Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

macfacAvatar border
TS
macfac
Megawati dan Benny Moerdani Dalang Kudatuli
26 Juli 2004
Diponegoro 58, Suatu Hari pada 1996

Di ujung lain telepon, Soesilo Muslim melapor dengan terburu-buru. Wakil Komandan Satgas PDI pro-Mega itu melaporkan adanya serangan terhadap kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, tempat ia sedang berada. Suara teriakan dan benda-benda beradu nyaris menenggelamkan suaranya. Pesan yang tertangkap, Muslim mengaku baru saja menolak tawaran Komandan Kodim dan Kepala Polres Jakarta Pusat yang memintanya menyerah dan meninggalkan kantor itu.

Dari Kebagusan yang sejuk, Megawati memberi perintah. “Pak Muslim, Bapak tetap di tempat dan jangan melakukan apa-apa.” Gagang telepon kembali diletakkan. Sebentar berlalu, Ricardo, seorang staf pribadi Megawati, datang ke rumah yang asri itu. Megawati, yang masih memakai daster warna krem, memanggilnya. “Kamu temani saya di sini,” permintaan Mega kepada Ricardo, yang kini menjadi Wakil Sekjen Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK).

Ricardo, yang menceritakan kembali kejadian nahas itu, mencoba menghubungi nomor telepon ruang ketua umum di Jalan Diponegoro. Seorang satgas dari Papua mengangkatnya dengan napas memburu. Belum lagi obrolan dimulai, terdengar suara pintu yang somplak karena didobrak. Satgas itu langsung melompat melemparkan gagang telepon yang kemudian jatuh lemas. Ricardo masih bisa mendengar suara tendangan dan pukulan yang menghantam segala benda di ruang itu. Sesekali terdengar jeritan orang-orang digebuk. Kengerian yang didengar lewat telepon itu terdengar hingga beberapa menit hingga akhirnya, tuuut?, hubungan terputus.

“Ini keadaannya sudah enggak bener, Mbak,” kata Ricardo kepada Megawati, yang tampak makin gelisah. “Sekarang saya mau bilang apa, mau ngapain? Sudah, kamu temani saya di sini,” jawab Mega. Sang empunya rumah kemudian memerintahkannya memusnahkan dokumen yang kira-kira tidak baik?begitu istilah yang dipakai. Ricardo segera naik ke lantai dua. Mesin penghancur kertas tangkas merajam dokumen dari tumpukan kertas di ruang itu.

Jarum jam seakan bergerak lebih lambat, sementara dering telepon makin sering terdengar. Tak lama kemudian satu per satu para tokoh pendukung Megawati mulai berdatangan. Mulai dari Sophan Sophiaan, Mangara Siahaan, Dimyati Hartono, Eros Djarot, dan beberapa tokoh lainnya. Beberapa di antara mereka melaporkan suasana terakhir di Jalan Diponegoro.

Semua yang hadir mendesak Megawati agar segera turun ke lapangan, sementara Megawati tidak memberi komentar sedikit pun. Semua yang hadir menangis. Wajah lelah mereka makin tampak kuyu. Mereka tidak akan berpikir dua kali jika Megawati memerintahkan serangan balik. “Kita semua sudah stay di Kebagusan,” kata Eros.

Setelah lama menanti tidak tahu apa yang harus dikerjakan, satu per satu tetamu itu meninggalkan Kebagusan sekitar pukul tiga sore. Tiba-tiba sebuah pesan melalui faksimile yang berisi daftar korban masuk ke Kebagusan. Alamat pengirimnya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang letaknya hanya seratusan meter dari kantor PDI yang telah diambil alih. “Entah siapa yang mengirim, karena saya tahu saat itu LBH sudah diduduki militer,” kata Ricardo.

Pesan itu menyebut ada 59 orang menjadi korban. Namun, tidak jelas apakah ada korban yang meninggal. Membaca laporan itu, Mega meminta stafnya menghubungi orang-orang yang dikhawatirkan menjadi korban. Ternyata pesan itu bukanlah satu-satunya. Menjelang petang, mesin faksimile terus-menerus memuntahkan pesan yang dikirim dari segala penjuru, mulai data korban dari berbagai versi, ucapan simpati, sampai sekadar kalimat-kalimat pemompa semangat. Namun suasana di Kebagusan tetap tenang.

Jumlah korban masih simpang-siur. Tiga bulan kemudian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut korban tewas hanya lima orang, itu pun terjadi di luar gedung. Namun sejumlah saksi mata meyakini korban di dalam gedung bisa mencapai belasan orang. Orang pun berandai-andai. Kalau saja Megawati tahu penyerbuan akan terjadi hari itu, mungkin jatuhnya korban bisa dihindari.

Namun, banyak yang meragukan Megawati tidak tahu peristiwa itu bakal terjadi. Salah satunya Alex Widya Siregar?saat itu menjadi Wakil Bendahara PDI versi Soerjadi?yang mengaku bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Pada 21 Juli, Alex merekrut Sena Bela, yang mengaku sebagai koordinator preman, di Kebun Raya Bogor. Sena ternyata gagal membuktikan janjinya membawa 5.000 preman untuk membantu penyerbuan. Alex yang marah kemudian mengusir Sena. Sena ternyata langsung membelot ke kubu Mega dan membocorkan rencana penyerangan itu.

Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), R.O. Tambunan, mengatakan Megawati pernah berterus terang kepadanya. Saat itu Mega mengaku mendapat informasi penyerbuan akan dilakukan pada hari Sabtu dari seorang mantan petinggi militer. “Benny Moerdani. Dia telepon saya,” kata Tambunan menirukan ucapan Megawati. Bahkan dalam persidangan kasus korban 27 Juli, yang berlangsung setahun setelah peristiwa penyerangan, Megawati juga mengaku sudah tahu rencana tersebut sebelum hari penyerangan.

“Dia (Megawati) sudah tahu dua hari sebelumnya,” kata Eros Djarot, yang kini mendirikan PNBK. Bahkan anak-anak pergerakan yang terlibat panggung demokrasi di Jalan Diponegoro juga sudah tahu. Makanya, sejak pukul dua malam, Eros memerintahkan mereka keluar dari Diponegoro. Namun ada pula yang tinggal, seperti Albert, yang akhirnya harus mereparasi kulit kepalanya yang sobek.

Haryanto Taslam, yang saat itu menjabat Wakil Sekjen DPP PDI, menguatkan pernyataan Eros. Menurut dia, malam itu pimpinan PDI mengalihkan koordinator keamanan dari Mangara Siahaan ke Soesilo Muslim, mantan Mayor Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat). “Ketika itu dia (Soesilo) sudah kontrak mati,” kata Taslam. Hanya, serangan yang diduga akan terjadi tengah malam ternyata molor hingga pagi hari. Akibatnya, saat serangan terjadi, semua anggota satgas baru saja tidur setelah berjaga sepanjang malam.

Para tokoh yang saat itu berada di sekitar Mega ini akhirnya harus menelan kekecewaan. Taslam dan Eros masih ingat para korban yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban 124 saat bertemu Megawati menanyakan sikap dan tanggung jawab partai terhadap para korban peristiwa itu. Pertemuan itu terjadi April 2000, saat Megawati sudah jadi wakil presiden.

Ternyata jawaban Megawati di luar dugaan, termasuk Taslam, yang waktu itu diminta menemani sebagai fungsionaris PDI Perjuangan. Megawati balik bertanya pada para korban, “Siapa suruh kalian datang ke Diponegoro? Siapa suruh kalian membela saya?” begitu Taslam menirukan kalimat Megawati. Para korban kehilangan kata-kata. Mereka langsung menangis. Ternyata Fraksi PDI Perjuangan sendiri tidak mendukung langkah pengungkapan kasus ini.

Eros juga merasa heran dengan sikap Megawati ini. Menurut dia, setelah peristiwa 27 Juli itu Megawati selalu berusaha menghindar melewati kantor yang menjadi simbol perjuangan PDI tersebut. Bahkan hingga dua minggu menjelang Sidang Umum MPR 1999, Megawati masih menitikkan air mata saat terpaksa melintas di depan kantor tersebut. “Saya tidak ngerti, apa artinya air mata itu?” tanya Eros.

Sayangnya, permohonan TEMPO untuk mewawancarai Presiden Megawati belum mendapat jawaban hingga berita ini ditulis. Namun Sekjen PDI Perjuangan, Sutjipto, memastikan Megawati tidak tahu hari penyerbuan itu. Dia mengaku sebagai orang pertama yang tersinggung kalau memang Megawati membiarkan peristiwa itu terjadi. “Kalau ancaman-ancaman (akan ada serangan) yang diterima sebelumnya itu kan biasa,” ujarnya.

“Misteri Diponegoro pun belum terkuak seluruhnya.

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/26/LU/mbm.20040726.LU94166.id.html
tien212700
tien212700 memberi reputasi
0
39.2K
95
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan