- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
MENCERMATI STRATEGI TIONGKOK MEREBUT TEKNOLOGI HIGH SPEED RAIL (THSR) DARI EROPA


TS
adityakhulian
MENCERMATI STRATEGI TIONGKOK MEREBUT TEKNOLOGI HIGH SPEED RAIL (THSR) DARI EROPA
Proyek jaringan Teknologi High Speed Rail (THSR) Tiongkok diimplementasikan dalam beberapa tahap. Pertama, Tiongkok memobilisir pegawai pemerintah, ilmuwan, dan para pakar di seluruh Tiongkok guna mendiskusikan tentang kelayakan, manfaat, dan pembiayaan untuk Teknologi High Speed Rail (THSR). Pada saat bersamaan, pemerintah menginvestasikan dana besar bagi pelaksanaan R&D untuk Teknologi High Speed Rail (THSR) tersebut guna mengembangkan kapabilitas dan kepakaran di negara tersebut.
Pada tahun 2000, atas bantuan pemerintah, dilakukan koordinasi guna mengimpor teknologi untuk komponen-komponen kunci yang mendukung konstruksi Teknologi High Speed Rail (THSR) tersebut. Kereta api yang dinamakan Blue Arrow tersebut mampu mencapai kecepatan 200 km/jam dan dioperasikan untuk tujuan komersial.

Pada 2001, berdasarkan pengalaman KA Blue Arrow, Kementerian Perkeretaapian mulai membentuk tim pengembangan (terdiri dari berbagai perusahaan, lembaga riset, dan perguruan tinggi) untuk membangun KA yang lebih cepat dan lebih canggih dengan kecepatan 270 km/jam. Namun pengembangan tersebut belum memenuhi persyaratan untuk beroperasi komersial, sehingga pemerintah membuka sektor perkeretaapian bagi partisipasi asing.
Meskipun ada alih teknologi, namun Tiongkok membatasi partisipasi asing, dan membangun sumberdaya riset domestiknya sendiri. Industri Teknologi High Speed Rail (THSR) Tiongkok yang masih sangat dikendalikan oleh negara tersebut, telah berpengalaman selama 60 tahun dalam membangun perkeretaapian, sehingga sudah mampu menghadapi tantangan geografis dan geologis tanpa perlu keterlibatan aktor asing.
Namun industri perkeretaapian tersebut kurang berhasil dalam menangani bagian-bagian Teknologi High Speed Rail (THSR) dan sistem intinya yang sangat canggih, termasuk rolling stock, persinyalan, telekomunikasi dan elektrifikasi. Di sektor teknologi itulah Tiongkok menekankan untuk dilakukan alih teknologi asing.
Posisi kuat Kementerian Perkeretaapian kemudian bertindak selaku kelompok bisnis dan secara kolektif bernegosiasi dengan mitra asing guna meraih alih teknologi. Dengan cara tersebut, Tiongkok menikmati posisi tawar yang kuat dalam menghadapi Siemens dan perusahaan asing lainnya guna alih teknologi mereka ke Tiongkok. Kementerian Perkeretaapian menggunakan strategi unik guna bernegosiasi: sejumlah BUMN di bawah Kementerian Perkeretaapian yang mewakili 38 industri manufaktur KA lokal bernegosiasi untuk proyek konstruksi 280 trainset KA pada 2004 dan 2005 dengan empat industri manufaktur internasional: Alstom Prancis, Bombardier Kanada, Kawasaki Jepang, dan Siemens Jerman. Semua industri manufaktur tersebut menyepakati untuk memenuhi tiga kriteria yang diminta Tiongkok:
1. Alih teknologi mutakhir,
2. Desain dan produksi bersama,
3. Menggunakan brand names lokal.
Saat ini proyek Teknologi High Speed Rail (THSR) telah melibatkan sumberdaya persinyalan & telekomunikasi dari enam perusahaan, 25 perguruan tinggi, 11 lembaga riset, 51 laboratorium kunci tingkat nasional, dan State Engineering Research Centre. Tim riset keilmuan ini melibatkan sejumlah besar akademisi, profesor, dan ribuan personil persinyalan & telekomunikasi. Dengan bantuan teknologi impor dan manajemen yang terstruktur dan terpusat koheren di bawah Kementerian Perkeretaapian, koordinasi riset Teknologi High Speed Rail (THSR) telah mengarahkan struktur inovasi pada jaringan ambisius tersebut. Dukungan finansial dan politik dari pemerintah pusat telah membantu proyek tersebut menjadi koheren dan bersatu.
Meskipun investasi besar-besaran dikucurkan untuk teknologi asing, namun Kementerian Perkeretaapian menetapkan aktor-aktor eksternal berada di luar proses yang mempengaruhi market dan arah riset. Ini tampak pada market share perusahaan asing tersebut yang semula mencapai 70%, namun setelah alih teknologi yang intensif, market share-nya jatuh menjadi hanya 15-20%.
Dalam rangka menerapkan dan menyelami Teknologi High Speed Rail (THSR), pemerintah menunjuk perusahaan manufaktur lokal (CSR dan CNR) untuk melakukan riset pada area spesifik, disamping Teknologi High Speed Rail (THSR). Kementerian Perkeretaapian menugaskan sejumlah lembaga riset untuk mengambil peran dalam riset dasar pada sektor Teknologi High Speed Rail (THSR). Manfaat akhir dari riset dasar perkeretaapian ini akan dinikmati oleh perusahaan manufaktur domestik.
Guna meningkatkan efisiensi dari lokalisasi tersebut, Kementerian Perkeretaapian mengadopsi metoda yang secara gradual mengurangi harga pembelian Teknologi High Speed Rail (THSR) dari perusahaan lokal dan menekan perusahaan untuk mengurangi komponen impor. Metode spesifik tersebut adalah sebagai berikut: ketika Kementerian Perkeretaapian pertama kali membeli Teknologi High Speed Rail (THSR) dari CSR, harganya RMB 230 juta; pembelian kedua harganya turun menjadi RMB 160 juta, dan akhirnya harga saat pembelian ketiga menjadi RMB 135 juta. Kebijakan efisiensi lokalisasi dari Kementerian Perkeretaapian tersebut menekan pabrik-pabrik untuk menemukan domestic providers yang pada gilirannya dapat memasok produk baru.
Pada tahun 2000, atas bantuan pemerintah, dilakukan koordinasi guna mengimpor teknologi untuk komponen-komponen kunci yang mendukung konstruksi Teknologi High Speed Rail (THSR) tersebut. Kereta api yang dinamakan Blue Arrow tersebut mampu mencapai kecepatan 200 km/jam dan dioperasikan untuk tujuan komersial.

Pada 2001, berdasarkan pengalaman KA Blue Arrow, Kementerian Perkeretaapian mulai membentuk tim pengembangan (terdiri dari berbagai perusahaan, lembaga riset, dan perguruan tinggi) untuk membangun KA yang lebih cepat dan lebih canggih dengan kecepatan 270 km/jam. Namun pengembangan tersebut belum memenuhi persyaratan untuk beroperasi komersial, sehingga pemerintah membuka sektor perkeretaapian bagi partisipasi asing.
Meskipun ada alih teknologi, namun Tiongkok membatasi partisipasi asing, dan membangun sumberdaya riset domestiknya sendiri. Industri Teknologi High Speed Rail (THSR) Tiongkok yang masih sangat dikendalikan oleh negara tersebut, telah berpengalaman selama 60 tahun dalam membangun perkeretaapian, sehingga sudah mampu menghadapi tantangan geografis dan geologis tanpa perlu keterlibatan aktor asing.
Namun industri perkeretaapian tersebut kurang berhasil dalam menangani bagian-bagian Teknologi High Speed Rail (THSR) dan sistem intinya yang sangat canggih, termasuk rolling stock, persinyalan, telekomunikasi dan elektrifikasi. Di sektor teknologi itulah Tiongkok menekankan untuk dilakukan alih teknologi asing.
Posisi kuat Kementerian Perkeretaapian kemudian bertindak selaku kelompok bisnis dan secara kolektif bernegosiasi dengan mitra asing guna meraih alih teknologi. Dengan cara tersebut, Tiongkok menikmati posisi tawar yang kuat dalam menghadapi Siemens dan perusahaan asing lainnya guna alih teknologi mereka ke Tiongkok. Kementerian Perkeretaapian menggunakan strategi unik guna bernegosiasi: sejumlah BUMN di bawah Kementerian Perkeretaapian yang mewakili 38 industri manufaktur KA lokal bernegosiasi untuk proyek konstruksi 280 trainset KA pada 2004 dan 2005 dengan empat industri manufaktur internasional: Alstom Prancis, Bombardier Kanada, Kawasaki Jepang, dan Siemens Jerman. Semua industri manufaktur tersebut menyepakati untuk memenuhi tiga kriteria yang diminta Tiongkok:
1. Alih teknologi mutakhir,
2. Desain dan produksi bersama,
3. Menggunakan brand names lokal.
Saat ini proyek Teknologi High Speed Rail (THSR) telah melibatkan sumberdaya persinyalan & telekomunikasi dari enam perusahaan, 25 perguruan tinggi, 11 lembaga riset, 51 laboratorium kunci tingkat nasional, dan State Engineering Research Centre. Tim riset keilmuan ini melibatkan sejumlah besar akademisi, profesor, dan ribuan personil persinyalan & telekomunikasi. Dengan bantuan teknologi impor dan manajemen yang terstruktur dan terpusat koheren di bawah Kementerian Perkeretaapian, koordinasi riset Teknologi High Speed Rail (THSR) telah mengarahkan struktur inovasi pada jaringan ambisius tersebut. Dukungan finansial dan politik dari pemerintah pusat telah membantu proyek tersebut menjadi koheren dan bersatu.
Meskipun investasi besar-besaran dikucurkan untuk teknologi asing, namun Kementerian Perkeretaapian menetapkan aktor-aktor eksternal berada di luar proses yang mempengaruhi market dan arah riset. Ini tampak pada market share perusahaan asing tersebut yang semula mencapai 70%, namun setelah alih teknologi yang intensif, market share-nya jatuh menjadi hanya 15-20%.
Dalam rangka menerapkan dan menyelami Teknologi High Speed Rail (THSR), pemerintah menunjuk perusahaan manufaktur lokal (CSR dan CNR) untuk melakukan riset pada area spesifik, disamping Teknologi High Speed Rail (THSR). Kementerian Perkeretaapian menugaskan sejumlah lembaga riset untuk mengambil peran dalam riset dasar pada sektor Teknologi High Speed Rail (THSR). Manfaat akhir dari riset dasar perkeretaapian ini akan dinikmati oleh perusahaan manufaktur domestik.
Guna meningkatkan efisiensi dari lokalisasi tersebut, Kementerian Perkeretaapian mengadopsi metoda yang secara gradual mengurangi harga pembelian Teknologi High Speed Rail (THSR) dari perusahaan lokal dan menekan perusahaan untuk mengurangi komponen impor. Metode spesifik tersebut adalah sebagai berikut: ketika Kementerian Perkeretaapian pertama kali membeli Teknologi High Speed Rail (THSR) dari CSR, harganya RMB 230 juta; pembelian kedua harganya turun menjadi RMB 160 juta, dan akhirnya harga saat pembelian ketiga menjadi RMB 135 juta. Kebijakan efisiensi lokalisasi dari Kementerian Perkeretaapian tersebut menekan pabrik-pabrik untuk menemukan domestic providers yang pada gilirannya dapat memasok produk baru.
Polling
0 suara
Tentang apa?
Diubah oleh adityakhulian 16-03-2016 17:36
0
1.5K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan