Kaskus

Story

tumpaseaeAvatar border
TS
tumpaseae
DUA PULUH
Quote:


Indeks:
#1 Everyones Mommy
#2 The ONe with Repeated
#3 Salah Paham Manda
#4 Patah
#5 The One who Can See

NYARIS KISAH NYATA


#1 EVERYONES MOMMY

Masih dengan keadaan setengah sadar Sam berjalan menuju lantai dua kontrakan, hari ini minggu jadi maklumlah kalau kontrakan masih sepi seperti ruang ujian.

"Faaan.", panggil Sam dengan suara serak khas bangun tidurnya.
"Yaaa", teriak Fani dari dalam.
Segera Sam masuk melalui satu-satunya pintu yang menghubungkan langsung balkon atas dengan ruangan lantai dua.
"Makan yuk Fan, lontong sayur padang kek nya sedap, Fan.", ajak Sam yang menyender di kusen pintu sambil menggaruk-garuk punggungnya.
"Ya, tunggu. Ini dikit lagi beres. Lo bangunin anak-anak bawah, biar anak-anak atas gue bangunin.", jawab Fani yang masih sibuk membersihkan dapur.

Sepagi ini Fani sudah selesai mencuci, berberes di lantai dua mulai dari kamarnya, dapur sampai balkon sudah ia pel.

"Neeeess.", Fani mengetok pelan pintu kamar Nesa, selepas subuh tadi Nesa tidur lagi karena semalam ia begadang mengerjakan laporan praktikumnya yang deadline nanti malam. Nesa paling tidak suka kalau minggunya diganggu dengan urusan kuliah. Tidak ada yang boleh merusak Minggunya.
Nesa tak kunjung bangun, padahal yang lain sudah siap-siap.

"Saaa!! Lo mau sarapan ngga? Bangun, kita mau makan ke depan!", gedor Fani agak keras kali ini.
"Iya!! Ini gue lagi sarapan kok!", teriak Nesa dari dalam kamar.

"Nesa mana?", tanya Indra ketika mereka semua sudah berkumpul di teras depan lantai satu. Rumah kontrakan mereka terdiri dari tiga lantai, tangga yang menghubungkan setiap lantai terletak perseis di sudut teras jadi lantai satu dengan lantai yang lain terpisah sama sekali.
"Masi tidur. Semalem dia ngga tidur sama sekali gegara laporan.", jawab Manda sambil memasukkan password gembok pintu pagar.

"Da, lontong sayurnya lima ya, pakai telor semua. Yang tiga komplit plus kuah kacang tapi yang satunya dibungkus, trus yang satu ngga pake lobak tanpa kuah kacang, yang satu lagi ngga pake mi kuning.", pinta Fani lancar menyebutkan pesanan.
"Hari ini agenda kita enaknya ngapain ya?", tanya Indra sambil menunggu pesanan mereka.
“Lo ada kuis besok, Ndra. Jangan lupa.”, balas Fani sambil mengisi gelas-gelas dengan air yang tersedia di dalam teko.
“Alamak. Bener, untung lo ingetin, Fan!”, Indra benar-benar lupa kalau ia ada dua kuis.

“Woi, gue gabung ya?”, Erik, kaka sepupu Fani. Erik lebih tua tiga tahun dari Fani, sekarang ia tengah menempuh tahun kedua magisternya di kampus yang sama dengan Fani.
“Oi, bang. Duduk bang.”, ucap Sam sambil menarik bangku di sebelahnya.
“Tumben bang, ngga lari pagi di SARAGA.”, tanya Indra sebab Erik tak memakai pakaian olahraganya seperti biasanya.
“Lagi males. Lagian ini juga mau ke Jakarta, ada kondangan temen.”, jawab Erik sambil menerima gelas berisi minum dari Fani.
“Lo kapan bang?”, tanya Indra sambil senyum penuh arti melirik kepada Manda yang tak biasanya diam seperti orang linglung.
“Hahha, ngga tau gue. Masih di tangan Tuhan. Belum ditunjukin jalannya, ini masi ngeraba-raba.”, jawab Erik asal.
“Hati-hati Bang, salah raba bisa berabe.”, balas Sam. “Au, sakit Fan!”, Sam meringis ketika kepalanya dijitak Fani keras.
“Lo kalo ngomong ngga ada filternya. Ngga liat apa di sini ada dua anak gadis?”, Fani ngomel-ngomel.
“Lah kan iya Fan, salah raba bisa jadi masalah. Eh, tapi siapa bilang kalian perempuan?”, Sam menggerutu yang kemudian mendapat cubitan panas di pinggangnya. “Hati-hati Fan, ntar kecubit yang iya-iya jadi berabe.”, Sam terkekeh sambil memegangi tangan Fani.
“Sam! Bego!”, Fani menoyor kepala Sam lagi.

“Manda kok diem aja si?”, tanya Erik yang melihat Manda menunduk dalam semenjak kedatangannya tadi.
“Eh, ngga kok bang.”, jawab Manda sekenanya.
“Lagi panas dalem bang. Makanya diem.”, balas Indra yang mendapat pelototan dari Manda. “Tuh, liat aja pipinya nyampe merah kek itu.”, tambah Indra lagi.
“Ngga kok bang.”, Manda membela diri.
“Kamu risih ya aku gabung di sini?”, goda Erik.
“Eh, ngga bang. Serius.”, jawab Manda kaget mendengar Erik berpikir seperti itu.
“Seneng iya kali bang.”, bisik Indra pada Manda.

Sungguh, rasanya Manda ingin pulang saja. Boleh ngga lontongnya dibungkus trus bawa pulang? Ia meringis dalam hati.

“Nesaaaa! Bangun woi, udah jam Sembilan.”, Fani membuka pintu kamar Nesa yang ternyata tak dikunci. “Nes, woi. Bangun.”, Fani menggoyang-goyangkan bahu Nesa.
“Iya, ini dari tadi udah bangun.”, Nesa ngelindur lagi.
“Lo dari tidur belum bangun, Nes. Ini udah gue beliin lontong sayur.”, balas Fani sambil menyalakan laptop Nesa.
Nesa duduk dengan mata yang masih terpejam.
“Ini udah bangun nih.”, Nesa dengan suara seksi khas bangun tidurnya menye-menye sendiri.
“Nes, woi.”, Fani membangunkan Nesa yang entah sejak kapan sudah bersandar ke dinding di belakangnya, tertidur lagi.
“Iyaaa”, sekarang Nesa benar-benar sudah bangun dan berjalan menuju kamar mandi.
“Lontongnya kek biasakan Fan?”, tanya Nesa sambil menggosok gigi di depan pintu kamarnya.
“Nes, lo udah bangun?”, tanya Fani geli?
“Ini udah woi. Kan lagi gosok gigi gue. Ih odol gue udah kadaluarsa deh.”, balas Nesa kesal.

Fani berjalan kea rah Nesa dan mengangkat tangan Nesa yang sedang memegang facial foam.

“Aak, pantes rasanya aneh. Berpasir-pasir gitu.”, Nesa langsung meludah ke kamar mandi yang terletak pas di samping kamarnya.

Sudah jam dua siang, pantas saja Fani lapar, ia ketiduran dari jam sebelas tadi. Fani mendapati dapur dalam keadaan berantakan, sepertinya anak-anak habis membuat nasi mi goreng. Kecap dan saus sambal mengotori kompor yang tadi pagi sudah ia bersihkan, kuali dan piring bekas dibiarkan begitu saja di wastafel. Sudahlah, ia sangat lapar sampai-sampai untuk mengomelpun ia tak sanggup.

Indra dan Sam berkejar-kejaran di lantai dua sambil menyemprotkan air satu sama lainnya. Entah bagaimana ceritanya hingga laki-laki ini bisa perang seperti anak kecil. Alhasil ruang tengah di lantai dua becek ditambah lagi dengan marmer yang berwarna putih gading membuat jejak-jejak kaki di lantai semakin terlihat.

Fani yang baru datang hanya diam berdiri di pintu masuk, memperhatikan Indra dan Sam yang masih asik dan Nesa Manda tengah sibuk menonton di kamar Nesa.
Fani melemparkan bungkusan makanan yang tadi ia makan ke atas wastafel hingga menyenggol kuali yang langsung jatuh ke dalam bak pencuci piring, menimbulkan bunyi gaduh. Indra dan Sam langsung berhenti dari kejar-kejaran mereka.

“Gue ngga pernah mempermasalahkan soalan gue yang selalu beresin lantai dua, ngga pernah gue ngomel. Tapi seengganya kalian juga hargain gue dong yang udah capek bersihin. Gue ngga apa ngga dibantuin, tapi please tolong dijaga. Itu doang udah sangat membantu. Kalian udah kebangetan.”, Fani sudah tidak kuat lagi.

Kejadian ini bukan sekali atau dua kali tapi sudah berkali-kali dan Fani selalu diam. Inilah jadinya kalau memendam-mendam unek-unek, sekalinya keluar langsung meledak gede.
Fani langsung berlari ke kamar dengan air mata yang sudah tak bisa ia bendung. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar.
Sedangkan Indra dan yang lain merasa sangat bersalah pada Fani.

Sudah mau magrib dan dari tadi Fani tak keluar dari kamar. Indra dan Sam masih menunggu Fani di kamar Nesa.

“Lo juga sih, bisanya buat nangis anak orang.”, omel Manda ketika ia duduk di sebelah Nesa. “Fani tu orangnya ngga suka kotor, dia juga bukan tipe yang kalau ngerasa apa-apa langsung ngomong, pas dia udah ngga tahan ya kaya tadi siang. Langsung keluar semuanya.”, jelas Manda yang memang sudah menjadi teman dekat Fani semenjak SMA dulu.

Indra dan Sam diam sebab mereka tau kalau mereka salah dan memang tak ada yang perlu dibela dari kesalahan mereka barusan.
Tiba-tiba Fani keluar dari kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi kemudian masuk lagi ke dalam kamar.

“Fan, aku masuk ya.”, ketok Indra pelan di pintu kamar Fani yang memang tak tertutup rapat.
Fani sedang duduk di kursi meja belajarnya kemudian memutar badannya menghadap Indra.
“Hai, lo lagi apa?”, tanya Indra basa-basi.
Sam yang mendengarnya hanya bisa menepuk keningnya, "Ngapain juga nanya, ngga bisa liat apa!", bisik Sam kesal pada dirinya
“Indra bego ya kalau udah ngomong sama Fani.”, celetuk Nesa yang entah sejak kapan ikut berdiri menyender di sebalah Sam.
“Lo bisa ngga sekali-kali ngga kaya setan. Tiba-tiba ada tiba-tiba ilang.”, omel Sam yang kaget. “Bego maksudnya apa?”, tanya Sam penasaran.
Nesa hanya diam sambil cengengesan. Mereka berdua diam menyimak Indra yang sedang berbicara dengan Fani.

“Fani, maaf soal yang tadi.”, Indra duduk di tepi meja belajar Fani, menghadap Fani yang masih diam. “Fan? Gue minta maaf.”, ulang Indra.
Fani paling tidak tahan dengan yang seperti ini, airmatanya sudah mengucur keluar lagi. Indra yang tak mendapat jawaban Fani tambah panik menapati Fani menangis lagi.
“Fan, udah dong nangisnya, maafin gue ya?”, bujuk Indra yang sudah berlutut di depan Fani sedang yang bersangkutan masih menangis, walau tak bersuara tapi Fani sudah sesegukan dari tadi.
Indra diam sambil memegang kedua tangan Fani yang dipangku di atas pahanya, sambil sesekali mengusap punggung pergelangan tangan Fani dengan ibu jarinya.

“Kalian tu jahat banget ya.”, akhirnya Fani bersuara. “Bener-bener ngga ada ngotaknya. Gue ngga pernah kan nyinggung-nyinggung tentang gue yang selalu beresin rumah? Karena itu memang kesadaran gue, tapi tolong gue buat ngejaga nya. Sakit tau diginiin. Kayak yang gue ngga dihargaiin.”, semuanya tumpah, ia sudah tidak sanggup memendamnya sendiri.
“Iya, gue minta maaf ya? Gue sama Sam salah.”, pinta Indra sambil mencari-cari mata Fani.
Fani masih menunduk dan mengangguk pelan.

“Mana Sam?”, tanya Fani agak galak.
“Hamba di sini Yang Mulia.", Sam tiba-tiba muncul dari balik pintu dan langsung berlutut seolah Fani adalah Ratu dan ia ajudannya. “Maafkan kesalahan hamba. Mohon jangan hamba dihukum pancung.”, tutur Sam sambil membungkuk dalam.
Fani diam sambil menggigit bibirnya, menatahan tawanya. Sam memang paling bisa kalau urusan seperti ini.
Sam melirik Fani hati-hati karena tak kunjung mendapat jawaban.
“Fan, maafin gue doong.”, rengek Sam sambil mendekat dan menggenggam tangan Fani. “Gue janji ngga bakalan ulang-ulang lagi.”, tambah Sam sambil melukis garis silang di dada kirinya, tepat di bagian jantungnya kemudian mengangkat telapak tangannya seolah bersumpah.
Fani hanya membalasnya dengan senyum simpul.

“Jadi gue dimaafin ngga ini Fan?”, tanya Sam meminta kejelasan yang dibalas Fani dengan anggukan.
Segera Sam memeluk Fani sampai-sampai kaki Fani tak menapak lantai.
“Sam, sesek”, ucap Fani terbata-bata sebab Sam memeluknya kencang.
“Maafin gue yaaa.”, pinta Sam lagi berbisik tepat di telinga Fani.
“Iya, iya. Lepas dulu, sesek gue”, protes Fani sambil berusaha melerai peluk Sam.

“And then they are living happily ever after!”, sorak Nesa agak keras dan menampakkan bibir bebeknya dari pintu yang tak tertutup rapat.

-----
Diubah oleh tumpaseae 26-04-2016 00:36
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.9K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan