JAKARTA--Sebanyak 1.391.233 PNS di pusat dan daerah menjadi sasaran pertama dalam rasionalisasi PNS. Pasalnya, mereka ini menduduki jabatan fungsional umum yang tidak jelas kinerjanya.
Deputi SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Setiawan Wangsaatmadja mengungkapkan, meski baru tahap pengkajiian, namun dilihat dari profil aparatur sipil negara (ASN) berdasarkan jabatan, sebagian besar PNS tersebar di bagian umum. Yang benar-benar jelas ukuran kinerjanya hanya sekira 3,2 juta orang.
"3,2 juta PNS itu terdiri dari 2,27 juta PNS berada di jabatan fungsional tertentu (guru, medis, paramedis). Sedangkan jabatan fungsional tertentu lainnya hanya 373.929 orang. Sisanya di jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, dan pelaksana," ungkap Setiawan, Minggu (28/2).
Ditambahkannya, pemerintah masih memikirkan cara untuk mengkatrol kemampuan PNS di jabatan fungsional umum (1,39 juta) agar bisa naik ke jabatan fungsional tertentu (profesional dan lainnya). Bila dalam peningkatan kompetensi itu, masih banyak PNS yang gagal, mau tidak mau masuk dalam gerbong rasionalisasi.
"Ini masih kajian-kajian saja. Pemerintah tetap memikirkan upaya peningkatan kompetensi terutama untuk PNS yang punya potensi maju," terangnya.
Data KemenPAN-RB menyebutkan, jumlah PNS pusat yang berada di jabatan fungsional umum sebanyak 554.319, daerah 920.308 sehinggal totalnya 1.391.233 orang atau 42,78 persen dari jumlah PNS seluruh Indonesia 4.517.136
Pengaruh WB & Sri Mulyani thd Jokowi ttg Moratorium 5 thn dan Pensiun Dini untuk PNS
Wk Direktur World Bank, Sri Mulyani
Ekonomi Tumbuh 7%, Ini 5 Saran dari Sri Mulyani
Sabtu, 20 September 2014 | 19:37
Singapura - Direktur Palaksana dan Direktur Operasi Bank Dunia, Sri Mulyani yakin perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas tujuh persen. Untuk mencapainya, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) disarankan melakukan lima langkah penting.
Hal tersebut disampaikannya untuk menjawab pertanyaan MANAGING Partner South East Asia McKinsey&Company, Oliver Tonby, yang meminta pandangan Sri Mulyani dan Sofyan Djalil soal perekonomian Indonesia ke depan pada jamuan makan siang yang diadakan PT Bank Mandiri Tbk di Flute Restaurant-The National Museum, Singapura, Jumat (19/9). Acara bertopik "Indonesia Luncheon: The New Indonesia" itu dihadiri para analis dan manajer investasi global, pengusaha Indonesia, dan mantan Menteri Negara BUMN, Sofyan Djalil.
Menurut Sri Mulyani, ada 5 langkah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, yaitu:
Pertama, adalah menaikkan harga BBM dan mengalokasikan dana subsidi BBM ke masyarakat miskin dan pembangunan infrastruktur.
Kedua, memberikan akses kepada masyarakat bawah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan. "Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang hendak diperluas Jokowi ke seluruh warga Indonesia sudah tepat arah. PROGRAM itu sangat penting bagi rakyat kecil," ungkap mantan menteri keuangan itu. Menurut survei BPS terakhir, penduduk Indonesia yang tergolong miskin absolut masih 28,2 juta atau 11,5 persen dari total penduduk.
Ketiga,
melanjutkan reformasi birokrasidi semua kementerian dan semua level. Menurut Sri Mulyani, peran birokrasi sangat penting dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Tanpa birokrasi yang baik, yang melayani, dan yang tidak menghambat, berbagai program pemerintah tidak bisa terimplementasi dengan baik.
Keempat, Sri Mulyani menekankan pentingnya penerapan sistem meritokrasi di semua lini. Berbagai posisi penting di pemerintahan harus dipercayakan kepada mereka yang memiliki kapabilitas dan integritas. Kompetensi dan integritas harus menjadi pertimbangan utama dalam berbagai promosi jabatan.
Kelima, pembenahan penerimaan sistem pajak secara menyeluruh yang dilakukan bersamaan dengan penegakan hukum. Sistem perpajakan harus bisa menutup aneka peluang bagi para wajib pajak untuk melakukan penghindaran atau tax avoider.
"Di negara maju pun masih ada penghindaran pajak. Tapi, harus diakui, di Indonesia penghindaran pajak masih sangat besar," ujar Sri Mulyani.
Menjawab pertanyaan yang sama, Sofyan menyatakan pembangunan Indonesia dalam 10 tahun terakhir memberikan banyak pelajaran. Ke depan, pemerintahan Indonesia harus berjalan lebih efektif. ' "Presiden terpilih Jokowi sudah menegaskan bahwa sebagian besar menteri berasal dari kalangan profesional," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Bank Mandiri, Pahala Nugraha Mansury, menyatakan Singapura dipilih Mandiri sebagai lokasi pertemuan dengan para analis, manajer investasi, dan pengusaha Indonesia, karena negara ini menjadi headquarter atau kantor pusat perusahaan finansial dunia.
Selain itu, pengusaha Indonesia merasa lebih nyaman menyimpan uang di Singapura. "Kalau Rp 1.500 triliun dana orang Indonesia yang diparkir di sini bisa kembali mengalir ke Tanah Air, perkembangan ekonomi Indonesia akan lebih pesat," ujarnya.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/21...i-mulyani.html
Hikmah Krisis Eropa bagi Asia
11. April 2013, 8:59:35 SGT
oleh Sri Mulyani Indrawati
Pepatah Cina mengatakan orang bijak belajar dari kesalahannya sendiri. Namun, lebih bijak belajar dari kesalahan orang lain. Para pemimpin Asia harus meresapi ungkapan ini sewaktu berakrobat menyeimbangkan kebijakan kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Dengan menelaah krisis fiskal Eropa, mereka dapat menghindari ekses terburuk krisis yang menjegal produktivitas benua Eropa.
Meski begitu, salah jika Asia hanya mengambil hikmah tentang kebijakan apa yang harus dihindari. Eropa tak mungkin mencapai kualitas hidup tertinggi dalam sejarah manusia tanpa melakukan hal yang benar, yakni perdagangan dan keterbukaan.
Berpuluh-puluh tahun sejak Perang Dunia II, Eropa telah bersalin rupa menjadi pusat perdagangan dunia. Pada 2008, setengah volume perdagangan barang dan jasa dunia melibatkan benua itu. Dua per tiga bagian dari perdagangan Eropa terjadi antara negara kawasan itu sendiri. Hal demikian menolong negara-negara berkembang kecil memasuki pasar besar.
Sementara itu, Asia mengkhawatirkan terjadinya “jebakan kelas menengah.” Banyak negara terlihat mudah mencetak tingkat pendapatan per kapita sebesar lebih dari $1.000. Tapi mereka sulit mencapai serta mempertahankan tingkat pendapatan lebih dari $10 ribu. Di Eropa, disokong oleh aktivitas perdagangan yang giat serta aliran finansial terbuka, belasan negara berkembang telah mencapai tingkat pendapatan yang tinggi sejak 1985, seperti terjadi di Portugal pada dekade 1990-an dan Polandia pada dasawarsa 2000-an.
Kisah sukses pun direkam oleh perusahaan-perusahaan Eropa. Pada rentang 1995-2000, para pengusaha Eropa Barat menciptakan lapangan kerja lebih cepat dari Amerika Serikat (AS). Selain itu, negara-negara Eropa membukukan volume ekspor lebih besar dari Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRIC). Produktivitas Eropa Timur naik lebih pesat ketimbang Asia Timur.
Alasan utama keberhasilan tersebut terdapat pada iklim usaha yang lebih bebas. Negara-negara Eropa menduduki ranking tertinggi dalam hal kebebasan dan tingkat persaingan usaha. Situasi itu merupakan hasil dari reformasi pasar tenaga kerja dan sistem kesejahteraan seperti yang terlihat di Swedia pada dekade 1990-an serta Jerman 10 tahun kemudian. Reformasi itu juga mempermudah proses pendirian dan penutupan perusahaan. (Yunani dan Italia menunjukkan apa yang bisa terjadi jika reformasi struktural tertunda).
Asia bisa belajar banyak dari Eropa dengan mempermudah alur perdagangan serta memotong rantai birokrasi. Dalam hal ini, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan memiliki reputasi lebih baik dari negara terbaik di Eropa. Kini, Cina, India, dan
Indonesia bisa menarik keuntungan dengan melakukan hal serupa.
Di sisi lain, kemakmuran yang tercipta dari kebebasan ekonomi Eropa membawa dampak negatif. Kesejahteraan itu memang memungkinkan para warganya berusia lebih panjang dan hidup lebih sehat. Namun, cara bangsa Eropa bereaksi terhadap tingkat kekayaan dan harapan hidup yang lebih tinggi harus menjadi peringatan bagi Asia.
Selama ini, bangsa Eropa mengandalkan pemerintahnya untuk melindungi mereka dari pelbagai aspek buruk korporasi swasta dan memelihara kehidupan mereka kala menjalani masa pensiun. Menurut laporan Bank Dunia mengenai model ekonomi Eropa bertajuk Golden Growth,
Eropa membelanjakan lebih banyak uangnya untuk jaminan sosial dibandingkan negara-negara dunia lain, digabungkan mencapai 60% dari belanja kesejahteraan masyarakat dunia.
Hasilnya, produktivitas dunia kerja menurun tajam. Pada tahun 1950-an, penduduk Eropa Barat bekerja sebulan lebih lama dalam setahun dari penduduk Amerika. Kini, situasinya berbalik: penduduk Amerika bekerja sebulan lebih lama dalam setahun dari warga Prancis, Swedia, Yunani, dan Spanyol. Saat ini kaum lelaki di Prancis pensiun sembilan tahun lebih awal dan hidup enam tahun lebih lama dibanding generasi sebelumnya di tahun 1965. Rata-rata warga Prancis berharap menarik tambahan dana pensiun 15 tahun lebih dari yang dilakukan pada lima dekade silam.
Risikonya jelas. Pajak penghasilan dan defisit fiskal meningkat. Eropa bisa kehilangan sekitar 50 juta pekerja dalam lima dekade mendatang jika gagal memperlunak aturan buruh dan mereformasi program kesejahteraan.
Walaupun Asia kini berada dalam situasi dinamis, kawasan ini tidaklah kebal dari kondisi yang sama. Jepang, Cina, dan Korea Selatan kini menjadi negara dengan populasi lanjut usia terbesar di dunia. Pada 2010, usia rata-rata penduduk Korea Selatan adalah 37 tahun. Di tahun 2050, rata-rata penduduknya berumur lebih panjang, yaitu 57 tahun.
Meskipun kemakmuran dan umur panjang tak bisa dipisahkan, kedua hal tersebut tidak bisa diperlakukan sama. Dengan jumlah kekayaan yang meningkat, penduduk Asia mungkin takkan harus bekerja lebih lama dari sekarang. Namun, untuk hidup lebih lama, mereka harus bekerja lebih lama pula. Negara-negara Eropa Utara seperti Islandia dan Norwegia telah meningkatkan batasan usia pensiun. Negara-negara makmur lainnya harus melakukan hal yang sama. Tidak melakukan hal itu hanya akan membebani generasi mendatang.
Malaise ekonomi Eropa bermula dari sejumlah kesalahan. Sejumlah di antaranya berkaitan dengan mata uang bersama. Namun, bagi Asia, Eropa memberi banyak pelajaran berharga. Asia harus memahami bahwa negara yang mengorbankan terlalu banyak kemerdekaan ekonomi demi jaminan sosial akan berujung merusak baik sektor swasta dan keuangan publik.
Sri Mulyani adalah Managing Director Bank Dunia dan mantan Menteri Keuangan Indonesia tahun 2005-2010.
http://indo.wsj.com/posts/2013/04/11...opa-bagi-asia/