Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

stefanie2013Avatar border
TS
stefanie2013
Cerpen : Sepatu
*** SEPATU ***

Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri
Ku senang bila diajak berlari kencang
Tapi aku takut kamu kelelahan
Ku tak masalah bila terkena hujan
Tapi aku takut kamu kedinginan

Kita sadar ingin bersama
Tapi tak bisa apa-apa
Terasa lengkap bila kita berdua
Terasa sedih bila kita di rak berbeda
Di dekatmu kotak bagai nirwana
Tapi saling sentuh pun kita tak berdaya


*****
Katanya dua sahabat dengan jenis kelamin yang berbeda tidak akan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Tapi tidak bagi mereka berdua. Rani dan Arya. Kenal saat Ospek SMA dan akhirnya berikrar menjadi sahabat. Kuliah bersama, lulus bersama, berlari bersama, bermain bersama, bahkan bekerja di Perusahaan yang sama.
Banyak yang menyangka mereka berdua pacaran, tapi dengan kompak mereka berdua menyangkal dan menyatakan bahwa mereka BFF. Best Friend Forever. Sebenarnya baik Rani maupun Arya mempunyai teman yang lain. Mereka berdua juga pernah pacaran. Nggak bisa dikatakan pacaran juga, sih. Contohnya, Arya. Dia cukup populer dikalangan cewek-cewek. Banyak yang deketin, tapi Arya cuma kasih respon secukupnya, dan nggak pernah nembak. Hingga akhirnya cewek-cewek itu mundur teratur dengan sendirinya. Namun terus datang yang baru silih berganti mencoba mendekati.
Beda dengan Arya, Rani lebih ingin serius. Dia sudah pernah mencoba tiga kali. Satu saat SMA, satu lagi saat kuliah, dan yang baru-baru ini saat sudah bekerja. Tapi lagi-lagi gagal. Bukan, bukan karena Rani. Tapi karena Arya. Arya selalu mengganggu Rani dan gebetannya yang sedang jalan. Entah itu merecoki, menguntit, membuat illfeel, apapun itu yang berujung pada kegagalan PDKT Rani dengan gebetannya.
BRAAAKK!!! Rani melempar tasnya ke meja Arya.
“10 tahun gue bersahabat sama lu, ya. Tapi lu masih aja kayak gitu.”
Meski kaget, Arya merespon dengan santai. “Buset, dah! Dateng-dateng bikin kaget gue, aja. Ada apaan, sih? Sewot amat.”
“Gimana gue nggak sewot, nying! Lu lagi-lagi bikin gagal PDKT gue sama cowok.”
“Oh.” Sambil kembali main game di komputernya.
“Oh?” Rani tak percaya, Arya hanya merespon dengan ‘Oh’, bukannya permintaan maaf. Rani langsung mengambil pulpen yang ada di meja dan melempar kearah kepala Arya dengan kekuatan penuh.
PLETAAAKK!!!
“Adaaaw!!! Lu gila, Ya, Ran?! Patah hati, sih, patah hati, tapi ini kepala gue ini.”
“BODO! Siapa tau kalo gue lempar pulpen, otak lu yang geser bisa sedikit bener.” Rani mengambil tasnya dan beranjak ke mejanya, yang hanya dipisah koridor setengah meter dan selisih satu meja dengan meja Arya.
Arya mengekor dan duduk disebelah meja Rani. “Kan cowok masih banyak, Ran. Coba lagi, lah.”
“Dan lu bakal coba gagalin lagi dengan tingkah laku konyol lu itu?”
“Gue nggak maksud gagalin. Tapi kayaknya dia bukan cowok yang baik, deh. Lagian ngapain sih lu buru-buru amat mau punya pasangan? Nanti gue nggak punya temen main lagi yang kayak lu.”
“Pertama. Dia cowok yang baik dan sesuai dengan kriteria gue. Susah untuk cari dan dapetin cowok kayak gitu lagi. Kedua. Gue emang pengen buru-buru punya pasangan serius. Karena apa? Karena akhir tahun ini umur gue 25 tahun. Dan itu udah saatnya untuk memikirkan pernikahan. Ketiga. Lu juga udah tua, masa mau main terus. Emang lu mau tanggung jawab kalo gue sampe nggak dapet-dapet cowok??”
“Tanggung jawab apa?”
“Nikahin gue!”
Beberapa detik Arya bengong, dan sedetik kemudian, “HAHAHAHAHA… Gila lu, ya, Ran? HAHAHAHAHA…”
“Emang susah ya ngomong serius sama lu!” Rani sudah kesal sampai ke ubun-ubun. Saat ingin beranjak pergi, Arya menangkap pergelangan tangannya.
“Sorry, sorry. Gue minta maaf. Oke, kali ini serius.”
“Lepasin tangan gue.”
“Oke. Tapi lu duduk dulu.”
Rani duduk dan melepit tangannya didepan dada. Menatap lurus kearah monitor dan mengatur emosinya.
“Rani. Sahabat gue yang paaaaaling gue sayang…”
“Nggak usah lebay.”
Arya pengen ngakak lagi tapi dia tahan. “Ran, gue minta maaf. Gue nggak maksud bikin lu sedih. Gue nggak suka lu jalan sama dia, lu deket sama dia, dan akhirnya lu lupa sama gue. Gue cemburu.”
Rani terpana dengan apa yang dia dengar barusan. Cemburu?
“Gue nggak mau sahabat gue diambil orang lain.” Lanjut Arya.
Rani menghela nafas dengan tatapan lesu. Kecewa kah?
“Kita udah banyak ngelewatin masa-masa bersama. Kita traveling bareng, naik gunung, ke pantai.”
“Kita nggak cuma berdua doang, kali.”
“Iya. Tapi kan lu selalu ada. Kalo yang lain kan, kadang bisa kadang nggak.”
“Tapi sekarang udah saatnya kita mikir serius, Arya.”
“Ehem!” Rani dan Arya langsung menengok kearah si empunya bangku. Hesti. Seorang perempuan berumur 40 tahun yang akan segera menikah bulan depan.
“Eh, mbak cantik. Mau duduk, ya?” sapa Arya.
Yang dikata cantik langsung tersenyum merona. “Iya, Arya.”
Arya selalu seperti itu. Nggak cewek muda, cewek tua, cewek kurang cantik, apalagi cewek cantik selalu di-flirting. Arya kembali ke mejanya.
YM dari Arya : setelah menyelesaikan misi terakhir kita ‘Seven Summits of Indonesia’, lu baru boleh merit. Okeh?? emoticon-Big Grin
Rani hanya menghela napas dan menatap foto mereka berdua dipuncak Mt. Kerinci sebulan yang lalu.
Satu puncak lagi. Puncak Jayawijaya atau Puncak Carstensz. Di Papua. Rencananya mereka akan kesana akhir tahun ini, saat Rani ulang tahun.
Hari-hari berlalu seperti biasa. Mereka kembali akrab seperti yang sudah-sudah. Mereka berencana pergi ke kondangan Mbak Hesti, pemanasan ke salah satu gunung di Jawa Barat, dan masih banyak lagi. Seolah pertengkaran mereka kemarin itu hanya intermezzo untuk mempererat hubungan. Ckckck.
“Di malam yang cerah ini, saya Arya, teman kerja Mbak Hesti. Mau mengucapkan Happy Wedding. Semoga langgeng terus sampai maut memisahkan. Aamiin. Dan do’ain juga rekan kerja yang disamping kanan-kiri Mbak, dong. Saya dan Rani. Semoga kita berdua cepet nyusul.”
Tamu yang mayoritas rekan kerja langsung pada kasak-kusuk dan bersorak riuh. Rani yang lagi menyeruput minuman langsung keselek saat mendengar kata-kata Arya barusan.
“Ijinkan saya, Arya, mempersembahkan sebuah lagu kepada kalian semua. Sepatu by Tulus. Enjoy.”
Selagi Arya menyanyi diatas panggung sana. Pikiran Rani pun terbang entah kemana. Memikirkan setiap waktu yang ia habiskan bersama Arya, mencerna setiap kata-katanya, yang entah ada makna lain, ataukah hanya perasaannya sendiri.
Saat lagu selesai. Pikiran Rani kembali ketempatnya bersamaan dengan disebutkan namanya oleh Arya yang masih diatas panggung.
“Rani, terima kasih udah mau jadi sahabat gue selama ini. Lu itu lebih dari seorang sahabat untuk gue. Gue sayang banget sama lu. Lu perempuan kedua setelah Ibu gue yang gue sayang.”
Saat yang lainnya bertepuk tangan dan berceloteh ria, Rani hanya terpaku dan terdiam. Mencerna pernyataan Arya barusan, kata per kata. Mencoba menetralisir perasaannya yang campur aduk. Perasaan aneh yang kadang-kadang hinggap dihatinya. Namun ia berusaha menepisnya, agar persahabatannya dengan Arya tidak rusak dan hancur. Mungkin perasaan itu bernama, CINTA.
Setelah malam itu, berhari-hari Rani mencoba berspekulasi, berbicara, dan bertanya pada hatinya sendiri. Apa? Kenapa? Rani pusing setengah mati. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk membuat perasaannya tenang.
YM dari Arya : “Nek, lu ngapa sih belakangan ini diem, aja? Sariawan?”
YM dari Rani : “Iya.” Padahal Nggak. Rani cuma jawab sekenanya.
Arya : “Makan siang, yuk. Yang pedes-pedes. Biar sariawan lu cepet sembuh. Gue yang bayarin, deh.”
Rani : “Tumben.”
Arya : “Iya. Hari ini sepupu gue si Aryo abis interview dari kantor sebelah. Jadi sekalian temu kangen gitu. Lu kan juga kenal dia.”
Rani : “Pantes. Tapi gue lagi males. Kalo lu gendong gue mau, deh. Hehehe…”
Arya : “Mending gue disuruh gendong dua carrier, deh emoticon-Stick Out Tongue
Rani : “SUE.”
“Mbak cantik, gimana honeymoon-nya?” Arya sudah nangkring disebelah Mbak Hesti.
“Kepo.”
Arya nyengir. “Oh, iya. Itu rahasia perusahaan, yah.”
“Kamu kapan nyusul?”
“Saya tergantung Rani, Mbak. Hehehe. Mbak Cantik, nggak makan siang?”
“Lagi diet.”
“Oh, diet. Lu juga diet, Ran?”
“Iya, diet, biar lu bisa gendong gue.”
Arya ngakak, “Kalo berubah pikiran, lu langsung susul gue yah ke warung padang yang biasa.” Tanpa menunggu jawaban, ia langsung pergi.
Rani langsung menidurkan kepalanya diatas meja sembari menatap foto yang terbingkai. Foto mereka berdua diatas puncak gunung.
“Kamu ungkapin, aja, Ran.”
Rani terhenyak. Dia mengangkat kepalanya, menatap Mbak Hesti. “Maksud, Mbak? Ungkapin apa? Dan ke siapa?”
“Perasaan kamu, ke Arya.”
Rani tersenyum kecut. “Kita berdua cuma sahabatan, Mbak. Nggak lebih. Dan nggak boleh lebih.”
“Nggak ada salahnya kamu ungkapin, sebelum semua terlambat, kan?”
“Terlambat?”
“Iya. Setiap waktu yang kita udah lewatin, nggak mungkin kembali lagi, Ran. Jadi ikutin kata hati kamu. Siapa tau dengan kamu ungkapin, beban perasaan kamu bisa berkurang.”
Rani tampak berpikir. Secercah harapan mulai muncul. Setitik cahaya mulai bersinar. Senyum itu kembali lagi. “Aku susul Arya, ya, Mbak.”
Di warung naspad yang sudah mulai berangsur sepi. Terjadi percakapan antara Arya dan Aryo.
“Gue perhatiin, muka lu kusut amat, Ar?”
“Cuma lu yang bisa baca muka gue selain emak gue, yah. Keren-keren!”
“Yee, pengalihan isu lu. Jawab pertanyaan gue, lah.”
“Gue takut hari itu datang, Yo.”
“Hari itu apa? Kematian lu?”
“Njiiir! Bukan, lah.”
“Terus?”
“Rani, Yo. Rani.”
TAP. Langkah Rani terhenti. Dia menyandarkan (sekaligus menyembunyikan) tubuhnya dibalik pilar dekat meja makan mereka berdua.
“Rani sahabat lu itu, kan?”
“Iya, Rani siapa lagi.”
“Kenapa? Ada apa dengan dia? Apa hubungannya elu takut hari itu datang, dengan Rani?”
“Masa lu nggak ngerti?”
“Bentar-bentar, gue pikir dulu.” Sambil menyeruput es teh manisnya. “Takut… Hari itu datang… Rani… AH!!! Gue tau. Elu takut hari itu datang, hari dimana Rani ninggalin lu sama cowok lain. Bener, kan?
“Itu salah satunya. Lu tau, kan, gue nggak mau kehilangan Rani.”
Aryo manggut-manggut. Rani tersenyum dan bersemangat.
“Tapi… bukan itu yang utama, yang lagi ada didalam pikiran gue saat ini.”
“Terus?”
“Gue takut hari itu datang, hari dimana Rani bilang sayang sama gue. Sayang sebagai cewek ke cowok.”
Rani mematung.
“Kenapa?”
“Lu kan tau, gue nggak bisa punya komitmen. Gue takut gue nggak bisa bahagiain dia.”
“Gue tau lu trauma sama hubungan bokap nyokap lu. Tapi lu mesti ngelawan trauma lu, Ar. Dan lu nggak boleh egois. Kalo lu nggak mau kehilangan dia, ya lu mesti punya hubungan serius, komitmen sama dia. Tapi kalo lu nggak mau komitmen, ya lepasin dia.”
“Gue nggak bisa, Yo. Nggak bisa bikin komitmen. Nggak bisa kehilangan dia. Gue nggak bisa… Sampai kapanpun Rani tetap jadi sahabat gue, dan nggak akan pernah berubah. Karena yang namanya sahabat nggak ada kata putus atau cerai.”
Rani menutup mulut, menahan tangisnya, dan segera beranjak dari tempat itu. Sampai dimejanya, kebetulan Mbak Hesti tidak ada. Rani langsung meraih tasnya dan pulang kerumah.
Hati Rani hancur? Ya. Meski dia sudah tahu kalau Arya tidak pernah serius soal hubungan, tapi tetap saja percakapan Arya barusan membuat dia patah hati sehancur-hancurnya. Harusnya Rani sudah memasang benteng pertahanan diri untuk menghadapi kenyataan paling pahit dalam kisah cintanya. Sudah. Tapi tetap saja benteng itu runtuh seketika, hancur bersama kepingan asa yang selama ini ada.
Seminggu setelah kejadian itu, Rani mengajukan resign dari tempat kerjanya. Tanpa pemberitahuan kepada Arya. Arya yang selama seminggu ini dicuekin, kontan langsung kelimpungan.
“Mbak Hesti, gue mau ngomong sama Rani. Pinjem singgasananya bentar, yah.”
“Tumben.”
“Mbak Hesti kan udah punya suami masa gue panggilnya, Mbak Cantik terus. Hahaha. Tar suaminya cemburu.”
“Hmm, yaudah. Jangan lama-lama.” Mbak Hesti pergi keluar makan siang (gagal diet).
“Ran.”
“Hmm.” Konsen ngetik, tanpa mengalihkan pandangan.
“Sibuk amat.”
“Lu juga udah tau, kan?”
“Iya. Lu mau resign. Kenapa, sih?”
“Ya, udah saatnya gue keluar dari zona nyaman, dan cari pengalaman baru yang lebih menantang.”
“Emang sama gue kurang menantang apa, sih?”
“Udah bosen sama lu.”
“Bohong.”
“Bener.”
“Liat gue, Ran.”
Rani masih mengetik.
Arya geregetan, kemudian memegang kedua bahu Rani dan memutar kearahnya. “Liat gue.”
Rani menunduk.
“Rani…” Arya mengangkat dagu Rani. “Lu nangis, Ran?”
“Menurut lu, gue lagi buang hajat??!” sambil menghapus kasar air matanya sendiri.
“Garing! Serius, lah.”
“Elu yang nggak pernah serius!”
“Duileeeh, sewot amat neng.”
“Gue dapet rekomendasi tempat kerja dari Rian. Puas??”
“Rian siapa?”
“Cowok yang terakhir lu usilin.”
“Oh.”
Mereka berdua terdiam sesaat.
“Lu deket lagi sama dia?”
“Iya. Dia hubungin gue lagi. Dia sadar kalo yang kemaren itu cuma ulah usil lu doang. Dia tau lu sahabat gue dari SMA. Jadi dia bisa maklumin ketidakwajaran lu itu.”
Arya nyengir. “Bagus, deh.”
Mereka berdua diam lagi, seperti kehabisan kata-kata.
“Tapi lu harus selesaikan misi kita dulu. Lu masih inget, kan?”
“Seven Summits of Indonesia.”
Mereka berdua tertawa kecil. Canggung.
“Ehem.” Mbak Hesti kembali. “Sudah?”
“Udah, Mbak. Makasih, yah.”
“Hm.”
YM dari Arya : “I’ll be missing you.”
YM dari Rani : “emoticon-Smilie
Setelah sepuluh tahun bersahabat, dan kemudian mereka berpisah. Hanya seperti itu. Rani jadi susah dihubungi dan mereka berdua jadi jarang ketemu. Arya maklumi, dan tidak ingin mengganggu. Setelah kepergian Rani, Arya lebih sering hang out sama Aryo yang sudah keterima kerja dikantor sebelah.
“Lu jadi ikut gue kan, Yo?”
“Kemana?”
“Carstensz.”
“Siap.”
“Nih, gue lagi pesen tiket pesawat.”
“Rani gimana?”
“Gue udah WA dia tadi. Ingetin misi terakhir kita berdua. Untuk misi ini kita berdua sampe khusus buka rekening baru atas nama gue, untuk nabung bersama.”
“Gile, segitunya kalian. Terus udah dia bales?”
“Belum.”
“Lu yakin dia mau ikut setelah persahabatan kalian jadi renggang gini?”
Arya menunduk tersenyum kecut, “Entahlah.”
“Yaudahlah, nggak usah drama lu. Kan ada gue, sini peyuk duyu.” Sambil mengambil aba-aba peluk.
“Dihh!” Arya langsung ngibrit.
“Hahaha, gue masih doyan cewek kali.”
“Jijik.”
“Yaudah, balik nyok.”
Arya yang ada diboncengan mengeluarkan handphone dari saku celana karena ada pesan masuk.
WA dari Rani : “Besok gue mau ketemu sama lu. Jam 5 sore, di taman sebelah SMA kita dulu. Jangan sampai telat, ya. See You!”
Arya menggenggam handphone-nya dan menatap nanar jalanan.
“Diem aja lu? Cepirit?”
“Udeh, fokus aja lu kedepan.”
“Ehm. Siap, dah.”
Seperti pesan Rani. Mereka berdua bertemu di taman samping sekolah mereka dulu. Jam 5 sore. Mereka berdua duduk bersampingan diatas rerumputan taman, tapi ada sedikit jarak yang memisahkan. Sambil menatapi anak-anak kecil yang sedang bermain ditemani ibu atau bapak mereka masing-masing.
“Lucu, ya mereka?” Rani membuka pembicaraan.
“Iya.” Jawab Arya seraya tersenyum.
“Dari dulu gue suka sama anak kecil, dan lu tau itu. Waktu kuliah dan pas lulus, gue belum ada kepikiran untuk punya anak. Tapi akhir tahun kemarin, pas gue ultah yang ke-24, nyokap do’ain gue untuk segera punya calon suami, nikah, dan kasih mereka berdua cucu.”
Arya menatap Rani.
“Gue kayak digampar. Disadarin. Bahwa udah cukup waktunya buat main. Sekarang waktunya buat serius. Bokap nyokap gue udah tua, keinginan mereka nggak ada yang lain selain ngeliat anaknya ini menikah. Dan memang nggak ada salahnya. Umur gue udah cukup dan gue udah bekerja juga.”
Rani menatap Arya, ingin melihat responnya.
“Mmm, ini. Gue udah pesen tiket buat misi terakhir kita. Aryo juga ikut, kok. Minggu depan kita berangkat.” Sambil menyerahkan amplop berisi tiket.
Rani tersenyum sambil menitikkan air mata. “Lu nggak pernah berubah, ya?”
“Kok, lu nangis, Ran? Gue salah?”
“Lu nggak salah. Gue yang terlalu berharap sama lu.”
“Berharap?”
“Iya, gue yang salah terlalu berharap sama lu.”
Arya cemas, apakah hari ini akhirnya datang juga. Hari yang dia takutkan selama ini.
Rani menghapus air matanya. “Hari itu, pas lu lagi di warung naspad sama Aryo yang abis interview, saat itu gue datang nyamperin lu. Gue… gue mau bilang tentang perasaan gue ke lu. Gue pengen kita lebih dari sahabat. Tapi ternyata, gue udah denger kebenarannya. Kalo lu nggak mau komitmen, dan akan tetap jadiin gue sahabat lu. Tapi lu juga nggak mau ngelepas gue. Lu jahat, Ar! Lu nggak tau gimana perasaan gue saat itu.”
Arya baru mengerti, itulah alasan Rani resign sebenarnya.
“Udah banyak hal dan kejadian yang kita lewatin sama-sama, tapi lu masih juga nggak bisa percaya gue seutuhnya, dan hilangin trauma lu.”
“Bukan gitu, Ran.”
“Lu nggak mau komitmen, karena lu nggak bisa percaya.”
“Denger dulu penjelasan gue, Ran. Semalem gue udah curhat sama Aryo, dan gue udah berpikir untuk mencoba mengatasi trauma gue akan komitmen.”
“Nggak bisa. Lu nggak bisa.”
“Demi lu, Ran.”
“Lu nggak bisa, Ar!”
“Kenapa?!”
“Lu udah terlambat…”
“Terlambat?”
Rani mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ya. Surat undangan. “Minggu depan gue mau merit. Sama Rian.”
Arya menerima surat undangan dengan jiwa yang seolah tak ada ditempatnya.
“Menurut gue Rian adalah cowok yang tepat untuk jadi suami gue. Dan seperti yang kita berdua pernah bilang, kalo selamanya kita memang akan tetap jadi sahabat.”
Arya mengangguk pelan. Mencoba merelakan. “Congrats, yah. Salam buat Rian.”
Rani mengangguk. Ia mengerti. Karena apalagi jawaban yang ia harapkan dari Arya selain kerelaan untuk melepas sahabatnya menikah. “Thanks.”
“Bentar lagi maghrib, mau gue anter pulang?”
“Nggak usah, Ar. Makasih. Bentar lagi Rian jemput. Gue cabut duluan, ya keluar taman. Lu masih mau disini, kan?”
“Iya. Gue paling mau nongkrong sama Aryo.”
“Oke.” Rani beranjak.”
“Ran.”
“Ya?”
“Kalo lu berubah pikiran, gue tunggu lu di bandara.”
Rani hanya tersenyum, kemudian kembali beranjak.
Arya menatapnya sampai hilang dari pandangan. Arya melihat surat undangan itu, kemudian menelungkupkan kepalanya. Hatinya hancur berserak. Ia bahkan belum memulai apa-apa. Ia kalah sebelum berperang. Rasanya ingin menangis, tapi tidak bisa. Hanya perasaannya yang terasa hampa, sepi, dan kosong.
Seminggu kemudian, on the wedding day. Arya berharap Rani akan datang ke bandara. Menyelesaikan misi terakhir mereka, dan akhirnya bisa bersama. Namun, itu tidak akan pernah terjadi. Karena saat ini Rani sedang di-make up dikamarnya. Pada akhirnya, Arya tetap berangkat ke Papua bersama Aryo. Dan Rani tengah duduk disamping Rian yang sedang mengucap ijab qabul. Pada akhirnya, hari itu memang datang juga, hari dimana Arya kehilangan Rani sebagai sahabat, juga mungkin sebagai cintanya. Hari dimana Rani menyatakan perasaannya. Hari dimana Arya ingin berubah untuk mempertahankan Rani. Hari dimana semua harus direlakan, dilepaskan untuk ketempatnya masing-masing. Dan Pada akhirnya, hanya memang seperti ini saja. Mereka berdua ditakdirkan hanya sebagai sahabat, meski mungkin perasaan mereka berdua tidak berkata demikian. Karena seperti kata Tulus :
Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin tak semua bisa bersatu


*** THE END ***

Note : Karya diatas adalah karya ane pribadi, fiktif, terinspirasi dari lagu Tulus yang berjudul Sepatu, tidak untuk komersil, silahkan saran dan kritik yang membangun, dan mohon tidak meng-copy paste. Terima kasih emoticon-Smilie
Diubah oleh stefanie2013 18-04-2016 06:42
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.4K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan