- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
BPJS produk SBY, banyak masalah? Ganti aja dengan Kartu Sehat Jokowi


TS
budimansia
BPJS produk SBY, banyak masalah? Ganti aja dengan Kartu Sehat Jokowi
BPJS Ketenagakerjaan Bermasalah, Duit Triliunan Menguap
Gilang Fauzi, CNN Indonesia Kamis, 14/01/2016 07:33 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kedapatan telah mengelola dana secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada total uang triliunan rupiah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan dan keberadaannya oleh BPJS.
Temuan BPK tersebut didasari oleh Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pengalihan Aset PT Jamsostek (Persero) menjadi Aset Program dan Aset BPJS Ketenagakerjaan serta Kegiatan Pengembangan Dana Jaminan Hari Tua (JHT), Non JHT, dan Biaya PT Jamsostek Tahun Buku 2012 dan 2013 pada BPJS Ketenaga Kerjaan di Jakarta, Jawa Timur, Medan, Jawa Barat, dan Bali.
Anggota VI BPK Bahrullah Akbar saat dikonfirmasi menyatakan hingga saat ini belum ada pembaruan pemeriksaan dari LHP yang ditandatangani olehnya pada 21 Juli 2014 tersebut. "Tindak lanjut dari laporan ini belum saya tangani karena sempat saya lepas. Sekarang kami sedang mulai lagi melakukan pemeriksaan," kata Bahrullah saat ditemui di kantornya, Rabu (13/1).
Lihat juga:Triliunan Menguap, BPJS Ketenagakerjaan Disebut BPK Abai
Pemeriksaan oleh BPK dilakukan untuk menilai apakah pengendalian internal atas pelaksanaan program yang diaudit tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
Berdasarkan temuan-temuan pemeriksaan, BPK mencatat sejumlah poin yang dianggap patut menjadi perhatian pihak BPJS, antara lain;
1. Pengelolaan Dana Pengembangan JHT tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004 sehingga peserta Jamsostek tidak memperoleh pengembangan Dana JHT tepat waktu dan tepat jumlah sebesar RP 1.364.438.671.979,- serta berkurang sebesar Rp 25.831.029.556,- belum dapat dijelaskan;
2. Reklasifikasi Liabilitas Dana Non JHT ke Cadangan Umum (Ekuitas) sebesar 1.198.421.605.861,- tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sehingga mengurangi pengalihan Aset PT Jamsostek ke Dana Jaminan Sosial (DJS);
3. PT Jamsostek tidak membagikan hasil investasi ke Dana Pengembangan Non JHT milik peserta Jamsostek dari tahun 2011-2013 sebesar Rp 594.280.492.271,-;
4. BPJS Ketenagakerjaan kurang membagikan Dana Pengembangan Non JHT ke dalam masing-masing Program DJS sebesar Rp 1.794.835.124.409,-;
5. Pekerjaan TV Program Jamsession I dan II dilaksanakan secara swakelola tidak sesuai dengan ketentuan dan realisasi biaya senilai Rp 7.095.000.000,- belum dapat dipertanggungjawabkan.
Lihat juga:BPJS Kesehatan Mengaku Tombok Rp5,85 Triliun Tahun Ini
Hasil audit BPK kala itu diserahkan tembusannya kepada Menteri BUMN, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, dan Direksi Ketenagakerjaan. Bahrullah menyatakan respons yang diberikan oleh pihak BPJS adalah menolak hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK.
BPJS Ketenagakerjaan merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial-ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial. Tak sedikit yang mempertanyakan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana di BPJS, mengingat tak banyak pula pekerja yang mafhum dengan hak ataupun cara mendapatkan, terutama, jaminan hari tua sebagaimana yang dijanjikan.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...iunan-menguap/
BPJS Kesehatan Bermasalah
Sabtu, 17 Oktober 2015 | 14:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan mengalami defisit likuiditas Rp 5,85 triliun akhir 2015. Hal itu bisa mengganggu pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Solusi yang disepakati Kementerian Keuangan dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat adalah menyuntik dana Rp 1,54 triliun.
Persoalan likuiditas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu dipaparkan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Kamis (15/10) malam. Pembahasan yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad itu tuntas sekitar satu jam.
Pembahasan BPJS Kesehatan tersebut tak diagendakan khusus, tetapi disisipkan menjelang akhir pembahasan tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Sebelumnya, pimpinan Komisi XI DPR dan Bambang menggelar rapat tertutup selama sekitar 15 menit.
Menurut Bambang, BPJS Kesehatan mengalami kesulitan likuiditas karena melonjaknya kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk itu, dalam jangka pendek, BPJS Kesehatan butuh suntikan dana.
Pihak BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit anggaran Rp 5,85 triliun pada akhir 2015. Pendapatan diperkirakan Rp 53,37 triliun, sedangkan pengeluaran mencapai Rp 57,19 triliun. Sementara aset neto (bersih) akhir 2014 sudah mencatatkan defisit Rp 3,3 triliun.
Menurut Bambang, APBN Perubahan (APBN-P) 2015 telah mengalokasikan cadangan pembiayaan untuk BPJS Kesehatan senilai Rp 1,54 triliun. Cadangan pembiayaan itu yang diajukan untuk mendapat persetujuan Komisi XI DPR agar diubah jadi pembiayaan. Tujuannya agar anggaran itu bisa langsung disuntikkan ke BPJS Kesehatan.
"Kami berharap cadangan itu bisa menjaga tingkat kesehatan dari jaminan kesehatan nasional, serta menjamin tersedianya dana likuiditas untuk membayar klaim fasilitas kesehatan," kata Bambang menegaskan.
Melalui suntikan dana sebesar Rp 1,54 triliun, defisit aset neto BPJS Kesehatan akhir 2016 akan berkurang jadi Rp 4,3 triliun. Meski masih defisit, setidaknya likuiditas BPJS Kesehatan terbantu.
http://health.kompas.com/read/2015/1...tan.Bermasalah
Hasil Audit BPK, BPJS Kesehatan Bermasalah
JAKARTA - Badan Pengawas Keuangan (BPK) telah mengaudit program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam temuan BPK, banyak program BPJS Kesehatan yang dinyatakan bermasalah.
Salah satunya terkait data peserta, regulasi yang belum rampung dan obat yang tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan.
Hasil temuan tersebut dijelaskan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kemarin. Timboel menyebutkan, banyak pula regulasi yang sudah ada namun tidak dijalankan.
"Temuan BPK memang benar banyak regulasi yang belum rampung, tapi banyak pula regulasi yang sudah ada tapi tidak dioptimalkan pelaksanaannya," ujarnya.
Regulasi tersebut meliputi, amanat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 49 tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Dari pantauan BPJS Watch, hingga kini badan yang diwajibkan ada di setiap rumah sakit yang bergabung dengan BPJS Kesehatan itu belum ada.
Selain itu, lanjut dia, masalah obat yang hingga saat ini masih belum diselesaikan aturannya dalam formularium nasional (FOrnas). Beberapa rumah sakit (RS) sempat mengeluh kesulitan untuk memperoleh obat generik berkualitas karena panduan belum ada.
"Tak hanya itu, tarif INA CBGs (sistem pembayaran rumah sakit oleh BPJS Kesehatan) yang katanya mau diperbaiki hingga saat ini belum terlaksana," tandasnya. Akibatnya, lanjut Timboel, banyak pasien perseta BPJS Kesehatan yang tidak dilayani secara optimal oleh RS.
Timboel menyebut, layanan yang mereka terima sering tersendat-sendat. Maksutnya, mereka harus menerima format witting list untuk pelayanan. RS berdalih, hal itu disebabkan banyaknya pasein peserta BPJS Kesehatan yang datang minta dilayani.
Pihak RS pun tidak sungkan menawarkan jalur lain alias fee for service yang bisa lebih cepat diakses. "Lalu apa bedanya dengan sistem kesehatan sebelumnya jika ternyata sama saja" Bahkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), pelayanan yang mereka terima justru tidak sebanding dengan layanan ASKES dulu," jelasnya.
Karenanya, Timboel meminta agar semua pihak turut mendorong perbaikan BPJS Kesehatan ini. Salah satunya dengan pengawasan dan membuka hasilnya ke publik. Ia minta agar badan pengawas lainnya seperti Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut ambil andil.
"Ini kan sudah kewajiban, apalagi DJSN sebagai lembaga pengawas BPJS. Buka semua pada rakyat. Saya kemarin sudah bertemu dengan pihak DJSN, saat diajak membahas ini mereka bilang nanti saja," ungkpnya.
Timboel mencurigai, pihak DJSN belum melakukan evaluasi lantaran sibuk dengan part-time mereka sebagai pegawai kementerian. Karenanya mereka pun lalai dalam melakukan pengawasan
http://manajemen-pembiayaankesehatan...tan-bermasalah
BPJS Semakin Mencekik
7 Juni 2015
Pengesahan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada 28 Oktober 2011 tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi pemenuhan hak kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Pengesahan UU ini menjadi keberhasilan perjuangan kelompok serikat buruh dan jaringannya yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).
Namun, pengesahan sebuah UU dalam situasi buruh belum berkuasa secara politik mengandung resiko penyelewengan di tingkat implementasi. BPJS menuai banyak penolakan, baik dari kelompok aktivis yang menghendaki jaminan sosial sejati (bukan asuransi sosial) maupun kelompok mapan yang bercokol di Jamsostek. Setelah pengesahannya, kompromi dengan petinggi Jamsostek bisa dicapai dengan diakomodirnya para elit ini masuk ke jajaran komisaris dan direksi BPJS.
Masalah dimulai dengan berbagai kasus penolakan pasien BPJS oleh rumah sakit, termasuk penelantaran seorang ibu, Lusiana dan bayinya pada Desember 2014 lalu. Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 tahun 2014 memberlakukan masa aktivasi 7 hari kartu BPJS. Belakangan, masa aktivasi bertambah menjadi 14 hari. Artinya, kartu BPJS baru berlaku setelah 14 hari mendaftar.
Iuran BPJS pekerja formal sebesar 5 % dari gaji di mana sebanyak 4 % berasal dari pengusaha dan 1 % dari gaji buruh untuk menanggung buruh dan keluarganya. Sampai Januari 2015 lalu, BPJS Kesehatan mencatat baru 4,8 juta pekerja formal atau 11 % dari total 47 juta pekerja formal, yang menjadi peserta BPJS. Bagi pekerja informal dibebankan biaya iuran Rp 25.000 untuk kelas III, Rp 42.500 untuk kelas II dan Rp 59.000 untuk kelas I per bulan per orang. Ada sekitar 70 pekerja informal di Indonesia yang tanpa kepastian kerja.
Pada tahun 2016 nanti, BPJS akan menaikkan bantuan untuk penerima bantuan iuran (PBI) dari Rp 19.225 menjadi Rp 27.500. Tapi, BPJS juga merencanakan akan menaikkan biaya iuran masing-masing 10 ribu untuk setiap kelasnya. Kenaikan ini tentunya akan semakin mencekik pekerja informal yang tidak hanya menanggung biaya kesehatan dirinya sendiri, tapi juga keluarganya.
Dalam situasi seperti ini, BPJS yang katanya tanpa limit, ternyata masih mengenakan tambahan biaya kepada pasien dengan segala cara. Seorang pekerja dari kawasan EJIP Cikarang yang mengalami kecelakaan lalu lintas, melaporkan dikenakan limit pengobatan sebesar Rp 20 juta saja, padahal biaya tersebut tidak cukup untuk menanggung biaya operasi sebesar Rp 80 juta. Obat-obatan tertentu juga masih harus dibeli sendiri. Kasus-kasus lainnya dapat diteliti oleh pembaca sendiri dengan membaca di media dan forum, seperti Kaskus.
Pemerintah mengaku mengalami defisit sebesar Rp 1,5 triliun, namun juga aktif mengalokasikan dana BPJS untuk investasi, termasuk investasi di PT Semen Indonesia yang menggusur tanah petani Rembang. Ke depannya, dana BPJS yang dikelola mencapai Rp 180 triliun akan diinvestasikan untuk proyek pembangunan perumahan. Saat ini, sebesar Rp 360 miliar siap diinvestasikan untuk program pembangunan perumahan murah. Bahkan, Presiden Joko Widodo akan melakukan revisi peraturan yang mengizinkan investasi perumahan maksimal 5 % dari dana BPJS menjadi 50 % dari dana BPJS.
Padahal, investasi properti semacam ini sangat beresiko di tengah rendahnya daya beli masyarakat Indonesia. Krisis di Amerika Serikat pada 2008 lalu dipicu oleh kredit perumahan macet.
http://solidaritas.net/2015/06/bpjs-...-mencekik.html
BPJS Kesehatan Bermasalah, Jokowi Adakan Rapat
Jum'at, 27 Februari 2015 - 15:13 wib
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan rapat terbatas (ratas) mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang hingga saat ini masih memiliki masalah dalam implementasi.
Hadir dalam ratas ini Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan. Ratas ini juga dihadiri oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris dan perwakilan BPJS lainnya.
Jokowi mengakui, dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan, dirinya banyak menemui permasalahan dan keluhan dari masyarakat.
"Siang hari ini, saya ingin tanyakan beberapa hal tentang jaminan sosial kesehatan, saya melihat sendiri di lapangan banyak dikeluhkan dari masyarakat, terutama pembayaran di rumah sakit (RS)," ucap Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (27/2/2015).
Jokowi pun mencontohkan, permasalahan pembayaran yang terjadi di RS. Ada pasien yang berobat dengan total biaya Rp14 juta, namun BPJS hanya membayar Rp4 juta dan sisanya harus dibayar sendiri.
"Itu misalnya dan hal-hal lainnya," kata Jokowi.
Lanjut Jokowi mengungkapkan, permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai potensi likuiditas yang sudah didengar dari enam bulan lalu dan masalah solvabilitas.
"Oleh sebab itu, saya mau mengerti posisi cash flow seperti apa dan penyebab timbulnya seperti apa. Saya ingin tahu, tapi yang terpenting adalah menyelesaikan, menyempurnakan semuanya sehingga masalah likuiditas dan solvabilitas tidak ada masalah lagi," tukasnya.
http://economy.okezone.com/read/2015...i-adakan-rapat
Beda KJS, Kartu Indonesia Sehat, dan JKN
RABU, 05 NOVEMBER 2014 | 10:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo meluncurkan kartu penunjang program kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS), Senin, 3 November 2014. Puluhan ribu kartu penjamin kesehatan itu dibagikan kepada warga tak mampu di 19 kota. (Baca: BPJS: Kartu Indonesia Sehat Sama dengan JKN)
Sebelumnya, sejumlah program jaminan kesehatan juga telah diluncurkan pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). JKN merupakan program jaminan kesehatan yang diterapkan secara nasional dan ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). (Baca: KIS dengan JKN Sama tapi Beda, Ini Penjelasannya)
Jangkauan JKN terbatas pada keluarga miskin, bukan untuk perseorangan. Sedangkan jangkauan KIS lebih luas, yaitu mencapai masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). (Baca: Puan Jajaki Gabung KIS dengan BPJS)
Calon penerima KIS akan didata oleh Kementerian Sosial, lalu didaftarkan ke BPJS untuk menerima kartu sakti itu. Jika masyarakat umum ingin mendaftar secara swadaya, ia bisa datang ke kantor BPJS terdekat. (Baca: BPJS : Kartu Indonesia Sehat Hanya Brand Baru)
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher, biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Keduanya memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan JKN yaitu Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3. Masyarakat bebas memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.
Sedangkan Kartu Jakarta Sehat terbatas untuk warga yang memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Warga yang ingin mendapatkan kartu ini tinggal menunjukkan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk DKI Jakarta ke puskesmas terdekat.
Dengan KJS, masyarakat Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis di seluruh puskesmas di DKI Jakarta dan perawatan kelas III di 88 rumah sakit yang bermitra dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun sistem pelayanan ini bertingkat.
Kartu Indonesia Sehat sebenarnya merupakan pengembangan dari Kartu Jakarta Sehat. Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, meluncurkan Kartu Jakarta Sehat pada Sabtu, 10 November 2012, di Kelurahan Pademangan Timur, Jakarta Timur.
Jokowi membagikan lebih dari 4 juta kartu untuk warga Jakarta dengan anggaran sekitar RP 800 miliar. Biaya premi layanan KJS yaitu sebesar Rp 23 ribu per orang atau lebih rendah dibanding Kartu Indonesia Sehat.
https://nasional.tempo.co/read/news/...-sehat-dan-jkn
-----------------------------------
Mau tahu bahwa BPJS itu mirip assuransi kesehatan yang pernah diterapkan di AS tahun 1970-an? yang tak berprikemanusiaan katena penuh perhitungan bisnis dan berbau kental kapitalistik? Coba nonton film Holywood tahun 1971 lalu, THE HOSPITAL
THE HOSPITAL (1971), the movies
Gilang Fauzi, CNN Indonesia Kamis, 14/01/2016 07:33 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kedapatan telah mengelola dana secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada total uang triliunan rupiah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pengelolaan dan keberadaannya oleh BPJS.
Temuan BPK tersebut didasari oleh Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pengalihan Aset PT Jamsostek (Persero) menjadi Aset Program dan Aset BPJS Ketenagakerjaan serta Kegiatan Pengembangan Dana Jaminan Hari Tua (JHT), Non JHT, dan Biaya PT Jamsostek Tahun Buku 2012 dan 2013 pada BPJS Ketenaga Kerjaan di Jakarta, Jawa Timur, Medan, Jawa Barat, dan Bali.
Anggota VI BPK Bahrullah Akbar saat dikonfirmasi menyatakan hingga saat ini belum ada pembaruan pemeriksaan dari LHP yang ditandatangani olehnya pada 21 Juli 2014 tersebut. "Tindak lanjut dari laporan ini belum saya tangani karena sempat saya lepas. Sekarang kami sedang mulai lagi melakukan pemeriksaan," kata Bahrullah saat ditemui di kantornya, Rabu (13/1).
Lihat juga:Triliunan Menguap, BPJS Ketenagakerjaan Disebut BPK Abai
Pemeriksaan oleh BPK dilakukan untuk menilai apakah pengendalian internal atas pelaksanaan program yang diaudit tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.
Berdasarkan temuan-temuan pemeriksaan, BPK mencatat sejumlah poin yang dianggap patut menjadi perhatian pihak BPJS, antara lain;
1. Pengelolaan Dana Pengembangan JHT tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2004 sehingga peserta Jamsostek tidak memperoleh pengembangan Dana JHT tepat waktu dan tepat jumlah sebesar RP 1.364.438.671.979,- serta berkurang sebesar Rp 25.831.029.556,- belum dapat dijelaskan;
2. Reklasifikasi Liabilitas Dana Non JHT ke Cadangan Umum (Ekuitas) sebesar 1.198.421.605.861,- tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sehingga mengurangi pengalihan Aset PT Jamsostek ke Dana Jaminan Sosial (DJS);
3. PT Jamsostek tidak membagikan hasil investasi ke Dana Pengembangan Non JHT milik peserta Jamsostek dari tahun 2011-2013 sebesar Rp 594.280.492.271,-;
4. BPJS Ketenagakerjaan kurang membagikan Dana Pengembangan Non JHT ke dalam masing-masing Program DJS sebesar Rp 1.794.835.124.409,-;
5. Pekerjaan TV Program Jamsession I dan II dilaksanakan secara swakelola tidak sesuai dengan ketentuan dan realisasi biaya senilai Rp 7.095.000.000,- belum dapat dipertanggungjawabkan.
Lihat juga:BPJS Kesehatan Mengaku Tombok Rp5,85 Triliun Tahun Ini
Hasil audit BPK kala itu diserahkan tembusannya kepada Menteri BUMN, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, dan Direksi Ketenagakerjaan. Bahrullah menyatakan respons yang diberikan oleh pihak BPJS adalah menolak hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK.
BPJS Ketenagakerjaan merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial-ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial. Tak sedikit yang mempertanyakan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana di BPJS, mengingat tak banyak pula pekerja yang mafhum dengan hak ataupun cara mendapatkan, terutama, jaminan hari tua sebagaimana yang dijanjikan.
http://www.cnnindonesia.com/nasional...iunan-menguap/
BPJS Kesehatan Bermasalah
Sabtu, 17 Oktober 2015 | 14:00 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan akan mengalami defisit likuiditas Rp 5,85 triliun akhir 2015. Hal itu bisa mengganggu pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Solusi yang disepakati Kementerian Keuangan dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat adalah menyuntik dana Rp 1,54 triliun.
Persoalan likuiditas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu dipaparkan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Kamis (15/10) malam. Pembahasan yang dipimpin Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad itu tuntas sekitar satu jam.
Pembahasan BPJS Kesehatan tersebut tak diagendakan khusus, tetapi disisipkan menjelang akhir pembahasan tentang Penyertaan Modal Negara (PMN) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Sebelumnya, pimpinan Komisi XI DPR dan Bambang menggelar rapat tertutup selama sekitar 15 menit.
Menurut Bambang, BPJS Kesehatan mengalami kesulitan likuiditas karena melonjaknya kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Untuk itu, dalam jangka pendek, BPJS Kesehatan butuh suntikan dana.
Pihak BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit anggaran Rp 5,85 triliun pada akhir 2015. Pendapatan diperkirakan Rp 53,37 triliun, sedangkan pengeluaran mencapai Rp 57,19 triliun. Sementara aset neto (bersih) akhir 2014 sudah mencatatkan defisit Rp 3,3 triliun.
Menurut Bambang, APBN Perubahan (APBN-P) 2015 telah mengalokasikan cadangan pembiayaan untuk BPJS Kesehatan senilai Rp 1,54 triliun. Cadangan pembiayaan itu yang diajukan untuk mendapat persetujuan Komisi XI DPR agar diubah jadi pembiayaan. Tujuannya agar anggaran itu bisa langsung disuntikkan ke BPJS Kesehatan.
"Kami berharap cadangan itu bisa menjaga tingkat kesehatan dari jaminan kesehatan nasional, serta menjamin tersedianya dana likuiditas untuk membayar klaim fasilitas kesehatan," kata Bambang menegaskan.
Melalui suntikan dana sebesar Rp 1,54 triliun, defisit aset neto BPJS Kesehatan akhir 2016 akan berkurang jadi Rp 4,3 triliun. Meski masih defisit, setidaknya likuiditas BPJS Kesehatan terbantu.
http://health.kompas.com/read/2015/1...tan.Bermasalah
Hasil Audit BPK, BPJS Kesehatan Bermasalah
JAKARTA - Badan Pengawas Keuangan (BPK) telah mengaudit program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam temuan BPK, banyak program BPJS Kesehatan yang dinyatakan bermasalah.
Salah satunya terkait data peserta, regulasi yang belum rampung dan obat yang tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan.
Hasil temuan tersebut dijelaskan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kemarin. Timboel menyebutkan, banyak pula regulasi yang sudah ada namun tidak dijalankan.
"Temuan BPK memang benar banyak regulasi yang belum rampung, tapi banyak pula regulasi yang sudah ada tapi tidak dioptimalkan pelaksanaannya," ujarnya.
Regulasi tersebut meliputi, amanat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 49 tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Dari pantauan BPJS Watch, hingga kini badan yang diwajibkan ada di setiap rumah sakit yang bergabung dengan BPJS Kesehatan itu belum ada.
Selain itu, lanjut dia, masalah obat yang hingga saat ini masih belum diselesaikan aturannya dalam formularium nasional (FOrnas). Beberapa rumah sakit (RS) sempat mengeluh kesulitan untuk memperoleh obat generik berkualitas karena panduan belum ada.
"Tak hanya itu, tarif INA CBGs (sistem pembayaran rumah sakit oleh BPJS Kesehatan) yang katanya mau diperbaiki hingga saat ini belum terlaksana," tandasnya. Akibatnya, lanjut Timboel, banyak pasien perseta BPJS Kesehatan yang tidak dilayani secara optimal oleh RS.
Timboel menyebut, layanan yang mereka terima sering tersendat-sendat. Maksutnya, mereka harus menerima format witting list untuk pelayanan. RS berdalih, hal itu disebabkan banyaknya pasein peserta BPJS Kesehatan yang datang minta dilayani.
Pihak RS pun tidak sungkan menawarkan jalur lain alias fee for service yang bisa lebih cepat diakses. "Lalu apa bedanya dengan sistem kesehatan sebelumnya jika ternyata sama saja" Bahkan bagi pegawai negeri sipil (PNS), pelayanan yang mereka terima justru tidak sebanding dengan layanan ASKES dulu," jelasnya.
Karenanya, Timboel meminta agar semua pihak turut mendorong perbaikan BPJS Kesehatan ini. Salah satunya dengan pengawasan dan membuka hasilnya ke publik. Ia minta agar badan pengawas lainnya seperti Dewan Jaminan Kesehatan Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut ambil andil.
"Ini kan sudah kewajiban, apalagi DJSN sebagai lembaga pengawas BPJS. Buka semua pada rakyat. Saya kemarin sudah bertemu dengan pihak DJSN, saat diajak membahas ini mereka bilang nanti saja," ungkpnya.
Timboel mencurigai, pihak DJSN belum melakukan evaluasi lantaran sibuk dengan part-time mereka sebagai pegawai kementerian. Karenanya mereka pun lalai dalam melakukan pengawasan
http://manajemen-pembiayaankesehatan...tan-bermasalah
BPJS Semakin Mencekik
7 Juni 2015
Pengesahan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada 28 Oktober 2011 tidak memberikan perubahan yang signifikan bagi pemenuhan hak kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Pengesahan UU ini menjadi keberhasilan perjuangan kelompok serikat buruh dan jaringannya yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).
Namun, pengesahan sebuah UU dalam situasi buruh belum berkuasa secara politik mengandung resiko penyelewengan di tingkat implementasi. BPJS menuai banyak penolakan, baik dari kelompok aktivis yang menghendaki jaminan sosial sejati (bukan asuransi sosial) maupun kelompok mapan yang bercokol di Jamsostek. Setelah pengesahannya, kompromi dengan petinggi Jamsostek bisa dicapai dengan diakomodirnya para elit ini masuk ke jajaran komisaris dan direksi BPJS.
Masalah dimulai dengan berbagai kasus penolakan pasien BPJS oleh rumah sakit, termasuk penelantaran seorang ibu, Lusiana dan bayinya pada Desember 2014 lalu. Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 tahun 2014 memberlakukan masa aktivasi 7 hari kartu BPJS. Belakangan, masa aktivasi bertambah menjadi 14 hari. Artinya, kartu BPJS baru berlaku setelah 14 hari mendaftar.
Iuran BPJS pekerja formal sebesar 5 % dari gaji di mana sebanyak 4 % berasal dari pengusaha dan 1 % dari gaji buruh untuk menanggung buruh dan keluarganya. Sampai Januari 2015 lalu, BPJS Kesehatan mencatat baru 4,8 juta pekerja formal atau 11 % dari total 47 juta pekerja formal, yang menjadi peserta BPJS. Bagi pekerja informal dibebankan biaya iuran Rp 25.000 untuk kelas III, Rp 42.500 untuk kelas II dan Rp 59.000 untuk kelas I per bulan per orang. Ada sekitar 70 pekerja informal di Indonesia yang tanpa kepastian kerja.
Pada tahun 2016 nanti, BPJS akan menaikkan bantuan untuk penerima bantuan iuran (PBI) dari Rp 19.225 menjadi Rp 27.500. Tapi, BPJS juga merencanakan akan menaikkan biaya iuran masing-masing 10 ribu untuk setiap kelasnya. Kenaikan ini tentunya akan semakin mencekik pekerja informal yang tidak hanya menanggung biaya kesehatan dirinya sendiri, tapi juga keluarganya.
Dalam situasi seperti ini, BPJS yang katanya tanpa limit, ternyata masih mengenakan tambahan biaya kepada pasien dengan segala cara. Seorang pekerja dari kawasan EJIP Cikarang yang mengalami kecelakaan lalu lintas, melaporkan dikenakan limit pengobatan sebesar Rp 20 juta saja, padahal biaya tersebut tidak cukup untuk menanggung biaya operasi sebesar Rp 80 juta. Obat-obatan tertentu juga masih harus dibeli sendiri. Kasus-kasus lainnya dapat diteliti oleh pembaca sendiri dengan membaca di media dan forum, seperti Kaskus.
Pemerintah mengaku mengalami defisit sebesar Rp 1,5 triliun, namun juga aktif mengalokasikan dana BPJS untuk investasi, termasuk investasi di PT Semen Indonesia yang menggusur tanah petani Rembang. Ke depannya, dana BPJS yang dikelola mencapai Rp 180 triliun akan diinvestasikan untuk proyek pembangunan perumahan. Saat ini, sebesar Rp 360 miliar siap diinvestasikan untuk program pembangunan perumahan murah. Bahkan, Presiden Joko Widodo akan melakukan revisi peraturan yang mengizinkan investasi perumahan maksimal 5 % dari dana BPJS menjadi 50 % dari dana BPJS.
Padahal, investasi properti semacam ini sangat beresiko di tengah rendahnya daya beli masyarakat Indonesia. Krisis di Amerika Serikat pada 2008 lalu dipicu oleh kredit perumahan macet.
http://solidaritas.net/2015/06/bpjs-...-mencekik.html
BPJS Kesehatan Bermasalah, Jokowi Adakan Rapat
Jum'at, 27 Februari 2015 - 15:13 wib
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan rapat terbatas (ratas) mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang hingga saat ini masih memiliki masalah dalam implementasi.
Hadir dalam ratas ini Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan. Ratas ini juga dihadiri oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris dan perwakilan BPJS lainnya.
Jokowi mengakui, dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan, dirinya banyak menemui permasalahan dan keluhan dari masyarakat.
"Siang hari ini, saya ingin tanyakan beberapa hal tentang jaminan sosial kesehatan, saya melihat sendiri di lapangan banyak dikeluhkan dari masyarakat, terutama pembayaran di rumah sakit (RS)," ucap Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (27/2/2015).
Jokowi pun mencontohkan, permasalahan pembayaran yang terjadi di RS. Ada pasien yang berobat dengan total biaya Rp14 juta, namun BPJS hanya membayar Rp4 juta dan sisanya harus dibayar sendiri.
"Itu misalnya dan hal-hal lainnya," kata Jokowi.
Lanjut Jokowi mengungkapkan, permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai potensi likuiditas yang sudah didengar dari enam bulan lalu dan masalah solvabilitas.
"Oleh sebab itu, saya mau mengerti posisi cash flow seperti apa dan penyebab timbulnya seperti apa. Saya ingin tahu, tapi yang terpenting adalah menyelesaikan, menyempurnakan semuanya sehingga masalah likuiditas dan solvabilitas tidak ada masalah lagi," tukasnya.
http://economy.okezone.com/read/2015...i-adakan-rapat
Beda KJS, Kartu Indonesia Sehat, dan JKN
RABU, 05 NOVEMBER 2014 | 10:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo meluncurkan kartu penunjang program kesehatan berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS), Senin, 3 November 2014. Puluhan ribu kartu penjamin kesehatan itu dibagikan kepada warga tak mampu di 19 kota. (Baca: BPJS: Kartu Indonesia Sehat Sama dengan JKN)
Sebelumnya, sejumlah program jaminan kesehatan juga telah diluncurkan pemerintah, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). JKN merupakan program jaminan kesehatan yang diterapkan secara nasional dan ditangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). (Baca: KIS dengan JKN Sama tapi Beda, Ini Penjelasannya)
Jangkauan JKN terbatas pada keluarga miskin, bukan untuk perseorangan. Sedangkan jangkauan KIS lebih luas, yaitu mencapai masyarakat miskin dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). (Baca: Puan Jajaki Gabung KIS dengan BPJS)
Calon penerima KIS akan didata oleh Kementerian Sosial, lalu didaftarkan ke BPJS untuk menerima kartu sakti itu. Jika masyarakat umum ingin mendaftar secara swadaya, ia bisa datang ke kantor BPJS terdekat. (Baca: BPJS : Kartu Indonesia Sehat Hanya Brand Baru)
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher, biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Keduanya memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan JKN yaitu Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3. Masyarakat bebas memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.
Sedangkan Kartu Jakarta Sehat terbatas untuk warga yang memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta. Warga yang ingin mendapatkan kartu ini tinggal menunjukkan kartu keluarga dan kartu tanda penduduk DKI Jakarta ke puskesmas terdekat.
Dengan KJS, masyarakat Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis di seluruh puskesmas di DKI Jakarta dan perawatan kelas III di 88 rumah sakit yang bermitra dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun sistem pelayanan ini bertingkat.
Kartu Indonesia Sehat sebenarnya merupakan pengembangan dari Kartu Jakarta Sehat. Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, meluncurkan Kartu Jakarta Sehat pada Sabtu, 10 November 2012, di Kelurahan Pademangan Timur, Jakarta Timur.
Jokowi membagikan lebih dari 4 juta kartu untuk warga Jakarta dengan anggaran sekitar RP 800 miliar. Biaya premi layanan KJS yaitu sebesar Rp 23 ribu per orang atau lebih rendah dibanding Kartu Indonesia Sehat.
https://nasional.tempo.co/read/news/...-sehat-dan-jkn
-----------------------------------
Mau tahu bahwa BPJS itu mirip assuransi kesehatan yang pernah diterapkan di AS tahun 1970-an? yang tak berprikemanusiaan katena penuh perhitungan bisnis dan berbau kental kapitalistik? Coba nonton film Holywood tahun 1971 lalu, THE HOSPITAL
THE HOSPITAL (1971), the movies

0
4.5K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan