distrubiaaAvatar border
TS
distrubiaa
Ahok Vs Risma.....Sang Banteng Galau?!!
jurnalekonomi.co.id

Spoiler for Ahok Vs Risma:


Pilkada DKI Jakarta masih tahun depan. Namun gaungnya sudah terasa jauh hari. Alasannya jelas. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur petahana yang mewarisi kekuasaan dari Joko Widodo tegas menolak untuk bergandengan dengan partai berlogo Banteng.

Ahok–yang memilih Heru Budi Hartono sebagai calon wakilnya–bukan calon kepala daerah yang meniti jalur independen. Tercatat 11 tahun lalu ada pasangan independen Ratna Ani Lestari dan Yusuf Nurhadi Iskandar yang memenangi Pilbup Banyuwangi, Jawa Timur. Kemenangan calon independen yang jauh dari ingatan.

Tiga tahun kemudian atau pada 2008 ada pula Irwandi Yusuf yang sukses merebut kursi Gubernur NAD dan Tengku Nurdin Abdurrahman-Tengku Busmadar di Pilbup Bireun, NAD lalu ada Christian N Dillak, SH- Zacharias P Manafe di Pilbup Rote Ndou, NTT dan O.K. Arya Zulkarnain-Gong Martua Siregar di Pilbup Batubara, Sumut.

Sementara pada 2009 ada duet Aceng Fikri-pemain sinetron Raden Dicky Chandra di Pilbup Garut, Jabar. Duet Muda Mahendrawan-Andreas Muhrotien di Pilbup Kubu Raya, Kalbar tahun 2010, pasangan Saifullah-MG Hadi Sutjipto di Pilbup Sidoardjo, Jawa Timur dan pasangan Jonas Salean-Hermanus Man di Pilwalkot Kota Kupang, NTT.

Dibandingkan pasangan independen di daerah lain yang sudah berhasil menang, Ahok-Heru jelas lebih istimewa. Maklum, Jakarta adalah kunci. Pusat perputaran politik dan perputaran uang Republik ini. Tak heran, pertarungan Pilgub DKI selalu paling semarak dan panas. Maka, majunya Ahok-Heru sebagai calon independen adalah tamparan bagi partai-partai.

Sejatinya, sejak Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007 menerima gugatan Lalu Langgalawe, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dearah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat da berujung pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah calon independen adalah keniscayaan.

Sayang, partai-partai yang ada mengabaikan potensi calon independen sebagai representasi kekecewaan publik. Bolehlah kemudian mereka berkongsi demi memuluskan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang diubah sebagian dengan UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengatur pasangan calon yang dicalonkan partai harus memenuhi syarat partai itu memiliki kursi di DPRD.

Namun partai-partai itu—terutama PDI sebagai pemenang pemilu—lupa beleid Pilkada itu tetap mengakomodasi kemunculan calon perseorangan. Mungkin PDI mengira, Ahok dengan status pewaris Joko Widodo bakal nurut mengikuti jalur komando Tengku Umar.

Repotnya, Ahok punya pengalaman panjang berpolitik. Sudah pasti dia paham tentang mekanisme pencalonan di dalam partai yang dinilai tidak demokratis dan tidak transparan. Termasuk pahitnya pemenang konvensi atau konfercabsus di provinsi sebagai calon kepala daerah justru ternyata tidak direstu partai.

Belum lagi soal sas-sus bagi individu akan mencalonkan diri melalui partai harus membayar, beli mahar, atau beli tiket. Ada pula biaya operasional kampanye pemenangan pilkada yang harus disetorkan ke partai. Kondisi itulah yang mendorong orang mencari alternatif pencalonan di luar jalur partai, yaitu jalur perseorangan.

Coba kita ingat konvensi penuh drama yang dijalankan Partai Golkar yang memunculkan Wiranto yang tersenyum pahit di Pemilu 2004, ada pula Dahlan Iskan yang gagal ngorbit meski berstatus peserta terbaik Partai Demokrat Idol tahun 2013.

Belum lagi, Ahok sudah tahu pasti betapa laparnya Partai berkelir merah ini dari setoran finansial. JURNAL mencatat tak seekorpun politisi atau simpatisan gambar Banteng bisa berposisi sebagai Board of Director BUMN. Jika mendapat jabatan, umumnya dijatah posisi komisaris yang tak ubahnya satpam BUMN.

Lihat saja betapa gagahnya politisi-politisi partai merah ketika meneror posisi Menteri BUMN Rini Soemarno. Politisi yang di masa awal reformasi begitu cerdas, kini begitu buas melontarkan dialektika wong cilik yang terdengar konyol.

Sehingga bisa dipahami sikap keras kepala Ahok untuk menolak maju sebagai pesuruh Tengku Umar, yang konyolnya, kini justru menyuguhkan drama konvensi. Layaknya sebuah konvensi yang ceria dan menghibur peserta konvensi calon Gubernur PDI pun cukup jenaka.

JURNAL mencatat peserta konvensi Partai Banteng cukup berwarna. Mulai dari mantan jenderal baju hijau dan coklat, ada pula politisi galau atau nanggung. Sebut saja Yusril maupun Sandiaga Uno yang jenaka serupa kutu loncat. Ada pula tukang semprot serangga, pengusaha hotel, pengusaha jasa perjalanan, mantan gubernur NTB dll.

Sayangnya, jika kita mengingat nasib Wiranto atau Dahlan Iskan yang tragis, rekomendasi atau persetujuan Partai Banteng mayoritas tidak lahir semata-mata dari keputusan kolegial partai, laiknya sebuah proses demokrasi.

Nyatanya, Partai Banteng sebagai partai yang membawa-bawa nama demokrasi, partai ini terkenal sebagai partai feodal sepenuhnya. Artinya, apa kata pewaris tahta Bung Karno, saat ini Tengku Umar ada suara yang wajib dipatuhi. Dan rupa-rupanyanya, justru walikota Surabaya, Tri Rismaharani yang kini ditimang-timang dibawa ke Jakarta.
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
2.1K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan