- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kritik atas megaproyek Tapera
TS
zanzenkai
Kritik atas megaproyek Tapera
Kritik atas megaproyek Tapera

Pada tahun 2012 lalu, draft atas usulan mengenai RUU Tapera(Tabungan perumahan rakyat) yang digagas oleh DPR dengan ketua pansus Yoseph Umar Hadi, sempat menjadi pembahasan hangat berbarengan dengan RUU pertanahan. Yoseph mengemukakan bahwa penting untuk segera disahkan demi membantu masyarakat menengah ke bawah dapat memiliki rumah. Saat itu, RUU Tapera dinilai mampu mengatasi masalah backlog perumahan yang dinilai cukup jauh, meski ada perbedaan perspektif antara kemenpera dan BPS soal kriteria backlog itu sendiri, namun angkanya mencapai 10 juta unit atau 14 juta unit di tahun 2012 menurut data BPS.
Backlog perumahan adalah gap antara kebutuhan rumah dan ketersediaan rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selama ini, permasalahan soal perumahan memang berkutat pada golongan MBR(Masyarakat Berpenghasilan Rendah), penyebabnya lebih kepada masih terbatasnya lahan yang mampu diakses MBR sehingga mengakibatkan tingginya harga lahan, yang tentu tidak bisa dijangkau oleh MBR.
Pemerintah melalui kemenpera selama ini menjalankan program rumah subsidi dan rusun untuk mengatasi backlog tersebut, yang menurut penulis cukup mampu untuk mengatasi backlog dalam konteks keterbatasan lahan dan harga rumah. Namun memang belum sepenuhnya bisa memenuhi target zero backlog, program sejuta rumah yang digagas pemerintah untuk mereduksi angka kesenjangan itu pun memiliki kendala pada pembiayaan sehingga pemerintah berinisiatif untuk menggandeng BUMN seperti BTN, Perumnas dan BPJS.
Meski setelah pembahasan yang panjang selama 2 tahun dan akhirnya RUU Tapera ditolak pemerintah dengan menarik RUU tersebut pada penghujung 2014 silam, DPR lewat rapat paripurna ke-19 DPR RI masa persidangan III tahun 2015-2016 pada tanggal 23 Februari lalu ini tiba-tiba mengesahkan RUU Tapera menjadi UU dengan sistem voting.
RUU Tapera merupakan bagian dari proyek ambisius DPR periode ini yang kembali digagas setelah gagal untuk disahkan pada DPR periode sebelumnya, selain karena pemerintah menilai bahwa RUU Tapera yang diajukan bersama dengan RUU pertanahan waktu itu sulit untuk dilaksanakan, alasan akan berakhirnya periode legislatif pasca pemilu 2014 itu membuat RUU Tapera ditarik dari pembahasan.
Pengesahan UU Tapera oleh DPR itu menuai polemik, tidak saja pengesahannya yang dinilai cacat hukum sebab dalam mekanismenya tidak menghadirkan DPD dan Eksekutif, padahal, dalam pengesahan UU perlu kehadiran Triparty dan pengkajian yang lebih dalam, apalagi, tahun 2014 RUU Tapera sudah ditolak oleh pemerintah.
Pengesahan UU Tapera ini penulis nilai tidak substansif kepada masalah penyediaan lahan dan mengentaskan backlog, namun cenderung kepada proyek atur-atur uang yang berpotensi menghadirkan mafia dalam hal pelaksanaannya. Memang pada dasarnya Tapera adalah tabungan, namun jika ketersediaan lahan, permasalahan property yang masih dikangkangi oleh makelar tidak menjadi poin dalam UU maka Tapera hanya sekedar megaproyek yang terburu-buru disahkan karena nominalnya yang membuat hijau mafia property. Dalam kata lain, jika lahan dan rumah yang dianggarkan dalam Tapera masih tetap tinggi nilainya karena calo-calo, maka iuran yang digagas hanya membuat mafia semakin gendut, dan hal ini tidak menyentuh kebutuhan utama masyarakat.
Tidak hanya terburu-buru, persentase iuran sebesar 3% dari pendapatan yang ditetapkan dalam Tapera terkesan memeras pekerja dan perusahaan. Sebab selain dipotong untuk iuran BPJS, pekerja dan perusahaan harus membayar pula untuk iuran Tapera, sehingga total potongan pendapatan mencapai 6%.
Padahal, dalam sistem JHT(jaminan hari tua) dalam BPJS sudah termasuk alokasi dana perumahan juga. Sehingga, adanya Tapera ini justru akan memecah pengelolaan dana terkait dengan perumahan menjadi tidak efisien. Hal ini dikhawatirkan menjadi lahan basah baru sebab tanpa diimbangi dengan regulasi yang tepat soal agraria maka dana yang dihimpun akan lambat diserap, padahal kita tahu sendiri bahwa persoalan lahan adalah persoalan panjang di Indonesia. Sementara dalam Tapera, alokasi dana untuk lahan hanya memiliki porsi 5%.
Keberatan para buruh swasta dan pengusaha soal Tapera ini tidak hanya berkutat pada nilai, namun sasaran Tapera yang hanya mengalokasikan dana itu kepada MBR yang tidak jelas kriterianya. Indonesia sendiri memiliki banyak sekali jumlah pengangguran dan masyarakat berpenghasilan rendah. Kasus soal salah sasaran dalam penerimaan bantuan yang umum terjadi di Indonesia membuat pekerja swasta dan pengusaha khawatir, jangan-jangan, yang mendapat rumah dari iuran Tapera adalah sekelik pemilik megaproyek Tapera dan orang dekat mafia property. Bukannya MBR yang betulan.
Lagi, adalah ketidakpastian penerima tabungan Tapera itu. Dalam draft disebutkan bahwa yang berhak menerima pembiayaan Tapera adalah peserta, dan masuk dalam kategori MBR. Pertanyaannya, jika warga negara yang tidak mampu menjadi peserta karena tidak dipenuhinya syarat untuk membayar iuran sekian bulan, apakah tidak berhak menerima Tapera karena kehilangan status kepesertaannya?, blunder lagi, syarat kepesertaan adalah pekerja yang mendapatkan upah di atas minimun regional.
Jadi sebenarnya Tapera ini untuk siapa?, jika dikatakan untuk MBR, tentu secara UU Tapera jelas tertolak karena tidak masuk dalam syarat kepesertaan sebab MBR dikategorikan sebagai golongan yang menerima upah di bawah minimum(pasal 7 ayat 2 point a), namun jika untuk peserta yang notabene disyaratkan memiliki upah di atas minimum, maka peserta tidak berhak menerima pembiayaan dari dana Tapera(pasal 25 ayat 1 point b).
Hal ini yang menyebabkan blunder serta bakal menciptakan permainan kata-kata dalam menafsirkan aturan-aturan itu sehingga terbentuk celah untuk mengakuisisi dana Tapera dari rakyat tanpa merasa berkewajiban untuk memberikannya kembali. Hal ini yang perlu diperjelas dan dikaji ulang.
Pembentukan komite untuk mengurus dana Tapera bisa menjurus kepada praktik hambur-hambur dana iuran dan negara karena dibutuhkan lagi biaya untuk menggaji orang yang mengurusi Tapera, padahal, sudah ada JHT dalam BPJS yang mengurusi dana perumahan.
Dualisme pemupukan dana perumahan ini yang kelak akan menjadi bahan bakar bagi pergolakan ekonomi Indonesia yang sedang dalam fase pemulihan, sehingga selain membebankan masyarakat, terjadi inefisiensi manajemen akibat dibentuknya badan khusus yang mengurusi Tapera.
Sejauh ini, poin yang digelontorkan dalam UU Tapera hanya berkutat soal dana iuran dan pemanfaatan Dana operasional yang berasal dari APBN dan iuran untuk menjalankan aktivitas Tapera, namun masalah kejelasan aturan atau regulasi atas hak pembiayaan dan kepemilikan masih kabur dan terkesan pelengkap. Sehingga ditakutkan terjadi kasus dimana peserta yang sudah membayar iuran tidak memiliki hak atas property yang berasal dari pembiayaan Tapera.
Bagaimanapun, asas gotong royong yang menjadi dasar pengesahan UU Tapera memang patut diapresiasi. Namun bukan berarti hanya sekedar slogan sementara dalam prakteknya ternyata hanya menjadi lahan baru bagi kepentingan serakah DPR untuk mengeruk uang rakyat. Semoga poin-poin yang absurd dalam UU Tapera segera mendapatkan pengkajian atau jika memungkinkan ada amandemen untuk memperbaikinya.
sumber : http://www.pojoksamber.com/kritik-at...proyek-tapera/

Pada tahun 2012 lalu, draft atas usulan mengenai RUU Tapera(Tabungan perumahan rakyat) yang digagas oleh DPR dengan ketua pansus Yoseph Umar Hadi, sempat menjadi pembahasan hangat berbarengan dengan RUU pertanahan. Yoseph mengemukakan bahwa penting untuk segera disahkan demi membantu masyarakat menengah ke bawah dapat memiliki rumah. Saat itu, RUU Tapera dinilai mampu mengatasi masalah backlog perumahan yang dinilai cukup jauh, meski ada perbedaan perspektif antara kemenpera dan BPS soal kriteria backlog itu sendiri, namun angkanya mencapai 10 juta unit atau 14 juta unit di tahun 2012 menurut data BPS.
Backlog perumahan adalah gap antara kebutuhan rumah dan ketersediaan rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selama ini, permasalahan soal perumahan memang berkutat pada golongan MBR(Masyarakat Berpenghasilan Rendah), penyebabnya lebih kepada masih terbatasnya lahan yang mampu diakses MBR sehingga mengakibatkan tingginya harga lahan, yang tentu tidak bisa dijangkau oleh MBR.
Pemerintah melalui kemenpera selama ini menjalankan program rumah subsidi dan rusun untuk mengatasi backlog tersebut, yang menurut penulis cukup mampu untuk mengatasi backlog dalam konteks keterbatasan lahan dan harga rumah. Namun memang belum sepenuhnya bisa memenuhi target zero backlog, program sejuta rumah yang digagas pemerintah untuk mereduksi angka kesenjangan itu pun memiliki kendala pada pembiayaan sehingga pemerintah berinisiatif untuk menggandeng BUMN seperti BTN, Perumnas dan BPJS.
Meski setelah pembahasan yang panjang selama 2 tahun dan akhirnya RUU Tapera ditolak pemerintah dengan menarik RUU tersebut pada penghujung 2014 silam, DPR lewat rapat paripurna ke-19 DPR RI masa persidangan III tahun 2015-2016 pada tanggal 23 Februari lalu ini tiba-tiba mengesahkan RUU Tapera menjadi UU dengan sistem voting.
RUU Tapera merupakan bagian dari proyek ambisius DPR periode ini yang kembali digagas setelah gagal untuk disahkan pada DPR periode sebelumnya, selain karena pemerintah menilai bahwa RUU Tapera yang diajukan bersama dengan RUU pertanahan waktu itu sulit untuk dilaksanakan, alasan akan berakhirnya periode legislatif pasca pemilu 2014 itu membuat RUU Tapera ditarik dari pembahasan.
Pengesahan UU Tapera oleh DPR itu menuai polemik, tidak saja pengesahannya yang dinilai cacat hukum sebab dalam mekanismenya tidak menghadirkan DPD dan Eksekutif, padahal, dalam pengesahan UU perlu kehadiran Triparty dan pengkajian yang lebih dalam, apalagi, tahun 2014 RUU Tapera sudah ditolak oleh pemerintah.
Pengesahan UU Tapera ini penulis nilai tidak substansif kepada masalah penyediaan lahan dan mengentaskan backlog, namun cenderung kepada proyek atur-atur uang yang berpotensi menghadirkan mafia dalam hal pelaksanaannya. Memang pada dasarnya Tapera adalah tabungan, namun jika ketersediaan lahan, permasalahan property yang masih dikangkangi oleh makelar tidak menjadi poin dalam UU maka Tapera hanya sekedar megaproyek yang terburu-buru disahkan karena nominalnya yang membuat hijau mafia property. Dalam kata lain, jika lahan dan rumah yang dianggarkan dalam Tapera masih tetap tinggi nilainya karena calo-calo, maka iuran yang digagas hanya membuat mafia semakin gendut, dan hal ini tidak menyentuh kebutuhan utama masyarakat.
Tidak hanya terburu-buru, persentase iuran sebesar 3% dari pendapatan yang ditetapkan dalam Tapera terkesan memeras pekerja dan perusahaan. Sebab selain dipotong untuk iuran BPJS, pekerja dan perusahaan harus membayar pula untuk iuran Tapera, sehingga total potongan pendapatan mencapai 6%.
Padahal, dalam sistem JHT(jaminan hari tua) dalam BPJS sudah termasuk alokasi dana perumahan juga. Sehingga, adanya Tapera ini justru akan memecah pengelolaan dana terkait dengan perumahan menjadi tidak efisien. Hal ini dikhawatirkan menjadi lahan basah baru sebab tanpa diimbangi dengan regulasi yang tepat soal agraria maka dana yang dihimpun akan lambat diserap, padahal kita tahu sendiri bahwa persoalan lahan adalah persoalan panjang di Indonesia. Sementara dalam Tapera, alokasi dana untuk lahan hanya memiliki porsi 5%.
Keberatan para buruh swasta dan pengusaha soal Tapera ini tidak hanya berkutat pada nilai, namun sasaran Tapera yang hanya mengalokasikan dana itu kepada MBR yang tidak jelas kriterianya. Indonesia sendiri memiliki banyak sekali jumlah pengangguran dan masyarakat berpenghasilan rendah. Kasus soal salah sasaran dalam penerimaan bantuan yang umum terjadi di Indonesia membuat pekerja swasta dan pengusaha khawatir, jangan-jangan, yang mendapat rumah dari iuran Tapera adalah sekelik pemilik megaproyek Tapera dan orang dekat mafia property. Bukannya MBR yang betulan.
Lagi, adalah ketidakpastian penerima tabungan Tapera itu. Dalam draft disebutkan bahwa yang berhak menerima pembiayaan Tapera adalah peserta, dan masuk dalam kategori MBR. Pertanyaannya, jika warga negara yang tidak mampu menjadi peserta karena tidak dipenuhinya syarat untuk membayar iuran sekian bulan, apakah tidak berhak menerima Tapera karena kehilangan status kepesertaannya?, blunder lagi, syarat kepesertaan adalah pekerja yang mendapatkan upah di atas minimun regional.
Jadi sebenarnya Tapera ini untuk siapa?, jika dikatakan untuk MBR, tentu secara UU Tapera jelas tertolak karena tidak masuk dalam syarat kepesertaan sebab MBR dikategorikan sebagai golongan yang menerima upah di bawah minimum(pasal 7 ayat 2 point a), namun jika untuk peserta yang notabene disyaratkan memiliki upah di atas minimum, maka peserta tidak berhak menerima pembiayaan dari dana Tapera(pasal 25 ayat 1 point b).
Hal ini yang menyebabkan blunder serta bakal menciptakan permainan kata-kata dalam menafsirkan aturan-aturan itu sehingga terbentuk celah untuk mengakuisisi dana Tapera dari rakyat tanpa merasa berkewajiban untuk memberikannya kembali. Hal ini yang perlu diperjelas dan dikaji ulang.
Pembentukan komite untuk mengurus dana Tapera bisa menjurus kepada praktik hambur-hambur dana iuran dan negara karena dibutuhkan lagi biaya untuk menggaji orang yang mengurusi Tapera, padahal, sudah ada JHT dalam BPJS yang mengurusi dana perumahan.
Dualisme pemupukan dana perumahan ini yang kelak akan menjadi bahan bakar bagi pergolakan ekonomi Indonesia yang sedang dalam fase pemulihan, sehingga selain membebankan masyarakat, terjadi inefisiensi manajemen akibat dibentuknya badan khusus yang mengurusi Tapera.
Sejauh ini, poin yang digelontorkan dalam UU Tapera hanya berkutat soal dana iuran dan pemanfaatan Dana operasional yang berasal dari APBN dan iuran untuk menjalankan aktivitas Tapera, namun masalah kejelasan aturan atau regulasi atas hak pembiayaan dan kepemilikan masih kabur dan terkesan pelengkap. Sehingga ditakutkan terjadi kasus dimana peserta yang sudah membayar iuran tidak memiliki hak atas property yang berasal dari pembiayaan Tapera.
Bagaimanapun, asas gotong royong yang menjadi dasar pengesahan UU Tapera memang patut diapresiasi. Namun bukan berarti hanya sekedar slogan sementara dalam prakteknya ternyata hanya menjadi lahan baru bagi kepentingan serakah DPR untuk mengeruk uang rakyat. Semoga poin-poin yang absurd dalam UU Tapera segera mendapatkan pengkajian atau jika memungkinkan ada amandemen untuk memperbaikinya.
sumber : http://www.pojoksamber.com/kritik-at...proyek-tapera/
0
3.9K
38
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan