- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
π π π Bersaing di MEA, Pekerja RI Tak Kalah dari Negara Lainπ π π
TS
neothinkpad
π π π Bersaing di MEA, Pekerja RI Tak Kalah dari Negara Lainπ π π
Banyak loh lowongan dalam negeri terutama bidang otomasi yang belum terisi karena banyak yang kualifikasi kurang memadai!

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meminta masyarakat untuk optimistis menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Meskipun persaingan dunia ketenagakerjaan akan lebih ketat, dia menilai tenaga kerja Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
"MEA kita lihat secara optimistis. Kita tetap melihat ini sebagai peluang dalam rangka meningkatkan daya saing tenaga kerja kita," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (9/3/2016).
Menurut Hanif, implementasi MEA sejak akhir 2015 merupakan salah satu bentuk keterbukaan arus keluar masuk barang, jasa, dan investasi di kawasan Negara-negara anggota ASEAN.
Era pasar bebas ini melibatkan 10 negara anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Penerapan MEA tersebut merupakan kelanjutan dari implementasi Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang didasari oleh tiga pilar, yaitu politik dan keamanan, sosial dan kultural, serta ekonomi.
Hanif juga meminta masyarakat untuk tidak perlu takut dengan keberadaan tenaga kerja asing (TKA) dengan diberlakukannya MEA. TKA yang datang ke Indonesia merupakan TKA yang telah memenuhi persyaratan ketat. Selain itu, tidak semua posisi dan ruang kerja dapat diisi oleh TKA.
"Saat ini banyak banyak pandangan yang kurang tepat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Beranggapan bahwa liberalisasi dalam MEA ini akan membuka peluang bagi TKA untuk mudah masuk ke Indonesia dan bekerja di semua sektor," kata dia.
Dalam konteks persaingan kompetensi tenaga kerja, Hanif berpandangan tenaga kerja Indonesia tidak kalah kompetitif dari tenaga kerja negara-negara lain. Ia mencontohkan tester tembakau yang melakukan penilaian terhadap kualitas tembakau.
Tester tembakau tersebut memiliki kompetensi untuk menilai kualitas tembakau berdasarkan pengalaman mereka. Namun, secara kualifikasi mereka dinilai kurang profesional karena tidak memiliki sertifikat profesi tester tembakau. Berbeda halnya di negara-negara lain, tester merupakan salah satu jabatan profesi yang prestisius.
βPetani tembakau di Temanggung dan Wonosobo misalnya, dengan nyentuh dan nyium daun tembakau saja mereka sudah tahu kualitasnya. Mereka punya kompetensi di situ, hanya saja tidak tersertifikasi," jelasnya.
Oleh karena itu, Hanif mengimbau masyarakat agar terus berupaya meningkatkan kompetensi kerjanya. Salah satunya adalah meningkatkan kemampuan bahasa asing.
"Namun masyarakat juga tidak boleh terlena dan lupa untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki, ditunjang dengan pembentukan etos kerja yang profesional dan peningkatan kemampuan berbahasa asing, guna meningkatkan daya saing baik di tingkat nasional maupun internasional," tandasnya. (Dny/Ndw)
BPS: Kualitas Tenaga Kerja Indonesia Masih Rendah
JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, menyebutkan, tenaga kerja Indonesia masih bermasalah. Hal ini karena lebih dari 50 persen tenaga kerja Indonesia adalah lulusan pendidikan dasar.
Ini menyulitkan pergeseran tenaga kerja dari sektor primer ke sektor industri sekunder bahkan tersier.
"Kualitas pekerja kita bermasalah. Kalau dilihat 50 persen pendidikan SD. PR besar bagaimana tingkatkan SDM supaya lebih berkualitas. Kalau enggak mampu dari pendidikan formal at least pelatihan. Karena ketika enggak bagus bagaimana mungkin akan bekerja di sektor tertier," kata dia di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (5/2/2014).
Ia menjelaskan, idealnya semakin maju sebuah negara, maka pertumbuhan sektor pertanian menyumbang prosentase kecil dalam pertumbuhan ekonomi. Demikian juga dengan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.
"Harusnya nanti pertanian itu mengecil (tenaga kerjanya) pindah ke sekunder. Semakin maju negara akan seperti itu. Singapura misalnya, atau Amerika Serikat. Pertanian di AS besar tapi share-nya hanya sekitar 3 persen karena orang-orang bergerak di jasa. Ketika semua tenaga kerja berkualitas, yang terjadi pergeseran itu," terang dia.
Anehnya, kata Suhariyanto, kondisi di Indonesia tidak demikian. Data BPS mencatat laju pertumbuhan sektor pertanian 2013 hanya 3,54 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,78 persen. Namun, penyerapan tenaga kerja masih begitu besar, sekitar 38 juta orang (data Agustus 2013).
Selain sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan juga mengalami pergeseran tenaga kerja. Ia menyebutkan, sepanjang 2013 semakin banyak orang bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Penulis : Estu Suryowati
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
Puan Maharani: Pendidikan Tinggi Ujung Tombak Hadapi MEA
Malang - Peran perguruan tinggi sangat penting untuk memacu pembangunan manusia Indonesia menjadi lebih baik. Perguruan tinggi adalah ujung tombak dalam memperbaiki daya saing Indonesia berhadapan dengan negara lain di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani dalam acara Wisuda Sarjana ke-79 Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (27/2).
Menurut Puan, ada beberapa faktor yang masih menjadi kelemahan Indonesia dalam bersaing di pasar global, yakni rendahnya kemampuan inovasi, kesiapan teknologi, riset, pendidikan tinggi, dan infrastruktur.
"Karena itu, pemerintah berupaya untuk memacu pembangunan manusia terutama melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Dalam menghadapai tantangan yang cukup berat di masa mendatang kita harus menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki keterampilan dan berdaya saing tinggi," tegas Puan.
Ia menjelaskan, tenaga kerja trampil merupakan isu paling penting dalam konteks pembangunan manusia, khususnya dalam menghadapi MEA. Saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan pekerja di Indonesia sekitar 65 persen didominasi oleh pekerja berpendidikan SMP ke bawah, sekitar 25 persen oleh pekerja berpendidikan menengah, serta kontribusi lulusan perguruan tinggi kurang dari 10 persen.
Tingkat pendidikan tenaga pekerja yang rendah berdampak pada rendahnya produktivitas dan daya saing. Padahal, persaingan global menuntut tenaga kerja yang berdaya saing, terampil, dan kompeten.
Reorientasi
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut juga mengatakan, orientasi pendidikan tinggi nasional perlu ditata kembali agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan di masyarakat. Ke depan, Indonesia lebih banyak membutuhkan sarjana dengan kemampuan teknik yang memadai. Namun, sebagian besar pendidikan tinggi saat ini menghasilkan sarjana nonteknik. Kondisi tersebut dipandang tidak ideal.
"Orientasi pendidikan tinggi di negara kita perlu ditata kembali. Di Indonesia diduga sekitar 75 hingga 85 persen lulusan perguruan tinggi berasal dari bidang nonteknik. Hal yang sebaliknya terjadi di Korea Selatan dengan lulusan sarjana sebagian besar di bidang teknik," kata Puan.
Banyaknya lulus perguruan tinggi dari bidang nonteknik tidak terlalu kondusif untuk mendukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta peningkatan daya saing. Padahal, dalam rangka peningkatan daya saing di era MEA, pemerintah akan mengalokasikan lebih dari Rp 5.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
"Hal itu tentu membutuhkan banyak tenaga kerja dari bidang teknik. Jangan sampai peluang ini nantinya hanya dinikmati oleh pekerja asing," ujar Menko Puan.
Dia juga juga mengungkapkan, selama ini pihak swasta berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Setidaknya saat ini ada 3.958 perguruan tinggi swasta atau lebih dari 95 persen dari total perguruan tinggi di Indonesia. Karena itu, diakui Puan, pemerintah memang perlu lebih memberikan perhatian serius kepada perguruan tinggi swasta, khususnya dalam bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap mutu pendidikan yang diselenggarakan.
Pada 2015, lebih dari 240 perguruan tinggi swasta mendapat peringatan administratif dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Menurutnya, pemerintah memang harus bersikap tegas atas setiap pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, karena hal itu akan menurunkan kualitas pendidikan perguruan tinggi juga.
"Kita menginginkan, pendidikan tinggi betul-betul menjadi ajang untuk menempa mentalitas, keterampilan, dan keahlian serta menghasilkan generasi penerus bangsa, yang berintegritas, beretos kerja, dan berkepribadian yang berlandaskan gotong royong," katanya.
Indonesia harus menyambut golden opportunity dalam bidang kependudukan (bonus demografi) dengan baik. Setidaknya ada dua syarat dalam pemanfaatan bonus demografi, yakni kemampuan untuk menyediakan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan serta kemampuan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui revitalisasi program keluarga berencana (KB). Jika kedua hal tersebut tidak dilakukan, justru yang terjadi adalah bencana demografi.
Apresiasi
Dalam kesempatan tersebut, Puan secara khusus memberi apresiasi kepada Muhammadiyah yang telah berperan besar dalam mencerdaskan bangsa sampai saat ini. Kontribusi Kiyai Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, katanya, sangatlah besar dalam membangun mutu pendidikan Indonesia.
"Oleh karena itu, saya berpesan kepada seluruh wisudawan dan wisudawati, jaga citra almamater dan junjung tinggi nama baik Muhammadiyah. Saudara semua hendaknya menjadi kaum intelektual yang memiliki akhlakul karimah (berakhlak mulia),β katanya.
Dia juga berharap agar lembaga pendidikan menjadi tempat untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, membangun paradigma perubahan, pola pikir, budaya atau cara hidup yang baik. Perguruan tinggi harus menjadi agen Revolusi Mental.
"Saya mengharapkan perguruan tinggi dapat berperan sebagai agen perubahan, menjadi pendorong perubahan pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar," katanya.
Kepada para wisudawan/wisudawati, Puan mengingatkan bahwa selesainya studi di univeristas bukan berarti perjuangan sudah berakhir. Sebaliknya, justru itu menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang. Para sarjana yang akan berhadapan dengan berbagai tantangan sekaligus harapan dalam menghadapi masa depan.
"Saudara-saudara dituntut untuk menampilkan dan mengabdikan seluruh keilmuan dan kemampuan yang telah dipelajari dan didalami selama ini," tambahnya.
Suara Pembaruan
Asni Ovier/FER
Suara Pembaruan
Pengusaha: Tenaga Kerja RI Hanya Dicetak Jadi Pemikir
Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai sebagian besar sumber daya manusia (SDM) Indonesia merupakan lulusan ilmu murni. Hanya sebagian kecil yang memiliki keterampilan.
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani mengatakan, sejak tahun 90-an, sebagian besar tenaga kerja Indonesia minim keterampilan. Hal ini bahkan dinilai tidak mengalami banyak perubahan hingga saat ini.
"Belum banyak perubahan dari tahun 1992 sampai saat ini. Kita belum punya tujuan dari tenaga kerja kita akan dibawa ke mana. Sebagian besar kualitas SDM kita masih di bawah SMA," ujarnya di Jakarta, Sabtu (27/2/2016).
Dia menjelaskan, sistem pendidikan di Indonesia selama ini kebanyakan diisi dengan ilmu. Keilmuan yang bersifat praktik banyak sedikit diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan di dalam negeri.
"Jadi 80 persen itu hanya menghasilkan ilmu murni dan hanya 20 persen praktik. Jadi bangsa kita hanya di-setting untuk menjadi bangsa pemikir," kata dia.
Menurut Haryadi, dengan rata-rata tenaga kerja Indonesia hanya pendidikan yang rendah, maka dibutuhkan industri mampu membangun research and development (R&D) secara konsisten. Dengan demikian, kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja Indonesia bisa diasah dan ditingkatkan.
"βͺKalau level pendidikan kita itu rendah, kita butuh industri yang cocok. Butuh industri yang dapat meningkatkan skill mereka," tandasnya. (Dny/Ndw)
BPS Records Increasing Number of Foreigners Working Part-Time

TEMPO.CO, Jakarta - Suryamin, Chief of the Central Statistics Agency (BPS) revealed that the number of foreign tourists who worked part-time in Indonesia in January 2016 was 25,238 million, a number 69.30 percent higher compared to the 14,550 million recorded back in 2015.
Based on BPS record, most foreigners who visited Indonesia were working as employees in the construction sector, consultant services, instructors, and several other business sectors. "In just one year, [the number of foreigners working part-time in Indonesia] increases almost 70 percent," Suryamin said.
However, Suryamin cannot explain the origin of the foreigners because he does not have detailed records.
Suryamin explained that BPS had only collected data on the number of foreigners based on data from the Immigration office an ports of entry across Indonesia.
DIKO OKTARA
Permalink:
http://en.tempo.co/read/news/2016/03...king-Part-Time
http://bisnis.liputan6.com/read/2446...k-jadi-pemikir
http://www.beritasatu.com/pendidikan...adapi-mea.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...a.Masih.Rendah
http://bisnis.liputan6.com/read/2454...ri-negara-lain
Quote:

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri meminta masyarakat untuk optimistis menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Meskipun persaingan dunia ketenagakerjaan akan lebih ketat, dia menilai tenaga kerja Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
"MEA kita lihat secara optimistis. Kita tetap melihat ini sebagai peluang dalam rangka meningkatkan daya saing tenaga kerja kita," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (9/3/2016).
Menurut Hanif, implementasi MEA sejak akhir 2015 merupakan salah satu bentuk keterbukaan arus keluar masuk barang, jasa, dan investasi di kawasan Negara-negara anggota ASEAN.
Era pasar bebas ini melibatkan 10 negara anggota ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Indonesia.
Penerapan MEA tersebut merupakan kelanjutan dari implementasi Komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang didasari oleh tiga pilar, yaitu politik dan keamanan, sosial dan kultural, serta ekonomi.
Hanif juga meminta masyarakat untuk tidak perlu takut dengan keberadaan tenaga kerja asing (TKA) dengan diberlakukannya MEA. TKA yang datang ke Indonesia merupakan TKA yang telah memenuhi persyaratan ketat. Selain itu, tidak semua posisi dan ruang kerja dapat diisi oleh TKA.
"Saat ini banyak banyak pandangan yang kurang tepat di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Beranggapan bahwa liberalisasi dalam MEA ini akan membuka peluang bagi TKA untuk mudah masuk ke Indonesia dan bekerja di semua sektor," kata dia.
Dalam konteks persaingan kompetensi tenaga kerja, Hanif berpandangan tenaga kerja Indonesia tidak kalah kompetitif dari tenaga kerja negara-negara lain. Ia mencontohkan tester tembakau yang melakukan penilaian terhadap kualitas tembakau.
Tester tembakau tersebut memiliki kompetensi untuk menilai kualitas tembakau berdasarkan pengalaman mereka. Namun, secara kualifikasi mereka dinilai kurang profesional karena tidak memiliki sertifikat profesi tester tembakau. Berbeda halnya di negara-negara lain, tester merupakan salah satu jabatan profesi yang prestisius.
βPetani tembakau di Temanggung dan Wonosobo misalnya, dengan nyentuh dan nyium daun tembakau saja mereka sudah tahu kualitasnya. Mereka punya kompetensi di situ, hanya saja tidak tersertifikasi," jelasnya.
Oleh karena itu, Hanif mengimbau masyarakat agar terus berupaya meningkatkan kompetensi kerjanya. Salah satunya adalah meningkatkan kemampuan bahasa asing.
"Namun masyarakat juga tidak boleh terlena dan lupa untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki, ditunjang dengan pembentukan etos kerja yang profesional dan peningkatan kemampuan berbahasa asing, guna meningkatkan daya saing baik di tingkat nasional maupun internasional," tandasnya. (Dny/Ndw)
BPS: Kualitas Tenaga Kerja Indonesia Masih Rendah
JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, menyebutkan, tenaga kerja Indonesia masih bermasalah. Hal ini karena lebih dari 50 persen tenaga kerja Indonesia adalah lulusan pendidikan dasar.
Ini menyulitkan pergeseran tenaga kerja dari sektor primer ke sektor industri sekunder bahkan tersier.
"Kualitas pekerja kita bermasalah. Kalau dilihat 50 persen pendidikan SD. PR besar bagaimana tingkatkan SDM supaya lebih berkualitas. Kalau enggak mampu dari pendidikan formal at least pelatihan. Karena ketika enggak bagus bagaimana mungkin akan bekerja di sektor tertier," kata dia di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (5/2/2014).
Ia menjelaskan, idealnya semakin maju sebuah negara, maka pertumbuhan sektor pertanian menyumbang prosentase kecil dalam pertumbuhan ekonomi. Demikian juga dengan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.
"Harusnya nanti pertanian itu mengecil (tenaga kerjanya) pindah ke sekunder. Semakin maju negara akan seperti itu. Singapura misalnya, atau Amerika Serikat. Pertanian di AS besar tapi share-nya hanya sekitar 3 persen karena orang-orang bergerak di jasa. Ketika semua tenaga kerja berkualitas, yang terjadi pergeseran itu," terang dia.
Anehnya, kata Suhariyanto, kondisi di Indonesia tidak demikian. Data BPS mencatat laju pertumbuhan sektor pertanian 2013 hanya 3,54 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,78 persen. Namun, penyerapan tenaga kerja masih begitu besar, sekitar 38 juta orang (data Agustus 2013).
Selain sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, sektor industri pengolahan juga mengalami pergeseran tenaga kerja. Ia menyebutkan, sepanjang 2013 semakin banyak orang bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Penulis : Estu Suryowati
Editor : Bambang Priyo Jatmiko
Puan Maharani: Pendidikan Tinggi Ujung Tombak Hadapi MEA
Malang - Peran perguruan tinggi sangat penting untuk memacu pembangunan manusia Indonesia menjadi lebih baik. Perguruan tinggi adalah ujung tombak dalam memperbaiki daya saing Indonesia berhadapan dengan negara lain di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani dalam acara Wisuda Sarjana ke-79 Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (27/2).
Menurut Puan, ada beberapa faktor yang masih menjadi kelemahan Indonesia dalam bersaing di pasar global, yakni rendahnya kemampuan inovasi, kesiapan teknologi, riset, pendidikan tinggi, dan infrastruktur.
"Karena itu, pemerintah berupaya untuk memacu pembangunan manusia terutama melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Dalam menghadapai tantangan yang cukup berat di masa mendatang kita harus menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki keterampilan dan berdaya saing tinggi," tegas Puan.
Ia menjelaskan, tenaga kerja trampil merupakan isu paling penting dalam konteks pembangunan manusia, khususnya dalam menghadapi MEA. Saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan pekerja di Indonesia sekitar 65 persen didominasi oleh pekerja berpendidikan SMP ke bawah, sekitar 25 persen oleh pekerja berpendidikan menengah, serta kontribusi lulusan perguruan tinggi kurang dari 10 persen.
Tingkat pendidikan tenaga pekerja yang rendah berdampak pada rendahnya produktivitas dan daya saing. Padahal, persaingan global menuntut tenaga kerja yang berdaya saing, terampil, dan kompeten.
Reorientasi
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut juga mengatakan, orientasi pendidikan tinggi nasional perlu ditata kembali agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan di masyarakat. Ke depan, Indonesia lebih banyak membutuhkan sarjana dengan kemampuan teknik yang memadai. Namun, sebagian besar pendidikan tinggi saat ini menghasilkan sarjana nonteknik. Kondisi tersebut dipandang tidak ideal.
"Orientasi pendidikan tinggi di negara kita perlu ditata kembali. Di Indonesia diduga sekitar 75 hingga 85 persen lulusan perguruan tinggi berasal dari bidang nonteknik. Hal yang sebaliknya terjadi di Korea Selatan dengan lulusan sarjana sebagian besar di bidang teknik," kata Puan.
Banyaknya lulus perguruan tinggi dari bidang nonteknik tidak terlalu kondusif untuk mendukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta peningkatan daya saing. Padahal, dalam rangka peningkatan daya saing di era MEA, pemerintah akan mengalokasikan lebih dari Rp 5.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur.
"Hal itu tentu membutuhkan banyak tenaga kerja dari bidang teknik. Jangan sampai peluang ini nantinya hanya dinikmati oleh pekerja asing," ujar Menko Puan.
Dia juga juga mengungkapkan, selama ini pihak swasta berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Setidaknya saat ini ada 3.958 perguruan tinggi swasta atau lebih dari 95 persen dari total perguruan tinggi di Indonesia. Karena itu, diakui Puan, pemerintah memang perlu lebih memberikan perhatian serius kepada perguruan tinggi swasta, khususnya dalam bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap mutu pendidikan yang diselenggarakan.
Pada 2015, lebih dari 240 perguruan tinggi swasta mendapat peringatan administratif dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Menurutnya, pemerintah memang harus bersikap tegas atas setiap pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, karena hal itu akan menurunkan kualitas pendidikan perguruan tinggi juga.
"Kita menginginkan, pendidikan tinggi betul-betul menjadi ajang untuk menempa mentalitas, keterampilan, dan keahlian serta menghasilkan generasi penerus bangsa, yang berintegritas, beretos kerja, dan berkepribadian yang berlandaskan gotong royong," katanya.
Indonesia harus menyambut golden opportunity dalam bidang kependudukan (bonus demografi) dengan baik. Setidaknya ada dua syarat dalam pemanfaatan bonus demografi, yakni kemampuan untuk menyediakan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan serta kemampuan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui revitalisasi program keluarga berencana (KB). Jika kedua hal tersebut tidak dilakukan, justru yang terjadi adalah bencana demografi.
Apresiasi
Dalam kesempatan tersebut, Puan secara khusus memberi apresiasi kepada Muhammadiyah yang telah berperan besar dalam mencerdaskan bangsa sampai saat ini. Kontribusi Kiyai Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, katanya, sangatlah besar dalam membangun mutu pendidikan Indonesia.
"Oleh karena itu, saya berpesan kepada seluruh wisudawan dan wisudawati, jaga citra almamater dan junjung tinggi nama baik Muhammadiyah. Saudara semua hendaknya menjadi kaum intelektual yang memiliki akhlakul karimah (berakhlak mulia),β katanya.
Dia juga berharap agar lembaga pendidikan menjadi tempat untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, membangun paradigma perubahan, pola pikir, budaya atau cara hidup yang baik. Perguruan tinggi harus menjadi agen Revolusi Mental.
"Saya mengharapkan perguruan tinggi dapat berperan sebagai agen perubahan, menjadi pendorong perubahan pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar," katanya.
Kepada para wisudawan/wisudawati, Puan mengingatkan bahwa selesainya studi di univeristas bukan berarti perjuangan sudah berakhir. Sebaliknya, justru itu menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang. Para sarjana yang akan berhadapan dengan berbagai tantangan sekaligus harapan dalam menghadapi masa depan.
"Saudara-saudara dituntut untuk menampilkan dan mengabdikan seluruh keilmuan dan kemampuan yang telah dipelajari dan didalami selama ini," tambahnya.
Suara Pembaruan
Asni Ovier/FER
Suara Pembaruan
Pengusaha: Tenaga Kerja RI Hanya Dicetak Jadi Pemikir
Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai sebagian besar sumber daya manusia (SDM) Indonesia merupakan lulusan ilmu murni. Hanya sebagian kecil yang memiliki keterampilan.
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani mengatakan, sejak tahun 90-an, sebagian besar tenaga kerja Indonesia minim keterampilan. Hal ini bahkan dinilai tidak mengalami banyak perubahan hingga saat ini.
"Belum banyak perubahan dari tahun 1992 sampai saat ini. Kita belum punya tujuan dari tenaga kerja kita akan dibawa ke mana. Sebagian besar kualitas SDM kita masih di bawah SMA," ujarnya di Jakarta, Sabtu (27/2/2016).
Dia menjelaskan, sistem pendidikan di Indonesia selama ini kebanyakan diisi dengan ilmu. Keilmuan yang bersifat praktik banyak sedikit diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan di dalam negeri.
"Jadi 80 persen itu hanya menghasilkan ilmu murni dan hanya 20 persen praktik. Jadi bangsa kita hanya di-setting untuk menjadi bangsa pemikir," kata dia.
Menurut Haryadi, dengan rata-rata tenaga kerja Indonesia hanya pendidikan yang rendah, maka dibutuhkan industri mampu membangun research and development (R&D) secara konsisten. Dengan demikian, kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja Indonesia bisa diasah dan ditingkatkan.
"βͺKalau level pendidikan kita itu rendah, kita butuh industri yang cocok. Butuh industri yang dapat meningkatkan skill mereka," tandasnya. (Dny/Ndw)
BPS Records Increasing Number of Foreigners Working Part-Time

TEMPO.CO, Jakarta - Suryamin, Chief of the Central Statistics Agency (BPS) revealed that the number of foreign tourists who worked part-time in Indonesia in January 2016 was 25,238 million, a number 69.30 percent higher compared to the 14,550 million recorded back in 2015.
Based on BPS record, most foreigners who visited Indonesia were working as employees in the construction sector, consultant services, instructors, and several other business sectors. "In just one year, [the number of foreigners working part-time in Indonesia] increases almost 70 percent," Suryamin said.
However, Suryamin cannot explain the origin of the foreigners because he does not have detailed records.
Suryamin explained that BPS had only collected data on the number of foreigners based on data from the Immigration office an ports of entry across Indonesia.
DIKO OKTARA
Permalink:
http://en.tempo.co/read/news/2016/03...king-Part-Time
http://bisnis.liputan6.com/read/2446...k-jadi-pemikir
http://www.beritasatu.com/pendidikan...adapi-mea.html
http://bisniskeuangan.kompas.com/rea...a.Masih.Rendah
http://bisnis.liputan6.com/read/2454...ri-negara-lain
Diubah oleh neothinkpad 10-03-2016 05:07
0
4.8K
42
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan