- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
pendendam = berotak monyet


TS
bahtiarbtr1
pendendam = berotak monyet
Setiap mendengar suara pria itu, ada rasa jengkel dan muak luar biasa yang muncul tiba-tiba di dalam hatiku. Apa saja yang berhubungan dengan pria itu sungguh membuatku kesal.Perlakuannya yang 'kasar' dan 'sok' terhadap istrinya adalah penyebabnya. Istrinya tak lain adalah kakak kandungku sendiri. Mbak Ina, begitulah saya biasa memanggil kakak saya itu. Entah sudah berapa kali Mbak Ina dibuat menangis oleh suaminya itu. Tapi suami Mbak Ina ini adalah 'aktor' top yang layak diganjar piala oscar, bila berbicara di depan istrinya ia berlagak raja yang diktator, tapi saat berbicara dengan orang lain terlebih dengan kedua orang tuaku, yang tak lain adalah mertuanya, ia akan berkamuflase sebagai manusia 'tersopan' di dunia. Bahkan setiap ia berbicara dengan orangtuaku, ia selalu menggunakan bahasa jawa yang halus. Terdengar sangat menghanyutkan, tapi amat mematikan sesungguhnya. Meski orang tua saya tahu perlakuan kasar menantunya mereka tak mau ikut campur. Selain bicaranya yang kasar-khusus kepada istrinya- ia juga penakluk wanita yang handal. Aku pernah memergokinya jalan dengan wanita lain. Dan kejadian yang paling parah adalah ketika ada seorang wanita yang mengaku telah dihamili oleh suami Mbak Ina itu. Yang paling membuat saya sakit hati setengah mati adalah karena saat itu Mbak saya tengah mengandung anak pertamanya. Ingin rasanya segera kuusir suami Mbak saya itu dari rumah. Tapi ia bersumpah sembari 'sujud' didepan Mbak Ina kalau bukan ia yang menghamili wanita itu. Tapi ia tak membantah kalau ia pernah tidur dengan wanita itu. Semenjak menikah, Mbak Ina dan suaminya masih menumpang di rumah orang tua kami. Meski kelakuan menantunya sudah sangat kurang ajar, tapi orang tua saya tetap membiarkannya tetap tinggal di rumah. Skandal wanita yang mengaku dihamili suami mbak saya itu cukup mengguncang kedamaian rumah kami. Dengan alasan agar menenangkan suasana, suami Mbak saya itu 'diungsikan' sementara waktu ke pulau jawa. Dengan linangan air mata yang deras Mbak Ina melepas kepergian suaminya. Waktupun berlalu, sudah hampir tiga bulan suaminya berada di pulau jawa. Hingga suatu hari saya mendengar suami Mbak Ina akan kembali. Beberapa hari setelah berita itu, suami mbak Ina benar-benar kembali. Suasana kembali normal dan tenang. Sekembalinya dari pengungsian, ada banyak perubahan dari suami Mbak Ina. Ia mulai sopan saat berbicara dengan Mbak Ina. Sepertinya suami mbak Ina mulai berubah menjadi baik. Bahkan aku tak pernah lagi mendengar curhatan pilu dari Mbak Ina. Beberapa bulan kemudian mbak Ina melahirkan anak pertamanya. Kelahiran anak pertama Mbak Ina seolah melengkapi kebahagiannya yang baru saja menempati rumah baru. Beberapa waktu yang lalu Mbak Ina baru saja mendapat pinjaman dari kantor tempatnya bekerja. Uang pinjaman itu ia gunakan untuk membeli rumah. Saya pun ikut berbahagia. Hari berganti bulan, suasana tenang itu memasuki musim badai. Seperti halnya hewan Babi, yang selalu menyukai tempat kotor. Tak peduli sebersih apapun kamu memandikan Babi, ia akan kembali lagi kedalam kubangan lumpur yang kotor. Sifat asli suami Mbak Ina kembali lagi, entah sudah berapa kali Mbak Ina curhat tentang perilaku kasar suaminya. Hingga suatu waktu Mbak Ina sudah tak tahan lagi, akhirnya ia memutuskan pulang kerumah orang tua kami. Katanya cuma sementara. Aku tak tahu apa pangkal masalah hingga Mbak Ina nekat keluar dari rumahnya sendiri.
"Ngapain Mbak keluar dari rumah. Itukan rumah Mbak dan belinya pake uangnya Mbak." Kataku sewot. Rasa jengkelku terhadap pria itu kembali muncul. Mendengar perkataanku Mbak Ina cuma diam tak perduli. Kedua orang tua kami juga sangat jengkel melihat mantunya yang kembali berulah. Tapi orang tuaku tetap tak mau ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Aku juga mendengar kalau Mbak Ina sempat diusir oleh suaminya. Sungguh kurang ajar! Apa pria itu tak punya urat malu. Selama ia menikah dengan Mbak Ina, Mbak ina lah yang 'menghidupinya'. Gaya hidup suaminya berlagak orang berduit membuat Mbak Ina susah payah membanting tulang. Ia memang bekerja tapi uang gajinya tak pernah ia berikan kepada Mbak Ina. Sungguh miris.
"Namanya rumah tangga, pasti ada kalanya ribut. Kamu pulang saja ke rumah mu" nasehat Ayahku. Setelah hampir satu minggu 'minggat' dari rumahnya, akhirnya Mbak Ina kembali ke rumahnya. Meski Mbak Ina dan suaminya kembali rukun, tapi api benci di hatiku tidak mudah padam. Setiap kali melihat wajah pria itu ingin sekali aku meludahinya. Terlebih saat mendengar ia berbicara dengan bahasa jawa halusnya yang 'menipu'.
###
Mbak Ina yang tumbuh besar bersamaku tentu sudah sangat paham dengan sifatku. Ia juga tahu kalau aku sangat benci dengan suaminya. Aku tidak pandai menyembunyikan rasa muakku tiap kali melihat suami Mbak Ina. Mungkin kedua orang tua saya pintar menyamarkan rasa jengkelnya terhadap mantunya itu, tapi tidak bagi saya.
"Seburuk apapun suami saya ia tetap ayah bagi anak saya ini" ujar Mbak Ina. Aku yang duduk di sampingnya cuma memamerkan senyum kecutku. Mbak Ina mencoba menetralisir kebencianku terhadap suaminya. Mbak Ina juga mengatakan bahwa ia sudah memaafkan semua kesalahan suaminya di masa lalu. Mendengar itu aku semakin kesal. Mbak Ina menasehatiku agar jangan menyimpan dendam terhadap suaminya. Ia kemudian bercerita bahwa orang yang pendendam itu memiliki otak seperti monyet. Aku tersinggung, Mbak Ina kemudian bercerita.
"Di Afrika, para pemburu monyet memiliki cara unik untuk menangkap monyet. Caranya adalah dengan menanam toples berisi kacang kedalam tanah. Toples itu berbentuk khusus, desainnya mengecil pada bagian leher. Aroma kacang dari dalam toples itu memancing datangnya kawanan monyet. Saat sore hari, para pemburu monyet itu tinggal menangkapi monyet itu dengan mudah. Bagaimana caranya?. Ternyata tangan-tangan monyet itu terperangkap di dalam toples itu. Rupanya saat monyet-monyet itu hendak mengambil kacang mereka kesulitan mengeluarkan tangannya, karena tangannya menggenggam kacang-kacang dari dalam toples itu. Tentu monyet-monyet itu tidak punya cukup tenaga untuk menarik toples itu, hingga akhirnya datanglah para pemburu itu menangkapi mereka."
Cerita Mbak Ina itu cukup memberi pemahaman kepada diriku. Kalau saja monyet-monyet itu mau melepas genggamannya tentu ia akan selamat. Mbak Ina telah memberi pelajaran berharga bagi diriku untuk tidak menyimpan dendam agar aku tidak terperangkap seperti monyet-monyet itu. Sejak saat itu aku mencoba memadamkan rasa benci dan dendam dalam hatiku. Aku tak ingin terperangkap seperti monyet-monyet itu. Kita punya seribu satu alasan untuk membenci dan mendendam, tapi kita juga punya seribu satu alasan untuk memaafkan.
"Ngapain Mbak keluar dari rumah. Itukan rumah Mbak dan belinya pake uangnya Mbak." Kataku sewot. Rasa jengkelku terhadap pria itu kembali muncul. Mendengar perkataanku Mbak Ina cuma diam tak perduli. Kedua orang tua kami juga sangat jengkel melihat mantunya yang kembali berulah. Tapi orang tuaku tetap tak mau ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Aku juga mendengar kalau Mbak Ina sempat diusir oleh suaminya. Sungguh kurang ajar! Apa pria itu tak punya urat malu. Selama ia menikah dengan Mbak Ina, Mbak ina lah yang 'menghidupinya'. Gaya hidup suaminya berlagak orang berduit membuat Mbak Ina susah payah membanting tulang. Ia memang bekerja tapi uang gajinya tak pernah ia berikan kepada Mbak Ina. Sungguh miris.
"Namanya rumah tangga, pasti ada kalanya ribut. Kamu pulang saja ke rumah mu" nasehat Ayahku. Setelah hampir satu minggu 'minggat' dari rumahnya, akhirnya Mbak Ina kembali ke rumahnya. Meski Mbak Ina dan suaminya kembali rukun, tapi api benci di hatiku tidak mudah padam. Setiap kali melihat wajah pria itu ingin sekali aku meludahinya. Terlebih saat mendengar ia berbicara dengan bahasa jawa halusnya yang 'menipu'.
###
Mbak Ina yang tumbuh besar bersamaku tentu sudah sangat paham dengan sifatku. Ia juga tahu kalau aku sangat benci dengan suaminya. Aku tidak pandai menyembunyikan rasa muakku tiap kali melihat suami Mbak Ina. Mungkin kedua orang tua saya pintar menyamarkan rasa jengkelnya terhadap mantunya itu, tapi tidak bagi saya.
"Seburuk apapun suami saya ia tetap ayah bagi anak saya ini" ujar Mbak Ina. Aku yang duduk di sampingnya cuma memamerkan senyum kecutku. Mbak Ina mencoba menetralisir kebencianku terhadap suaminya. Mbak Ina juga mengatakan bahwa ia sudah memaafkan semua kesalahan suaminya di masa lalu. Mendengar itu aku semakin kesal. Mbak Ina menasehatiku agar jangan menyimpan dendam terhadap suaminya. Ia kemudian bercerita bahwa orang yang pendendam itu memiliki otak seperti monyet. Aku tersinggung, Mbak Ina kemudian bercerita.
"Di Afrika, para pemburu monyet memiliki cara unik untuk menangkap monyet. Caranya adalah dengan menanam toples berisi kacang kedalam tanah. Toples itu berbentuk khusus, desainnya mengecil pada bagian leher. Aroma kacang dari dalam toples itu memancing datangnya kawanan monyet. Saat sore hari, para pemburu monyet itu tinggal menangkapi monyet itu dengan mudah. Bagaimana caranya?. Ternyata tangan-tangan monyet itu terperangkap di dalam toples itu. Rupanya saat monyet-monyet itu hendak mengambil kacang mereka kesulitan mengeluarkan tangannya, karena tangannya menggenggam kacang-kacang dari dalam toples itu. Tentu monyet-monyet itu tidak punya cukup tenaga untuk menarik toples itu, hingga akhirnya datanglah para pemburu itu menangkapi mereka."
Cerita Mbak Ina itu cukup memberi pemahaman kepada diriku. Kalau saja monyet-monyet itu mau melepas genggamannya tentu ia akan selamat. Mbak Ina telah memberi pelajaran berharga bagi diriku untuk tidak menyimpan dendam agar aku tidak terperangkap seperti monyet-monyet itu. Sejak saat itu aku mencoba memadamkan rasa benci dan dendam dalam hatiku. Aku tak ingin terperangkap seperti monyet-monyet itu. Kita punya seribu satu alasan untuk membenci dan mendendam, tapi kita juga punya seribu satu alasan untuk memaafkan.


tien212700 memberi reputasi
1
1.8K
18
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan