Kaskus

News

solit4ireAvatar border
TS
solit4ire
Mayoritas DPR Disebut Setuju Eksekusi Mati Dipersulit, teramasuk ke Gembong Narkoba
Mayoritas Fraksi di DPR Disebut Setuju Eksekusi Mati Dipersulit
29 Maret 2016 14:59 news.detik.com

Jakarta - Tidak ada perdebatan berarti di Komisi III soal aturan eksekusi mati dalam pembahasan RUU KUHP. Mayoritas fraksi setuju jika eksekusi mati dipersulit yaitu kepada gembong narkoba, korupsi, pembunuhan berencana, makar, kejahatan HAM dan terorisme.

"Dalam pembahasan tidak ada perdebatan yang sengit soal pasal-pasal terkait hukuman mati. Pembahasan lebih pada perbaikan rumusan-rumusan pasal agar sinkron," kata anggota Komisi III Arsul Sani kepada wartawan, Selasa (29/3/2016).

Aturan hukuman mati yang dipersulit itu ada di pasal 102 RUU KUHP. Dalam pasal itu mengatur pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun, jika selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati diubah menjadi seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun.

RUU KUHP saat ini dibahas di dalam panja yang ada di Komisi III. Arsul mengatakan bahwa di akhir masa sidang lalu, Panja hanya meminta pemerintah sebagai pengusul untuk memperbaiki sistematika pasal.

"Secara fraksional, 8 fraksi sebenarnya sudah sepakat dengan norma-norma hukum terkait hukuman mati yang ada dalam RKUHP. FPDIP memberikan catatan agar hukuman mati dijatuhkan dengan prinsip kehati-hatian. F-PD meminta pasal hukuman mati dihapus," jelas Arsul yang fraksinya (PPP) juga menyetujui hal itu.

Alasan terpidana mati bisa dijadikan pidana seumur hidup, menurut Arsul, karena paradigma pemidanaan modern berangkat dari keinginan merestorai pelaku kejahatan menjadi baik. Pendekatannya bukan untuk 'balas dendam' ke pelaku kejahatan.

"Kalau sudah divonis mati ternyata tidak berubah perilakunya baru dieksekusi. Jadi paradigma balas dendam memang sudah ditinggalkan," jelas mantan pengacara ini.

Fraksi yang menolak tegas usulan itu baru datang dari Fraksi PKS. Menurut anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, ide tersebut bisa tumpang tindih dengan fungsi grasi yang dimiliki presiden. Selain itu, kewenangan mengurangi hukuman mati juga berpeluang oknum pemerintah bermain mata.

"Ini memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misal ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. Jadi ini potensial disalahgunakan," papar Nasir.

Kritik terhadap rancangan aturan ini salah satunya disampaikan oleh BNN. Menurut BNN, eksekusi mati adalah harga final untuk gembong narkoba.

"BNN tunduk pada aturan mekanisme hukum. Alangkah indahnya kalau sindikat narkotika dihukum berat-berat dan eksekusi dipercepat," kata Kabag Humas BNN, Kombes Slamet Pribadi.

Sementara itu, hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun yang berkali-kali menjatuhkan hukuman mati keberatan dengan gagasan tersebut. Usulan DPR ini dinilai bertabrakan dengan fungsi lembaga pengadilan yang mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman mati. Usulan DPR itu dinilai bertentangan dengan nilai-nilai trias politika yang ada.

"Ini kan sama saja dengan mengubah putusan hakim. Ini akan membelenggu daya kreasi hakim dalam memutus sebuah kasus kalau nantinya akan diubah hukumannya," tandas Gayus.
https://www.elaenews.com/berita/deta...ati-Dipersulit


Astaga! DPR Akan 'Hapus' Hukuman Mati di KUHP
Senin 04 May 2015, 10:28 WIB

Jakarta - Indonesia kini tengah berjuang menegakkan hukuman mati di tengah ramainya kecaman luar negeri. Ironisnya, DPR kini tengah menggodok kemungkinan 'menghapus' hukuman mati dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Seperti diketahui saat ini DPR sedang menggodok revisi KUHP di Komisi III. Banyak perubahan yang ditargetkan tercapai. Salah satunya adalah soal hukuman mati.

Dalam KUHP yang berlaku saat ini, hukuman mati menjadi salah satu hukuman pokok. Soal hukuman pokok ini tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang berbunyi:

Pasal 10

Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.

b. Pidana tambahan:

1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.

Nah, dalam draf RUU KUHP yang baru, hukuman mati dihapuskan dari pidana pokok. Jadi memang hukuman mati tak dihapus total dari KUHP, namun dihapus dari pidana pokok.

Aturan soal pidana pokok dalam draf RUU KUHP tercantum dalam Pasal 65 yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 65

(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menen­tukan berat ringannya pidana.

Ke mana hukuman mati? Dalam draf RUU KUHP, hukuman mati menjadi pidana pokok yang bersifat khusus dan sifatnya alternatif, sebagaimana tercantum dalam Pasal 66.

Pasal 66

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Jika draf RUU KUHP ini nantinya disahkan, maka para gembong narkoba di masa depan mungkin lebih beruntung dibanding yang dihukum saat ini. Sebab, dengan aturan itu, hukuman mati akan selalu menjadi pilihan alternatif terakhir yang besar kemungkinan tak diindahkan oleh hakim. Dampaknya, bisa jadi narkoba di Indonesia makin tersebar luas.

Akankah Komisi III benar-benar menghapus hukuman mati dari pidana pokok?
http://news.detik.com/berita/2904638...n-mati-di-kuhp


Pegiat HAM kecam eksekusi hukuman mati narkoba
16 Januari 2015

Para pegiat HAM menuding, ketetapan pemerintah untuk mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkotika, sekadar manuver ketika pemerintah sedang disorot kontroversi pencalonan tersangka kasus korupsi KPK Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Direktur Eksekutif lembaga pemantau HAM, Imparsial, Poengky Indarti menyebut, lembaganya konsisten pada sikap menentang hukuman mati, serta terus memperjuangkan penghapusannya.

"Hukuman mati merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena tidak menghormati hak untuk hidup. Bahwa tidak seorang pun boleh mencabut nyawa orang lain, negara sekalipun," kata Poengky.

Sebelumnya, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Anang Iskandar mengatakan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba tak melanggar HAM, karena berdasarkan perintah pengadilan. Dikutip Tempo, Anang, berkilah, pelanggaran HAM terjadi bila eksekusi mati hanya atas perintah perseorangan.

Melalui suatu jumpa pers yang berlanjut dengan serangkaian liputan luas, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengumumkan akan dilaksanakannya hukuman mati terhadap Marco Archer Cardoso Mareira (53, warga negara Brasil), Daniel Enemua (38, WN Nigeria,) Ang Kim Soei (62, Belanda), Namaona Dennis (48, Malawi) Tran Thi Bich Hanh (37, WN Vietnam) dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia(WNI).
Eksekusi akan dilakukan 18 Januari 2015 dini hari di Nusakambangan, kecuali eksekusi Tran Hanh yang akan dilakukan di Boyolali.

Efek Jera?
Jaksa Agung mengatakan, keputusan itu semata-mata untuk melindungi kehidupan bangsa dari bahaya narkotika. Ini untuk menunjukkan pula, kata Jaksa Agung, bahwa Indonesia tidak main-main dalam memerangi penyalahgunaan narkotika.

"Kita berharap sikap tegas, keras, dan hukuman mati ini bagi para bandar dan pengedar narkotika akan memberikan dampak preventif untuk membuat mereka jera," katanya dikutip Merdeka.

Namun pegiat anti hukuman mati Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat menepis. "Di laporan BNN setiap tahunnya dari tahun 2009 sampai sekarang terus naik. Jumlah barang buktinya terus naik. Jumlah pecandunya juga naik. Hukuman mati terus dijatuhkan, eksekusi dilakukan, tapi kejahatan narkotika tak kunjung turun."

Data itu menunjukkan, kata pegiat yang banyak bersentuhan dengan kasus narkotika itu, bahwa hukuman mati sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Sebaliknya, ia menuding eksekusi yang dibarengi wacana "Indonesia Darurat Narkotika" dari para pejabat itu sekadar cara pemerintah untuk menyembunyikan kegagalan mereka dalam mengatasi peredaran gelap narkotika.

Ia mempertanyakan pula retorika pemerintah, karena nyatanya yang tertangkap dan dijatuhi hukuman mati serta dieksekusi hanyalah para pengedar kecil, kurir atau orang yang dijebak, dan bukan para gembong.
"Keputusan yang mengada-ada"

Sistem hukum modern, pengukuman harus bersikap koreksional, untuk memperbaiki dan bukan untuk balas dendam.

Ia membandingkan dengan kasus-kasus terorisme. "Dalam kasus-kasus terorisme, polisi mengungkapkan bagaimana jaringannya, bagaimana sel-selnya, siapa pemimpin atau gembongnya, siapa otaknya, siapa para pelaksana lapangan, bagaimana pendanaannya, bagaimana operasionalnya, dsb.

"Tapi dalam kasus narkotika, tak pernah polisi mengungkap jaringan rumit itu. Hanya mereka yang tertangkap tangan di lapangan, bahkan dalam dalam penggerebekan, pun hanya sampai pada yang tertangkap langsung."

Poengky di sisi lain mengingatkan, hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan sistem hukum kolonial Belanda tahun 1918. Dan ini bertentangan selain dengan HAM, melainkan sistem hukum modern. "Sistem hukum modern, penghukuman harus bersikap koreksional, untuk memperbaiki dan bukan untuk balas dendam."

Poengky menyerukan agar rencana eksekusi dibatalkan, dan hukuman mati sepenuhnya dihapus atau setidaknya dibekukan. Dan hukuman maksimal yang diberlakukan adalah hukuman seumur hidup, yang tanpa kemungkinan remisi.

Langkah eksekusi pada enam terpidana narkoba yang diumumkan khusus oleh pemerintah menurutnya merupakan manuver pemerintah, yang mengada-ada "untuk terlihat keras, gagah, seakan melindungi dan bertanggung jawab kepada rakyat," di tengah sorotan terhadap kontroversi pencalonan Kapolri.

Keenam terpidana mengajukan pengampunan atau grasi pada Presiden, namun pada 30 Desember 2014 Presiden Jokowi menandatangani surat penolakan permohonan grasi itu.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_...pidana_narkoba


Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar Konstitusi
Senin, 17 Pebruari 2003

Ketua Sub Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati Soegondo mengatakan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap enam orang terpidana mati tidak bertentangan konstitusi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hukuman mati sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Lies mengatakan bahwa setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta peghormatan atas hak orang lain. Serta, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.

"Jadi, apa yang telah tertuang dalam UUD 1945 juga tertuang pula pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam amandemen kedua UUD 1945. Dengan demikian, sepanjang hukuman mati itu masih dicantumkan dalam undang-undang positif kita, maka tentunya tidak dapat dihindari adanya hukuman mati tersebut," ucapnya saat Rapat Kerja antara Komnas HAM dengan Komisi II di Gedung DPR, pada Senin (17/02).

Dukungan terhadap eksekusi para terpidana mati juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II dari F-TNI/Polri, Abdul Rahman Gaffar.
"Hukuman mati itu asal dilakukan sesuai dengan prosedur hukum tidak ada masalah. Saya sebagai orang Islam, hukuman mati itu ada. Kalau di Makkah, diterapkan hukum qishash. Kalau dia membunuh, maka hukumannya juga dibunuh," cetusnya.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh anggota Komisi II dari F-Reformasi, Patrialis Akbar. Ia mengatakan bahwa hukuman mati sebaiknya tidak cuma diterapkan terhadap para pengedar narkoba dan pelaku pembunuhan berencana, tetapi juga terhadap para koruptor.
Kejahatan kejam

Sementara itu, advokat senior Adnan Buyung Nasution juga berpendapat bahwa pengedar narkoba sudah sepantasnya diganjar dengan hukuman mati. Ia mengungkapkan bahwa pada prinsipnya, ia menolak hukuman mati. Namun, ia menganggap bahwa kejahatan narkotika sudah tergolong crime against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Pada dasarnya kita menolak hukuman mati, tapi sekarang perkembangan dunia juga harus kita ikuti. Khusus dalam kasus-kasus crime against humanity atau kejahatan yang kejam seperti narkoba, memang ada pengecualian. Apalagi kalau masyarakat juga menghendaki atau menuntut adanya suatu hukuman yang setimpal yang bisa bikin jera orang-orang ini," tegas Buyung kepada wartawan.

Namun, ia menambahkan bahwa penerapan hukuman mati harus dipertimbangkan dengan konsisiten dan tidak diskriminatif. Kemudian, pemerintah juga harus mencermati apakah penerapan hukuman mati benar-benar akan membawa efek jera bagi para pelaku kejahatan narkotika. Menurut Buyung, efek jera tersebut tidak akan langsung dirasakan oleh para penjahat.


"Jadi, hukuman mati saja tanpa dibarengi upaya negara untuk melakukan pemberantasan yang tegas dan menyeluruh, ini tidak akan efektif. Percuma hukuman mati, dikorbankan nyawa manusia kalau tujuan yang lebih jauh, yaitu berkurangnya penjualan narkoba, tidak tercapai karena pemberantasan ke arah sana tidak efektif," tukas Buyung.

Imbauan agar pemerintah tidak serta-merta melaksanakan hukuman mati juga diungkapkan oleh anggota Komnas HAM lainnya. Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas HAM, M.M. Billah mengatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan penerapan hukuman mati. Alasannya, para pelaku kejahatan masih dapat berubah dan pemerintah hendaknya memberikan kesempatan mereka untuk bertobat.

"Saya tidak setuju hukuman mati karena manusia itu bisa berubah dan pada hakekatnya selalu berubah sehingga pada suatu saat mereka bisa menyesali perbuatannya lalu bertobat. Kalau kelakuannya baik itu ada kemungkinan berubah, masih bisa mempunyai peluang berbuat sesuatu yang lebih positif. Dengan demikian, memberikan peluang untuk hidup kembali sebagai manusia," tukasnya.

Suara yang kontra terhadap penerapan hukuman mati juga datang dari anggota Komisi II dari F-PDIP, Firman Jaya Daeli. Ia berpendapat bahwa penerapan hukuman mati bertentangan dengan Deklarasi HAM PBB yang pada intinya menyatakan bahwa hak manusia untuk hidup tidak dapat dicabut dengan alasan apapun.
http://www.hukumonline.com/berita/ba...gar-konstitusi


Hukuman Mati Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia
Siang | 22 April 2015 21:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Hukuman mati bagi pengedar narkotika tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, karena kejahatan narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang banyak merenggut hak hidup orang lain.

Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri mengungkap dua jaringan sindikat internasional peredaran narkotika jenis sabu, di Jakarta, Selasa (21/4).

"Kejahatan luar biasa harus ditangani dengan cara yang ekstra keras dan tegas juga agar peredarannya bisa ditekan, salah satunya dengan memberikan hukuman mati," kata mantan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal (Purn) Gories Mere saat hadir dalam diskusi dengan tema "Hukuman Mati dan Narkoba", Rabu (22/4) di Jakarta.

Menurut Gories, hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 ataupun hukum internasional lainnya. Apalagi, hukuman mati memiliki sejumlah tujuan, antara lain menjaga konsistensi dan tidak diskriminatif, mencegah main hakim sendiri, mencegah jatuhnya korban, dan mencegah timbulnya kejahatan lain akibat narkoba.

Filosofi hukuman mati bertujuan agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama, bukan upaya untuk balas dendam karena berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, pemberian hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi para pengedar narkotika. "Masih ada hukuman mati saja peredaran narkoba masih merajalela, apalagi jika tidak diterapkan. Hukuman mati untuk menyelamatkan peradaban modern," kata Mahfud.

Namun demikian, menurut Mahfud, kelak hukuman mati ini diharapkan tidak lagi menjadi hukuman pokok, tetapi hukuman khusus.

Sementara cendekiawan Franz Magnis-Suseno menyebutkan, hukum Indonesia belum berjalan dengan benar karena tidak menjamin keadilan dan kewajaran pada masyarakatnya. Sistem hukum di Indonesia masih dipengaruhi perilaku korup, kekuatan uang masih bisa memengaruhi peradilan. "Oleh sebab itu, diperlukan adanya moratorium hukuman mati, sambil memperbaiki sistem hukum Indonesia," katanya.

Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menunjukkan lima tersangka dari dua jaringan sindikat internasional peredaran narkotika jenis sabu, di Jakarta, Selasa (21/4). Dua di antara tersangka merupakan warga negara Sri Lanka. Polisi menyita barang bukti berupa 14,5 kilogram sabu senilai lebih kurang Rp 29 miliar. Sindikat ini diduga masih terlibat dengan jaringan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.

Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri menunjukkan lima tersangka dari dua jaringan sindikat internasional peredaran narkotika jenis sabu, di Jakarta, Selasa (21/4). Dua di antara tersangka merupakan warga negara Sri Lanka. Polisi menyita barang bukti berupa 14,5 kilogram sabu senilai lebih kurang Rp 29 miliar. Sindikat ini diduga masih terlibat dengan jaringan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.

Menurut Franz, banyak terpidana yang dihukum mati akibat adanya kesalahan proses hukum. Hal ini menimpa Rani yang sebenarnya hanya seorang kurir, bukan pengedar utama. "Lebih baik memperketat penjagaan di penjara agar tidak terjadi penyelundupan narkotika daripada melakukan hukuman mati," tuturnya.

Inspektur Jenderal (Purn) Benny J Mamoto dari Kelompok Ahli Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN) Bidang Strategi dan Teknik Pemberantasan Peredaran Gelap Narkoba mengemukakan, hukuman mati bukanlah satu-satunya cara mencegah peredaran narkoba. Harus ada langkah komprehensif lain untuk menekan peredaran narkoba.

Benny menjelaskan, selama ini pemerintah sudah menekan peredaran narkoba dengan memberikan hukuman berat bagi para pengedarnya. "Dengan menjatuhkan hukuman mati kepada pengedar narkoba, mata rantai peredaran narkoba bisa dikurangi," ujarnya.

Namun demikian, operasi menekan peredaran narkoba itu belum dibarengi dengan usaha menekan permintaan narkoba. Benny menjelaskan, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4 juta, tetapi hanya 18.000 yang direhabilitasi. "Diperlukan rehabilitasi dan usaha pencegahan penggunaan narkoba agar peredarannya dapat dikurangi," katanya.
http://print.kompas.com/baca/2015/04...-Asasi-Manusia

----------------------------------

DPR kok kurang kerjaan sih?

Aturan yang sudah baik dan mapan gitu, kok mau diobok-obok lagi. Emang untuk kepentngan siapa? Untuk badan HAM PBB?

Pengkhiant Negara akibat makar, pembunuhan berencana, gembong narkoba dan teroris itu, memang layak dibunuh dengan hukuman mati. Toh kasus dan jumlah mereka tak banyak, jadi nggak signifikan kalau hanya alasan HAM, mereka lalu mau diampuni atau dipersulit vonis matinya.


emoticon-Angkat Beer
0
1.9K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan