- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
IMF ajak Negara di Dunia Terapkan Suku Bunga Negatif. Indonesia malah Dirugikan?


TS
budimansia
IMF ajak Negara di Dunia Terapkan Suku Bunga Negatif. Indonesia malah Dirugikan?
IMF Tegaskan Suku Bunga Negatif Bakal Untungkan Ekonomi Global
19 MAR 2016 18:20
Rimanews - Suku bunga negatif yang ditetapkan oleh bank sentral di Jepang dan Eropa untuk memerangi deflasi, baik untuk ekonomi global, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan.
Lagarde mengatakan kepada Bloomberg TV bahwa suku bunga jangka pendek negatif yang tidak lazim, di mana bank-bank komersial membayar bank sentral untuk menahan uang mereka, itu mungkin mendukung pertumbuhan ekonomi lebih kuat.
"Jika kita tidak memiliki suku bunga-suku bunga negatif ini, kita akan berada di tempat yang jauh lebih buruk hari ini, dengan inflasi mungkin lebih rendah dari itu (posisi sekarang), dengan pertumbuhan mungkin lebih rendah daripada yang kita miliki," ia mengatakan pada Jumat (18/03/2016).
"Itu adalah hal yang baik untuk benar-benar menerapkan suku bunga negatif mereka dalam situasi saat ini." Bank Sentral Eropa (ECB), Bank sentral Jepang (BoJ) serta bank sentral Swedia, Denmark dan Swiss telah menerapkan suku bunga negatif pada tahun lalu dalam upaya memacu bank-bank komersial mendorong lebih banyak dana-dana surplus mereka ke dalam perekonomian untuk menghasilkan lebih banyak pengeluaran dan investasi .
Sementara itu, dalam teori konsep akan bekerja, para ekonom mempelajari dengan cermat apa yang terjadi di Eropa dan Jepang di tengah kekhawatiran bahwa suku bunga negatif benar-benar bisa memprovokasi bisnis dan konsumen untuk lebih berhati-hati tentang belanja.
Janet Yellen, Ketua Federal Reserve, yang menaikkan suku bunga pada Desember, mengatakan pada Rabu bahwa Fed sedang memantau pengalaman suku bunga negatif di negara-negara lain.
"Saya kira saya akan menilai mereka yang tampaknya memiliki efek bervariasi, Anda tahu, beberapa positif dan beberapa hal negatif," katanya. The Fed, untuk bagiannya sendiri, adalah "pasti tidak aktif mempertimbangkan suku bunga negatif," tambahnya.
http://ekonomi.rimanews.com/keuangan...Ekonomi-Global
Butuh Modal Asing, Suku Bunga Negatif Tak Cocok di Indonesia
Jumat, 12/02/2016 16:59 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan suku bunga negatif yang telah digunakan sejumlah bank sentral untuk mendorong ekonomi negaranya, dinilai tidak cocok diterapkan perbankan di Indonesia. Status sebagai negara berkembang yang masih butuh modal asing, menjadi alasan utama.
“Kebijakan suku bunga hanya diterapkan di negara-negara maju, Indonesia belum bisa menerapkannya karena kita masih butuh aliran modal (capital inflow),” ujar Deputi Country Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting, Jumat (12/2).
Sebelumnya, sejumlah bank sentral yang telah menerapkan suku bunga negatif antara lain Denmark sebesar -1 persen, Swiss -0,75 persen, Swedia -0,35 persen, Bank Sentral Eropa -0,3 persen, dan Jepang sebesar -0,1 persen.
Chief Economist BCA David Sumual menyebut tujuan bank sentral memangkas suku bunga menjadi negatif adalah untuk mendorong masyarakat dan pelaku usaha agar membelanjakan uangnya yang selama ini disimpan di bank dalam bentuk deposito.
Ketika menyimpan uang di bank tak lagi dirasa menguntungkan akibat imbal hasil yang kecil, masyarakat akan memutar otak agar tetap mendapat untung dari dana yang mereka miliki saat ini.
Namun kondisi tersebut akan berbeda jika diterapkan di Indonesia. David mengatakan tingkat inflasi di Indonesia masih cukup moderat karena tingkat konsumsi yang masih baik. Penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan juga masih berada dalam kondisi yang baik.
“Di Jepang akibat suku bunga tinggi dan bubble property mereka sudah hampir dua dekade mengalami resesi. Inflasi mereka sangat rendah, perekonomian tidak berkembang. Makanya mereka menerapkan suku bunga negatif agar mereka bisa konsumsi lebih besar dan perekonomian berjalan,” ujar David saat dihubungi.
Selain kondisi ekonomi yang sudah stagnan, suku bunga negatif juga diterapkan akibat bank sentral banyak menampung kelebihan deposito yang dititipkan oleh perbankan. Dengan menerapkan suku bunga negatif maka perbankan dipaksa untuk mengurangi simpanannya di bank sentral.
“Karena sudah negatif, justru perbankan harus membayar biaya penyimpanan tadi ke bank sentral, ini yang merugikan. Daripada merugikan makanya bank sentral mendorong dana tadi dikucurkan saja ke masyarakat untuk menstimulus perekonomian,” jelasnya.
Menurutnya, langkah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang menerapkan suku bunga 7,25 persen dinilai sudah tepat. Suku bunga acuan BI dinilai masih menarik perhatian pemodal apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...-di-indonesia/
Dampak Tren Bunga di Bawah Nol Persen bagi Perekonomian
17 Februari 2016 | 15:36
KATADATA - Selasa kemarin (16/2), kebijakan tingkat suku bunga negatif mulai berlaku di Jepang. Kebijakan ini mendapat sorotan dari ekonom dan pelaku pasar dunia karena tak lazim dan belum pernah dijalankan bank sentral negara-negara yang skala perekonomiannya besar. Kalau berhasil memompa pertumbuhan ekonomi, bukan tak mungkin resep tersebut akan diikuti negara lain, seperti Kanada dan Amerika Serikat (AS). Indonesia pun bakal terkena dampak kebijakan itu.
Meski telah menjadi pembahasan pasar keuangan dunia dalam satu dekade terakhir, suku bunga negatif baru mulai diterapkan di beberapa negara kecil kawasan Skandinavia, Eropa sekitar tiga tahun lalu. Adalah Denmark yang memberlakukan bunga negatif bagi para deposannya. Kebijakan ini diikuti Swiss pada akhir 2014, dengan suku bunga negatif 0,75 persen. Artinya, alih-alih mendapatkan bunga, para deposan bank di negara tersebut harus membayar biaya 0,75 persen dari setiap sen uangnya yang disimpan di bank.
Bunga negatif mulai menyedot perhatian dunia ketika bank sentral Swedia ikut menempuh kebijakan tersebut pada Februari tahun lalu. Pasalnya, Swedia Riksbank merupakan bank sentral tertua dan otoritas moneter utama di dunia. Kamis pekan lalu (11/2), bank sentral Swedia melanjutkan kebijakannya dengan menurunkan lagi suku bunganya dari minus 0,35 persen menjadi minus 0,50 persen.

Namun, yang paling menghebohkan adalah langkah bank sentral Eropa (European Central Bank / ECB) dan bank sentral Jepang. Akhir tahun lalu, ECB menurunkan tingkat suku bunganya menjadi minus 0,3 persen. Sedangkan pada 29 Januari lalu, Bank of Japan mengumumkan kebijakan suku bunga negatif dalam bentuk pengenaan biaya 0,1 persen kepada setiap bank yang memarkir dananya di bank sentral. Aturan itu mulai berlaku Selasa lalu (16/2).
Tujuan utama kebijakan bunga negatif itu adalah melemahkan mata uang yen sehingga ekspor meningkat dan memacu perekenomian Jepang yang mengalami stagnasi dalam jangka panjang. Dengan biaya 0,1 persen, diharapkan bank dan deposan membelanjakan uangnya sehingga inflasi bergerak naik dan ekonomi menggeliat.
Suku bunga dunia
Untuk membantu perekonomian, bank sentral sebenarnya lazim memangkas suku bunga. Dengan tingkat bunga lebih rendah akan mendorong investasi dan belanja konsumen. Kedua, meningkatkan nilai pasar saham dan aset berisiko lainnya. Ketiga, menurunkan nilai mata uang suatu negara sehingga eksportir lebih kompetitif. Keempat, menciptakan ekspektasi inflasi ke depan yang lebih tinggi.
Sejak krisis pasar finansial yang menjelma jadi krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) tahun 2008 dan merembet ke Eropa, tren suku bunga rendah hingga mendekati nol persen mewabah di banyak negara. Lantaran belum juga berhasil membangkitkan perekonomian, kini berkembang tren bunga negatif.
Bahkan, dalam pidatonya di Kongres awal Februari ini, Janet Yellen, Gubernur Federal Reserves, bank sentral AS, tidak menolak kemungkinan memberlakukan bunga negatif. Hal itu terungkap dari permintaan bank sentral AS dalam tes tahunan ketahanan bank-bank besar, untuk mengkaji skenario tingkat bunga negatif 0,5 persen. Kabar terakhir, Kanada juga akan mengikuti langkah tersebut.
Merugikan sistem keuangan
Persoalannya, menurut kolumnis ekonomi Neil Irwin, dalam artikelnya di New York Times, 12 Februari lalu, sistem keuangan global dibangun pada asumsi suku bunga di atas nol. Artinya, kalau di bawah nol persen dapat menimbulkan kerusakan pada struktur keuangan dan perekonomian. Orang ogah menyimpan dananya di bank sehingga bank pun merugi.
Saat bisnis bank terhenti, hilanglah cara utama penyaluran dana masyarakat untuk investasi dan usaha produktif. Kondisi ini juga akan mempengaruhi instrumen investasi berbasiskan bunga, seperti obligasi dan reksadana. Institusi jasa keuangan lainnya, seperti perusahaan asuransi dan dana pensiun, juga bakal terganggu karena deposito dan surat utang merupakan salah satu wadah memutar dana nasabahnya. Dalam pidatonya tahun lalu, Deputy General Manager Bank for International Settlements Hervé Hannoun berpendapat, kondisi tersebut akan semakin mendorong penggunaan mata uang virtual. “Itu merusak fondasi sistem keuangan seperti yang kita kenal sekarang."

Alhasil, sejumlah analis pasar keuangan meragukan keampuhan suku bunga negatif meski kebijakan itu baru berumur beberapa hari di Jepang. Dalam 11 hari sejak pengumuman kebijakan tersebut, indeks Nikkei di bursa Tokyo telah melorot 8,5 persen. Sedangkan mata uang yen menguat 6,5 persen terhadap dolar AS. Padahal, semestinya deposan mengalihkan dananya ke pasar saham dan yen seharusnya melemah karena investor memilih investasi berdenominasi non-yen Jepang.
Dolar
Yang terjadi adalah kecemasan di pasar saham dan keuangan Jepang, hingga menjalar ke pasar global. Harga saham bank-bank Jepang anjlok 30 persen setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor’s mengestimasi laba operasional bank bakal turun sekitar 8-15 persen. Adapun imbal hasil obligasi Jepang acuan bertenor 10 tahun jatuh di bawah nol persen. "Dampak dari pelonggaran moneter mirip dengan intervensi mata uang. Pertama kali dilakukan ada dampak besar. Tapi setelah itu dampaknya akan berkurang," kata Seiya Nakajima, Kepala Ekonom Niwa di Tokyo, seperti dikutip The Guardian.
Ekonom di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities mengatakan manfaat ekonomi dari tingkat bunga negatif di Jepang mungkin lebih kecil daripada negara-negara kecil di Eropa. Pasalnya, perbankan Jepang mengandalkan 80 persen pendanaannya dari deposito. Berbeda dengan bank-bank di Eropa yang lebih banyak menghimpiun dari pasar modal.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan media massa terkemuka di Jepang, Asahi Shimbun, menunjukkan 61 persen orang Jepang pesimistis tingkat bunga negatif akan membantu perekonomian. "Ini semakin jelas bahwa Abenomics adalah macan kertas," kata Nakajima, mengacu kepada kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memacu perekonomian Jepang melalui paket pelonggaran moneter, memacu pengeluaran dan reformasi.
Helge Pedersen, Kepala Ekonom Nordea di Kopenhagen, Denmark, menilai tingkat bunga negatif tidak dapat merangsang perekonomian suatu negara. "Kami telah belajar bahwa suku bunga negatif adalah alat yang berfungsi untuk melemahkan mata uang tetapi tidak dapat bekerja untuk merangsang pinjaman,” katanya seperti dikutip Bloomberg.
Ia mengacu kepada kebijakan bunga negatif di Denmark untuk menjaga mata uang negara tersebut agar tidak terus menguat. Kebijakan itu digunakan Denmark dan Swiss untuk menghalau para investor yang menimbun dananya di surat utang kedua negara itu yang berperingkat tinggi dan sangat aman, yaitu AAA-.
Scott Mather, Managing Director Pacific Investment Management Co, juga meragukan keampuhan tingkat bunga negatif untuk mendongkrak inflasi di suatu negara. Sebaliknya, kebijakan yang disebutnya sebagai upaya “putus asa” bank sentral untuk memicu pertumbuhan ekonomi tersebut, akan mengakibatkan kerusakan stabilitas keuangan dan ekonomi.
Efek ke Indonesia
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menepis kemungkinan Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi dengan menjalankan kebijakan suku bunga negatif tersebut suatu saat nanti. “Kita itu suku bunganya (BI rate) masih 7,5 persen. Bagaimana mau negative rate, ambruk dong ekonominya,” katanya di Jakarta, Jumat pekan lalu (13/2). Kebijakan tersebut hanya bisa diterapkan di negara-negara yang perekonomiannya sudah maju, seperti Eropa, Jepang dan AS. “Emerging market mana ada yang negative rate.”
Pergerakan BI Rate 2010 - 2016
Selain itu, kebijakan tersebut dilakukan oleh negara-negara yang sudah kesulitan memacu pertumbuhan ekonominya. Berbeda dengan Indonesia, menurut Bambang, yang memiliki banyak potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski begitu, dia menilai kebijakan bunga negatif yang diterapkan beberapa negara besar itu dapat berdampak positif bagi Indonesia. Saat ini peluang bagi Indonesia untuk menarik dana investor asing yang hengkang dari Jepang. Dengan bunga yang masih tinggi dan potensi ekonomi besar, Indonesia tentu semakin menarik di mata investor asing. “Justru ini kesempatan yang kami upayakan menarik investasi dari Jepang ke Indonesia,” kata Bambang.
Pendiri CRECO Research Institute Raden Pardede juga memperkirakan tingkat bunga rendah, atau bahkan negatif di banyak negara lain, akan membuat Indonesia kebanjiran masuknya dana asing. Namun, mayoritas mengalir ke surat utang, terutama Surat Utang Negara (SUN) karena imbal hasilnya menarik.
Menurut Raden, pemerintah semestinya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI). Sebab, investasi jenis ini lebih aman untuk membiayai defisit transaksi berjalan ketimbang portofolio yang mudah keluar. “Jangan hanya mau menarik investasi portofolio,” kata pengurus Dewan Penasihat Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) ini kepada Katadata, Selasa (16/2).
http://katadata.co.id/telaah/2016/02...i-perekonomian
Fenomena Suku Bunga Negatif di Negara Maju, Apa Artinya?
Rabu, 17/02/2016 15:37 WIB

Jakarta -Negara-negara maju sudah mulai menerapkan suku bunga negatif, sebut saja Jepang. Bank sentral Jepang, Bank of Japan belum lama ini telah resmi menerapkan suku bunga negatif. Hal itu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tengah lesu.
Selain Jepang, negara-negara maju lainnya juga sudah lebih dulu menerapkan suku bunga negatif, terutama negara-negara di Eropa. Jepang sendiri telah mengadopsi suku bunga negatif dari Eropa. Bahkan, para analis memperkirakan akan banyak negara maju lainnya yang bakal menerapkan suku bunga negatif untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi mereka.
Semakin banyak negara maju menerapkan suku bunga negatif, tentu menjadi fenomena di pasar keuangan dunia. Lantas, apa artinya?
Ekonom BCA David Sumual menilai, pemberlakuan suku bunga negatif menunjukkan perlambatan ekonomi tengah terjadi di dunia. Bahkan, beberapa negara mengalami resesi sehingga kebijakan tersebut perlu dilakukan agar ekonomi kembali pulih.
"Fenomena ini terjadi pasca krisis di tahun 90-an. Ekonomi Jepang sebenarnya sudah terganggu di akhir 90-an, saat itu terjadi gelembung properti di sana. Ekonomi lesu, Jepang melakukan kebijakan Quantitative Easing (QE), menggelontorkan dana ke pasar, dan banyak kebijakan lainnya, tapi itu tidak berhasil, akhirnya Jepang mengikuti Eropa dengan menerapkan suku bunga negatif," jelas dia kepada detikFinance, Rabu (17/2/2016).
Menurutnya, penerapan suku bunga negatif dilakukan Jepang untuk bisa kembali memulihkan perekonomiannya. Selama ini, masyarakat Jepang lebih banyak menyimpan dananya di perbankan dan enggan membelanjakannya. Sehingga ekonomi tidak bergerak. Cukup dengan menyimpan uang di bank, mereka sudah bisa mendapatkan keuntungan dengan bunga yang didapatkan. Inilah yang membuat pola konsumsi masyarakat tak bergerak. Ekonomi Jepang pun lesu.
Untuk mengantisipasinya, bank sentral Jepang kemudian menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Diharapkan, hal tersebut bisa mendorong masyarakat untuk menarik dananya dan membelanjakannya ke sektor yang lebih produktif sehingga perekonomian bergerak.
"Kebijakan suku bunga negatif untuk mengantisipasi ini. Di samping itu, ekonomi Jepang menciut karena juga penduduk Jepang sudah mulai menua, produktivitas berubah, berkurang, makanya perlu didorong," terang dia.
Selain Jepang, negara-negara maju lainnya sudah lebih dulu menerapkan suku bunga negatif seperti Swedia, Jerman, Swiss, dan lain-lain. Ini menunjukkan jika perekonomian negara-negara tersebut dalam kondisi melambat, bahkan resesi.
"Di sana resesi berkepanjangan. Inflasi jauh lebih rendah, bahkan deflasi, ini kan berarti ekonomi tidak bergerak," katanya.
Meski demikian, David melihat, penerapan kebijakan suku bunga negatif tidak lantas ampuh membuat perekonomian kembali menggeliat. Sejauh ini, kebijakan tersebut baru sebatas eksperimen. Artinya, belum ada negara maju yang menerapkan kebijakan ini kemudian ekonominya langsung melesat.
"Ini belum tentu ekonomi langsung tumbuh cepat. Bisa saja malah menekan bisnis lainnya seperti perbankan. Karena menyimpan uang di bank nggak dapat untung, investor malah lari, sehingga duit di bank berkurang, dan ini bisa menekan laba perbankan," imbuh David.
http://finance.detik.com/read/2016/0...ju-apa-artinya
---------------------------------
Suku bunga negatif itu biasanya hanya berlaku untuk bunga pada Bank Sentral di negara ybs. Sementara bunga Perbankan Swasta dan Lembaga Keuangan, pastilah positip meskipun bisa pada kisaran 1-2% saja. Sulit membayangkan negara berkembang seperti Indonesia contohnya, menerapkan model sistem bunga negatif itu, sebab masih kekurangan modal sehingga harus impor modal dari luar negeri. Jelas para investor asing tak akan mau lagi menaruh duitnya di Indonesia, kalau tak ada keuntungan bunga itu tentunya. Akibatnya, kegiatan ekonomi kita bisa lamban karena keterbatasan permodalam di dalam negeri.

19 MAR 2016 18:20
Rimanews - Suku bunga negatif yang ditetapkan oleh bank sentral di Jepang dan Eropa untuk memerangi deflasi, baik untuk ekonomi global, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan.
Lagarde mengatakan kepada Bloomberg TV bahwa suku bunga jangka pendek negatif yang tidak lazim, di mana bank-bank komersial membayar bank sentral untuk menahan uang mereka, itu mungkin mendukung pertumbuhan ekonomi lebih kuat.
"Jika kita tidak memiliki suku bunga-suku bunga negatif ini, kita akan berada di tempat yang jauh lebih buruk hari ini, dengan inflasi mungkin lebih rendah dari itu (posisi sekarang), dengan pertumbuhan mungkin lebih rendah daripada yang kita miliki," ia mengatakan pada Jumat (18/03/2016).
"Itu adalah hal yang baik untuk benar-benar menerapkan suku bunga negatif mereka dalam situasi saat ini." Bank Sentral Eropa (ECB), Bank sentral Jepang (BoJ) serta bank sentral Swedia, Denmark dan Swiss telah menerapkan suku bunga negatif pada tahun lalu dalam upaya memacu bank-bank komersial mendorong lebih banyak dana-dana surplus mereka ke dalam perekonomian untuk menghasilkan lebih banyak pengeluaran dan investasi .
Sementara itu, dalam teori konsep akan bekerja, para ekonom mempelajari dengan cermat apa yang terjadi di Eropa dan Jepang di tengah kekhawatiran bahwa suku bunga negatif benar-benar bisa memprovokasi bisnis dan konsumen untuk lebih berhati-hati tentang belanja.
Janet Yellen, Ketua Federal Reserve, yang menaikkan suku bunga pada Desember, mengatakan pada Rabu bahwa Fed sedang memantau pengalaman suku bunga negatif di negara-negara lain.
"Saya kira saya akan menilai mereka yang tampaknya memiliki efek bervariasi, Anda tahu, beberapa positif dan beberapa hal negatif," katanya. The Fed, untuk bagiannya sendiri, adalah "pasti tidak aktif mempertimbangkan suku bunga negatif," tambahnya.
http://ekonomi.rimanews.com/keuangan...Ekonomi-Global
Butuh Modal Asing, Suku Bunga Negatif Tak Cocok di Indonesia
Jumat, 12/02/2016 16:59 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan suku bunga negatif yang telah digunakan sejumlah bank sentral untuk mendorong ekonomi negaranya, dinilai tidak cocok diterapkan perbankan di Indonesia. Status sebagai negara berkembang yang masih butuh modal asing, menjadi alasan utama.
“Kebijakan suku bunga hanya diterapkan di negara-negara maju, Indonesia belum bisa menerapkannya karena kita masih butuh aliran modal (capital inflow),” ujar Deputi Country Asian Development Bank (ADB) Edimon Ginting, Jumat (12/2).
Sebelumnya, sejumlah bank sentral yang telah menerapkan suku bunga negatif antara lain Denmark sebesar -1 persen, Swiss -0,75 persen, Swedia -0,35 persen, Bank Sentral Eropa -0,3 persen, dan Jepang sebesar -0,1 persen.
Chief Economist BCA David Sumual menyebut tujuan bank sentral memangkas suku bunga menjadi negatif adalah untuk mendorong masyarakat dan pelaku usaha agar membelanjakan uangnya yang selama ini disimpan di bank dalam bentuk deposito.
Ketika menyimpan uang di bank tak lagi dirasa menguntungkan akibat imbal hasil yang kecil, masyarakat akan memutar otak agar tetap mendapat untung dari dana yang mereka miliki saat ini.
Namun kondisi tersebut akan berbeda jika diterapkan di Indonesia. David mengatakan tingkat inflasi di Indonesia masih cukup moderat karena tingkat konsumsi yang masih baik. Penyaluran kredit yang dilakukan oleh perbankan juga masih berada dalam kondisi yang baik.
“Di Jepang akibat suku bunga tinggi dan bubble property mereka sudah hampir dua dekade mengalami resesi. Inflasi mereka sangat rendah, perekonomian tidak berkembang. Makanya mereka menerapkan suku bunga negatif agar mereka bisa konsumsi lebih besar dan perekonomian berjalan,” ujar David saat dihubungi.
Selain kondisi ekonomi yang sudah stagnan, suku bunga negatif juga diterapkan akibat bank sentral banyak menampung kelebihan deposito yang dititipkan oleh perbankan. Dengan menerapkan suku bunga negatif maka perbankan dipaksa untuk mengurangi simpanannya di bank sentral.
“Karena sudah negatif, justru perbankan harus membayar biaya penyimpanan tadi ke bank sentral, ini yang merugikan. Daripada merugikan makanya bank sentral mendorong dana tadi dikucurkan saja ke masyarakat untuk menstimulus perekonomian,” jelasnya.
Menurutnya, langkah kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang menerapkan suku bunga 7,25 persen dinilai sudah tepat. Suku bunga acuan BI dinilai masih menarik perhatian pemodal apabila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/...-di-indonesia/
Dampak Tren Bunga di Bawah Nol Persen bagi Perekonomian
17 Februari 2016 | 15:36
KATADATA - Selasa kemarin (16/2), kebijakan tingkat suku bunga negatif mulai berlaku di Jepang. Kebijakan ini mendapat sorotan dari ekonom dan pelaku pasar dunia karena tak lazim dan belum pernah dijalankan bank sentral negara-negara yang skala perekonomiannya besar. Kalau berhasil memompa pertumbuhan ekonomi, bukan tak mungkin resep tersebut akan diikuti negara lain, seperti Kanada dan Amerika Serikat (AS). Indonesia pun bakal terkena dampak kebijakan itu.
Meski telah menjadi pembahasan pasar keuangan dunia dalam satu dekade terakhir, suku bunga negatif baru mulai diterapkan di beberapa negara kecil kawasan Skandinavia, Eropa sekitar tiga tahun lalu. Adalah Denmark yang memberlakukan bunga negatif bagi para deposannya. Kebijakan ini diikuti Swiss pada akhir 2014, dengan suku bunga negatif 0,75 persen. Artinya, alih-alih mendapatkan bunga, para deposan bank di negara tersebut harus membayar biaya 0,75 persen dari setiap sen uangnya yang disimpan di bank.
Bunga negatif mulai menyedot perhatian dunia ketika bank sentral Swedia ikut menempuh kebijakan tersebut pada Februari tahun lalu. Pasalnya, Swedia Riksbank merupakan bank sentral tertua dan otoritas moneter utama di dunia. Kamis pekan lalu (11/2), bank sentral Swedia melanjutkan kebijakannya dengan menurunkan lagi suku bunganya dari minus 0,35 persen menjadi minus 0,50 persen.

Namun, yang paling menghebohkan adalah langkah bank sentral Eropa (European Central Bank / ECB) dan bank sentral Jepang. Akhir tahun lalu, ECB menurunkan tingkat suku bunganya menjadi minus 0,3 persen. Sedangkan pada 29 Januari lalu, Bank of Japan mengumumkan kebijakan suku bunga negatif dalam bentuk pengenaan biaya 0,1 persen kepada setiap bank yang memarkir dananya di bank sentral. Aturan itu mulai berlaku Selasa lalu (16/2).
Tujuan utama kebijakan bunga negatif itu adalah melemahkan mata uang yen sehingga ekspor meningkat dan memacu perekenomian Jepang yang mengalami stagnasi dalam jangka panjang. Dengan biaya 0,1 persen, diharapkan bank dan deposan membelanjakan uangnya sehingga inflasi bergerak naik dan ekonomi menggeliat.
Suku bunga dunia
Untuk membantu perekonomian, bank sentral sebenarnya lazim memangkas suku bunga. Dengan tingkat bunga lebih rendah akan mendorong investasi dan belanja konsumen. Kedua, meningkatkan nilai pasar saham dan aset berisiko lainnya. Ketiga, menurunkan nilai mata uang suatu negara sehingga eksportir lebih kompetitif. Keempat, menciptakan ekspektasi inflasi ke depan yang lebih tinggi.
Sejak krisis pasar finansial yang menjelma jadi krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) tahun 2008 dan merembet ke Eropa, tren suku bunga rendah hingga mendekati nol persen mewabah di banyak negara. Lantaran belum juga berhasil membangkitkan perekonomian, kini berkembang tren bunga negatif.
Bahkan, dalam pidatonya di Kongres awal Februari ini, Janet Yellen, Gubernur Federal Reserves, bank sentral AS, tidak menolak kemungkinan memberlakukan bunga negatif. Hal itu terungkap dari permintaan bank sentral AS dalam tes tahunan ketahanan bank-bank besar, untuk mengkaji skenario tingkat bunga negatif 0,5 persen. Kabar terakhir, Kanada juga akan mengikuti langkah tersebut.
Merugikan sistem keuangan
Persoalannya, menurut kolumnis ekonomi Neil Irwin, dalam artikelnya di New York Times, 12 Februari lalu, sistem keuangan global dibangun pada asumsi suku bunga di atas nol. Artinya, kalau di bawah nol persen dapat menimbulkan kerusakan pada struktur keuangan dan perekonomian. Orang ogah menyimpan dananya di bank sehingga bank pun merugi.
Saat bisnis bank terhenti, hilanglah cara utama penyaluran dana masyarakat untuk investasi dan usaha produktif. Kondisi ini juga akan mempengaruhi instrumen investasi berbasiskan bunga, seperti obligasi dan reksadana. Institusi jasa keuangan lainnya, seperti perusahaan asuransi dan dana pensiun, juga bakal terganggu karena deposito dan surat utang merupakan salah satu wadah memutar dana nasabahnya. Dalam pidatonya tahun lalu, Deputy General Manager Bank for International Settlements Hervé Hannoun berpendapat, kondisi tersebut akan semakin mendorong penggunaan mata uang virtual. “Itu merusak fondasi sistem keuangan seperti yang kita kenal sekarang."

Alhasil, sejumlah analis pasar keuangan meragukan keampuhan suku bunga negatif meski kebijakan itu baru berumur beberapa hari di Jepang. Dalam 11 hari sejak pengumuman kebijakan tersebut, indeks Nikkei di bursa Tokyo telah melorot 8,5 persen. Sedangkan mata uang yen menguat 6,5 persen terhadap dolar AS. Padahal, semestinya deposan mengalihkan dananya ke pasar saham dan yen seharusnya melemah karena investor memilih investasi berdenominasi non-yen Jepang.
Dolar
Yang terjadi adalah kecemasan di pasar saham dan keuangan Jepang, hingga menjalar ke pasar global. Harga saham bank-bank Jepang anjlok 30 persen setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor’s mengestimasi laba operasional bank bakal turun sekitar 8-15 persen. Adapun imbal hasil obligasi Jepang acuan bertenor 10 tahun jatuh di bawah nol persen. "Dampak dari pelonggaran moneter mirip dengan intervensi mata uang. Pertama kali dilakukan ada dampak besar. Tapi setelah itu dampaknya akan berkurang," kata Seiya Nakajima, Kepala Ekonom Niwa di Tokyo, seperti dikutip The Guardian.
Ekonom di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities mengatakan manfaat ekonomi dari tingkat bunga negatif di Jepang mungkin lebih kecil daripada negara-negara kecil di Eropa. Pasalnya, perbankan Jepang mengandalkan 80 persen pendanaannya dari deposito. Berbeda dengan bank-bank di Eropa yang lebih banyak menghimpiun dari pasar modal.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan media massa terkemuka di Jepang, Asahi Shimbun, menunjukkan 61 persen orang Jepang pesimistis tingkat bunga negatif akan membantu perekonomian. "Ini semakin jelas bahwa Abenomics adalah macan kertas," kata Nakajima, mengacu kepada kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memacu perekonomian Jepang melalui paket pelonggaran moneter, memacu pengeluaran dan reformasi.
Helge Pedersen, Kepala Ekonom Nordea di Kopenhagen, Denmark, menilai tingkat bunga negatif tidak dapat merangsang perekonomian suatu negara. "Kami telah belajar bahwa suku bunga negatif adalah alat yang berfungsi untuk melemahkan mata uang tetapi tidak dapat bekerja untuk merangsang pinjaman,” katanya seperti dikutip Bloomberg.
Ia mengacu kepada kebijakan bunga negatif di Denmark untuk menjaga mata uang negara tersebut agar tidak terus menguat. Kebijakan itu digunakan Denmark dan Swiss untuk menghalau para investor yang menimbun dananya di surat utang kedua negara itu yang berperingkat tinggi dan sangat aman, yaitu AAA-.
Scott Mather, Managing Director Pacific Investment Management Co, juga meragukan keampuhan tingkat bunga negatif untuk mendongkrak inflasi di suatu negara. Sebaliknya, kebijakan yang disebutnya sebagai upaya “putus asa” bank sentral untuk memicu pertumbuhan ekonomi tersebut, akan mengakibatkan kerusakan stabilitas keuangan dan ekonomi.
Efek ke Indonesia
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menepis kemungkinan Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi dengan menjalankan kebijakan suku bunga negatif tersebut suatu saat nanti. “Kita itu suku bunganya (BI rate) masih 7,5 persen. Bagaimana mau negative rate, ambruk dong ekonominya,” katanya di Jakarta, Jumat pekan lalu (13/2). Kebijakan tersebut hanya bisa diterapkan di negara-negara yang perekonomiannya sudah maju, seperti Eropa, Jepang dan AS. “Emerging market mana ada yang negative rate.”
Pergerakan BI Rate 2010 - 2016
Selain itu, kebijakan tersebut dilakukan oleh negara-negara yang sudah kesulitan memacu pertumbuhan ekonominya. Berbeda dengan Indonesia, menurut Bambang, yang memiliki banyak potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski begitu, dia menilai kebijakan bunga negatif yang diterapkan beberapa negara besar itu dapat berdampak positif bagi Indonesia. Saat ini peluang bagi Indonesia untuk menarik dana investor asing yang hengkang dari Jepang. Dengan bunga yang masih tinggi dan potensi ekonomi besar, Indonesia tentu semakin menarik di mata investor asing. “Justru ini kesempatan yang kami upayakan menarik investasi dari Jepang ke Indonesia,” kata Bambang.
Pendiri CRECO Research Institute Raden Pardede juga memperkirakan tingkat bunga rendah, atau bahkan negatif di banyak negara lain, akan membuat Indonesia kebanjiran masuknya dana asing. Namun, mayoritas mengalir ke surat utang, terutama Surat Utang Negara (SUN) karena imbal hasilnya menarik.
Menurut Raden, pemerintah semestinya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI). Sebab, investasi jenis ini lebih aman untuk membiayai defisit transaksi berjalan ketimbang portofolio yang mudah keluar. “Jangan hanya mau menarik investasi portofolio,” kata pengurus Dewan Penasihat Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) ini kepada Katadata, Selasa (16/2).
http://katadata.co.id/telaah/2016/02...i-perekonomian
Fenomena Suku Bunga Negatif di Negara Maju, Apa Artinya?
Rabu, 17/02/2016 15:37 WIB

Jakarta -Negara-negara maju sudah mulai menerapkan suku bunga negatif, sebut saja Jepang. Bank sentral Jepang, Bank of Japan belum lama ini telah resmi menerapkan suku bunga negatif. Hal itu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tengah lesu.
Selain Jepang, negara-negara maju lainnya juga sudah lebih dulu menerapkan suku bunga negatif, terutama negara-negara di Eropa. Jepang sendiri telah mengadopsi suku bunga negatif dari Eropa. Bahkan, para analis memperkirakan akan banyak negara maju lainnya yang bakal menerapkan suku bunga negatif untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi mereka.
Semakin banyak negara maju menerapkan suku bunga negatif, tentu menjadi fenomena di pasar keuangan dunia. Lantas, apa artinya?
Ekonom BCA David Sumual menilai, pemberlakuan suku bunga negatif menunjukkan perlambatan ekonomi tengah terjadi di dunia. Bahkan, beberapa negara mengalami resesi sehingga kebijakan tersebut perlu dilakukan agar ekonomi kembali pulih.
"Fenomena ini terjadi pasca krisis di tahun 90-an. Ekonomi Jepang sebenarnya sudah terganggu di akhir 90-an, saat itu terjadi gelembung properti di sana. Ekonomi lesu, Jepang melakukan kebijakan Quantitative Easing (QE), menggelontorkan dana ke pasar, dan banyak kebijakan lainnya, tapi itu tidak berhasil, akhirnya Jepang mengikuti Eropa dengan menerapkan suku bunga negatif," jelas dia kepada detikFinance, Rabu (17/2/2016).
Menurutnya, penerapan suku bunga negatif dilakukan Jepang untuk bisa kembali memulihkan perekonomiannya. Selama ini, masyarakat Jepang lebih banyak menyimpan dananya di perbankan dan enggan membelanjakannya. Sehingga ekonomi tidak bergerak. Cukup dengan menyimpan uang di bank, mereka sudah bisa mendapatkan keuntungan dengan bunga yang didapatkan. Inilah yang membuat pola konsumsi masyarakat tak bergerak. Ekonomi Jepang pun lesu.
Untuk mengantisipasinya, bank sentral Jepang kemudian menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Diharapkan, hal tersebut bisa mendorong masyarakat untuk menarik dananya dan membelanjakannya ke sektor yang lebih produktif sehingga perekonomian bergerak.
"Kebijakan suku bunga negatif untuk mengantisipasi ini. Di samping itu, ekonomi Jepang menciut karena juga penduduk Jepang sudah mulai menua, produktivitas berubah, berkurang, makanya perlu didorong," terang dia.
Selain Jepang, negara-negara maju lainnya sudah lebih dulu menerapkan suku bunga negatif seperti Swedia, Jerman, Swiss, dan lain-lain. Ini menunjukkan jika perekonomian negara-negara tersebut dalam kondisi melambat, bahkan resesi.
"Di sana resesi berkepanjangan. Inflasi jauh lebih rendah, bahkan deflasi, ini kan berarti ekonomi tidak bergerak," katanya.
Meski demikian, David melihat, penerapan kebijakan suku bunga negatif tidak lantas ampuh membuat perekonomian kembali menggeliat. Sejauh ini, kebijakan tersebut baru sebatas eksperimen. Artinya, belum ada negara maju yang menerapkan kebijakan ini kemudian ekonominya langsung melesat.
"Ini belum tentu ekonomi langsung tumbuh cepat. Bisa saja malah menekan bisnis lainnya seperti perbankan. Karena menyimpan uang di bank nggak dapat untung, investor malah lari, sehingga duit di bank berkurang, dan ini bisa menekan laba perbankan," imbuh David.
http://finance.detik.com/read/2016/0...ju-apa-artinya
---------------------------------
Suku bunga negatif itu biasanya hanya berlaku untuk bunga pada Bank Sentral di negara ybs. Sementara bunga Perbankan Swasta dan Lembaga Keuangan, pastilah positip meskipun bisa pada kisaran 1-2% saja. Sulit membayangkan negara berkembang seperti Indonesia contohnya, menerapkan model sistem bunga negatif itu, sebab masih kekurangan modal sehingga harus impor modal dari luar negeri. Jelas para investor asing tak akan mau lagi menaruh duitnya di Indonesia, kalau tak ada keuntungan bunga itu tentunya. Akibatnya, kegiatan ekonomi kita bisa lamban karena keterbatasan permodalam di dalam negeri.



nona212 memberi reputasi
1
5.8K
37


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan