- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
4 Operator Dihukum di Kartel Tarif SMS, Masyarakat Saving Triliunan Rupiah


TS
scra
4 Operator Dihukum di Kartel Tarif SMS, Masyarakat Saving Triliunan Rupiah
Quote:
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap empat operator seluler. Keempat operator itu dinilai bersalah melakukan kartel tarif SMS.
Atas putusan itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf memberi acungan jempol untuk lembaga tertinggi peradilan di Indonesia tersebut.
"Kita sangat mengapresiasi hakim yang menangani perkara ini. Artinya, sesuai yang diinginkan KPPU untuk membuat industri telekomunikasi lebih efisien dan lebih murah itu kan menguntungkan rakyat," ujar Syarkawi saat dihubungi detikcom, Selasa (1/3/2016).
Menurut Syarkawi sebelum kasus permainan kartel harga ini tidak pernah diangkat ke muka, maka akan banyak konsumen yang dirugikan dari pengiriman SMS antar operator seluler.
"Sebelum putusan ini, SMS per operator biayanya Rp 350. Dengan putusan KPPU industrinya mulai menurunkan jadi Rp 100 per SMS. Sehingga kalau kita hitung-hitung ada saving triliunan rupiah oleh masyarakat karena pengguna telepon di Indonesia sudah mencapai ratusan juta. Masing-masing orang bahkan punya lebih dari satu handphone," terang Syarkawi.
Kasus kartel tarif SMS ini bermula saat KPPU menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh sejumlah provider seluler di Indonesia. Atas laporan tersebut, KPPU langsung bergerak cepat mengawasi operator-operator yang dicurigai melakukan kartel tarif SMS sepanjang 2004-2007 untuk tarif off-net (lintas operator) pada pasar kompetitif.
Benar saja dalam kurun waktu tersebut, enam operator seluler meraup keuntungan hingga Rp 133 triliun. Atas dasar temuan itu, KPPU mempolisikan empat operator yang dinilai bersalah karena telah merugikan konsumen hingga miliaran rupiah.
Empat operator yang digugat, yakni PT Excelkomindo Pratama, Tbk selaku Terlapor I, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk selaku Terlapor IV, PT Bakrie Telecom selaku Terlapor VI dan PT Mobile-8 Telecom, Tbk selaku Terlapor VII. Terhadap putusan itu, para operator pun keberatan dan mengajukan banding terhadap KPPU ke PN Jakpus. Bak gayung bersambut, majelis hakim justru membalik keadaan dengan membatalkan keputusan KPPU alias memenangkan keempat operator tersebut.
Tak terima, giliran KPPU mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, pada 29 Februari 2016 lalu ketua majelis hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD dengan anggota hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha mengabulkan kasasi KPPU.
Di mana, PT Excelkomindo Pratama, Tbk dihukum sebesar Rp 25 miliar, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk dihukum sebesar Rp 18 miliar, PT Bakrie Telecom dihukum sebesar Rp 4 miliar dan PT Mobile-8 Telecom, Tbk sebesar Rp 5 miliar.
Meski putusan PN Jakpus sudah diketok dari tahun 2008 lalu, namun memori kasasi KPPU baru masuk ke MA pada Mei 2015 dan sampai ke meja hakim agung pada 15 Januari 2016. Terkait lamanya jeda waktu antar putusan ini, Syarkawi beranggapan hanya karena ada kendala administrasi semata.
"Salah satu Terlapor yang kita hukum domisilinya bukan cuma di Jakarta tapi ada yang di Bandung. Nah menurut peraturan MA, Terlapor yang tersebar itu harus disatukan. Prosedur pemindahan itu lumayan makan waktu," kata Syarkawi mengakhiri perbincangan.
(aws/asp)
http://news.detik.com/berita/3155114...iliunan-rupiah
Atas putusan itu, Ketua KPPU Syarkawi Rauf memberi acungan jempol untuk lembaga tertinggi peradilan di Indonesia tersebut.
"Kita sangat mengapresiasi hakim yang menangani perkara ini. Artinya, sesuai yang diinginkan KPPU untuk membuat industri telekomunikasi lebih efisien dan lebih murah itu kan menguntungkan rakyat," ujar Syarkawi saat dihubungi detikcom, Selasa (1/3/2016).
Menurut Syarkawi sebelum kasus permainan kartel harga ini tidak pernah diangkat ke muka, maka akan banyak konsumen yang dirugikan dari pengiriman SMS antar operator seluler.
"Sebelum putusan ini, SMS per operator biayanya Rp 350. Dengan putusan KPPU industrinya mulai menurunkan jadi Rp 100 per SMS. Sehingga kalau kita hitung-hitung ada saving triliunan rupiah oleh masyarakat karena pengguna telepon di Indonesia sudah mencapai ratusan juta. Masing-masing orang bahkan punya lebih dari satu handphone," terang Syarkawi.
Kasus kartel tarif SMS ini bermula saat KPPU menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat oleh sejumlah provider seluler di Indonesia. Atas laporan tersebut, KPPU langsung bergerak cepat mengawasi operator-operator yang dicurigai melakukan kartel tarif SMS sepanjang 2004-2007 untuk tarif off-net (lintas operator) pada pasar kompetitif.
Benar saja dalam kurun waktu tersebut, enam operator seluler meraup keuntungan hingga Rp 133 triliun. Atas dasar temuan itu, KPPU mempolisikan empat operator yang dinilai bersalah karena telah merugikan konsumen hingga miliaran rupiah.
Empat operator yang digugat, yakni PT Excelkomindo Pratama, Tbk selaku Terlapor I, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk selaku Terlapor IV, PT Bakrie Telecom selaku Terlapor VI dan PT Mobile-8 Telecom, Tbk selaku Terlapor VII. Terhadap putusan itu, para operator pun keberatan dan mengajukan banding terhadap KPPU ke PN Jakpus. Bak gayung bersambut, majelis hakim justru membalik keadaan dengan membatalkan keputusan KPPU alias memenangkan keempat operator tersebut.
Tak terima, giliran KPPU mengajukan kasasi ke MA. Hasilnya, pada 29 Februari 2016 lalu ketua majelis hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD dengan anggota hakim agung Dr Abdurrahman dan hakim agung I Gusti Agung Sumanatha mengabulkan kasasi KPPU.
Di mana, PT Excelkomindo Pratama, Tbk dihukum sebesar Rp 25 miliar, PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk dihukum sebesar Rp 18 miliar, PT Bakrie Telecom dihukum sebesar Rp 4 miliar dan PT Mobile-8 Telecom, Tbk sebesar Rp 5 miliar.
Meski putusan PN Jakpus sudah diketok dari tahun 2008 lalu, namun memori kasasi KPPU baru masuk ke MA pada Mei 2015 dan sampai ke meja hakim agung pada 15 Januari 2016. Terkait lamanya jeda waktu antar putusan ini, Syarkawi beranggapan hanya karena ada kendala administrasi semata.
"Salah satu Terlapor yang kita hukum domisilinya bukan cuma di Jakarta tapi ada yang di Bandung. Nah menurut peraturan MA, Terlapor yang tersebar itu harus disatukan. Prosedur pemindahan itu lumayan makan waktu," kata Syarkawi mengakhiri perbincangan.
(aws/asp)
http://news.detik.com/berita/3155114...iliunan-rupiah
kena denda juga akhirnya

mungkin skrg udh jarang yg smsan kali yah ,dah lewat data semua
0
3.3K
Kutip
38
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan