- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Awal Mula Corat Coret Seragam Ketika Agan Lulusan


TS
ryoprasss
Awal Mula Corat Coret Seragam Ketika Agan Lulusan
WELCOME TO MY THREAD
Quote:
Selamat pagi, siang, sore, malam, buat agan, sista, mimin, momod. Buat agan-agan yang udah lulus maupun yang baru aja ngerayain kelulusan, pasti pernah dong melakukan corat coret seragam osis, terutama buat agan yang SMA. Nah kali ini ane mau ngebahas tentang awal mula aksi corat coret yang dilakukan (terutama) anak SMA ketika sedang merayakn kelulusan. Langsung aja yuk gan. Cekitot... 

Quote:
Aksi ini ditengarai bermula awal 1990-an sejak diberlakukannya Ebtanas, sebagai perayaan atas terlewatinya ujian yang dirasa sangat berat.
Sejak tahun 2000-an kamu tentu sering menyaksikan bentuk perayaan kelulusan sekolah dengan mencoret-coret seragam disertai konvoi. Tidak hanya anak-anak SMA, bocah-bocah SMP pun sudah mulai meniru kebiasaan ini. Komentar-komentar yang menyesalkan parade ini tak jarang muncul, namun tetap saja tak mampu membendung derasnya style perayaan anak muda zaman sekarang ini.
Aris Setiawan, salah seorang guru di sebuah SMA di Kalimantan yang lulus pada tahun 2002 menyebut aksi ini pada tahun ia lulus nyaris seperti hal yang wajib, hanya sekitar 10% yang tidak ikutan. Tapi, tahukah kamu kapan sebenarnya aksi coret-coret ini bermula?
Menurut penuturan Sutarno, yang megalami kelulusan SMA tahun 1973, pada masanya belum ada perayaan konvoi maupun coret-coret seragam. Aksi ini ditengarai bermula pada awal 1990-an sejak diberlakukannya Ebtanas, sebagai perayaan atas terlewatinya satu step ujian yang dirasa sangat menjadi beban. "Awal-awal mereka cuma protes, karena anak-anak zaman dulu kan patuh-patuh," ungkap ayah dua anak yang kini menjadi pendidik di salah satu PTS di Yogyakarta ini.
Semakin ke sini, perayaan ini semakin marak, bahkan seperti tahapan wajib. Jika belum corat-coret belum terbukti lulus, kira-kira demikian penggambarannya. Yang membuat miris ialah adanya aksi coret-coret sebelum tahu lulus atau tidaknya.

Apapun alasan mereka, aksi corat-coret baju bukanlah budaya yang baik. Itu adalah budaya pemborosan. Akal sehat pun tak bisa menerima perilaku ini. Coba Anda hitung kerugian materi dari aksi ini. Anggap siswa SMA/SMK yang ikut UN tahun ini 1.500.000 siswa, kalau 80% dari mereka melakukan aksi ini (1.200.000 siswa) dikalikan dengan harga baju rata-rata dari mereka Rp. 15.000 (anggap demikian kan pakaian bekas) maka total harga baju yang dicorat-coret adalah Rp. 18.000.000.000 (18 Miliar!). Oh ya, ini belum termasuk harga spidol dan cat semprot. Dan kita pun baru menghitung siswa SMA/SMK, belum siswa SMP dan SD yang juga tidak ketinggalan aksi boros ini.
Wah kalo di itung-itung banyak juga yah. Alangkah baiknya jika barang seharga itu disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukan berita baru lagi jika ada anak yang putus sekolah atau tidak bisa masuk sekolah hanya karena orang tuanya tidak bisa membeli baju seragam buat anaknya. Padahal baju yang telah dicorat-coret itu pasti suatu saat hanya akan menjadi kain lap, kalau pun ada yang beralasan untuk menjadi kenang-kenangan maka seberapa lama sih ia bisa menyimpannya?

Sejak tahun 2000-an kamu tentu sering menyaksikan bentuk perayaan kelulusan sekolah dengan mencoret-coret seragam disertai konvoi. Tidak hanya anak-anak SMA, bocah-bocah SMP pun sudah mulai meniru kebiasaan ini. Komentar-komentar yang menyesalkan parade ini tak jarang muncul, namun tetap saja tak mampu membendung derasnya style perayaan anak muda zaman sekarang ini.
Aris Setiawan, salah seorang guru di sebuah SMA di Kalimantan yang lulus pada tahun 2002 menyebut aksi ini pada tahun ia lulus nyaris seperti hal yang wajib, hanya sekitar 10% yang tidak ikutan. Tapi, tahukah kamu kapan sebenarnya aksi coret-coret ini bermula?
Menurut penuturan Sutarno, yang megalami kelulusan SMA tahun 1973, pada masanya belum ada perayaan konvoi maupun coret-coret seragam. Aksi ini ditengarai bermula pada awal 1990-an sejak diberlakukannya Ebtanas, sebagai perayaan atas terlewatinya satu step ujian yang dirasa sangat menjadi beban. "Awal-awal mereka cuma protes, karena anak-anak zaman dulu kan patuh-patuh," ungkap ayah dua anak yang kini menjadi pendidik di salah satu PTS di Yogyakarta ini.
Semakin ke sini, perayaan ini semakin marak, bahkan seperti tahapan wajib. Jika belum corat-coret belum terbukti lulus, kira-kira demikian penggambarannya. Yang membuat miris ialah adanya aksi coret-coret sebelum tahu lulus atau tidaknya.

Apapun alasan mereka, aksi corat-coret baju bukanlah budaya yang baik. Itu adalah budaya pemborosan. Akal sehat pun tak bisa menerima perilaku ini. Coba Anda hitung kerugian materi dari aksi ini. Anggap siswa SMA/SMK yang ikut UN tahun ini 1.500.000 siswa, kalau 80% dari mereka melakukan aksi ini (1.200.000 siswa) dikalikan dengan harga baju rata-rata dari mereka Rp. 15.000 (anggap demikian kan pakaian bekas) maka total harga baju yang dicorat-coret adalah Rp. 18.000.000.000 (18 Miliar!). Oh ya, ini belum termasuk harga spidol dan cat semprot. Dan kita pun baru menghitung siswa SMA/SMK, belum siswa SMP dan SD yang juga tidak ketinggalan aksi boros ini.
Wah kalo di itung-itung banyak juga yah. Alangkah baiknya jika barang seharga itu disumbangkan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukan berita baru lagi jika ada anak yang putus sekolah atau tidak bisa masuk sekolah hanya karena orang tuanya tidak bisa membeli baju seragam buat anaknya. Padahal baju yang telah dicorat-coret itu pasti suatu saat hanya akan menjadi kain lap, kalau pun ada yang beralasan untuk menjadi kenang-kenangan maka seberapa lama sih ia bisa menyimpannya?
Quote:
Itulah gan sedikit sejarah tentang aksi corat coret seragam yang dilakukan ketika kelulusan. Mending bajunya disumbangin aja deh daripada dicorat coret. Gimana masih mau corat coret lagi?. Itu sih terserah agan. 

SUMBER 1
SUMBER 2
Quote:
Ane ga mau ditimpuk
, maunya 




Quote:
Tolong dirate bintang 5 gan 


Diubah oleh ryoprasss 10-05-2016 10:45
0
10.1K
Kutip
37
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan