- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Memilih Pemimpin Berdasarkan Isu SARA Berarti Khianati NKRI


TS
simanungkalit01
Memilih Pemimpin Berdasarkan Isu SARA Berarti Khianati NKRI
Quote:
Suksesi politik seperti Pilkada merupakan siklus lima tahunan evaluasi pemerintahan. Baik itu evaluasi terhadap kepala daerah yang berkuasa maupun evaluasi terhadap partai pendukungnya. Bila diibaratkan dengan seseorang yang sedang menempuh pendidikan maka ujian sebagai instrumen terpenting mengevaluasi capaian selama mengikuti pendidikan. Begitu pula dalam Pilkada, pemerintahan yang telah berjalan dievaluasi oleh rakyat dan kemudian memberikan penilaiannya untuk menentukan pilihannya untuk Pilkada yang akan diselenggarakan. Memasuki era reformasi terjadi perubahan mendasar pada konsepsi sistem pemilihan itu sendiri. Era reformasi yang merupakan pergolakan perubahan di segala bidang kehidupan berbangsa bernegara juga tak terkecuali mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari sistem pemilihan tidak langsung menjadi langsung. Dengan diberlakukannya sistem demokrasi langsung ini maka tak pelak membuat suara rakyat sebagai penentu utama dalam Pilkada. Akar dari demokrasi itu sendiri ialah menjadikan rakyat sebagai penentu utama dari kebijakan maupun dalam pengisian pejabat publik. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi dapat dimaknai sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Walaupun dalam konstitusi makna demokratis tidak selalu diartikan sebagai pemilihan langsung. Bila suatu ketika UU menghendaki menjadi pemilihan tidak langsung hal ini pun harus dianggap sama-sama demokratisnya dengan pemilihan langsung. Partisipasi politik merupakan kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyaknya langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh pejabat itu.
Terkait pergantian Kepala Daerah DKI Jakarta (Pilkada) memang masih terbilang lama, namun situasi persaingan politik sudah terasa sangat panas menjelang tahun 2016. Basuki Cahya Purnama (Ahok) sudah bertekad akan maju kembali dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang sebagai petahana. Bahkan relawan atas nama “Teman Ahok” sudah melakukan gerakan pengumpulan satu juta KTP untuk mendukung Ahok maju kembali sebagai gubernur. Tidak hanya pihak incumbent yang sudah siap-siap amunisi dari sekarang, pesaing Ahok lainnya pun sudah bermunculan satu persatu. Mulai dari Sandiaga Uno yang sudah menyatakan siap memimpin Jakarta, kemudian deklarasi Adhiyaksa Dault yang lalu juga cukup mengejutkan publik Jakarta khususnya. Selain itu, muncul juga isu-isu Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan Tri Risma (Walikota Surabaya) yang juga memanaskan isu Pilkada DKI Jakarta mendatang. Terlepas munculnya bakal calon gubernur, perlunya menganalisis lebih dalam tentang siapa yang akan memiliki action opportunity untuk benar-benar maju dan mendapat dukungan warga Jakarta. Untuk mengetahui siapa yang akan maju sebagai gubernur, kita dapat melihatnya dari dua hal. Pertama, hasil perolehan suara partai politik di DKI Jakarta saat Pemilu Legislatif 2014, dan alternative candidate yang mendapatkan dukungan dari rakyat Jakarta karena krisis tokoh di internal partai politik. Dalam peringkat partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di Jakarta pada Pileg 2014, PDIP, Gerindra, PKS menjadi partai papan atas yang mendapatkan suara terbanyak. Sedangkan suara Golkar dan Demokrat yang mendapatkan suara signifikan di tingkat nasional, tidak demikian sukses mendapatkan suara di ibu kota.
Selain melihat dari prolehan suara partai politik untuk mengetahui action oppotuniy calon kuat gubernur, alternative candidate menjadi hal yang dapat mempengaruhi lahirnya calon kuat kepala daerah. Terkadang banyak sekali tokoh independen yang maju sebagai kepala daerah karena dukungan murni dari masyarakat. Terbukti di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat kemarin muncul calon-calon independen, walau akhirnya kalah, dikarenakan tidak mendapat dukungan dari partai politik walau calon independen tersebut memiliki kualitas yang cukup baik untuk menjadi kepala daerah. Oleh sebab itu, kemungkinan besar dipertangahan jalan menuju pendaftaran calon, lobi-lobi politik akan sangat terasa. Bisa jadi, alternative candidate/ calon independen yang memiliki elektabiltas dan popularitas yang kuat akan diusung oleh partai politik – ketika di intenalnya, elektabiltas dan popularitas calon dari partai politik tersebut terus menerus kalah saing dalam uji publik. Hal demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Komponen lain yang harus diperhatikan secara detail dalam proses menuju persaingan kursi Gubernur DKI Jakarta adalah terkait sosok yang diinginkan oleh publik Jakarta. Dalam survey, sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan ibu kota, terutama banjir dan kemacetanlah yang sangat didambakan oleh warga Jakarta. Perlu diingat, tingkat kerelijiusan warga Jakarta cukup tinggi dalam beberapa survey terakhir. Namun, perlu diingat juga jangan sampai terbawa emosi/provokasi memilih berdasarkan kebencian SARA yang akhirnya berdampak salah dalam memilih pemimpin DKI Jakarta selanjutnya, karena banyak komponen/elite politik nakal yang bermain dalam ormas dan parpol yang menginginkan pemimpin DKI Jakarta yang bisa diajak negoisasi dan tetap memelihara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Karena indikasi fakta kearah tersebut sudah mulai terlihat dari sekarang dan calon yang didukung oleh pelaku korupsi tersebut. Jadi, Waspadalah...Waspadalah 1000x, karena Pilkada DKI Jakarta cermin/panutan dari Pilkada daerah lainnya di NKRI.
Terkait pergantian Kepala Daerah DKI Jakarta (Pilkada) memang masih terbilang lama, namun situasi persaingan politik sudah terasa sangat panas menjelang tahun 2016. Basuki Cahya Purnama (Ahok) sudah bertekad akan maju kembali dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang sebagai petahana. Bahkan relawan atas nama “Teman Ahok” sudah melakukan gerakan pengumpulan satu juta KTP untuk mendukung Ahok maju kembali sebagai gubernur. Tidak hanya pihak incumbent yang sudah siap-siap amunisi dari sekarang, pesaing Ahok lainnya pun sudah bermunculan satu persatu. Mulai dari Sandiaga Uno yang sudah menyatakan siap memimpin Jakarta, kemudian deklarasi Adhiyaksa Dault yang lalu juga cukup mengejutkan publik Jakarta khususnya. Selain itu, muncul juga isu-isu Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan Tri Risma (Walikota Surabaya) yang juga memanaskan isu Pilkada DKI Jakarta mendatang. Terlepas munculnya bakal calon gubernur, perlunya menganalisis lebih dalam tentang siapa yang akan memiliki action opportunity untuk benar-benar maju dan mendapat dukungan warga Jakarta. Untuk mengetahui siapa yang akan maju sebagai gubernur, kita dapat melihatnya dari dua hal. Pertama, hasil perolehan suara partai politik di DKI Jakarta saat Pemilu Legislatif 2014, dan alternative candidate yang mendapatkan dukungan dari rakyat Jakarta karena krisis tokoh di internal partai politik. Dalam peringkat partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di Jakarta pada Pileg 2014, PDIP, Gerindra, PKS menjadi partai papan atas yang mendapatkan suara terbanyak. Sedangkan suara Golkar dan Demokrat yang mendapatkan suara signifikan di tingkat nasional, tidak demikian sukses mendapatkan suara di ibu kota.
Selain melihat dari prolehan suara partai politik untuk mengetahui action oppotuniy calon kuat gubernur, alternative candidate menjadi hal yang dapat mempengaruhi lahirnya calon kuat kepala daerah. Terkadang banyak sekali tokoh independen yang maju sebagai kepala daerah karena dukungan murni dari masyarakat. Terbukti di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat kemarin muncul calon-calon independen, walau akhirnya kalah, dikarenakan tidak mendapat dukungan dari partai politik walau calon independen tersebut memiliki kualitas yang cukup baik untuk menjadi kepala daerah. Oleh sebab itu, kemungkinan besar dipertangahan jalan menuju pendaftaran calon, lobi-lobi politik akan sangat terasa. Bisa jadi, alternative candidate/ calon independen yang memiliki elektabiltas dan popularitas yang kuat akan diusung oleh partai politik – ketika di intenalnya, elektabiltas dan popularitas calon dari partai politik tersebut terus menerus kalah saing dalam uji publik. Hal demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Komponen lain yang harus diperhatikan secara detail dalam proses menuju persaingan kursi Gubernur DKI Jakarta adalah terkait sosok yang diinginkan oleh publik Jakarta. Dalam survey, sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan ibu kota, terutama banjir dan kemacetanlah yang sangat didambakan oleh warga Jakarta. Perlu diingat, tingkat kerelijiusan warga Jakarta cukup tinggi dalam beberapa survey terakhir. Namun, perlu diingat juga jangan sampai terbawa emosi/provokasi memilih berdasarkan kebencian SARA yang akhirnya berdampak salah dalam memilih pemimpin DKI Jakarta selanjutnya, karena banyak komponen/elite politik nakal yang bermain dalam ormas dan parpol yang menginginkan pemimpin DKI Jakarta yang bisa diajak negoisasi dan tetap memelihara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Karena indikasi fakta kearah tersebut sudah mulai terlihat dari sekarang dan calon yang didukung oleh pelaku korupsi tersebut. Jadi, Waspadalah...Waspadalah 1000x, karena Pilkada DKI Jakarta cermin/panutan dari Pilkada daerah lainnya di NKRI.
Jaman Udah sangat maju nan amat sangat modern, msih aja memilih atas dasar isu SARA.. Tertinggal jauh banget Gan!!.. Kapan mau negara ini Maju kalo masih dipecah belah SARA,,, !!! Pegang tuh PANCASILA maka bangsa ini akan semakin lebih baik lagi... Kalo gx mau ya, keluar aja dri NKRI

Spoiler for :
0
3.6K
Kutip
36
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan