(Antara)-Di tengah hiruk pikuknya ekspansi modernisasi, kesenian cengklungan asli Kabupaten Temanggung, mampu bertahan dengan segala keterbatasan. Alunan musik yang mengiringi kesenian unik ini, bukan berasal dari gamelan. Melainkan dari payung kruduk (caping) bambu para pengembala.



Cengklungan merupakan salah satu kesenian yang dikoleksi museum Hindia Belanda di Leiden, Belanda.

Meski keberadaanya mulai punah, namun kesenian cengklungan ini masih tetap dilestarikan oleh kelompok kesenian podho rukun warga Desa Geblog, Kecamatan Kaloran, Temanggung.

Mengingat, tidak ada lagi generasi penerus yang mau mempelajari kesenian bersejarah tersebut. Selain itu, keberadaan kesenian cengklungan kalah populer dengan seni tradisional kuda lumping yang sudah merakyat di Kawasan Kaki Gunung Sumbing dan Sindoro.

Dulu kesenian ini diciptakan spontanitas oleh para pengembala yang sedang menunggu ternaknya makan. Ternyata tingkah polah mereka mampu mengeluarkan bunyi yang harmonis ditambah nyanyian rakyat.

Sehingga, nada alat musik payung kruduk dengan panjang satu meter dan lebar 50 centimeter, berasal dari petikan tali caping berupa kawat atau senar.

Setiap caping mempunyai fungsi sendiri untuk menghasilkan nada, seperti melodi, bas dan kendang. Jika kedua alat musik itu dimaikan bersamaan, akan menghasilkan alunan untuk mengiringi sebuah tarian.

Menurut Dalmin Wignyo, pemain kesenian cengklungan, cerita dalam kesenian cengklungan itu menggambarkan suasana keagamaan dan pertanian, seperti kesibukan petani di Desa, mencangkul dan menumbuk padi.

Dalmin berharap, kesenian cengklungan ini tetap eksis di tengah persaingan dengan kesenian modern. Karena cengklungan dapat disejajarkan dengan kesenian angklung dari Jawa Barat dan Sasando dari NTT.