- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Racing extenction(2015) film dokumenter yang bakal bikin anda menangis


TS
mr.vrangkestin
Racing extenction(2015) film dokumenter yang bakal bikin anda menangis

Quote:
Jakarta -
Dinosaurus sudah lama punah. Ya, tidak ada yang bisa menyangkal itu. Bahkan anak-anak zaman sekarang yang sudah gandrung dengan gadget pun tahu mengenai fakta ini. Makhluk raksasa itu hidup jutaan tahun yang lalu dan saat ini sudah tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan mereka di bumi. Ada sih, tapi dalam bentuk fosil di berbagai museum di beberapa belahan dunia. Ternyata selain dinosaurus, ada hewan lain yang kalau dihitung-hitung usia keberadaannya di bumi, maka dia bisa jadi juaranya. Dan hewan ini masih ada sampai sekarang: hiu.
Selain jadi bintang utama dalam film 'Jaws' yang diproduksi sampai beberapa seri, hiu juga merupakan objek utama perburuan liar di beberapa negara di dunia. Biota laut bertaring yang sensitif terhadap aroma darah ini diburu untuk dijual tidak hanya dagingnya saja, tetapi hampir seluruh bagian tubuh mereka. Yang paling sering kita dengar tentu saja sirip ikan hiu yang dibuat sup.
Kisah tentang perburuan liar hiu-hiu yang kerap jadi santapan pembuka dalam sebuah mangkuk kecil dan dihargai fantastis di restauran mewah inilah yang jadi salah satu fokus film produksi Discovery Channel 'Racing Extinction'. Disutradarai oleh pemenang Academy Awards 'The Cove', Louie Psihoyos, 'Racing Extinction' punya kisah yang sangat menyentuh bak cerita-cerita romansa yang diangkat dari novel John Green.
Bersama dengan Shawn Heinrichs (seorang ahli konservasi laut) dan Paul Hilton (seorang jurnalis foto), Louie membentuk sebuah tim khusus untuk menyelami lebih dalam mengenai sindikat perdagangan ilegal hiu di berbagai negara. Tiongkok dan Hong Kong adalah salah satu yang jadi tujuan dan punya rekaman perdagangan sirip ikan hiu (bahkan dagingnya) paling parah.
"50 ribu hiu ditangkap untuk praktek jual beri sirip setiap harinya!" demikan satu kutipan fakta dalam film berdurasi satu setengah jam tersebut.
Sedihnya, tidak hanya Hong Kong dan negara Tiongkok saja yang melakukan perburuan liar terhadap hiu. Indonesia masuk ke dalam daftar tersebut. Shawn Heinrichs mengisahkan pengalamannya ketika menemukan seekor hiu buntung di salah satu perairan Indonesia. Suaranya bergetar ketika menceritakan hal tersebut.
"Apa yang aku saksikan benar-benar mengerikan. Seekor hiu kecil mencoba berenang tetapi tidak bisa karena semua siripnya sudah dipotong. Benar-benar menyayat hati melihat kenyataan seperti ini, kenyataan yang orang lain mungkin tidak bisa lihat," katanya.
Louie Psihoyos sang sutradara pun tak luput dari rasa haru ketika menyaksikan secara langsung fenomena-fenomena berdarah yang dialami oleh hewan-hewan yang ada dalam film termasuk hiu-hiu yang dicopot siripnya secara paksa. Setiap gambar, setiap adegan dan setiap tempat yang dikunjunginya membuat Louie merasa terpukul secara emosional. Tak heran jika 'Racing Extinction' jadi sebuah produksi dokumenter yang bisa banget bikin menangis.
"Aku ingin ini jadi film yang emosional. Sains membuktikan, masyarakat berubah karena apa yang mereka rasakan. Kami ingin penonton merasa emosional dan berubah karena itu. Membuat film yang emosional dan menyelipkan harapan sangat penting untukku. Aku ingin membuat orang-orang menangis, namun tetap membuat mereka punya daya untuk mencari solusinya," komentar Louie lewat phone interview dengan detikHOT belum lama ini.
Perburuan ilegal hiu dan si hiu buntung yang dibiarkan terapung tak berdaya di laut adalah sebagian kecil dari kisah-kisah menyentuh hewan yang bisa saja punah dalam beberapa tahun ke depan di 'Racing Extinction'. Louie Psihoyos berusaha menyoroti bagaimana manusia berperan sangat besar dalam hal ini. Kerusakan bumi, ketidakseimbangan ekosistem dan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap binatang yang dilakukan oleh manusia disampaikan lewat visual yang memanjakan mata. Belum lagi musik latar yang digunakan benar-benar ngena di hati.
"Karena setiap usaha pergerakan sosial membutuhkan musik yang berkualitas bagus," lanjut Louie dalam wawancara yang sama.
'Racing Extinction' berfokus pada kepunahan yang bisa saja terjadi tidak lama lagi buat beberapa jenis satwa yang kini semakin langka jumlahnya. Dan bahwa manusia punya peran yang sangat besar dalam hal itu, termasuk juga untuk melindunginya mulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari.
Dinosaurus sudah lama punah. Ya, tidak ada yang bisa menyangkal itu. Bahkan anak-anak zaman sekarang yang sudah gandrung dengan gadget pun tahu mengenai fakta ini. Makhluk raksasa itu hidup jutaan tahun yang lalu dan saat ini sudah tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan mereka di bumi. Ada sih, tapi dalam bentuk fosil di berbagai museum di beberapa belahan dunia. Ternyata selain dinosaurus, ada hewan lain yang kalau dihitung-hitung usia keberadaannya di bumi, maka dia bisa jadi juaranya. Dan hewan ini masih ada sampai sekarang: hiu.
Selain jadi bintang utama dalam film 'Jaws' yang diproduksi sampai beberapa seri, hiu juga merupakan objek utama perburuan liar di beberapa negara di dunia. Biota laut bertaring yang sensitif terhadap aroma darah ini diburu untuk dijual tidak hanya dagingnya saja, tetapi hampir seluruh bagian tubuh mereka. Yang paling sering kita dengar tentu saja sirip ikan hiu yang dibuat sup.
Kisah tentang perburuan liar hiu-hiu yang kerap jadi santapan pembuka dalam sebuah mangkuk kecil dan dihargai fantastis di restauran mewah inilah yang jadi salah satu fokus film produksi Discovery Channel 'Racing Extinction'. Disutradarai oleh pemenang Academy Awards 'The Cove', Louie Psihoyos, 'Racing Extinction' punya kisah yang sangat menyentuh bak cerita-cerita romansa yang diangkat dari novel John Green.

"50 ribu hiu ditangkap untuk praktek jual beri sirip setiap harinya!" demikan satu kutipan fakta dalam film berdurasi satu setengah jam tersebut.
Sedihnya, tidak hanya Hong Kong dan negara Tiongkok saja yang melakukan perburuan liar terhadap hiu. Indonesia masuk ke dalam daftar tersebut. Shawn Heinrichs mengisahkan pengalamannya ketika menemukan seekor hiu buntung di salah satu perairan Indonesia. Suaranya bergetar ketika menceritakan hal tersebut.
"Apa yang aku saksikan benar-benar mengerikan. Seekor hiu kecil mencoba berenang tetapi tidak bisa karena semua siripnya sudah dipotong. Benar-benar menyayat hati melihat kenyataan seperti ini, kenyataan yang orang lain mungkin tidak bisa lihat," katanya.

"Aku ingin ini jadi film yang emosional. Sains membuktikan, masyarakat berubah karena apa yang mereka rasakan. Kami ingin penonton merasa emosional dan berubah karena itu. Membuat film yang emosional dan menyelipkan harapan sangat penting untukku. Aku ingin membuat orang-orang menangis, namun tetap membuat mereka punya daya untuk mencari solusinya," komentar Louie lewat phone interview dengan detikHOT belum lama ini.
Perburuan ilegal hiu dan si hiu buntung yang dibiarkan terapung tak berdaya di laut adalah sebagian kecil dari kisah-kisah menyentuh hewan yang bisa saja punah dalam beberapa tahun ke depan di 'Racing Extinction'. Louie Psihoyos berusaha menyoroti bagaimana manusia berperan sangat besar dalam hal ini. Kerusakan bumi, ketidakseimbangan ekosistem dan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap binatang yang dilakukan oleh manusia disampaikan lewat visual yang memanjakan mata. Belum lagi musik latar yang digunakan benar-benar ngena di hati.
"Karena setiap usaha pergerakan sosial membutuhkan musik yang berkualitas bagus," lanjut Louie dalam wawancara yang sama.

Quote:
TEMPO.CO, Jakarta - Perubahan iklim dan rusaknya ekosistem adalah serangkaian kejadian yang tak bisa terpisahkan saat alam berada di ambang kepunahan, seperti yang digambarkan dalam film dokumenter "Racing Extinction" karya Louie Psihoyos. The Cove adalah tim yang terdiri atas seniman dan aktivis lingkungan.
Tim ini mengungkap bagaimana era kepunahan besar-besaran sedang terjadi. Jutaan tahun lalu dinosaurus punah akibat adanya benda langit yang jatuh ke bumi. Namun masalah kepunahan masa kini bukan hal besar yang terjadi tiba-tiba, melainkan pengrusakan yang terus-menerus dan berpengaruh paling besar selama 50 tahun terakhir. Dari film tersebut diceritakan bagaimana sebenarnya kegiatan sehari-hari yang dianggap biasa justru berkontribusi terhadap kerusakan alam beserta ekosistemnya.
Kegiatan di tepi pantai yang berorientasi pada uang menyebabkan masalah serius, seperti terancamnya hewan langka yang dilindungi, mulai dari hiu paus hingga pari manta. Selain itu, kegiatan pengeboran pantai dan tingginya produksi gas metana menimbulkan masalah yang mengakibatkan penurunan kualitas alam. Beberapa tempat seperti Cina, Hong Kong, dan Indonesia menjadi bukti bagaimana kerusakan alam tak dipedulikan demi uang.
Di Cina dan Hong Kong, pusat penjualan obat herbal menjadi tempat yang paling sadis terhadap keragaman hayati di dunia. Pasalnya, ribuan sirip hiu dan bagian tubuh pari manta dikeringkan untuk dijadikan ramuan. Kuatnya kepercayaan di masyarakat membuat rantai produksi di tempat pembuatan obat herbal tak bisa terputus. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur. Nelayan ramai-ramai menangkap pari manta dan hiu lalu mengirimnya ke Cina dan Hong Kong agar mendapat bayaran lebih dari tangkapannya. Tak hanya berakhir di tempat obat, sirip-sirip hiu juga masuk ke restoran mewah dalam bentuk sup.Di Amerika Serikat dan Cina, makanan ini sebenarnya bukan disantap untuk tujuan kesehatan, melainkan menunjukkan harga diri dan kelas. Louie menunjukkan bukan cuma film drama yang bisa membuat emosi tersentuh. Kisah hewan-hewan yang tersakiti dan menjadi korban atas keserakahan manusia bisa membuat air mata menetes. Terutama, saat gambar ribuan pasang sirip hiu terhampar di sebuah tempat pengolahan obat, dan gambar hiu yang berjuang hidup karena sepasang siripnya telah dipotong.
Menariknya lagi, ditampilkan teknologi canggih yang bisa menggambarkan keadaan jalan, gedung, serta kegiatan rutin manusia yang terjadi dan meninggalkan jejak emisi karbon. Menurut Louie, tak ada lagi waktu untuk menunggu kapan waktu yang tepat untuk menjaga alam selain sekarang. Pasalnya, keputusan yang dibuat akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan bumi beserta isinya.
"Tidak ada waktu yang lebih penting di dunia daripada hidup kita saat ini--keputusan yang kita buat dalam beberapa tahun ke depan akan berdampak bagi bumi dan spesies hewan selama jutaan tahun," ujarnya dari keterangan pers.
Tim ini mengungkap bagaimana era kepunahan besar-besaran sedang terjadi. Jutaan tahun lalu dinosaurus punah akibat adanya benda langit yang jatuh ke bumi. Namun masalah kepunahan masa kini bukan hal besar yang terjadi tiba-tiba, melainkan pengrusakan yang terus-menerus dan berpengaruh paling besar selama 50 tahun terakhir. Dari film tersebut diceritakan bagaimana sebenarnya kegiatan sehari-hari yang dianggap biasa justru berkontribusi terhadap kerusakan alam beserta ekosistemnya.
Kegiatan di tepi pantai yang berorientasi pada uang menyebabkan masalah serius, seperti terancamnya hewan langka yang dilindungi, mulai dari hiu paus hingga pari manta. Selain itu, kegiatan pengeboran pantai dan tingginya produksi gas metana menimbulkan masalah yang mengakibatkan penurunan kualitas alam. Beberapa tempat seperti Cina, Hong Kong, dan Indonesia menjadi bukti bagaimana kerusakan alam tak dipedulikan demi uang.
Di Cina dan Hong Kong, pusat penjualan obat herbal menjadi tempat yang paling sadis terhadap keragaman hayati di dunia. Pasalnya, ribuan sirip hiu dan bagian tubuh pari manta dikeringkan untuk dijadikan ramuan. Kuatnya kepercayaan di masyarakat membuat rantai produksi di tempat pembuatan obat herbal tak bisa terputus. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur. Nelayan ramai-ramai menangkap pari manta dan hiu lalu mengirimnya ke Cina dan Hong Kong agar mendapat bayaran lebih dari tangkapannya. Tak hanya berakhir di tempat obat, sirip-sirip hiu juga masuk ke restoran mewah dalam bentuk sup.Di Amerika Serikat dan Cina, makanan ini sebenarnya bukan disantap untuk tujuan kesehatan, melainkan menunjukkan harga diri dan kelas. Louie menunjukkan bukan cuma film drama yang bisa membuat emosi tersentuh. Kisah hewan-hewan yang tersakiti dan menjadi korban atas keserakahan manusia bisa membuat air mata menetes. Terutama, saat gambar ribuan pasang sirip hiu terhampar di sebuah tempat pengolahan obat, dan gambar hiu yang berjuang hidup karena sepasang siripnya telah dipotong.
Menariknya lagi, ditampilkan teknologi canggih yang bisa menggambarkan keadaan jalan, gedung, serta kegiatan rutin manusia yang terjadi dan meninggalkan jejak emisi karbon. Menurut Louie, tak ada lagi waktu untuk menunggu kapan waktu yang tepat untuk menjaga alam selain sekarang. Pasalnya, keputusan yang dibuat akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan bumi beserta isinya.
"Tidak ada waktu yang lebih penting di dunia daripada hidup kita saat ini--keputusan yang kita buat dalam beberapa tahun ke depan akan berdampak bagi bumi dan spesies hewan selama jutaan tahun," ujarnya dari keterangan pers.
Quote:

Louie dan krunya juga melakukan operasi penyamaran dalam film tersebut untuk mengungkap perdagangan ilegal spesies langka. Ada tumpukan ribuan sirip hiu di Tiongkok dan insang Ikan Pari Manta dari Indonesia.
Film juga menggambarkan beyapa tersiksanya Bumi akibat ulah manusia yang menghasilkan sekian banyak gas karbon dioksida dan metana ke atmosfer sehingga menyebabkan semakin asamnya lautan. Sebuah kamera khusus dirancang untuk merekam kepulan asap CO2 dan metana tak terlihat dari knalpot mobil, kapal, manusia bahkan binatang.
Namun film juga menyajikan kisah sukses memasukkan Ikan Pari Manta ke dalam daftar larangan perdagangan internasional. Akhir cerita, sebuah mobil listrik yang dikemudikan pebalap Leilani Münter melakukan misi gerliya dalam memproyeksikan gambar spesies langka dan pesan-pesan harapan pada sisi-sisi gedung ikonik di New York City, Amerika Serikat seperti gedung Empire State. Ada macan tutul salju, harimau, burung hantu, dan berbagai hewan laut yang nyaris punah.
Gambar-gambar yang dipadukan dengan suara alami mereka mengalihkan pandangan orang-orang yang lalu lalang di sekitar bangunan tersebut. Alunan suara lembut Sia dan Antony Hegarty pun terdengar di antara suara-suara satwa. Sia menyanyikan lagu “One Candle,” sementara Antony menyanyikan lagu "Manta Ray".
Aktor sekaligus aktivis lingkungan Hamish Daud (35) menilai film tersebut sangat membuka wawasannya.
"Film ini mengajarkan kita supaya mulai sekarang kita bisa memulai gerakan untuk beraksi mengubah dunia, mari kita melakukan perubahan yang baik demi kelangsungan hidup spesies di muka bumi ini. Lakukan mulai dari hal-hal yang kecil, mulai dari satu hal," katanya di Jakarta pada Rabu malam.
Spoiler for Foto Foto hiu dan pari yang ada didalam film tersebut:






Menurut gw ini adalah salah satu film dokumenter terhebat yang pernah dibuat dan bisa bikin gw menangis.di salah satu scene dalam film itu ada kata kata yang keinget mulu dikepala gw yaitu "lebih baik membiarkan satu lilin menyala daripada mengutuk kegelapan"
Bagi kalian yang ingin menonton film ini Bisa klik INI GAN
SUMBER
SUMBER
Diubah oleh mr.vrangkestin 16-03-2016 20:49
0
6.8K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan