Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

solit4ireAvatar border
TS
solit4ire
Elit Tionghoa Kuasai Lahan di Jakarta & Indonesia
Elite Tionghoa Kuasai Lahan di Jakarta dan Indonesia. Seluruh Lahan harus Dikuasai kembali oleh Negara sesuai Amanat Konstitusi
Senin, 4 Apr 2016 - 23:22

JAKARTA-Pakar Hukum Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang non pribumi yang jumlahnya hanya 0,2% dari total penduduk Indonesia.

“0,2% orang Indonesia menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi, PT ini PT itu, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH. Ini hanya menunggu bom waktu, apalagi yang 0,2% itu maaf-maaf kalau pakai bahasa lama itu non pribumi” ujar Prof Yusril.

Pernyataan Prof Yusril disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer CLub(ILC) dengan judul “TAHUN GADUH BERLALU, TAHUN —- DATANG” edisi selasa 12 Januari 2016 di TV ONE. Dalam kesempatan tersebut Prof Yusril sedang mengungkapkan evaluasi kinerja Presiden Joko Widodo yang sangat buruk

Ekspansi dan penguasaan lahan besar-besaran yang dilakukan beberapa pengembang dan pemilik modal lainnya selama dua dekade terakhir mencerminkan ketidakbecusan negara dalam menata ruang dan menata wilayahnya.

Pemerintah pusat dianggap kalah cepat dari pengembang dan terlalu lambat bergerak dalam mengantisipasi konsekuensi globalisasi yang terjadi. Saat arus dana asing mengalir deras, sementara di satu sisi lahan di Jadebotabek terbatas dan harganya melonjak, pengembang melakukan terobosan dengan mencari lahan di kawasan lain yang harganya jauh lebih murah.

Konglomerat-konglomerat properti macam Ciputra Group, Agung Podomoro Group, Sinar Mas Land Group, dan Lippo Group, sekadar menyebut nama, pintar mengonversi situasi keterbatasan lahan dan ketidaktegasan pemerintah menjadi peluang. Alhasil, mereka "mengangkangi" ribuan bahkan puluhan ribu hektar lahan di beberapa kawasan di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, mengemukakan fenomena penguasaan lahan ribuan hektar oleh pengembang dan pemilik modal tersebut kepada Kompas.com, Jumat (5/12/2014).

"Jangan salahkan pemerintah daerah (pemda) karena mereka akan senang-senang saja menerima dana masuk dari pengembang dan investor properti. Pemda akan menerima mereka, bahkan menggelar karpet merah karena ada dana investasi," tutur Panangian.

Dia melanjutkan, penguasaan lahan oleh segelintir konglomerasi itu juga merepresentasikan bahwa pemerintah tidak punya visi jauh ke depan. Pemerintah, kata Panangian, tidak berpikir bahwa dengan dikuasainya lahan oleh pengembang, harganya bakal melonjak gila-gilaan. Kalau sudah demikian, jangan berharap mimpi mengatasi ketimpangan perumahan rakyat bisa terwujud.

"Situasi bakal bertambah parah saat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) justru menggabungkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dengan perumahan Rakyat (Pera). PU saja punya masalah menumpuk, yakni infrastruktur dasar yang belum terpenuhi, bagaimana kemudian mau berpikir tentang backlog 15 juta unit rumah rakyat?" tandas Panangian.

Jokowi, tambah Panangian, harus segera membuat badan otoritas khusus untuk mencegah ekspansi pengembang dalam menguasai lahan secara besar-besaran.

Sementara Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia, Bernardus Djonoputro, berpendapat, dikuasainya lahan oleh pengembang dan pemilik modal sebagai ekses ketidakaturan dan amburadulnya manajemen pertanahan (land register dan land management).

"Pemerintah harus secara serius melakukan agenda reformasi pertanahan (land reform), pendataan dan manajemen tanah menuju rezim statutory system yang mumpuni," tutur Bernardus.

Reformasi pertanahan, lanjut dia, juga harus disertai dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan sebagai panglima pemanfaatan lahannya. Dengan begitu, distribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara dalam pemerataan kemakmuran.
http://konfrontasi.com/content/nasio...harus-dikuasai


Prof Yusril : Non Pribumi Menguasai 74% Tanah di Indonesia
Kamis, 21 Januari 2016

Pakar Hukum Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang non pribumi yang jumlahnya hanya 0,2% dari total penduduk Indonesia.

“0,2% orang Indonesia menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi, PT ini PT itu, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH. Ini hanya menunggu bom waktu, apalagi yang 0,2% itu maaf-maaf kalau pakai bahasa lama itu non pribumi” ujar Prof Yusril.

Pernyataan Prof Yusril disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer CLub(ILC) dengan judul “TAHUN GADUH BERLALU, TAHUN —- DATANG” edisi selasa 12 Januari 2016 di TV ONE. Dalam kesempatan tersebut Prof Yusril sedang mengungkapkan evaluasi kinerja Presiden Joko Widodo yang sangat buruk.
http://islamedia.id/prof-yusril-non-...-di-indonesia/


Pemodal Kuasai Lahan Desa
Kamis, 28 Januari 2016 | 15:00 WIB


Suasana pagi hari di Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Sebanyak 17 keluarga yang tidak memiliki tanah membangun gubuk di atas tanah masjid desa tersebut. Sementara ribuan hektar lahan desa telah dikuasai pemodal dan dibiarkan menganggur.

JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan hektar lahan desa kini dikuasai para pemodal. Terbuai iming-iming uang, banyak warga desa menjual tanahnya. Pemerintah sebagai otoritas pengendali penguasaan lahan juga belum dirasakan kehadirannya. Alih-alih memberikan nilai tambah ekonomi, ekspansi ini justru secara struktural memarjinalkan masyarakat desa.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Abdul Malik, Rabu (27/1/2016), mengingatkan, penguasaan lahan desa demi kepentingan investasi cenderung lebih memarjinalkan daripada memberdayakan masyarakat setempat.

Pemerintah daerah bermaksud mendorong investasi dengan orientasi utama untuk pendapatan asli daerah. Namun, yang terjadi, pembelian lahan desa menyebabkan pemiskinan secara struktural dan kultural. Warga miskin tidak mempunyai kemampuan meningkatkan taraf hidup. Kemiskinan menjadi lingkaran setan yang turun-temurun dalam keluarga.

”Di sejumlah daerah di Indonesia seperti itu. Pemerintah daerah menggenjot investasi, tetapi investasi itu belum tentu berdampak positif terhadap masyarakat lokal,” ujarnya.

Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan, Indonesia tidak memiliki aturan dalam mengendalikan kepemilikan lahan dan mencegah monopoli penguasaan lahan. Selain itu, tidak ada aturan yang mencegah penggunaan lahan sebagai komoditas dan obyek spekulasi. Akibatnya, distribusi lahan semakin timpang. Pada akhirnya, kondisi ini tidak hanya memiskinkan, tetapi juga memperlebar ketimpangan ekonomi.

Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektar.

”Jika mau konsisten menjalankan konstitusi, semestinya pemerintah mengusahakan keadilan distribusi aset-aset ekonomi, bukan liberalisasi aset-aset ekonomi seperti yang terjadi selama ini,” kata Palupi.

Kasus Banten

Penguasaan lahan desa oleh pemodal, antara lain, ditemukan di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lebak. Penguasaan lahan desa oleh pemodal di setiap kabupaten tersebut diperkirakan mencapai ribuan hektar. Demikian hasil penelusuran Kompas di sejumlah wilayah di Provinsi Banten.

Di Kabupaten Pandeglang, penguasaan lahan antara lain merambah wilayah sekitar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung. Lahan itu, antara lain, terdapat di Desa Banyuasih, Kecamatan Cigeulis.

Kepala Desa Banyuasih Iyat Sanjaya mengatakan, pembelian lahan oleh pemodal dari luar daerah terjadi sejak 1990-an. Saat ini, tren itu kian marak.

Di Desa Banyuasih, menurut Iyat, pemodal sudah menguasai ribuan hektar. Lahan itu dimiliki sekitar 100 orang dengan luas puluhan hingga ratusan hektar. Sejauh ini, baru dua pemodal yang sudah memanfaatkan lahan itu, yakni untuk lapangan golf, pabrik, dan perkebunan sawit. Setiap pemanfaatan lahan tersebut menyerap tidak lebih dari 20 tenaga kerja lokal.

Sementara itu, lahan lain dibiarkan menganggur. Hal ini, antara lain, dijumpai di sepanjang pantai Desa Banyuasih. Kawasan sepanjang 9 kilometer (km) itu dikuasai pemilik modal. Sejumlah papan penanda dipasang di lahan itu untuk menegaskan kepemilikan lahan, baik atas nama pribadi maupun korporasi. Pantai Desa Banyuasih yang berpasir abu-abu dan landai itu berpotensi untuk dijadikan kawasan pariwisata.

Tidak tahu RTRW

Menurut anggota Badan Permusyawaratan Desa Banyuasih, Marsito, harga tanah di Desa Banyuasih Rp 500-Rp 1.000 per meter persegi pada tahun 1992. Saat ini, harga tanah sekitar Rp 100.000 per meter persegi.

Harga tanah di desa-desa sekitar KEK Tanjung Lesung terus merangkak naik. Kondisi ini terasa sekali setelah kawasan itu diresmikan Presiden Joko Widodo pada Februari 2015.

Apalagi, Presiden juga sudah memerintahkan pembangunan Tol Serang-Panimbang (Banten) untuk mendukung pengembangan KEK Tanjung Lesung. Pembangunan tol sepanjang 87 km itu direncanakan selesai pada 2018.

Pembelian lahan desa juga terjadi di Desa Gunungsari, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Serang. Supiyat (31), warga Desa Gunungsari, mengatakan, sebagian besar lahan di desanya dikuasai pemodal. ”Mungkin sekitar 60 persen dimiliki warga dari luar Gunungsari,” katanya.

Lahan Gunungsari terutama diincar investor peternakan ayam. Gunungsari dinilai strategis karena berjarak hanya sekitar 20 km dari Kota Serang.

Sejumlah desa di Kabupaten Lebak juga mengalami kondisi serupa, salah satunya Desa Sawarna, Kecamatan Bayah.

Menurut Ketua Paguyuban Homestay dan Pariwisata Sawarna, Endan Hudri, investor tertarik membeli lahan di Desa Sawarna karena potensi wisata wilayah itu. ”Dengan iming-iming uang tunai, akhirnya banyak warga desa menjual lahan,” katanya.

Desa Sawarna dikenal sebagai desa wisata dengan keunggulan pantai, gua, dan gugusan karang yang indah. Tak jauh dari Sawarna ada investasi pabrik semen yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan konstruksi.

Masyarakat desa di tiga daerah tersebut tidak tahu rencana pembangunan desanya dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Karena itu, mereka tidak mengetahui nilai ekonomi lahan desa pada tahun-tahun mendatang. Pemodal justru yang memiliki akses tersebut.

Ketimpangan

Pembelian lahan-lahan oleh pemodal terbukti tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang berarti dan berkelanjutan bagi masyarakat desa. Masyarakat justru mengalami pemiskinan.

Banten merupakan provinsi tujuan investasi peringkat kelima nasional pada 2015. Namun, angka pengangguran 9,9 persen atau peringkat ke-32 dari 33 provinsi.

Jumlah penduduk miskin di Banten bertambah dari 649.190 jiwa per September 2014 menjadi 690.670 jiwa per September 2015. Jumlah penduduk miskin desa naik dari 268.010 jiwa menjadi 271.710 jiwa.

Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Bambang Hudayana mengingatkan, kondisi semacam ini kian mengkhawatirkan di banyak daerah. Petani cenderung menjual lahan karena sektor pertanian tidak menjanjikan perbaikan kesejahteraan.

”Lahan desa semestinya dipertahankan untuk pertanian. Syaratnya, pemerintah menjamin pendapatan sektor pertanian bagus. Persoalannya, jaminan itu tidak ada,” ujarnya. Pengembangan investasi di desa bisa dilakukan dengan meningkatkan kapasitas produksi masyarakat desa
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea....Desa?page=all


57% Perkebunan RI Dikuasai Konglomerat Lokal Hingga Malaysia dan Singapura
Minggu, 09/11/2014 14:41 WIB


source: http://indoprogress.com/2016/02/pera...an-dan-energi/

Jakarta -Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), mayoritas lahan perkebunan di Indonesia dikuasai segelintir konglomerat (taipan) lokal maupun asing seperti dari Malaysia dan Singapura.

Misalnya berdasarkan data 2007 tercatat ada 6 juta hektar hingga 6,5 juta hektar lahan perkebunan yang sudah ditanam. Sedangkan saat ini sudah mencapai 12,3 juta hektar.

Dari angka tersebut, sedikitnya 57,4% dikuasai korporasi-korporasi besar. Bahkan, bila ditambah antara lahan inti dan lahan plasma atau lahan yang juga dimiliki masyarakat, maka penguasaan korporasi besar bisa mencapai 95%. Persentase tersebut dikuasai hanya segelintir orang-orang kaya.

Demikian diungkapkan perwakilan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Mouna Wasef dalam diskusi soal Praktik Korupsi dan Penyimpangan Pajak di Sektor Perkebunan, di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/11/2014).

"Sebanyak 57,4% dikuasai korporasi-korporasi besar, hanya sedikit oleh masyarakat atau BUMN. Korporasi besar nggak hanya milik Indonesia tapi Malaysia dan Singapura. Jika ditambah lahan inti dan plasma bahkan penguasaan sampai 95%, penguasaan sebanyak 25 taipan," jelasnya.

Mouna menjelaskan, dari 25 taipan tersebut kekayaannya mencapai 45% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2014 atau sekitar Rp 651 triliun.

"Kekayaan mereka setara dengan 45% APBN Indonesia 2014, jadi sangat tidak sebanding dengan apa yang negara dapatkan dari mereka melalui pajak," katanya.

Ia menjelaskan, mayoritas kepemilikan asing ini menyebabkan pemerintah melalui direktorat pajak sulit menjangkau penerimaan pajak.

"Umumnya penguasaan mekanisme keuangan mereka ada di luar negeri, hal-hal inilah yang memungkinkan kasus seperti Asian Agri. Ini dampak dari penguasaan oleh taipan-taipan besar," ucap Mouna.

Mouna menyebutkan, pemerintah perlu menetapkan aturan tegas terkait kepemilikan asing di lahan perkebunan Indonesia.

"Dengan penguasaan korporasi dari penguasaan lahan, pengolahan sawit ke CPO, ini memudahkan mereka mengatur dari hulu sampai hilir. Pemerintah perlu mengatur pembatasan kepemilikan lahan perkebunan. Mereka kan korporasi punya banyak anak usaha, di sini perlu diatur," tandasnya.

Sementara itu, di sisi pemerintah sudah mengetahui soal kenyataan ini. Pada era menteri pertanian di bawah Suswono, sudah menyiapkan aturan soal pembatasan kepemilikan lahan perkebunan, khususnya di sektor sawit di Indonesia.
http://finance.detik.com/read/2014/1...-dan-singapura


95% Lahan Perkebunan Cuma Dikuasai 25 Konglomerat, Inikah Indonesia Raya?
Rabu, 12 Nov 2014 08:50 WIB

Dari 12,3 juta hektar lahan perkebunan di Indonesia, 95% dikuasai hanya oleh 25 orang konglomerat. Para taipan itu, baik lokal maupun dari Singapura dan Malaysia, total kekayaannya mencapai 45% dari APBN.

Mouna Wasef dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bilang sebanyak 57,4% dikuasai korporasi-korporasi besar, hanya sedikit oleh masyarakat atau BUMN.

Korporasi besar tak hanya milik Indonesia, tapi Malaysia dan Singapura. Jika ditambah lahan inti dan plasma bahkan penguasaan sampai 95%, penguasaan sebanyak 25 taipan. Mouna mengungkapkan itu dalam diskusi soal Praktik Korupsi dan Penyimpangan Pajak di Sektor Perkebunan, di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/11).

Ia menjelaskan, dari 25 taipan tersebut kekayaannya mencapai 45% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2014 atau sekitar Rp 651 triliun.
http://www.medanbisnisdaily.com/news...ndonesia-raya/


Pemerintah Pusat Tuding Pemda Penyebab Lahan Dikuasai Konglomerat
Senin, 10 Juni 2013 07:20 WIB

JAKARTA (Lampost.Co): Pemerintah pusat menuding pemerintah daerah lantaran lahan-lahan pertanian dikuasai oleh konglomerat. Pemerintah pusat pun mengklaim pihaknya terus mengupayakan agar para petani memiliki lahan yang luas.

Utusan Khusus Presiden Bidang Penanggulangan Kemiskinan HS Dillon mengakui bahwa konglomerat menguasai lahan sehingga petani tidak memiliki lahan dan hanya menjadi buruh tani, serta lahan pertanian makin sempit.

"Kenapa tanah itu seluruhnya diberikan kepada konglomerat. Itu yang saya persoalkan pada teman-teman di kabinet," kata Dillon seusai membuka Konferensi Internasional Ke-6 Gerakan Petani Sedunia La Via Campesina, Minggu (9/6), di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Dillon mengungkapkan, program-program pemerintah tidak cukup mengurangi angka kemiskinan. Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan tidak mengatur mengenai kepemilikan lahan bagi petani.

Menurutnya, harus ada hal yang mendasar untuk mengurangi angka kemiskinan seperti memberikan hak atas tanah kepada petani. "Kalau buruh tani memiliki hak dan jaminan atas tanahnya, dia akan menghasilkan yang lebih tinggi lebih dari beberapa perusahaan besar sekalipun," ungkapnya.
[url]http://lamposS E N S O Rberita/pusat-tuding-lahan-dikuasai-konglomerat-[/url]


Artikel Bagus:
Perang Tanah: Wajah Baru Neoliberalisme di Sektor Pangan dan Energi
22 February 2016


source: http://indoprogress.com/2016/02/pera...an-dan-energi/
--------------------------

Tiru RRC saja, semua tanah adalah milik Negara ...
Diubah oleh solit4ire 10-04-2016 12:31
0
30.7K
137
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan