- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tionghoa Muslim di Sumenep, Madura


TS
avici2017
Tionghoa Muslim di Sumenep, Madura
Tionghoa Muslim di Sumenep, Madura
(Catatan-catatan studi kasus Tionghoa Muslim di Pasongsongan dan Sekitarnya)
Oleh Gayatri WM*
Sebagai salah satu keturunan Tionghoa Muslim dari Pasongsongan, dan berbekalkan sarjana jurusan sejarah, yang mempunyai banyak waktu luang sebagai ibu rumah tangga, dan kerinduan kepada almarhum kakek saya K. Abu Muthar, saya tiba-tiba memutuskan berselancar mencaritahu kembali sejarah leluhur saya dari berbagai versi. Saya juga sudah lama diserahi tugas mencatat kembali daftar silsilah keluarga, tetapi karena saya tidak telaten sama sekali sudah tertunda bertahun-tahun pengerjaannya. Untuk berbagai catatan yang langsung saya salin, hanya sedikit sekali yang saya sunting untuk menjadi baik dari segi EYD dan sebagainya. Setelah menemukan setidaknya tujuh versi baik yang bersumber dari luar maupun dalam, dan satu sama lain antara sejarah lisan satu kerabat dengan kerabat yang lain tampak simpangsiur, maka saya kemudian mencoba melakukan cross-check dengan daftar sillsilah yang saya pegang. Daftar silsilah ini belum tentu dipegang dan pernah dilihat oleh semua orang. Mungkin ada daftar silsilah lain yang saya tidak tahu. Tetapi, cross-check saya untuk sementara waktu adalah berdasarkan daftar tersebut.
Sunan Ampel dan Cina Muslim di Sumenep

Dakwah yang disiarkan oleh Sunan Ampel sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura. Berita tentang adanya agama baru yang memberi harapan sudah sekian jauh menggema di sanubari masyarakat. Secara sukarela satu persatu masuk Islam. Tak terdapat suatu paksaan dalam konversi agama ini. Namun magnet Islam sudah terlalu kuat di hati orang-orang Hindu maupun Budha karena dalam Islam terdapat kekuatan cara pandang yang canggih dan baru bagi mereka.
Memang, jejak-jejak Sunan Ampel tidak terlalu terekam di Madura ini secara jelas. Namun dipastikan aroma dakwahnya senantiasa memancing keingintahuan. Salah satunya dalam kisah Aria Lembu Petteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo. Karena tidak tega mendengar rintihan batinnya, ia pun berangkat ke Ampel Delta belajar Islam dan menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Sayangnya tidak sempat kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam di sana. Sehingga anak-anaknya masih juga dengan agama primitifnya yaitu Hindu. Baru pada masa cucu-cunya ketika kabar Islam sudah semakin santer di masyarakat sudah banyak yang berpindah agama.
Di Sumenep bagian utara, tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat kisah menarik mengenai sebuah perkampungan yang didiami orang-orang Cina Muslim. Mereka mengklaim sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri Sunan Ampel di Ampel Surabaya. Konon mereka mendiami Madura sejak zaman maraknya penyebaran dakwah di jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di Surabaya. Tercatat, Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal mengalami kemajuan peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat Cina yang sudah beragama Islam.
Tercatat bahwa interaksi orang-orang Cina dengan Madura bagian timur ini diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria Wiraraja punya andil besar dalam strategi perang Majapahit ketika itu. Konon, orang-orang Cina sisa-sisa prajurit Tartar itu terperangkap siasat yang dilancarkan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Sumenep kembali berbenturan dengan pasukan Cina ketika terjadi perang dengan pasukan Jokotole pimpinan Dempo Awang di abad ke 15. Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura utamanya di Sumenep ketika VOC sudah mulai menembus perkampungan Madura sejak abad ke 17-19, dimana orang-orang Cina ikut serta meramaikan perhelatan ekonomi di pulau garam ini.
Di mana-mana, orang-orang Cina biasanya beragama Konghucu atau Budha. Namun, belakangan banyak ditemukan agama mereka yang sudah berpindah ke Katolik maupun protestan karena alasan-alasan strategis pragmatis, seperti keamanan dan ketenteraman, utamanya dalam berbisnis. Di mana-mana orang-orang Cina juga dimusuhi oleh penduduk setempat termasuk penduduk Islam di Madura karena perbedaan agama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila sentra orang-orang Cina itu lebih memilih bertahan di perkotaan karena akan lebih aman dan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi. Dengan kegigihan dalam berniaga, hampir di seluruh perkotaan Madura orang-orang Cina menguasai ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota.
Fakta itu setidaknya bisa dipahami secara jamak. Namun, suatu hal yang cukup unik, bahwa di masyarakat Cina di Kecamatan Pasongsongan ini sudah Muslim, hidup di perkampulan muslim, berbaur dengan masyarakat Muslim asli Madura. Sebuah pertanyaan mungkin akan muncul, mengapa orang-orang Cina bisa hidup di kampung yang jauh dari perkotaan? Lalu mengapa juga mereka beragama Islam, padahal pada umumnya orang-orang Cina beragama Konghucu?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh. Ali Al-Humaidi menunjukkan bahwa orang-orang Cina memang selalu terdiskriminasi secara ras. Dengan begitu, secara pragmatis apabila ingin bertahan di daerah-daerah pedalaman, maka mau tidak mau harus menjalani akulturasi dengan budaya dan agama setempat. Sehingga bisa saja menjadi alasan perpindahan agama kepada Islam adalah karena alasan pragmatis. Namun demikian, hasil observasi Ali Al-Humaidi ini mencatat, bahwa orang-orang Cina di kampung ini sudah Muslim dari nenek moyang mereka.
Diceritakan, nenek moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan mereka memakai “K”, merupakan santri dari Sunan Ampel. Ia bernama Kingpangkeng yang makamnya saat ini di Ampel Surabaya. Ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya yang kemudian mempunyai dua orang putri, yaitu Tiesi dan Caul. Caul dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Biangseng. Akhirnya Caul meninggal dan kemudian Biangseng dinikahkan dengan adiknya yaitu Teisi. Dari pasangan Biangseng dan Tiesi kemudian dikaruniai anak bernama Cabun. Setelah meninggal, Biangseng oleh Sriwijaya dikuburkan di Ampel dan diberi gelar Tumenggung Ongkowijoyo. Orang-orang Pasongsongan mengklaim bahwa Ongkowijoyo yang berguru langsung ke Sunan Ampel itu adalah nenek moyang mereka. Mereka menyebutnya dengan “Pujuk Ampel”.
Menurut hasil observasi ini, proses migrasi etnis Cina ke Sumenep diperkirakan pada abad ke 14. Sebagian keturunan Biangseng kemudian diambil menantu oleh kerajaan Sumenep di masanya Aria Wiraraja karena Biangseng sendiri adalah dari kalangan Bangsawan Cina sehingga mudah diterima oleh keluarga kerajaan Sumenep. Orang-orang Cina keturunan di kampung ini meyakinkan bahwa, nenek moyang mereka ini merupakan murid langsung dari Sunan Ampel di Surabaya. Tidak hanya itu, disebutkan juga bahwa ketika menetap di Pasongosngan, di sana juga terdapat Murid Sunan Ampel yang lain yang bernama Kyai Ali Akbar yang kemungkinan besar dikirim untuk menyebarkan dakwah Islam dan sesepuh Cina itu menambah ilmu keislamannya kepadanya. Bersama ulama ini Islam disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.
masih panjang artikel ,silahkan lanjut disini
LANJUT DAN SUMBER:
(Catatan-catatan studi kasus Tionghoa Muslim di Pasongsongan dan Sekitarnya)
Oleh Gayatri WM*
Sebagai salah satu keturunan Tionghoa Muslim dari Pasongsongan, dan berbekalkan sarjana jurusan sejarah, yang mempunyai banyak waktu luang sebagai ibu rumah tangga, dan kerinduan kepada almarhum kakek saya K. Abu Muthar, saya tiba-tiba memutuskan berselancar mencaritahu kembali sejarah leluhur saya dari berbagai versi. Saya juga sudah lama diserahi tugas mencatat kembali daftar silsilah keluarga, tetapi karena saya tidak telaten sama sekali sudah tertunda bertahun-tahun pengerjaannya. Untuk berbagai catatan yang langsung saya salin, hanya sedikit sekali yang saya sunting untuk menjadi baik dari segi EYD dan sebagainya. Setelah menemukan setidaknya tujuh versi baik yang bersumber dari luar maupun dalam, dan satu sama lain antara sejarah lisan satu kerabat dengan kerabat yang lain tampak simpangsiur, maka saya kemudian mencoba melakukan cross-check dengan daftar sillsilah yang saya pegang. Daftar silsilah ini belum tentu dipegang dan pernah dilihat oleh semua orang. Mungkin ada daftar silsilah lain yang saya tidak tahu. Tetapi, cross-check saya untuk sementara waktu adalah berdasarkan daftar tersebut.
Quote:
1.Versi Akhmad Rofli Dimyati, M.A

Sapudi Kepulauan Islam Pertama di Sumenep
Tersebutlah sebuah pulau kecil di Kabupaten Sumenep yang bernama Sapudi. Konon, kata ini, “Sapudi”, berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang bermakna “yang paling tua sendiri”. Menurut kisah tutur madura, dikatakan tua sendiri karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di tempat-tempat lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada khususnya.
Perlu diketahui, bahwa Madura bagian Timur ini semarak lebih awal dari bagian Baratnya berkat kemajuan-kemajuan yang dicapai Aria Wiraraja setelah menjadi Adipati di sana pada abad ke 13. Sementara transportasi waktu itu sangat bergantung kepada transportasi laut. Oleh karena itu, minat para pedagang akan jatuh kepada lokasi-lokasi ramai di mana hal itu lebih memungkinkan mereka untuk berniaga. Jalur pesisir utara jawa adalah pilihan yang sudah biasa dilalui armada pedagang internasional hingga ke perairan Lombok. Tak terkecuali pedagang Arab yang juga sampai ke Madura bagian Timur ini. Sudah menjadi lumrah para penyeru dakwah menyertai perjalanan para peniaga dari Arab ini.
Berdasarkan survei penulis terhadap beberapa literatur, tercatatlah seorang penyeru dakwah bernama Sayyid Ali Murtadha yang menuju arah Timur dan mendarat di sebuah pulau yang dikenal sekarang dengan Sepudi. Di sanalah dia menyiarkan agama baru, Islam. Dialah Sunan Lembayung Fadal. Orang menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.
Sunan Lembayung Fadal mempunyai empat keturunan. Pertama, bernama Haji Usman yang dikenal dengan Sunan Manyuram Mandalika. Ia menyiarkan Islam di Lombok dan mempunyai putra bernama Raden Bindara Dwiryapada yang sampai sekarang dikenal dengan nama Sunan Paddusan, menyebarkan Islam di Sumenep. Sunan Paddusan menjadi menantu Jokotole. Jokotole masuk Islam dari tangannya.
Kedua, Usman Haji yang dikenal dengan Sunan Ngudung (Sunan Andung). Beliau mempunyai dua anak, putra dan putri, yaitu: Syd. Jakfar shodik (Sunan Kudus) dan Siti Sujinah (istri Sunan Muria).
Ketiga, Tumenggung Pulangjiwa atau juga dikenal dengan Panembahan Blingi. Ia kemudian dikarunia dua anak, yaitu Adipoday dan Adirasa. Keempat, Nyai Ageng Tanda. Ia kemudian menjadi istri Khalifah Husain atau Sunan Kertayasa di Sampang.
Dikabarkan, Sunan Lembyung Fadal sezaman dengan Panembahan Joharsari yang berkuasa antara tahun 1319-1331 M di Sumenep. Dengan demikian, Sunan ini termasuk awal, lebih awal dari Walisongo yang memasifkan gerakan dakwahnya pada abad ke 15-16 M. Ini sangat dimungkinkan karena sebenarnya di Surabaya dan sekitarnya, sejak sebelum abad ke 11 diduga kuat sudah banyak komunitas Muslim. Sebagai salah satu buktinya adalah adanya makam seorang muslimah di Gresik yang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 1082 M. Oleh karena itu, bisa diduga bahwa Sunan Lembayung Fadal ini hanyalah bagian kecil dari rombongan para penyiar yang sudah marak “berkeliaran” di Jawa dan sekitarnya untuk menyiarkan Islam.
Jika teori ini benar, maka isu bahwa legenda keislaman Adipoday (Wirakrama) yang disinyalir cucu dari Sunan Lembayung Fadal dan istrinya yang dalam legenda dikenal Potre Koneng semestinya juga Islam. Namun, susah membuktikan keislaman mereka karena sangat minimnya data pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab hampir semua kisah tentang Adipoday dan Potre Koneng diselimuti kabut fiktif yang amat sulit membuktikan historisitasnya. Justru, fakta yang lebih terang menyatakan bahwa anak dari pasangan Adipoday dan Potre Koneng yaitu Jokotole baru masuk Islam kemudian ketika Sunan Paddusan atau R. Bindara Dwiryapada yang menyiarkan Islam di Sumenep dan akhirnya diambil menantu oleh Jokotole. Oleh karena itu, bisa jadi kisah Adipoday dan Potre Koneng hanya disambung-sambungkan dengan kisah Sapudi sehingga seakan satu garis keturunan. Atau bisa saja kisah Sapudi itu juga terlalu dibumbu-bumbui sehingga terkesan Islamnya Raja Sumenep lebih awal masuknnya di bandingkan raja-raja Madura lainnya.

Sapudi Kepulauan Islam Pertama di Sumenep
Tersebutlah sebuah pulau kecil di Kabupaten Sumenep yang bernama Sapudi. Konon, kata ini, “Sapudi”, berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang bermakna “yang paling tua sendiri”. Menurut kisah tutur madura, dikatakan tua sendiri karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di tempat-tempat lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada khususnya.
Perlu diketahui, bahwa Madura bagian Timur ini semarak lebih awal dari bagian Baratnya berkat kemajuan-kemajuan yang dicapai Aria Wiraraja setelah menjadi Adipati di sana pada abad ke 13. Sementara transportasi waktu itu sangat bergantung kepada transportasi laut. Oleh karena itu, minat para pedagang akan jatuh kepada lokasi-lokasi ramai di mana hal itu lebih memungkinkan mereka untuk berniaga. Jalur pesisir utara jawa adalah pilihan yang sudah biasa dilalui armada pedagang internasional hingga ke perairan Lombok. Tak terkecuali pedagang Arab yang juga sampai ke Madura bagian Timur ini. Sudah menjadi lumrah para penyeru dakwah menyertai perjalanan para peniaga dari Arab ini.
Berdasarkan survei penulis terhadap beberapa literatur, tercatatlah seorang penyeru dakwah bernama Sayyid Ali Murtadha yang menuju arah Timur dan mendarat di sebuah pulau yang dikenal sekarang dengan Sepudi. Di sanalah dia menyiarkan agama baru, Islam. Dialah Sunan Lembayung Fadal. Orang menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya saat ini disebut Asta Nyamplong.
Sunan Lembayung Fadal mempunyai empat keturunan. Pertama, bernama Haji Usman yang dikenal dengan Sunan Manyuram Mandalika. Ia menyiarkan Islam di Lombok dan mempunyai putra bernama Raden Bindara Dwiryapada yang sampai sekarang dikenal dengan nama Sunan Paddusan, menyebarkan Islam di Sumenep. Sunan Paddusan menjadi menantu Jokotole. Jokotole masuk Islam dari tangannya.
Kedua, Usman Haji yang dikenal dengan Sunan Ngudung (Sunan Andung). Beliau mempunyai dua anak, putra dan putri, yaitu: Syd. Jakfar shodik (Sunan Kudus) dan Siti Sujinah (istri Sunan Muria).
Ketiga, Tumenggung Pulangjiwa atau juga dikenal dengan Panembahan Blingi. Ia kemudian dikarunia dua anak, yaitu Adipoday dan Adirasa. Keempat, Nyai Ageng Tanda. Ia kemudian menjadi istri Khalifah Husain atau Sunan Kertayasa di Sampang.
Dikabarkan, Sunan Lembyung Fadal sezaman dengan Panembahan Joharsari yang berkuasa antara tahun 1319-1331 M di Sumenep. Dengan demikian, Sunan ini termasuk awal, lebih awal dari Walisongo yang memasifkan gerakan dakwahnya pada abad ke 15-16 M. Ini sangat dimungkinkan karena sebenarnya di Surabaya dan sekitarnya, sejak sebelum abad ke 11 diduga kuat sudah banyak komunitas Muslim. Sebagai salah satu buktinya adalah adanya makam seorang muslimah di Gresik yang bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 1082 M. Oleh karena itu, bisa diduga bahwa Sunan Lembayung Fadal ini hanyalah bagian kecil dari rombongan para penyiar yang sudah marak “berkeliaran” di Jawa dan sekitarnya untuk menyiarkan Islam.
Jika teori ini benar, maka isu bahwa legenda keislaman Adipoday (Wirakrama) yang disinyalir cucu dari Sunan Lembayung Fadal dan istrinya yang dalam legenda dikenal Potre Koneng semestinya juga Islam. Namun, susah membuktikan keislaman mereka karena sangat minimnya data pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab hampir semua kisah tentang Adipoday dan Potre Koneng diselimuti kabut fiktif yang amat sulit membuktikan historisitasnya. Justru, fakta yang lebih terang menyatakan bahwa anak dari pasangan Adipoday dan Potre Koneng yaitu Jokotole baru masuk Islam kemudian ketika Sunan Paddusan atau R. Bindara Dwiryapada yang menyiarkan Islam di Sumenep dan akhirnya diambil menantu oleh Jokotole. Oleh karena itu, bisa jadi kisah Adipoday dan Potre Koneng hanya disambung-sambungkan dengan kisah Sapudi sehingga seakan satu garis keturunan. Atau bisa saja kisah Sapudi itu juga terlalu dibumbu-bumbui sehingga terkesan Islamnya Raja Sumenep lebih awal masuknnya di bandingkan raja-raja Madura lainnya.
Quote:
Sunan Ampel dan Cina Muslim di Sumenep

Dakwah yang disiarkan oleh Sunan Ampel sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura. Berita tentang adanya agama baru yang memberi harapan sudah sekian jauh menggema di sanubari masyarakat. Secara sukarela satu persatu masuk Islam. Tak terdapat suatu paksaan dalam konversi agama ini. Namun magnet Islam sudah terlalu kuat di hati orang-orang Hindu maupun Budha karena dalam Islam terdapat kekuatan cara pandang yang canggih dan baru bagi mereka.
Memang, jejak-jejak Sunan Ampel tidak terlalu terekam di Madura ini secara jelas. Namun dipastikan aroma dakwahnya senantiasa memancing keingintahuan. Salah satunya dalam kisah Aria Lembu Petteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo. Karena tidak tega mendengar rintihan batinnya, ia pun berangkat ke Ampel Delta belajar Islam dan menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Sayangnya tidak sempat kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam di sana. Sehingga anak-anaknya masih juga dengan agama primitifnya yaitu Hindu. Baru pada masa cucu-cunya ketika kabar Islam sudah semakin santer di masyarakat sudah banyak yang berpindah agama.
Di Sumenep bagian utara, tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat kisah menarik mengenai sebuah perkampungan yang didiami orang-orang Cina Muslim. Mereka mengklaim sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri Sunan Ampel di Ampel Surabaya. Konon mereka mendiami Madura sejak zaman maraknya penyebaran dakwah di jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di Surabaya. Tercatat, Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal mengalami kemajuan peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat Cina yang sudah beragama Islam.
Tercatat bahwa interaksi orang-orang Cina dengan Madura bagian timur ini diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria Wiraraja punya andil besar dalam strategi perang Majapahit ketika itu. Konon, orang-orang Cina sisa-sisa prajurit Tartar itu terperangkap siasat yang dilancarkan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Sumenep kembali berbenturan dengan pasukan Cina ketika terjadi perang dengan pasukan Jokotole pimpinan Dempo Awang di abad ke 15. Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura utamanya di Sumenep ketika VOC sudah mulai menembus perkampungan Madura sejak abad ke 17-19, dimana orang-orang Cina ikut serta meramaikan perhelatan ekonomi di pulau garam ini.
Di mana-mana, orang-orang Cina biasanya beragama Konghucu atau Budha. Namun, belakangan banyak ditemukan agama mereka yang sudah berpindah ke Katolik maupun protestan karena alasan-alasan strategis pragmatis, seperti keamanan dan ketenteraman, utamanya dalam berbisnis. Di mana-mana orang-orang Cina juga dimusuhi oleh penduduk setempat termasuk penduduk Islam di Madura karena perbedaan agama. Oleh karena itu, sangat wajar apabila sentra orang-orang Cina itu lebih memilih bertahan di perkotaan karena akan lebih aman dan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi. Dengan kegigihan dalam berniaga, hampir di seluruh perkotaan Madura orang-orang Cina menguasai ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota.
Fakta itu setidaknya bisa dipahami secara jamak. Namun, suatu hal yang cukup unik, bahwa di masyarakat Cina di Kecamatan Pasongsongan ini sudah Muslim, hidup di perkampulan muslim, berbaur dengan masyarakat Muslim asli Madura. Sebuah pertanyaan mungkin akan muncul, mengapa orang-orang Cina bisa hidup di kampung yang jauh dari perkotaan? Lalu mengapa juga mereka beragama Islam, padahal pada umumnya orang-orang Cina beragama Konghucu?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh. Ali Al-Humaidi menunjukkan bahwa orang-orang Cina memang selalu terdiskriminasi secara ras. Dengan begitu, secara pragmatis apabila ingin bertahan di daerah-daerah pedalaman, maka mau tidak mau harus menjalani akulturasi dengan budaya dan agama setempat. Sehingga bisa saja menjadi alasan perpindahan agama kepada Islam adalah karena alasan pragmatis. Namun demikian, hasil observasi Ali Al-Humaidi ini mencatat, bahwa orang-orang Cina di kampung ini sudah Muslim dari nenek moyang mereka.
Diceritakan, nenek moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan mereka memakai “K”, merupakan santri dari Sunan Ampel. Ia bernama Kingpangkeng yang makamnya saat ini di Ampel Surabaya. Ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya yang kemudian mempunyai dua orang putri, yaitu Tiesi dan Caul. Caul dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Biangseng. Akhirnya Caul meninggal dan kemudian Biangseng dinikahkan dengan adiknya yaitu Teisi. Dari pasangan Biangseng dan Tiesi kemudian dikaruniai anak bernama Cabun. Setelah meninggal, Biangseng oleh Sriwijaya dikuburkan di Ampel dan diberi gelar Tumenggung Ongkowijoyo. Orang-orang Pasongsongan mengklaim bahwa Ongkowijoyo yang berguru langsung ke Sunan Ampel itu adalah nenek moyang mereka. Mereka menyebutnya dengan “Pujuk Ampel”.
Menurut hasil observasi ini, proses migrasi etnis Cina ke Sumenep diperkirakan pada abad ke 14. Sebagian keturunan Biangseng kemudian diambil menantu oleh kerajaan Sumenep di masanya Aria Wiraraja karena Biangseng sendiri adalah dari kalangan Bangsawan Cina sehingga mudah diterima oleh keluarga kerajaan Sumenep. Orang-orang Cina keturunan di kampung ini meyakinkan bahwa, nenek moyang mereka ini merupakan murid langsung dari Sunan Ampel di Surabaya. Tidak hanya itu, disebutkan juga bahwa ketika menetap di Pasongosngan, di sana juga terdapat Murid Sunan Ampel yang lain yang bernama Kyai Ali Akbar yang kemungkinan besar dikirim untuk menyebarkan dakwah Islam dan sesepuh Cina itu menambah ilmu keislamannya kepadanya. Bersama ulama ini Islam disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.
Quote:
2.Versi Skripsi Yunita
Komunitas Cina Muslim Desa Dungkek, Kabupaten Sumenep (1966-1998) — YUNITA HEKSA ERAWATI
ABSTRAK

bonsai di rumah Engkong K. Abu Muthar
Heksa Erawati, Yunita. 2012. “Komunitas Cina Muslim Desa Dungkek, Kabupaten Sumenep (1966-1998)”. Skripsi, Jurusan Sejarah, Program Studi S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Pembimbing : (I) Dr. Abd. Latif Bustami, M.Si, (II) Najib Jauhari, S.Pd, M.Hum
Kata Kunci: Komunitas, Cina Muslim, Desa Dungkek
Komunitas merupakan satuan kelompok yang hidup berinteraksi dalam suatu daerah tertentu, salah satunya adalah komunitas Cina. Untuk bertahan hidup komunitas Cina perlu adanya suatu pembauran, yaitu dengan beragama Islam. Di Madura, komunitas Cina muslim banyak ditemukan Sumenep, khususnya di Desa Dungkek. Adapun faktor-faktor penggerak komunitas Cina menjadi Islam adalah, (1) Lingkungan, (2) pendidikan, (3) kemauan sendiri dan (4) perkimpoian.
Dalam penelitian ini berawal tahun 1966 adalah awal dari berdirinya Orde Baru, banyak peraturan pemerintah yang mengangkat masalah asimilasi dianggap diskriminasi dan merupakan suatu pemaksaan bagi etnis Cina. Tahun 1998 menjadi batas akhir karena berakhirnya pemerintahan Orde Baru, berakhir pula peraturan-peraturan bagi etnis Cina berpengaruh pada kembalinya hak-hak etnis Cina di bidang politik, sosial maupun budaya.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan gambaran umum kondisi Desa Dungkek, (2) untuk mendeskripsikan Islamisasi Cina Dungkek, (3) untuk mendeskripsikan kehidupan sosial budaya Cina Dungkek tahun 1966-1998.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang sejarah komunitas Cina yang ada di Dungkek tahun 1966-1998. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif historis. Metode penelitian sejarah merupakan sekumpulan prinsip dan aturan sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan secara efektif dalam usaha pengumpulan bahan bagi penulisan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesis hasil-hasilnya menjadi suatu cerita sejarah. Adapun prosedur penelitian ini adalah
1) pemilihan topik, (2) heuristik (pengumpulan data), (3) kritik (verifikasi), (4) interpretasi (penafsiran), (5) historiografi, (6) sistematika penulisan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedatangan komunitas Cina ke Dungkek berawal dari pembangunan Masjid dan Keraton Sumenep pada abad ke-17. Pada awalnya mereka datang ke Dungkek hanya untuk mencari bahan baku untuk pembuatan Masjid dan Keraton sehingga daerah yang dijadikan tempat galian batu disebut Dusun Panjurangan yang masih ada sampai sekarang. Dari situlah terjadi interaksi sosial antara pendatang Cina dengan masyarakat setempat sehingga lambat laun banyak orang Cina yang menikah dengan wanita setempat dan beragama Islam karena mayoritas masyarakat Dungkek beragama Islam.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya kenyataan sejarah bahwa komunitas Cina muslim Dungkek merupakan bagian integral dari masyarakat Dungkek, karena mereka mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di Dungkek, yakni sejak abad ke-17. Hasil hubungan kultural antara Cina muslim dengan pribumi telah mengisi khasanah budaya lokal Madura, baik dalam bahasa, agama, sistem kekerabatan dan adat istiadat.
Komunitas Cina Muslim Desa Dungkek, Kabupaten Sumenep (1966-1998) — YUNITA HEKSA ERAWATI
ABSTRAK

bonsai di rumah Engkong K. Abu Muthar
Heksa Erawati, Yunita. 2012. “Komunitas Cina Muslim Desa Dungkek, Kabupaten Sumenep (1966-1998)”. Skripsi, Jurusan Sejarah, Program Studi S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang. Pembimbing : (I) Dr. Abd. Latif Bustami, M.Si, (II) Najib Jauhari, S.Pd, M.Hum
Kata Kunci: Komunitas, Cina Muslim, Desa Dungkek
Komunitas merupakan satuan kelompok yang hidup berinteraksi dalam suatu daerah tertentu, salah satunya adalah komunitas Cina. Untuk bertahan hidup komunitas Cina perlu adanya suatu pembauran, yaitu dengan beragama Islam. Di Madura, komunitas Cina muslim banyak ditemukan Sumenep, khususnya di Desa Dungkek. Adapun faktor-faktor penggerak komunitas Cina menjadi Islam adalah, (1) Lingkungan, (2) pendidikan, (3) kemauan sendiri dan (4) perkimpoian.
Dalam penelitian ini berawal tahun 1966 adalah awal dari berdirinya Orde Baru, banyak peraturan pemerintah yang mengangkat masalah asimilasi dianggap diskriminasi dan merupakan suatu pemaksaan bagi etnis Cina. Tahun 1998 menjadi batas akhir karena berakhirnya pemerintahan Orde Baru, berakhir pula peraturan-peraturan bagi etnis Cina berpengaruh pada kembalinya hak-hak etnis Cina di bidang politik, sosial maupun budaya.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan gambaran umum kondisi Desa Dungkek, (2) untuk mendeskripsikan Islamisasi Cina Dungkek, (3) untuk mendeskripsikan kehidupan sosial budaya Cina Dungkek tahun 1966-1998.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan tentang sejarah komunitas Cina yang ada di Dungkek tahun 1966-1998. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif historis. Metode penelitian sejarah merupakan sekumpulan prinsip dan aturan sistematis yang dimaksudkan untuk memberi bantuan secara efektif dalam usaha pengumpulan bahan bagi penulisan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesis hasil-hasilnya menjadi suatu cerita sejarah. Adapun prosedur penelitian ini adalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedatangan komunitas Cina ke Dungkek berawal dari pembangunan Masjid dan Keraton Sumenep pada abad ke-17. Pada awalnya mereka datang ke Dungkek hanya untuk mencari bahan baku untuk pembuatan Masjid dan Keraton sehingga daerah yang dijadikan tempat galian batu disebut Dusun Panjurangan yang masih ada sampai sekarang. Dari situlah terjadi interaksi sosial antara pendatang Cina dengan masyarakat setempat sehingga lambat laun banyak orang Cina yang menikah dengan wanita setempat dan beragama Islam karena mayoritas masyarakat Dungkek beragama Islam.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya kenyataan sejarah bahwa komunitas Cina muslim Dungkek merupakan bagian integral dari masyarakat Dungkek, karena mereka mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di Dungkek, yakni sejak abad ke-17. Hasil hubungan kultural antara Cina muslim dengan pribumi telah mengisi khasanah budaya lokal Madura, baik dalam bahasa, agama, sistem kekerabatan dan adat istiadat.
Quote:
3.Versi Zhang Wubin
Pasongsongan, Madura / 2008.
Rumah peninggalan K. Aminuddin
Sejarah para penduduk Tionghoa di Pasongsongan sangat tidak sempurna diketahui. Terletak di tepi barat pesisir Jawa, Kampung Lebak adalah kampung tertua yang ada di Pasongsongan. Di sana terdapat sebuah kampung peranakan yang letaknya 150 m dari pesisir, tapi ia agak kurang kuno. Ibnu Suaidi yang lahir 1955 menceritakan kisah yang membingungkan tentang Keng Biangseng salah satu dari penduduk Cina pertama di Pasongsongan. Menurutnya, ia adalah empat dari empat bersaudara Hokkian yang menuju ke Indonesia ketika Mongolia menyerang China. Keng Biangseng berakhir di Sulawesi dimana ia menikah dengan seorang putri Bone dan kemudian memeluk Islam. Setelah sang putri wafat, Keng meninggalkan Bone dan menetap di Pasongsongan. Inilah awal mula komunitas Muslim Peranakan di Pasongsongan.
Adalah sangat mustahil leluhur Suaidi tiba di Madura pada abad ke-13 M. Ia bahkan menambahkan tentang sejarah keluarganya dengan mengklaim rumah ayahnya di Kampung Peranakan, yang menampilkan inskripsi Arab dengan usia bangunan pada 1847, telah dibangun oleh kakek buyutnya Keng Ah Mei. Keng Ah Mei disebut sebagai cucu dari Keng Biangseng. Rumahnya saat ini dihuni oleh ayah Suaidi, K. Siradjuddin (lahir 1929).
Bibi dari sebelah ibu Suaidi, Ummur Hairiya tinggal di sebelah rumahnya di rumah tahun 1930an. Dia berasal dari desa Tamedung di Batang-batang, dimana Keng Biangseng dimakamkan.
Tampaknya leluhur Ibnu Suaidi tiba di Pasongsongan pada sekitar abad ke-18 M. Terdapat pemakaman Islam berusia 150 tahun di taman pemakaman keluarga Suaidi di sepanjang Jalan Utama tak jauh dari Kampung Peranakan.
Menurut Suaidi, leluhurnya pertama kali membangun perumahan di Kampung Lebak, menciptakan Pecinan di antara desa. Setelah cukup makmur, mereka pindah ke Kampung Peranakan. Tampaknya, leluhur Suaidi adalah para pedagang yang berbisnis kayu dan beras di Madura, Sulawesi dan Taiwan. Bisnis keluarganya berakhir dengan wafatnya kakeknya pada tahun 1958 ketika umurnya 70 tahun.
Tak seperti Peranakan Muslim di wilayah lain Indonesia, kebangkitan Konghuchu dan pergerakan keCinaan yang bermula pada akhir abad ke-19 tidaklah berpengaruh kepada keluarga Suaidi.
Akan tetapi pada masa yang sama, keluarganya tidak menjadi pribumi Indonesia, tak seperti Muslim Cina lain yang menikah dengan Muslim “pribumi.” Bahkan, sampai generasi ayahnya, mereka tidak diizinkan menikah dengan pribumi. Larangan ini berakhir pada masa Suaidi, yang menikah dengan Mulyani seorang pribumi Solo. Inilah sebabnya Peranakan di Pasongsongan, yang berjumlah sekitar 120 orang, menjadi kerabat Ibnu melalui perkimpoian antara keluarga.
Pasongsongan, Madura / 2008.

Sejarah para penduduk Tionghoa di Pasongsongan sangat tidak sempurna diketahui. Terletak di tepi barat pesisir Jawa, Kampung Lebak adalah kampung tertua yang ada di Pasongsongan. Di sana terdapat sebuah kampung peranakan yang letaknya 150 m dari pesisir, tapi ia agak kurang kuno. Ibnu Suaidi yang lahir 1955 menceritakan kisah yang membingungkan tentang Keng Biangseng salah satu dari penduduk Cina pertama di Pasongsongan. Menurutnya, ia adalah empat dari empat bersaudara Hokkian yang menuju ke Indonesia ketika Mongolia menyerang China. Keng Biangseng berakhir di Sulawesi dimana ia menikah dengan seorang putri Bone dan kemudian memeluk Islam. Setelah sang putri wafat, Keng meninggalkan Bone dan menetap di Pasongsongan. Inilah awal mula komunitas Muslim Peranakan di Pasongsongan.
Adalah sangat mustahil leluhur Suaidi tiba di Madura pada abad ke-13 M. Ia bahkan menambahkan tentang sejarah keluarganya dengan mengklaim rumah ayahnya di Kampung Peranakan, yang menampilkan inskripsi Arab dengan usia bangunan pada 1847, telah dibangun oleh kakek buyutnya Keng Ah Mei. Keng Ah Mei disebut sebagai cucu dari Keng Biangseng. Rumahnya saat ini dihuni oleh ayah Suaidi, K. Siradjuddin (lahir 1929).
Bibi dari sebelah ibu Suaidi, Ummur Hairiya tinggal di sebelah rumahnya di rumah tahun 1930an. Dia berasal dari desa Tamedung di Batang-batang, dimana Keng Biangseng dimakamkan.
Tampaknya leluhur Ibnu Suaidi tiba di Pasongsongan pada sekitar abad ke-18 M. Terdapat pemakaman Islam berusia 150 tahun di taman pemakaman keluarga Suaidi di sepanjang Jalan Utama tak jauh dari Kampung Peranakan.
Menurut Suaidi, leluhurnya pertama kali membangun perumahan di Kampung Lebak, menciptakan Pecinan di antara desa. Setelah cukup makmur, mereka pindah ke Kampung Peranakan. Tampaknya, leluhur Suaidi adalah para pedagang yang berbisnis kayu dan beras di Madura, Sulawesi dan Taiwan. Bisnis keluarganya berakhir dengan wafatnya kakeknya pada tahun 1958 ketika umurnya 70 tahun.
Tak seperti Peranakan Muslim di wilayah lain Indonesia, kebangkitan Konghuchu dan pergerakan keCinaan yang bermula pada akhir abad ke-19 tidaklah berpengaruh kepada keluarga Suaidi.
Akan tetapi pada masa yang sama, keluarganya tidak menjadi pribumi Indonesia, tak seperti Muslim Cina lain yang menikah dengan Muslim “pribumi.” Bahkan, sampai generasi ayahnya, mereka tidak diizinkan menikah dengan pribumi. Larangan ini berakhir pada masa Suaidi, yang menikah dengan Mulyani seorang pribumi Solo. Inilah sebabnya Peranakan di Pasongsongan, yang berjumlah sekitar 120 orang, menjadi kerabat Ibnu melalui perkimpoian antara keluarga.
masih panjang artikel ,silahkan lanjut disini
LANJUT DAN SUMBER:
Diubah oleh avici2017 21-03-2016 16:46
0
9.6K
Kutip
43
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan