BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Berdamai dengan masa lalu

Berdamai tanpa mencari siapa yang salah
Tekad pemerintah memenuhi janji politik untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, maju selangkah. Untuk pertama kalinya pemerintah mengadakan acara simposium nasional tentang peristiwa 1965.

Selama ini berbagai forum membahas tragedi 1965, hasilnya selalu ditolak oleh pemerintah, karena pemerintah tidak terlibat di dalamnya. Melalui Simposium Membedah Tragedi 1965, yang berlangsung 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta, diharapkan bisa memberikan pemahaman komprehensif tentang latar belakang terjadinya tragedi 1965.

Pendekatan sejarah memang lebih ditekankan dalam diskusi ini. Dengan begitu pembicaraannya tidak mengarah pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa tersebut. Itulah yang disampaikan Gubernur Lemhannas, Letjen. Purn. Agus Widjojo, sebagai Ketua Panitia Pengarah.

Simposium ini digagas Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM dan Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB). Pelibatan FSAB dalam diskusi ini, sangat menarik perhatian, sebab forum yang didirikan pada 2003 ini adalah wadah silaturahmi para keluarga korban peristiwa 1965. Mereka terdiri dari para anak tokoh PKI, serta para anak pahlawan revolusi yang menjadi korban peristiwa G30S PKI.

Dalam diskusi yang menghadirkan berbagai pihak berkepentingan, baik pemerintah, akademisi, pelaku penuntasan G30S PKI maupun para penyitas peristiwa 1965, memang tidak dimaksudkan untuk membuat satu keputusan.

Hasil simposium, menurut Agus, berupa rekomendasi yang akan dijadikan masukan untuk pemerintah dalam menyelesaikan polemik tragedi 1965.

Sesungguhnya tak ada hal baru dalam simposium kali ini. Para pihak masih setia dengan pemikiran masing-masing. Pemerintah, yang diwakili Menko Polhukam, Luhut B. Panjaitan, misalnya. Meski menyatakan forum ini punya semangat mencari penyelesaian yang menyeluruh untuk membebaskan bangsa dari beban sejarah, ia menegaskan pemerintah tidak akan meminta maaf terhadap peristiwa 1965.

Sedang Ilham Aidit, putra bungsu Ketua Komite Pusat PKI, DN Aidit, menghendaki rekonsiliasi dengan syarat: Pemerintah harus mengakui ketika itu ada pembantaian; Pemerintah harus meluruskan sejarah terhadap berbagai peristiwa kekerasan pasca-Oktober 1965; Pernyataan penyesalan di hadapan publik; Serta korban mesti mendapat kompensasi, rehabilitasi, serta reparasi.

Sementara para pengiat HAM, seperti belum bisa merelakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan dengan cara nonyudisial.

Penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu memang berlarut-larut. Pada 2004, sebenarnya terjadi lompatan luar biasa dengan disahkannya Undang-Undang No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun belum sempat dibuat aturan turunannya, UU itu pada 2006, dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, membuat penyelesaiaan persoalan pelanggaran HAM sebagai janji politik, seperti tertulis dalam visi dan misi huruf ff.

"Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari - Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965."

Untuk melaksanakan komitmen tersebut, Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pun dibentuk. Ketuanya Jaksa Agung. Beberapa kali pertemuan dilakukan dan rekomendasi rekonsiliasi pun dibuat.

Namun sampai sekarang rekonsiliasi tersebut tidak segera dieksekusi, karena sekenarionya presiden atas nama negara menyatakan penyesalan dan meminta maaf.

Padahal baik Presiden maupun Wakil Presiden, menyatakan pemerintah tidak akan meminta maaf. Bagaimana mungkin rekonsiliasi bisa terjadi bila para pihak tak mau meminta maaf.

Harus diakui, peristiwa 1965 menyimpan banyak dimensi kepentingan, yang sampai saat ini sulit terurai. Peristiwa G30S, bisa dikatakan menjadi pemicu soliditas Angkatan Darat. Korban terbanyak dalam peristiwa itu memang perwira tinggi Angkatan Darat. Bisa dipahami bila "kemarahan" korps belum bisa mereda meski peristiwa sudah 50 tahun berlalu.

Dari dimensi politik pemerintahan pun, peristiwa 1965, menjadi titik balik luar biasa. Indonesia yang pada masa Orde Lama dicap kekiri-kirian, setelah peristiwa itu, berubah haluan, menjadi pro Barat. Kiblatnya Amerika yang sangat membenci komunis, dan ikut berkepentingan untuk menghabisi komunisme termasuk di Indonesia.

Kebencian terhadap komunis di Indonesia seperti melahirkan komunis phobia. TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Partai Komunis Indonesia, serta ajaran seperti Marxisme atau Leninisme, tidak pernah dicabut meskipun komunisme di negeri asalnya sudah bangkrut.

Bahkan setiap acara berbau kekirian, selalu diprotes, dituduh menghidupkan kembali komunisme, oleh beberapa ormas termasuk, ormas yang kontra-demokrasi. Mereka meminta kegiatan tersebut dibubarkan. Dan permintaan itu dikabulkan oleh Polisi.

Dari sisi keluarga pahlawan revolusi dan para pimpinan agama yang menjadi korban kekejian PKI saat itu, melahirkan trauma yang mendalam. Dan dari keluarga yang dituduh sebagai anggota dan simpatisannya, juga menciptakan vonis diskriminatif dalam kehidupan yang tak berkesudahan.

Namun sesungguhnya sebagian keluarga para korban yang tergabung dalam Forum Solidaritas Anak Bangsa sudah bisa saling memaafkan. Mereka bersama-sama menghapus luka lama dan saling menghilangkan dendam, untuk kemudian membangun empati.

Para anggota FSAB, sudah berdamai dengan sejarah. Mereka tak menafikkan peristiwa yang sudah terjadi, tapi mereka bertekad tak ingin mengulang sejarah. Mereka menyepakati sebuah motto: Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru.

Artinya sebagian korban peristiwa 1965 saat ini sudah mempraktikan makna sesungguhnya sebuah rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang bukan sekadar seremonial, tapi kesungguhan hati saling memaafkan, tanpa harus menuding siapa yang salah dan harus meminta maaf terlebih dahulu.

Juga kesadaran membangun dan merawat rasa kebangsaan. Bangsa yang tak mau terjajah dengan trauma masa lalu. Mereka sepakat menatap masa depan lebih baik bagi generasi mendatang.

Simposium Membedah Tragedi 1965 memang sudah berakhir, tinggal menunggu rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah. Kita hanya bisa berharap bahwa solusi penyelesaian peristiwa 1965 ini segera diumumkan. Dan satu persoalan bangsa terselesaikan.

Butuh kerelaan semua pihak untuk bisa menerima rekonsiliasi versi pemerintah, bila kita memang ingin berdamai dengan masa lalu, seperti halnya para anggota FSAB.

Termasuk kerelaan bila ternyata pemerintah hanya menyatakan penyesalan atas terjadinya tragedi 1965, tanpa permintaan maaf.


Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ngan-masa-lalu

---

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
2.3K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan