kecil ada di asrama.
Pekerjaan sehari-hari kami di Jakarta baris-berbaris, olahraga, senam. Pernah diinspeksi sama Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di Senayan tentang kesiapan pasukan.
Tanggal 30 September, kesatuan saya berada di halaman Monas, duduk santai menunggu perintah, belum ada kejadian.
Baru mendengar dari RRI berita penculikan (jenderal Angkatan Darat) tanggal 1 Oktober, jam 04.00 pagi. Kami masih tenang saja di Monas.
Antara jam 11.00-13.00, ada perintah mengevakuasi kami ke Markas Kostrad. Kami bersenjata lengkap.
Anehnya, perintah (yang kami terima untuk ke Jakarta) kan untuk upacara Hari Ulang Tahun ABRI, tapi kenapa kami harus di posisi garis depan? Berarti kan kami harus siaga satu siap tempur.
Itu anehnya, padahal itu perintah Pangkostrad yang diterima batalyon saya, Kapten Sukardi.
Setelah kami di Makostrad, di situ sudah ada Basuki Rachmat, Panglima Kodam (Komando Daerah Militer). Dia panglima (di atas) saya langsung. Lalu di belakangnya ada Mayjen Soeharto, Pangkostrad. Jadi ada dua panglima. Pangkostrad itu itu panglima operasi untuk tugas tempur.
Jadi di Aula Kostrad, di sana sudah berdiri Mayjen Basuki Rachmat dan Pak Harto dengan membawa tongkat komando. Basuki Rachmat memberikan amanat, “Anak-anakku sekalian dari (Batalyon) 530, kalian tidak salah. Kalian tidak tahu apa-apa.”
Itu yang saya pegang teguh.
Tapi kalau begitu, kenapa saya dikorbankan seperti ini? Saya ditahan lima tahun tanpa proses hukum. Saya cuma diperiksa sekali di Denpom (Detasemen Polisi Militer) Madiun.
Tanggal 1 Desember, saya dapat surat cuti ke Madiun. Saya pulang naik kereta api. Sampai di Madiun pagi, tanggal 2 Desember 1965, saya ke rumah istri saya. Setelah itu saya pamit ke istri, “Bu, saya mau ke batalyon mengambil jatah beras, gula, sabun.”
Setelah ambil jatah, saya naikkan (barang-barang) becak. Saya naik becak, mau keluar melalui pintu gerbang.
Sebelum pintu gerbang, saya ditodong senjata oleh tentara. Saya enggak tahu itu siapa. Saya ditodong, disuruh turun. Saya tolak, saya bilang, “Maksudnya apa? Ikuti saja saya.”
Akhirnya saya diikuti, dicegat depan-belakang. Saya naik becak pelan. Ketika saya mau belok ke rumah, saya sempat nengok ke belakang, ada kurang lebih satu regu tentara. Saya lari dari Kodim (Komando Distrik Militer). Kodim kan dekat rumah saya. Setelah lari, saya punya firasat mereka mengepung saya.
Ada lima orang yang bawa jip. Saya diperintah paksa oleh salah satu pimpinannya untuk angkat tangan. Saya ditodong senjata laras panjang, lalu diminta bawa pakaian ganti.
“Pakaian apa, Pak?” tanya saya. Dijawab, “Pakaian seadanya, pakaian dalam.” Saya ikuti dia naik ke jip. Mau dibawa ke mana, saya enggak tahu.
Tahu-tahu saya dibelokkan ke Denpom. Saya diturunkan, lalu ditinggal begitu saja.
Saya menunggu panggilan dari dalam Denpom. Sekitar jam 12.00 saya dipanggil masuk, dilucuti. Dilepas semua termasuk pistol, pisau, baret, baju seragam. Saya waktu itu dalam keadaan tugas.
Saya dilucuti lalu diperiksa jam tujuh malam. Ditanya tentang keadaan Jakarta. Ya enggak tahu. Yang jelas ada pertanyaan soal penculikan jenderal.
Pengetahuan saya kan terbatas sekali. Saya kopral. Saya jawab setahu yang saya lihat.
Saya dibacakan, “Ini pertanyaan untuk kamu, ada 25 poin.” Pertanyaan ke-25, saya dituduh mau membunuh perwira letnan satu dengan maksud menggantikan posisi beliau.
Seorang perwira letnan satu, sementara saya kopral. Sekolah saya cuma SD kelas enam. Apa mungkin? Apa masuk akal? Jadi saya anggap itu sangat kejam.
Kenapa saya tidak diadili sehingga saya tahu betul apa salah saya ditahan sampai lima tahun? Inilah yang saya perjuangkan, terutama hak-hak saya sebagai manusia.
Saya enggak pernah diadili, langsung dipenjara lima tahun. Diduga terlibat G30S/PKI. Itu saja. Diduga!
Saya bebas dari penjara tahun 1970, masih terus dalam pengawasan.
Saya bebas, pulang ke rumah, lalu istri saya minta cerai. Dia kimpoi, saya disuruh datang. Saya nikahkan di depan penghulu.
Saya maunya membina anak-anak, menyekolahkan sampai mereka dewasa.
Istri saya memaksa cerai karena kebutuhan ekonomi dan sebagainya. Saya merasa lima tahun tidak bisa mencukupi kewajiban saya sebagai suami, baik materi maupun batin. Terpaksa saya tanda tangani di muka penghulu, silakan kimpoi lagi.
Silakan. Yang penting saya titip anak saya, bimbing dengan baik, jangan sampai dianiaya. Dua anak, perempuan dan laki.
Saya ada delapan cucu dan buyut dua. Pekerjaan saya saat ini menjual pernak-pernik bersama anak.
Padahal keberangkatan saya ke Jakarta September 1965 itu atas perintah Pangkostrad. Seorang prajurit tak akan menjalankan apapun tanpa perintah atasan.
Quote:
coba bayangkan berapa banyak orang seperti kopral suparno ini yang di hukum (eksekusi/penjara) tanpa fair trial dan cap sebagai PKI!!
Diubah oleh kimchilia 20-05-2016 13:21
0
58.7K
Kutip
244
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan