- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"'Bodoh' Sekali jika Kalian Masih Percaya.."


TS
act.id
"'Bodoh' Sekali jika Kalian Masih Percaya.."

ISTANBUL – Berhari-hari menepi dan bercengkerama dengan para pengungsi Suriah di perbatasan Turki – Suriah, cukup banyak membuka wawasan. Ya, ini memahamkan apa yang sesungguhnya terjadi dan ada di benak para pengungsi yang terpaksa harus keluar dari tanah kelahirannya. Sampailah kemudian kami terlibat dalam obrolan ‘rada berat’ dengan pengungsi, yang diantaranya merupakan kalangan terdidik dan profesional.
Perbincangan bermula dari diskusi ringan seputar demokrasi. Peserta kongkow ringan ini, selain saya, ada juga seorang dokter dan beberapa orang yang bertugas di sebuah klinik untuk para pengungsi Suriah. Obrolan bergeser pada isu pemilu di Suriah yang berlangsung sejak sebelum dan selama masa konflik.

"(Presiden) Petahana terpilih secara demokratis dalam pemilu 2012 dan 2014", kata saya kepada mereka. Saya merujuk pada pemilu parlemen di tahun 2012 dan presiden di 2014, yang secara telak memenangkan petahana sekaligus rezim yang berkuasa.
Pernyataan saya, memang selama ini ada diantara sekian argumen yang kerap terlontarkan oleh mereka—warga pendukung rezim maupun para ‘simpatisan’ di luar Suriah, yang mendukung dan melegitimasi kejahatan dan pembantaian rezim terhadap rakyatnya sendiri.
Saya teringat argumen ini pun pernah terucapkan oleh Presiden Rusia saat ia mengunjungi Erdogan di istananya di Turki. Erdogan meresponnya dengan mengatakan begini, "Di negara-negara diktator, penguasa sering menang pemilu dengan suara di atas 95%". Seingat saya, dan kita semua, memang rezim Suriah menang ‘telak’ dengan perolehan suara di atas 98%.

Mahmud yang berprofesi sebagai dokter terlihat agak naik darah. "Ya akhi (saudara-red)," ujarnya memulai sanggahannya dengan nada emosi. "Coba kau pikirkan sekarang, hampir separuh penduduk terusir, ratusan ribu dibunuh. Demokrasi seperti apa lagi yang kamu bicarakan?"
"Berapa sebenarnya jumlah suara yang ia peroleh? Berapa besar persentasi partisipasi pemilu?" tanya saya lagi.
Dia tertawa dan melanjutkan penjelasannya dengan nada yang belum turun. "Di sana semua bisa mereka lakukan. Di sana tidak ada yang namanya hukum. Dalam kondisi banyak orang terkepung, banyak orang terusir, rakyat berada dalam ketakutan, rakyat dalam kesusahan..maka bodoh sekali jika kalian masih percaya hal seperti itu. Hanya mereka yang ada di wilayah yang dikuasai rezim yang mungkin ikut. Mungkin juga karena terpaksa. Saya perkirakan partisipasi hanya sekitar 20 %," jelasnya.
Lalu seorang lagi bernama Mustapa ikut angkat suara. "Paman saya ikut sebagai pengawas kotak suara. Dan dia sangat kaget melihat nama nenek saya yang sudah meninggal 20 tahun lalu ikut mencoblos," katanya menimpali.
"Orang-orang rezim sangat ketat mengawasi dan campur tangan dalam merekayasa hasil pemilu. Anda bisa dibunuh jika diketahui menantang rezim," tukasnya lagi.
Pembicaraan terus berlanjut. Dan pikiran saya terpaku pada ucapan Mahmud menanggapi ungkapan saya, “Pikirkan! bodoh sekali!" Saya tersenyum melihat ekspresinya, dan benak saya melayang menelusuri pelajaran Sastra Arab—saat berkuliah dulu, terkait jenis-jenis ungkapan bahasa Arab yang dipakai untuk mengolok seseorang.
Diriwayatkan oleh Al-Hamadzani bahwa ada dua orang fasih berbahasa bertengkar dan mereka bertukar ungkapan-ungkapan hinaan dalam bahasa Arab yang fasih. Ada ungkapan "ahmaq min habannaqah" (lebih bodoh dari si Habannaqah-red), lalu ada “Ya man'al-ma'un”….” ya sanat'at-tha'un”…”kalb-an fi'l-hirays”…”qird-an fi'l-firasy” dan sebagainya.
Pernah seorang ahli bahasa pun menyebutkan bahwa ungkapan paling keras dalam mengejek adalah: "ya aqbah min hatta, ya ahmaq min hatta" yang artinya “Hei, yang lebih jelek, lebih bodoh dari "bahkan”. Jadi, bodohkah kita jika masih percaya? []
Penulis: Andhika Rahman
Ayo Berpartisipasi
0
2.9K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan