- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Upah Jurnalis Kontributor Bisa Bikin Anda Menangis


TS
indonesaku
Upah Jurnalis Kontributor Bisa Bikin Anda Menangis
Ada Media Nasional Bayar Wartawan per Naskah Rp 50 Ribu, Tanpa Kontrak Kerja dan Tunjangan Lain

Foto ilustrasi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut upah jurnalis saat ini menyedihkan dan tidak sesuai besaran upah layak yang seharusnya diterima jurnalis pemula 2016. Padahal sesuai hasil penelitian lembaganya, besaran upah layak bagi jurnalis pemula 2016 seharusnya Rp 7.540.000. Upah layak itu meningkat dibanding tahun lalu Rp 6.510.400.
“Upah layak yang dimaksud di sini adalah take home pay, upah total yang diterima setiap bulan oleh jurnalis,” ujar Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim dalam pernyataannya, Minggu, ( 1/5/2016).
Namun demikian kenyataan di lapangan berbeda, rupanya upah layak tersebut baru diterima seorang jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun.
Nurhasim mengatakan AJI Jakarta menilai jika upah layak itu diberikan kepada jurnalis, maka mutu produk jurnalisme juga akan meningkat. Sebab, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis.”Gaji yang kecil sering memicu jurnalis menerima sogokan dari narasumber,” katanya.
Di Jember, AJI juga menuntut pemenuhan kesejahteraan jurnalis di perusahaan media baik media lokal, regional, maupun nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia atau “May Day”.
Dilansir antaranews, Senin (2/5/2016), Ketua AJI Jember, Ikaningtyas, mengatakan, “Jurnalis juga buruh, sehingga pemenuhan kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu syarat penting untuk menciptakan pers yang merdeka dan profesional, serta kesejahteraan bisa dicapai melalui serikat pekerja yang kuat,” sebut Ikaningtyas.
Menurut Ika, kesejahteraan jurnalis jauh dari kabar menggembirakan dari tahun ke tahun. Pasalnya, banyak jurnalis di daerah belum mendapatkan hak-haknya dari perusahaan tempatnya bekerja.
“Prakteknya, banyak perusahaan media lari dari tanggung jawabnya dengan memberikan berbagai istilah yang mengaburkan untuk jurnalis, mulai koresponden, kontributor dan stringer. Padahal ketiga istilah itu tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan,” tuturnya.
Dari 18 jurnalis yang diriset di wilayah Jember antara lain Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Banyuwangi, banyak pekerja jurnalis mengaku tidak mendapatkan perjanjian kontrak.
“Sebanyak 33 persen jurnalis yang bekerja di media nasional tidak punya perjanjian kerja, meskipun telah bekerja lebih dari tiga tahun. Dari aspek upah, 39 persen jurnalis media lokal belum memperoleh upah sesuai UMK dan menyangkut jaminan sosial tercatat sebanyak 44 persen jurnalis media nasional dan lokal tidak mendapatkan asuransi perlindungan melalui BPJS ketenagakerjaan maupun kesehatan,” ucap jurnalis Tempo itu.
Tampaknya peringatan May Day 2016 tidak banyak berarti bagi para jurnalis. Baik sekarang maupun tahun-tahun sebelumnya. Di Surabaya, hampir semua jurnalis media-media besar diupah dengan sistem honor.
“Kami dibayar honor, per naskah/berita. Jika berita tidak tayang, kami tidak terima upah. Tapi kalau itu dikatakan upah, saya kira tidak,” demikian disampaikan Cak Ji, jurnalis media online Jakarta, Senin (2/5/2016).
Sampai saat ini perusahaan media-media nasional baik cetak, online, maupun elektronik menerapkan metode koresponden, kontributor dan stringer. “Saya dan teman-teman di Surabaya menjabat kontributor. Saat kami direkrut, perusahaan tidak pernah menyertakan kontrak kerja. Kami asal direkrut saja. Jangankan bicara soal upah, kami bertahun-tahun tidak mendapat tunjangan kesehatan berupa BPJS,” terang Cak Ji yang mengaku sudah bekerja 6 tahun di perusahaannya.
Pada Hari Buruh 1 Mei 2016, Cak Ji mewakili teman-teman seprofesi berharap agar mendapat hak-hak kesejahteraan seperti upah UMK, asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, dan tunjangan hari tua.
“Jika Aji Jakarta melakukan survey soal upah jurnalis, maka sekarang coba cross check juga jurnalis di daerah. Saya yakin semua orang bakal menangis. Lihat berapa besaran upah mereka yang di daerah, benar-benar menyedihkan. Ada dari kami yang dibayar per berita Rp 25-50 ribu, selain itu kami tidak menerima apa-apa dari perusahaan. Bahkan ada perusahaan media yang tidak menggaji wartawan. Mereka disuruh mencari sendiri di luar. Wartawan tidak digaji itu banyak jumlahnya,” ucap Cak Ji.
Cak Ji berharap banyak dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melakukan audit ke perusahaan media. Sebab saat ini hampir semua perusahaan media telah melanggar UU Ketenagakerjaan terutama bagi kalangan jurnalis. “Kalau mau jelasnya ya lihat teman-teman jurnalis di daerah,” pungkasnya.
SUMBER

Foto ilustrasi.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut upah jurnalis saat ini menyedihkan dan tidak sesuai besaran upah layak yang seharusnya diterima jurnalis pemula 2016. Padahal sesuai hasil penelitian lembaganya, besaran upah layak bagi jurnalis pemula 2016 seharusnya Rp 7.540.000. Upah layak itu meningkat dibanding tahun lalu Rp 6.510.400.
“Upah layak yang dimaksud di sini adalah take home pay, upah total yang diterima setiap bulan oleh jurnalis,” ujar Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim dalam pernyataannya, Minggu, ( 1/5/2016).
Namun demikian kenyataan di lapangan berbeda, rupanya upah layak tersebut baru diterima seorang jurnalis setelah bekerja lebih dari lima tahun.
Nurhasim mengatakan AJI Jakarta menilai jika upah layak itu diberikan kepada jurnalis, maka mutu produk jurnalisme juga akan meningkat. Sebab, jurnalis bisa bekerja secara profesional dan tidak tergoda menerima amplop yang merusak independensi jurnalis.”Gaji yang kecil sering memicu jurnalis menerima sogokan dari narasumber,” katanya.
Di Jember, AJI juga menuntut pemenuhan kesejahteraan jurnalis di perusahaan media baik media lokal, regional, maupun nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia atau “May Day”.
Dilansir antaranews, Senin (2/5/2016), Ketua AJI Jember, Ikaningtyas, mengatakan, “Jurnalis juga buruh, sehingga pemenuhan kesejahteraan jurnalis menjadi salah satu syarat penting untuk menciptakan pers yang merdeka dan profesional, serta kesejahteraan bisa dicapai melalui serikat pekerja yang kuat,” sebut Ikaningtyas.
Menurut Ika, kesejahteraan jurnalis jauh dari kabar menggembirakan dari tahun ke tahun. Pasalnya, banyak jurnalis di daerah belum mendapatkan hak-haknya dari perusahaan tempatnya bekerja.
“Prakteknya, banyak perusahaan media lari dari tanggung jawabnya dengan memberikan berbagai istilah yang mengaburkan untuk jurnalis, mulai koresponden, kontributor dan stringer. Padahal ketiga istilah itu tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan,” tuturnya.
Dari 18 jurnalis yang diriset di wilayah Jember antara lain Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Lumajang, dan Banyuwangi, banyak pekerja jurnalis mengaku tidak mendapatkan perjanjian kontrak.
“Sebanyak 33 persen jurnalis yang bekerja di media nasional tidak punya perjanjian kerja, meskipun telah bekerja lebih dari tiga tahun. Dari aspek upah, 39 persen jurnalis media lokal belum memperoleh upah sesuai UMK dan menyangkut jaminan sosial tercatat sebanyak 44 persen jurnalis media nasional dan lokal tidak mendapatkan asuransi perlindungan melalui BPJS ketenagakerjaan maupun kesehatan,” ucap jurnalis Tempo itu.
Tampaknya peringatan May Day 2016 tidak banyak berarti bagi para jurnalis. Baik sekarang maupun tahun-tahun sebelumnya. Di Surabaya, hampir semua jurnalis media-media besar diupah dengan sistem honor.
“Kami dibayar honor, per naskah/berita. Jika berita tidak tayang, kami tidak terima upah. Tapi kalau itu dikatakan upah, saya kira tidak,” demikian disampaikan Cak Ji, jurnalis media online Jakarta, Senin (2/5/2016).
Sampai saat ini perusahaan media-media nasional baik cetak, online, maupun elektronik menerapkan metode koresponden, kontributor dan stringer. “Saya dan teman-teman di Surabaya menjabat kontributor. Saat kami direkrut, perusahaan tidak pernah menyertakan kontrak kerja. Kami asal direkrut saja. Jangankan bicara soal upah, kami bertahun-tahun tidak mendapat tunjangan kesehatan berupa BPJS,” terang Cak Ji yang mengaku sudah bekerja 6 tahun di perusahaannya.
Pada Hari Buruh 1 Mei 2016, Cak Ji mewakili teman-teman seprofesi berharap agar mendapat hak-hak kesejahteraan seperti upah UMK, asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, dan tunjangan hari tua.
“Jika Aji Jakarta melakukan survey soal upah jurnalis, maka sekarang coba cross check juga jurnalis di daerah. Saya yakin semua orang bakal menangis. Lihat berapa besaran upah mereka yang di daerah, benar-benar menyedihkan. Ada dari kami yang dibayar per berita Rp 25-50 ribu, selain itu kami tidak menerima apa-apa dari perusahaan. Bahkan ada perusahaan media yang tidak menggaji wartawan. Mereka disuruh mencari sendiri di luar. Wartawan tidak digaji itu banyak jumlahnya,” ucap Cak Ji.
Cak Ji berharap banyak dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk melakukan audit ke perusahaan media. Sebab saat ini hampir semua perusahaan media telah melanggar UU Ketenagakerjaan terutama bagi kalangan jurnalis. “Kalau mau jelasnya ya lihat teman-teman jurnalis di daerah,” pungkasnya.
SUMBER
0
5.2K
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan