- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Curahan Hati Mengharukan dari Sang Ahli Waris Rumah Radio Bung Tomo


TS
ayamgorengsiapa
Curahan Hati Mengharukan dari Sang Ahli Waris Rumah Radio Bung Tomo
Spoiler for :

Narindrani (kiri) dan Tjintariani putri Aminhadi (Pak Amin) pemilik bangunan cagar budaya radio pemberontakan Bung Tomo. Foto: Denza Perdana suarasurabaya.net
Spoiler for :
suarasurabaya.net | Sejak tahun 1996, Pemerintah Kota Surabaya ternyata telah menetapkan Rumah Pak Amin di Jalan Mawar Nomor 10-12 sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) Tempat Studio Pemancar Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) Bung Tomo.
Dua tahun kemudian, penetapan itu turun melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No.188.45/004/402.1.04/1998.
Untuk menetapkan bangunan tersebut sebagai cagar budaya ternyata cukup merepotkan. Nini Anilah Aminhadi, istri Almarhum Aminhadi (Pak Amin) pemilik rumah, juga harusriwa-riwi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya karena mendapat panggilan.
"Saya tanya, ada apa toh Bu? Katanya, rumah ini jadi cagar budaya. Tapi sampai sekarang, SK saja kami tidak pegang," kisah Tjintariani (66) putri kedua pasangan Aminhadi dan Nini Anilah ketika ditemui di rumahnya, di Jalan Gayung Sari Barat, Sabtu (14/5/2016).
Tjintariani mengatakan, Pemkot memang memasang tetenger di rumah keluarga Pak Amin. Sebuah plakat, yang menurut Tjinta, terbuat dari kayu berisi penjelasan bangunan cagar budaya dan SK wali kota. Setelah itu, petugas Pemkot Surabaya tidak pernah datang lagi ke rumah itu.
Aminhadi dan istri tinggal di rumah itu bersama kedua putri mereka, Narindrani (68) dan Tjintariani sejak sekitaran tahun 1973-1974.
Aminhadi yang bekerja sebagai pegawai Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP) (kini menjadi PT Perkebunan Nusantara/PTPN), membeli rumah dinas PNP itu, dengan izin Menteri Pertanian.
"Tahun-tahun itu juga, Bapak mengurus surat-surat rumah sampai ke Belanda. Ini (Tjintariani) saksi hidupnya. Karena dia turut Bapak ke sana," kata Narindrani, putri pertama Aminhadi.
Aminhadi meninggal pada 1985. Nini dan kedua putrinya tinggal di sana, hingga ibu dua anak itu akhirnya meninggal pada 2006 lalu. Kedua putrinya pun mewarisi rumah keluarga di Jalan Mawar itu.
Meski terasa berat, Narindrani dan Tjintariani setiap tahunnya tetap membayar PBB. Tjintariani bekerja sebagai dosen Jurusan Seni Rupa di Universitas Surabaya. Kini sudah pensiun. Sedangkan Narindrani tidak bekerja. Mereka mengaku tidak pernah mendapat potongan PBB apapun. "Kami bayar full setiap tahunnya," ujar keduanya kompak.
Lambat laun, keduanya merasa tidak mampu lagi untuk membayarnya. Sebab, sering bertambahnya waktu, PBB untuk rumah itu terus bertambah nominalnya. "Dari lima juta, sampai dua puluh juta per tahun. Kami sudah tidak sanggup," kata Andriani.
Maka rumah yang terdiri dari dua nomor itu, satu per satu mereka jual. Rumah nomor 12 mereka jual kepada pemilik baru. Narindra dan Tjintariani tidak enak menyebutkan kepada siapa. Warga sekitarJalan Mawar menyebut, rumah itu dijual kepada pria bernama Suhariyanto.
Sedangkan pada akhir 2015 lalu, rumah nomor 10 di Jalan Mawar milik keluarga Aminhadi yang tersisa, mereka relakan terjual kepada Beng Jayanata, pemilik PT Jayanata Kosmetika Prima.
"Kami mengurus izin penjualan rumah itu ke Disbudpar Kota Surabaya. Prosesnya lama, kurang lebih satu tahun," ujar Tjintariani. "Pokoknya semua dengan izin dari Pemkot Surabaya," katanya.
Kedua putri Aminhadi ini juga mengaku tertolong oleh Beng Jayanata yang merupakan tetangga mereka. Tapi keduanya tidak pernah diajak berunding bahwa rumah itu akhirnya akan dirobohkan.
"Ya, renovasi itu kan bisa diperbaiki atau dirobohkan lalu dibangun lagi. Soalnya rumah itu memang sudah rapuh. Kamar di depan itu aja pernah ambruk. Masak dibiarkan seperti itu," ujar Tjintariani.
Sebelumnya, Wiwik Widayati Kepala Disbudpar Surabaya mengatakan, Pemkot sudah memberikan diskon PBB sebanyak 50 persen kepada pemilik bangunan cagar budaya. Tujuannya, agar 50 persen sisanya dapat digunakan oleh pemilik untuk melakukan pemeliharaan bangunan.
Dua tahun kemudian, penetapan itu turun melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota No.188.45/004/402.1.04/1998.
Untuk menetapkan bangunan tersebut sebagai cagar budaya ternyata cukup merepotkan. Nini Anilah Aminhadi, istri Almarhum Aminhadi (Pak Amin) pemilik rumah, juga harusriwa-riwi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya karena mendapat panggilan.
"Saya tanya, ada apa toh Bu? Katanya, rumah ini jadi cagar budaya. Tapi sampai sekarang, SK saja kami tidak pegang," kisah Tjintariani (66) putri kedua pasangan Aminhadi dan Nini Anilah ketika ditemui di rumahnya, di Jalan Gayung Sari Barat, Sabtu (14/5/2016).
Tjintariani mengatakan, Pemkot memang memasang tetenger di rumah keluarga Pak Amin. Sebuah plakat, yang menurut Tjinta, terbuat dari kayu berisi penjelasan bangunan cagar budaya dan SK wali kota. Setelah itu, petugas Pemkot Surabaya tidak pernah datang lagi ke rumah itu.
Aminhadi dan istri tinggal di rumah itu bersama kedua putri mereka, Narindrani (68) dan Tjintariani sejak sekitaran tahun 1973-1974.
Aminhadi yang bekerja sebagai pegawai Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP) (kini menjadi PT Perkebunan Nusantara/PTPN), membeli rumah dinas PNP itu, dengan izin Menteri Pertanian.
"Tahun-tahun itu juga, Bapak mengurus surat-surat rumah sampai ke Belanda. Ini (Tjintariani) saksi hidupnya. Karena dia turut Bapak ke sana," kata Narindrani, putri pertama Aminhadi.
Aminhadi meninggal pada 1985. Nini dan kedua putrinya tinggal di sana, hingga ibu dua anak itu akhirnya meninggal pada 2006 lalu. Kedua putrinya pun mewarisi rumah keluarga di Jalan Mawar itu.
Meski terasa berat, Narindrani dan Tjintariani setiap tahunnya tetap membayar PBB. Tjintariani bekerja sebagai dosen Jurusan Seni Rupa di Universitas Surabaya. Kini sudah pensiun. Sedangkan Narindrani tidak bekerja. Mereka mengaku tidak pernah mendapat potongan PBB apapun. "Kami bayar full setiap tahunnya," ujar keduanya kompak.
Lambat laun, keduanya merasa tidak mampu lagi untuk membayarnya. Sebab, sering bertambahnya waktu, PBB untuk rumah itu terus bertambah nominalnya. "Dari lima juta, sampai dua puluh juta per tahun. Kami sudah tidak sanggup," kata Andriani.
Maka rumah yang terdiri dari dua nomor itu, satu per satu mereka jual. Rumah nomor 12 mereka jual kepada pemilik baru. Narindra dan Tjintariani tidak enak menyebutkan kepada siapa. Warga sekitarJalan Mawar menyebut, rumah itu dijual kepada pria bernama Suhariyanto.
Sedangkan pada akhir 2015 lalu, rumah nomor 10 di Jalan Mawar milik keluarga Aminhadi yang tersisa, mereka relakan terjual kepada Beng Jayanata, pemilik PT Jayanata Kosmetika Prima.
"Kami mengurus izin penjualan rumah itu ke Disbudpar Kota Surabaya. Prosesnya lama, kurang lebih satu tahun," ujar Tjintariani. "Pokoknya semua dengan izin dari Pemkot Surabaya," katanya.
Kedua putri Aminhadi ini juga mengaku tertolong oleh Beng Jayanata yang merupakan tetangga mereka. Tapi keduanya tidak pernah diajak berunding bahwa rumah itu akhirnya akan dirobohkan.
"Ya, renovasi itu kan bisa diperbaiki atau dirobohkan lalu dibangun lagi. Soalnya rumah itu memang sudah rapuh. Kamar di depan itu aja pernah ambruk. Masak dibiarkan seperti itu," ujar Tjintariani.
Sebelumnya, Wiwik Widayati Kepala Disbudpar Surabaya mengatakan, Pemkot sudah memberikan diskon PBB sebanyak 50 persen kepada pemilik bangunan cagar budaya. Tujuannya, agar 50 persen sisanya dapat digunakan oleh pemilik untuk melakukan pemeliharaan bangunan.
Spoiler for :
Sekian Trit Sederhana dari Ane

Spoiler for :
Jangan Lupa

Spoiler for :
Juga

Spoiler for :
Boleh lempar ini kalo sudah ISO

Spoiler for :
0
3.1K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan