- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Loneliness


TS
herdacool
Loneliness
Saat jiwaku tersesat--tanpa jalan pulang. Kurasakan kegelapan menyelubungiku, bagaikan sayatan yang merobek kulit--pelan--pasti.
Layaknya sebuah mata pisau yang mencibir penuh penghujatan. Aku ... menginginkan kematian, saat di mana seluruh darah di tubuhku bergolak membuncah.
Aku ingin memotong nadiku, merasakan sensasi kenikmatan sebelum aku mati. Ahh ... bagaimana rasanya, jika aku membuat kematianku sendiri menjadi sebuah memori.
Tenang saja, akan kuusahakan untuk tidak menangis. Karena inilah kepingan hidup terakhir milikku. Karena sungguh, kesepian bisa menjadi hal yang begitu menyiksa.
***
Tiga siswa perempuan bergerombol di depan sebuah net cafe. Tampak mereka sedang berbincang--berkasak-kusuk--sesuatu.
"Kalian sudah dengar mengenai sebuah video tentang seorang pria yang menyakiti dirinya sendiri agar bisa terkenal?"
Siswa perempuan yang membuka percakapan tampak sedang membisikkan sesuatu pada gadis yang berada di sebelahnya. kemudian tersenyum penuh arti.
"Mayra, apa yang sedang kalian bicarakan?"
"Kau ingin melihatnya, Grace?"
Grace dan yang satunya mengangguk.
"Cepat buka situsnya."
***
Kalian tidak pernah tahu rasanya kesepian--terasing--dari dunia luar. Kalian tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya ingin memiliki kawan, tapi semuanya seolah enggan mendekat. Semua menjauhiku, hanya karena tubuhku penuh ditumbuhi tonjolan-tonjolan seukuran kelereng--besar--lembek, dan berbau busuk. Mereka tak akan paham betapa aku menginginkan seorang pendamping. Aku selalu dipandang hina dengan tatapan merendahkan.
Tenang saja! Meski mereka menghina--mencibir, aku tak akan merasa dendam. Seperti seorang ibu gemuk dengan gincu merah pekat dan pakaian ketat melapisi tubuh gempal dan menggelikan beberapa waktu lalu, ia menatapku saat aku melintas di depan rumahnya. Ia melirik sinis seolah berkata; 'Anjingku yang berpenyakit lebih sedap dipandang dibanding kau!"
Ahh ... ingin rasanya aku membuang seluruh rasa sepi, berbagi dengan yang lain.
Ya, ya, aku akan berbagi dengan mereka.
Kuraih sebuah pisau dan gunting besar yang tergeletak di atas meja. Kuraih kursi dan duduk menghadap laptop yang masih dalam keadaan online. Aku akan membuat sesuatu agar orang lain bisa mengenalku. Kuarahkan webcam tepat menyorot penuh wajahku.
Jangan merasa iri, kelak pada akhirnya semua orang akan mengenaliku.
"Bahagia merupakan sebuah kemewahan, suatu keindahan yang bahkan tak sanggup kukhayalkan. Semua mengutuk, menghujat, merasa jijik terhadapku. Aku hanya ingin mati. Aku ingin kalian menyaksikan bagaimana maut datang menjemputku. Nikmatilah!"
Ya. Aku yakin mereka akan merasa bahagia.
Aku tahu hal pertama yang harus kulakukan. Membuang semua kotoran berupa tonjolan yang menjijikkan di tubuhku. Ahh ... aku hanya memiliki sebuah pisau tumpul dan gunting untuk menyingkirkannya.
***
"Oh Tuhan! Pria itu gila! Ia nekat mem-fillet kulitnya sendiri. Kau lihat? Ia membuang tonjolan-tonjolan kutil itu dengan paksa. Yucks! Wajahnya mengerikan. Kau lihat, ia bahkan masih bisa tertawa!"
Pria itu membuat siswa-siswa perempuan tersebut meringis melihat adegan yang dipertontonkan melalui sebuah situs yang didapat dari e-mail.
"Hahaha! Aku tak ingin kesepian dan terasing. Aku ingin seluruh dunia mengenal dan menyambutku. Lihat! Tubuhku menjijikkan, bukan!?"
"Ti-tidak! Grace, matikan video itu!"
Pria itu mulai menguliti kembali lapisan di bagian tangan, ia berjalan menjauh dari monitor dan duduk di tepi ranjang.
"Ssshhh ... ahhh ... ini benar benar nikmat," desisnya.
Kali ini ia mulai menguliti bagian dada secara perlahan dengan pisau tumpulnya yang dipaksa merobek. Agak susah, mengingat pisau itu tak terlalu tajam. Seluruh kulit tak bisa terkelupas sempurna, ia menariknya dengan paksa menciptakan suara layaknya selembar kertas yang tersobek.
"Ahhh ... sedikit demi sedikit tubuhku akan bersih," sekali lagi ia tertawa. Tanpa ekspresi sakit yang tersirat di wajah.
"Aku bilang matikan!"
"Sepertinya komputer ini kena virus. Aku sudah berusaha mematikannya!"
Pria di depan webcam masih saja terus mempertontonkan adegan horor yang mengaduk seisi perut penonton. Ia kini berbicara dengan nada datar seraya sesekali menggores pisaunya ke wajah dan leher.
"Semua tonjolan-tonjolan ini ...,"
Pria itu kemudian mengambil gunting di sebelahnya, lalu mengarahkan ke tangan.
Crekk! Crekk!
Ketiga gadis itu ternganga. Satu persatu kutil besar berjatuhan kelantai. Darah segar lantas menyeruak menyembur dengan derasnya.
Crekk! Crekk!
Kali ini ia memangkas tonjolan di leher. Bunyi gesekan besi yang merobek daging terdengar semakin ngilu, ngeri untuk dilihat.
"Ya Tuhan ...," salah satu gadis bergumam sembari menutup mulutnya, jijik juga takut.
Si pria terlihat sedikit meringis kesakitan. Ia lalu meletakkan guntingnya dan mengacungkan pisaunya di leher.
"Inilah saatnya ...,"
Dan, tanpa disangka, ia mulai menggorok lehernya sendiri. Ia tekankan kuat-kuat mata pisaunya yang tumpul itu berusaha memotong urat di leher. Si pria nampak kesulitan dan begitu menderita. Perlahan darah mulai mengalir menuju dadanya yang telah robek.
Pisau di tangannya terjatuh bersamaan dengan ambruknya tubuh si pria kelantai. Ia menggelepar-gelepar dan mengejang hebat. Sebelum akhirnya meregang nyawa dengan kepala yang tergolek ke samping, seolah melotot pada layar kamera.
Video kemudian mati dengan sendirinya.
Ketiga gadis itu saling melempar pandang, namun tak ada yang berani berbicara. Tadi merupakan pemandangan paling mengerikan yang pernah mereka lihat seumur hidup.
"B-baiklah, kurasa kita harus pergi sekarang," ujar salah satu gadis terbata.
"Ide yang bagus."
Mereka kemudian beranjak pergi terburu-buru. Tetapi salah satu gadis masih tetap duduk di tempat dengan wajah pucat, kedua tangan penuh kutil busuk menahan pundaknya.
"Terimakasih telah menemani saat-saat terakhirku ..."
Sebuah bisikan ia dengar.
Layaknya sebuah mata pisau yang mencibir penuh penghujatan. Aku ... menginginkan kematian, saat di mana seluruh darah di tubuhku bergolak membuncah.
Aku ingin memotong nadiku, merasakan sensasi kenikmatan sebelum aku mati. Ahh ... bagaimana rasanya, jika aku membuat kematianku sendiri menjadi sebuah memori.
Tenang saja, akan kuusahakan untuk tidak menangis. Karena inilah kepingan hidup terakhir milikku. Karena sungguh, kesepian bisa menjadi hal yang begitu menyiksa.
***
Tiga siswa perempuan bergerombol di depan sebuah net cafe. Tampak mereka sedang berbincang--berkasak-kusuk--sesuatu.
"Kalian sudah dengar mengenai sebuah video tentang seorang pria yang menyakiti dirinya sendiri agar bisa terkenal?"
Siswa perempuan yang membuka percakapan tampak sedang membisikkan sesuatu pada gadis yang berada di sebelahnya. kemudian tersenyum penuh arti.
"Mayra, apa yang sedang kalian bicarakan?"
"Kau ingin melihatnya, Grace?"
Grace dan yang satunya mengangguk.
"Cepat buka situsnya."
***
Kalian tidak pernah tahu rasanya kesepian--terasing--dari dunia luar. Kalian tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya ingin memiliki kawan, tapi semuanya seolah enggan mendekat. Semua menjauhiku, hanya karena tubuhku penuh ditumbuhi tonjolan-tonjolan seukuran kelereng--besar--lembek, dan berbau busuk. Mereka tak akan paham betapa aku menginginkan seorang pendamping. Aku selalu dipandang hina dengan tatapan merendahkan.
Tenang saja! Meski mereka menghina--mencibir, aku tak akan merasa dendam. Seperti seorang ibu gemuk dengan gincu merah pekat dan pakaian ketat melapisi tubuh gempal dan menggelikan beberapa waktu lalu, ia menatapku saat aku melintas di depan rumahnya. Ia melirik sinis seolah berkata; 'Anjingku yang berpenyakit lebih sedap dipandang dibanding kau!"
Ahh ... ingin rasanya aku membuang seluruh rasa sepi, berbagi dengan yang lain.
Ya, ya, aku akan berbagi dengan mereka.
Kuraih sebuah pisau dan gunting besar yang tergeletak di atas meja. Kuraih kursi dan duduk menghadap laptop yang masih dalam keadaan online. Aku akan membuat sesuatu agar orang lain bisa mengenalku. Kuarahkan webcam tepat menyorot penuh wajahku.
Jangan merasa iri, kelak pada akhirnya semua orang akan mengenaliku.
"Bahagia merupakan sebuah kemewahan, suatu keindahan yang bahkan tak sanggup kukhayalkan. Semua mengutuk, menghujat, merasa jijik terhadapku. Aku hanya ingin mati. Aku ingin kalian menyaksikan bagaimana maut datang menjemputku. Nikmatilah!"
Ya. Aku yakin mereka akan merasa bahagia.
Aku tahu hal pertama yang harus kulakukan. Membuang semua kotoran berupa tonjolan yang menjijikkan di tubuhku. Ahh ... aku hanya memiliki sebuah pisau tumpul dan gunting untuk menyingkirkannya.
***
"Oh Tuhan! Pria itu gila! Ia nekat mem-fillet kulitnya sendiri. Kau lihat? Ia membuang tonjolan-tonjolan kutil itu dengan paksa. Yucks! Wajahnya mengerikan. Kau lihat, ia bahkan masih bisa tertawa!"
Pria itu membuat siswa-siswa perempuan tersebut meringis melihat adegan yang dipertontonkan melalui sebuah situs yang didapat dari e-mail.
"Hahaha! Aku tak ingin kesepian dan terasing. Aku ingin seluruh dunia mengenal dan menyambutku. Lihat! Tubuhku menjijikkan, bukan!?"
"Ti-tidak! Grace, matikan video itu!"
Pria itu mulai menguliti kembali lapisan di bagian tangan, ia berjalan menjauh dari monitor dan duduk di tepi ranjang.
"Ssshhh ... ahhh ... ini benar benar nikmat," desisnya.
Kali ini ia mulai menguliti bagian dada secara perlahan dengan pisau tumpulnya yang dipaksa merobek. Agak susah, mengingat pisau itu tak terlalu tajam. Seluruh kulit tak bisa terkelupas sempurna, ia menariknya dengan paksa menciptakan suara layaknya selembar kertas yang tersobek.
"Ahhh ... sedikit demi sedikit tubuhku akan bersih," sekali lagi ia tertawa. Tanpa ekspresi sakit yang tersirat di wajah.
"Aku bilang matikan!"
"Sepertinya komputer ini kena virus. Aku sudah berusaha mematikannya!"
Pria di depan webcam masih saja terus mempertontonkan adegan horor yang mengaduk seisi perut penonton. Ia kini berbicara dengan nada datar seraya sesekali menggores pisaunya ke wajah dan leher.
"Semua tonjolan-tonjolan ini ...,"
Pria itu kemudian mengambil gunting di sebelahnya, lalu mengarahkan ke tangan.
Crekk! Crekk!
Ketiga gadis itu ternganga. Satu persatu kutil besar berjatuhan kelantai. Darah segar lantas menyeruak menyembur dengan derasnya.
Crekk! Crekk!
Kali ini ia memangkas tonjolan di leher. Bunyi gesekan besi yang merobek daging terdengar semakin ngilu, ngeri untuk dilihat.
"Ya Tuhan ...," salah satu gadis bergumam sembari menutup mulutnya, jijik juga takut.
Si pria terlihat sedikit meringis kesakitan. Ia lalu meletakkan guntingnya dan mengacungkan pisaunya di leher.
"Inilah saatnya ...,"
Dan, tanpa disangka, ia mulai menggorok lehernya sendiri. Ia tekankan kuat-kuat mata pisaunya yang tumpul itu berusaha memotong urat di leher. Si pria nampak kesulitan dan begitu menderita. Perlahan darah mulai mengalir menuju dadanya yang telah robek.
Pisau di tangannya terjatuh bersamaan dengan ambruknya tubuh si pria kelantai. Ia menggelepar-gelepar dan mengejang hebat. Sebelum akhirnya meregang nyawa dengan kepala yang tergolek ke samping, seolah melotot pada layar kamera.
Video kemudian mati dengan sendirinya.
Ketiga gadis itu saling melempar pandang, namun tak ada yang berani berbicara. Tadi merupakan pemandangan paling mengerikan yang pernah mereka lihat seumur hidup.
"B-baiklah, kurasa kita harus pergi sekarang," ujar salah satu gadis terbata.
"Ide yang bagus."
Mereka kemudian beranjak pergi terburu-buru. Tetapi salah satu gadis masih tetap duduk di tempat dengan wajah pucat, kedua tangan penuh kutil busuk menahan pundaknya.
"Terimakasih telah menemani saat-saat terakhirku ..."
Sebuah bisikan ia dengar.
0
1.4K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan