- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mitos-Mitos Seputar PLTN


TS
dic.thorium
Mitos-Mitos Seputar PLTN
Spoiler for Disclaimer:
Dibandingkan pembangkit listrik lain, patut diakui bahwa PLTN adalah yang paling gampang terbawa isu. Berita buruknya, isu itu sebagian besar adalah negatif. Lebih buruk lagi, isu-isu itu banyak dilontarkan oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab untuk menyesatkan masyarakat dan membuat publik menentang energi nuklir. Padahal, pihak tersebut mendeklarasikan dirinya sebagai LSM peduli lingkungan. Yang paling buruk? Isu yang disebarkan itu tidak ada dalam realisasinya. Berita bohong atau dimanipulasi untuk mencitrakan bahwa energi nuklir adalah pilihan buruk dan selayaknya ditinggalkan.
Benar, tidak ada moda pembangkit listrik yang sempurna. Semua pasti ada keunggulan dan kelemahan. Termasuk juga PLTN. Namun, menyebarkan informasi menyesatkan mengenai suatu moda pembangkitan energi bukanlah hal yang layak dilakukan oleh kalangan yang mengaku intelek, akademisi, berpendidikan. Sebab, kalangan berpendidikan yang sesungguhnya akan lebih dari tahu etika akademis untuk menelaah sesuatu secara objektif, bukan serampangan memanipulasi data untuk kepentingan kalangan tertentu.
Ada beberapa isu yang dilemparkan ke tengah masyarakat, yang sebenarnya merupakan mitos dan kesalahpahaman belaka. Hanya saja, akan jadi menyedihkan jika mitos ini kemudian “digoreng” untuk membuat masyarakat antipati terhadap energi nuklir. Berangkat dari itu, kami merasa perlu untuk meluruskan mitos-mitos tersebut, sebelum makin banyak yang tersesatkan olehnya.
Berikut beberapa mitos mengenai PLTN beserta sanggahannya.
Mitos 1: PLTN mahal, jauh lebih mahal daripada batubara dan gas alam
Dalam instalasi pembangkit daya, ada tiga hal yang diperhitungkan, yaitu capital cost, operation and maintenance dan fuel cost. Bagi PLTN, ada tambahan decommissioning, tapi itu sudah termasuk dalam capital cost. Intinya adalah tiga hal tersebut
Dibandingkan pembangkit daya lain, PLTN memang lebih mahal. Dalam apanya? Capital cost. Investasi awal untuk pembangunan PLTN memang terbilang mahal. Kira-kira 1 unit PLTN tipe PWR dengan daya 1000 MW elektrik itu butuh sekitsr Rp. 50 trilyun. Jauh lebih mahal daripada PLTU batubara dan gas.
Lantas, apa harga listriknya juga jadi mahal?
Grafik penelitian dari Lappeenranta, Finlandia tahun 2008 ini setidaknya bisa menunjukkannya.

Merasa kurang yakin? Baik, silakan cek data dari United Kingdom tahun 2012 ini.

Nuklir hanya kalah murah sedikit dibandingkan gas alam, yang memang menjadi sumber daya utama di United Kingdom, tapi jelas-jelas kompetitif.
Belum cukup juga? Tidak apa. Silakan cek lagi data World Nuclear Association.

Benar, PLTN mahal di capital cost. Biaya pembangunannya. Begitu pula O&M (Operation & Maintenance), sedikit lebih mahal ketimbang moda lain. Namun, PLTN justru relatif sangat murah pada bahan bakarnya. Itulah dahsyatnya energi nuklir, bisa menghasilkan daya begitu besar dengan bahan bakar sedikit. Bandingkan dengan biaya bahan bakar batubara dan gas, jauh lebih tinggi, yang kelak justru membuat harga listriknya jadi lebih mahal. Efek positifnya lagi, jika harga bahan bakar melejit naik, maka yang akan sangat terpengaruh adalah batubara, bukan nuklir. Sebab, bahan bakar merupakan komponen pembiayaan yang paling kecil dalam PLTN.
Ditambah lagi, dari grafik-grafik di atas, biarlah fakta yang berbicara.
Mitos 2: PLTN itu rawan kecelakaan
Ada yang sering menonton berita? Apa yang sering muncul di berita pagi? Normalnya, sih, kalau bukan tindakan kriminal, ya kecelakaan. Entahlah, sudah lama tidak nonton televisi. Coba perhatikan, berapa kejadian kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi selama sebulan? Selama setahun? Khususnya lagi, waktu arus mudik? Mungkin ribuan. Bisa jadi puluhan ribu. Jalan raya memakan korban tewas paling banyak di negeri ini setelah penyakit jantung dan stroke.
Pesawat terbang, sudah berapa banyak yang mengalami kecelakaan? Hilang, terjun bebas ke laut, mendarat paksa sambil menghancurkan rumah warga tanpa sengaja, berapa korbannya? Bisa ratusan, bisa ribuan. Banyak.
Tahukah kalian? Di Amerika Serikat, kira-kira 30 ribu orang meninggal tiap tahunnya gara-gara gangguan pernapasan yang diakibatkan partikulat dari PLTU Batubara? Di Cina, angkanya lebih buruk lagi.
Kenal penyakit kanker? Jutaan orang terkena kanker, banyak diantaranya karena gaya hidup tidak sehat. Alan Rickman, pemeran Professor Snape yang melegenda, adalah salah satu korbannya. Kanker adalah momok menakutkan yang telah memakan jutaan korban selama ini.
Poinnya apa dari semua itu?
Semua yang telah disebutkan itu memiliki peluang membunuh yang jauh lebih tinggi daripada PLTN. Kontras dengan persepsi sesat yang beredar di publik, PLTN adalah moda pembangkit listrik berdaya tinggi paling aman yang pernah ada. Sistem keselamatannya berlapis, yang satu tidak akan bisa ditembus selama yang dalamnya kokoh. Tidak ada kemungkinan reaktor ini mengalami kecelakaan yang mampu memengaruhi masyarakat di sekitarnya, kecuali dalam level yang sangat ekstrem.
Sebagian kalangan anti nuklir menggembargemborkan kecelakaan parah yang terjadi di Chernobyl untuk menyatakan bahwa “reaktor nuklir berbahaya” dan “wajib ditolak”. Mereka tidak tahu, mungkin juga tutup mata, bahwasanya tidak ada orang waras manapun di dunia ini yang mau membangun reaktor sejenis itu lagi. Reaktor RBMK Chernobyl yang dibangun Uni Sovyet dikala Perang Dingin itu adalah reaktor yang sangat buruk sistem keselamatannya dan dioperasikan oleh orang-orang tidak kompeten, bahkan tidak melewati pelatihan memadai sama sekali. Wajarlah ketika akhirnya terjadi human error, ditambah sistem keselamatan reaktor yang luar biasa buruk, kecelakaan pun terjadi.
Zaman sekarang, tidak ada satupun perusahaan reaktor nuklir yang mau membangun reaktor sejenis itu. Reaktor nuklir saat ini punya sistem keselamatan yang teruji oleh Badan Regulasi dan berlisensi. Kecelakaan macam Chernobyl bisa dikatakan mustahil terjadi lagi.
Kecelakaan Fukushima tahun 2011 kemarin seolah menjadi ‘angin segar’ bagi kaum anti nuklir untuk kembali menghantam energi nuklir. Sayangnya, semua seolah menutup mata dari fakta bahwa dalam kecelakaan itu, korban jiwanya adalah nol. Tidak ada sama sekali. Dan efek terhadap lingkungannya tidak sebesar yang digembar-gemborkan media massa. Tapi patut dicatat juga, reaktor nuklir di Fukushima Daiichi yang mengalami kecelakaan adalah teknologi lama, tahun 1960an, dan kecelakaannya “semata-mata” karena ‘salah’ menempatkan sistem.pendingin cadangan, sehingga terjadi kegagalan pendinginan untuk panas peluruhan, sekalipun sebenarnya reaktornya sendiri sudah mati saat terjadi tsunami. Jadi, bukan karena sistem utama reaktornya.
Ya, orang-orang banyak menuding kecelakaan Fukushima yang tidak ada korban jiwa sama sekali, tapi merasa sama sekali tidak masalah dengan 30 ribu orang yang meninggal tiap tahun karena partikulat batubara hasil buangan PLTU. Tidak ada juga yang menolak penggunaan minyak bumi meski sudah puluhan kali kapal tanker minyak mengalami kecelakaan di laut, menumpahkan minyak ke samudera dan meracuni air serta biota-biota di dalamnya.
Semua teknologi pasti berisiko, tapi PLTN, kontras dengan kesalahpahaman masyarakat, justru adalah yang paling aman dan selamat dibanding moda lainnya.
Mitos 3: Radiasi PLTN berbahaya bagi lingkungan
Ehm… Sejujurnya, kalian lebih mungkin terkena radiasi nuklir lebih tinggi dengan makan pisang tiap hari daripada tinggal dekat PLTN. Oh, merokok juga. Iya, rokok mengandung substansi polonium-210, salah satu substansi paling mematikan bagi manusia dan bertanggungjawab atas kanker paru-paru para perokok. Di dalam pisang sendiri, ada kalium-40 secara alami.
Pernah melakukan CT-scan? Atau diperiksa pakai sinar-X/sinar Röntgen? Nah, sekali kalian periksa pakai metode itu, radiasi yang menyambar tubuh kalian masih jauh lebih tinggi daripada di area PLTN. Tapi, kenapa, ya, belum ada yang menyuarakan bahwa sinar-X atau CT-scan itu berbahaya?
Radiasi dalam PLTN sudah terkungkung dalam gedung reaktornya. Radiasi gamma dan netron tidak akan banyak yang tembus keluar teras reaktor. Beton tebal (kira-kira 1,2 meter) digunakan untuk bejana teras reaktor, mengurangi energi radiasi sehingga sampai pada taraf yang tidak lagi membahayakan. Lagipula, jika benar radiasi PLTN berbahaya bagi lingkungan, tentunya tidak akan ada lagi PLTN yang beroperasi saat ini, dan para pekerjanya sudah mati semua, bukan begitu? Nyatanya, 442 unit PLTN masih beroperasi normal dan petugas-petugasnya pun tidak bermasalah.
Mitos 4: PLTN bisa dipakai membuat senjata nuklir
Ada setidaknya 2 perbedaan utama dari PLTN dan senjata nuklir, dari segi bahan bakar: (1) Pengayaan bahan bakar, reaktor nuklir cuma menggunakan maksimal 20% U-235 dalam bahan bakarnya. Bahkan, PLTN umumnya hanya berkisar 3-5% saja. Sementara, senjata nuklir butuh minimal 90% U-235. Jauh, kan? Tidak mungkin uranium di PLTN bisa disalahgunakan jadi senjata nuklir; (2) PLTN memang menghasilkan plutonium di bahan bakar bekasnya, tapi plutonium ini tidak bisa digunakan sebagai senjata nuklir. Kenapa?
Plutonium itu ada 2 jenis berdasarkan grade-nya, yaitu weapon grade plutonium dan reactor grade plutonium. Keduanya dibedakan berdasarkan kandungan Pu-240 di dalamnya. Weapon grade plutonium punya kandungan Pu-240 kurang dari 7%, sementara reactor grade plutonium lebih dari 7%. Untuk membuat senjata nuklir, dibutuhkan weapon grade plutonium. Sebabnya, kadar Pu-240 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan senjata nuklir meledak sebelum waktunya (ceritanya panjang, bisa dibahas di tulisan lain). Jelas itu tidak diharapkan. Makanya, kandungan Pu-240 harus dibuat sekecil mungkin, dengan batasan tadi, maksimal 7%.
Sementara, plutonium yang dihasilkam oleh bahan bakar bekas PLTN adalah reactor grade plutonium. Kandungan Pu-240 nya relatif tinggi, rata-rata lebih dari 15%. Bahkan, ada yang sampai 30%. Artinya, secara otomatis, plutonium jenis ini tidak layak dijadikan senjata nuklir. Kalaupun bisa, sangat sulit dan jauh lebih mahal daripada metode konvensional. Malah jadi tidak efisien, buang-buang uang. Tidak ada yang mau pakai cara ini.
Dengan kata lain, plutonium dari reaktor nuklir bisa dikatakan mustahil dijadikan senjata nuklir. Ketakutan seperti itu tidak beralasan. Begitu pula bahan bakar dalam bentuk uranium, sama sekali mustahil dijadikan senjata nuklir. Patut dicatat, membuat senjata nuklir tidak harus punya PLTN. Tapi membangun PLTN, sulit untuk merekayasanya untuk produksi senjata nuklir, kalau bukan mustahil sama sekali.
Satu lagi: yang bisa membangun senjata nuklir hanya institusi negara, bukan kelompok bersenjata. Senjata nuklir terlalu mahal dan rumit untuk bisa dibuat oleh kelompok bersenjata, atau orang-orang media massa tidak bertanggungjawab menyebutnya, ‘teroris’. Yang mungkin dibuat oleh kelompok bersenjata paling mentok sejenis dirty bomb, tapi itu beda pembahasan dan tidak ada hubungannya dengan PLTN.
Mitos 5: Limbah PLTN sangat berbahaya
Limbah nuklir itu terbagi 3 jenis, berdasarkan level radiotoksisitasnya: low level waste (LLW), intermediate level waste (ILW), dan high level waste (HLW). Untuk LLW, limbah macam ini tidak cukup berbahaya terhadap lingkungan. Diolah sebagaimana limbah industri lain pun bisa. Dikubur di tanah dangkal pun tidak masalah. Tidak akan ada orang yang berubah menjadi Hulk karena memroses limbah macam ini. Oh ya, LLW ini mencakup kira-kira 90% total limbah PLTN. Dengan kata lain apa? Mayoritas limbah PLTN tidak berbahaya.
ILW punya level radiotoksisitas lebih tinggi. Menanganinya butuh pengolahan khusus, tapi tidak serumit HLW. Dikubur tidak terlalu dalam pun bisa. Jumlahnya juga sedikit, sekitar 7% dari total limbah. HLW (normalnya terdiri dari batang bahan bakar dan bahan bakar bekasnya sendiri) punya kapasitas limbah paling sedikit, tapi kontribusi radiotoksisitasnya paling tinggi. Jadi, yang benar-benar punya potensi berbahaya itu jumlahnya tidak banyak, dan sejauh ini telah berhasil ditangani dengan seharusnya.
Apa, sih, yang berbahaya dari HLW ini? Tentu radiasinya, bukan? Nah, radiasi HLW ini memang benar-benar tinggi ketika baru saja dikeluarkan dari reaktor. Tapi, ketika sudah didinginkan selama sekitar 5 tahun di dalam kolam pendingin limbah sementara, kadar radiasinya sudah turun jauh, sampai 95% dari level awal. Setelah dikeluarkan dari kolam penyimpanan itu, HLW disimpan di dalam kontainer penyimpanan kering yang bisa bertahan beberapa dekade. Setelah itu, bisa dikubur di bawah tanah, di area khusus yang diperuntukkan sebagai penyimpanan limbah. Normalnya adalah di formasi geologi stabil, seperti di tanah volkanik atau tanah garam.
Sampai pada taraf penguburan, apakah masih berbahaya? Ya, kalau misalnya ada yang mencuri drum penyimpanan limbahnya, lalu menelan sebagian isinya. Masalahnya, itu mustahil. Jadi tidak usah dikhawatirkan. Material kontainernya sendiri memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya kebocoran sekecil mungkin. sehingga, jikalau pun terjadi.kebocoran, tidak akan berpengaruh pada lingkungan. Apa kontainer seperti itu benar-benar ada? Ya. Sudah dipatenkan pula. Dan yang merancangnya adalah dari dalam negeri, Dr. Yudiutomo, dosen UGM dan Kepala PT Inuki. Tidak percaya? Silakan dicek sendiri di laman internet, informasinya banyak, kok.
Limbah PLTN itu sekitar 20-30 ton per tahun. Tidak banyak, kalau dikomparasi dengan limbah buangan dari PLTU batubara, yang melepaskan antara ribuan sampai jutaan ton CO2, NOX, SOX dan abu ke udara tiap tahunnya. Lagipula, limbah dari PLTN terkungkung dengan baik, tidak lepas ke lingkungan, dan tahu bagaimana cara mengaturnya. Kalau CO2 dan abu penuh material radioaktif yang dilepaskan PLTU batubara ke udara bebas? Bagaimana menanggulanginya, coba? Herannya, tidak ada yang pernah komplain soal limbah batubara ini. Sementara, limbah PLTN yang terkelola dengan baik masih saja dianggap luar biasa berbahaya dan dijadikan senjata untuk ‘menggebuk’ PLTN.
Ini hanya menguji logika saja, bukan pembenaran bahwa limbah PLTN tidak harus diproses. Jelas saja wajib diproses. Sejauh ini, tidak pernah terjadi suatu kecelakaan atau dampak negatif dalam skala besar terhadap publik mengenai limbah PLTN, sepanjang puluhan tahun sejak PLTN pertama berdiri. Tidak seperti limbah PLTU batubara atau limbah plastik, misalnya.
Ditambah lagi, ada peluang besar di masa depan bahwa limbah PLTN ini bisa jadi bahan bakar, dengan dikembangkannya reaktor Generasi IV. Berita baiknya? Limbah yang memiliki radiotoksisitas tinggi, yang kami sebut sebagai limbah transuranik, dapat ‘dibakar’ dengan reaktor ini, sehingga mengurangi kadar limbah berbahaya yang mesti dikubur, plus berguna untuk menerangi perumahan dan menggerakkan industri.
Demikian beberapa mitos mengenai PLTN di tengah masyarakat yang kami anggap menyesatkan dan bertentangan dengan realitas. Pesan moralnya, mari bertamya pada yang paham, sebelum membuat penghakiman tanpa landasan ilmu.
Spoiler for Penulis:
Spoiler for Referensi:
0
3.2K
32


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan