- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KPK sudah lama mencurigai BPJS menjadi Sarang & Ladang Korupsi baru?
TS
pakdejoy
KPK sudah lama mencurigai BPJS menjadi Sarang & Ladang Korupsi baru?
DPR: Jangan-jangan Pihak BPJS Takut Bagiannya Diambil dalam Kasus UU Tapera
Senin, 29 Februari 2016 23:38
TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA - Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Tabungan perumahan Rakyat (Pansus RUU Tapera), Mukhamad Misbakhun, mengatakan bahwa disahkannya Undang-undang Tabungan perumahan Rakyat (Tapera) sebetulnya dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk melakukan sinkronisasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Tapera. Misbakhun mempertanyakan skema perumahan yang ada di BPJS.
"Itu bisa dipindahkan saja ke Tapera, kan semuanya tetap lari untuk para pekerja. Jangan-jangan pihak BPJS yang takut bagiannya diambil," ujar Misbakhun saat berkunjung ke Kompas.com, Senin (29/2/2016).
Misbakhun mengatakan, skema perumahan yang ada di BPJS bukanlah pembiayaan perumahan. Tetapi, pekerja bisa mengambil iurannya dari BPJS tersebut untuk membantu meringankan biaya uang muka rumah.
"Fokusnya bukan program pembiayaan perumahan. Kalau Tapera kan jelas-jelas untuk perumahan.
Nantinya, selain iuran dari pekerja, dana Tapera diambil dari tiga "kantong", yaitu modal awal negara sebesar Rp 10 triliun, skema rumah bersubsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan (FLPP) senilai Rp 29 triliun, serta subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Nantinya modal awal dari Bapertarum juga digeser ke Tapera. Kalau ketiga fondasi itu disinergikan, pasti kuat," kata Misbakhun.
Ihwal keberatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), lanjut Misbakhun, hanya pada persoalan besaran pungutan. Ia mempersilakan pihak Apindo bicara soal hal pungutan, termasuk jika ingin melakukan judicial review.
"Insentif harus diberikan ke pengusaha, dan itu bisa dimasukkan ke beban biaya. Tentunya itu biaya tidak langsung. Itu yang saya maksud juga dengan sinkronisasi," ujarnya
http://medan.tribunnews.com/2016/02/...iannya-diambil
BPJS Ketenagakerjaan Diduga Penuh Korupsi
Sabtu, 23 Januari 2016 , 19:31:00
JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dinilai hanya menjalankan tugas bersifat teknis praktis. Akibatnya, banyak kebijakan yang diambil justru tidak berpihak pada anggota yang mayoritas berstatus sebagai golongan pekerja kelas bawah.
Koordinator Komite Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi ( Kamerad) Haris Pratama mengatakan, Direksi BPJS ketenagakerjaan saat ini terlalu tinggi dalam menetapkan bunga pinjaman perumahan. Yakni mencapai kisaran enam persen dari total pinjaman.
"Padahal dana tersebut berasal dari iuran pekerja dan masyarakat. Lagi pula ini hanya pinjaman untuk uang muka, bukan pinjaman kredit rumah," ujar Haris, Sabtu (23/1).
Pandangan senada juga dikemukakan Ketua HMI Cabang Jakarta Barat Jeffri Azhar. Bahkan patut diduga oknum direksi melakukan korupsi pengadaan sistem informasi teknologi (IT) BPJS dengan nilai kerugian pertahunnya berkisar Rp 289 miliar.
"Sistem IT BPJS Ketenagakerjaan yang baru dibangun tersebut kualitasnya tidak lebih baik dibanding sistem IT periode lama. Karena itu patut diduga ada indikasi korupsi," ujarnya.
http://www.jpnn.com/read/2016/01/23/...Penuh-Korupsi-
BPJS Kesehatan Bakal Rugi Rp 7 Triliun di Akhir 2015
07 Sep 2015 at 16:21 WIB
Liputan6.com, Nusa Dua - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan pada tahun 2015 masih mengalami kerugian, layaknya tahun lalu. Kerugian tersebut diakibatnya tidak seimbangnya antara pembayaran premi peserta dengan klaim yang dibayarkan.
Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat Togar Siallagan memprediksi kerugian yang dialami BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai dua kali lipat dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 3 triliun.
"Kalau kita sih demi mengantisipasinya tahun ini ada sekitar Rp 6 triliun-Rp 7 triliun ketidak seimbangan, untuk tahun 2016 bisa mencapai Rp 9-11 triliun," kata Togar di Nusa Dua, Bali, Senin (7/9/2015).
Dijelaskan Togar, untuk menutup kurang seimbangnya pembayaran premi dengan biaya klaim tersebut pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menanggung resiko tersebut.
Togar menambahkan, dirinya meyakini bahwa tidak seharusnya BPJS Kesehatan mengandalkan pemerintah terus menerus hanya untuk menutupi selisih itu. Untuk itu dirinya mengusulkan untuk adanya kenaikan iuran kepesertaan.
Sementara sebelumnya, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi dijelaskannya, ada dua hal yang menjadi kendala potensi adanya selisih biaya manfaat dengan iuran tersebut. Pertama, tingkat iuran yang disepakati sebesar Rp 19.225 per jiwa dianggap terlalu kecil.
Sesuai dengan yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), idealnya iuran peserta BPJS Kesehatan sebesar Rp 27.500 per jiwa. Jumlah itu bisa mencegah adanya selisih tersebut.
Tidak hanya itu, pola pendaftaran yang instan pada saat beroperasinya BPJS Kesehatan juga menjadi penyebab kedua.
"Dulu masyarakat itu yang mendaftar kebanyakan sudah sakit, mau masuk rumah sakit langsung pada daftar," tegas dia.
Dari laporan tahun 2014, BPJS Kesehatan mencatat jumlah peserta sebesar 142,4 juta jiwa. Untuk tahun 2015, dikatakan Irfan akan meningkat menjadi 168 juta jiwa dengan sasaran para pekerja penerima upah
http://bisnis.liputan6.com/read/2311...-di-akhir-2015
KPK Diminta Periksa Hilangnya Rp 1 Triliun Dana BPJS Di Pasar Bursa
Sabtu, 15 Agustus 2015 Dilihat: 3123
JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera memeriksa dana BPJS Kesehatan sebanyak Rp 1 Triliun yang hilang dibursa saham. Dana yang dikumpulkan BPJS itu adalah dana masyarakat dan ABPN yang peruntukannya adalah pembayaran pelayanan kesehatatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Demikian Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (15/8).
Menurutnya, memang dalam undang-undang Sistim Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS diijinkan untuk menginvestasi dana tersebut dipasal modal dengan membeli saham dan obligasi. Namun kalau hilang seperti ini harus ada yang tanggung jawab.
“KPK harus sera periksa. Masak gak ada yang tanggung jawab. Enak banget BPJS. Itukan bukan duit pribadi pejabat BPJS. Tapi uang negara dan dana masyarakat yang dipaksa untuk disetor ke BPJS. Kalau tidak tanggung jawab itu namanya rampok,” tegasnya.
Menurutnya, dengan adanya kasus ini maka terbukti BPJS menanam uang secara srampangan dan tidak punya perhitungan matang sehingga beresiko hilang satu triliun seperti saat ini.
“Uang dikelola oleh fund management kemudian diinvestasikan lagi bisa ke obligasi atau ke valuta asing. Tapi inikan artinya BPJS menanam uang pada perusahaan securitas abal-abal,” ujarnya.
Namun menurutnya kehilangan satu triliun itu pasti disebabkan karena hancurnya ekonomi dunia yang berdampak pada Indonesia.
“Harga semua saham turun. Itulah namanya judi di pasar saham. Mungkin pada awalnya harga saham yang dibel oleh BPJS itu adalah Rp 100 ribu/lembar. Saat ini bisa jadi turun sampai hanya Rp 25/lembar,” ujarnya.
Salamuddin Daeng mengingatkan bahwa selain dana atas nama Jaminan kesehatan, tapi BPJS Tenaga Kerja juga menarik dana atas nama Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian dan Kecelakan Kerja. Dana itu diambil dari potongan gaji dan upah para pekerja formal, PNS dan TNI/Polri.
“Dana yang dikumpulkan oleh BPJS Tenaga Kerja ini juga akan diputar di bursa saham seperti yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Potensial lost nya ya sama. Bisa hilang begitu saja, kemudian buruh, pekerja dan prajurit akan kehilangan jaminan pelayanannya di pasar saham,” ujarnya.
Siapa Tanggung Jawab
Hari ini, Rabu 12 Agustus dari jam 09.00-17.30 bertempat di Hotel Novotel Jalan Gajah Mada akan di adakan Rapat Umum Pemegang Obligasi PT. Berlian Laju Tengker Tbk (BLTA). Rapat itu akan membahas hilangnya hampir Rp. 1 Triliun (satu triliun rupiah) dana investasi di pasar bursa. Para pemilik obligasi/investor adalah Pengelola dana pensiun, Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Demikian laporan seorang ahli hukum yang tidak mau disebut namanya kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (12/8)
“Ini berkaitan dengan keamanan bursa saham indonesia, keamanan investasi di pasar modal, termasuk keamanan investasi dana masyarat. Ada sekitar 10.000 peserta dana pensiun dan jutaan rakyat penyetor dana BPJS kesehatan yang hilang,” ujarnya menjelaskan.
Ia mengingatkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai dengan undang-undang adalah lembaga pengumpulan dana masyarakat yang bertujuan untuk memutar dana dalam investasi saham dan obligasi.
“Kalau hilang begini siapa yang tanggung jawab? BPJS? Presiden? Menkes? Atau Seluruh anggota DPR? Mengapa sampai sekarang masih ada orang tidak percaya kalau Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan BPJS itu bukan untuk melayani tapi untuk menarik dana masyarakat dan APBN untuk dipakai judi,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa dana yang terkumpul di BPJS bukanlah dana yang kecil. Saat ini, per tanggal 23 Januari 2015 sudah 135.420.517 peserta terdaftar di BPJS dengan kualifikasi 86.500.000 Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai pemerintah. Maka, dengan asumsi besaran iuran terkecil Rp 25.500 dikalikan dengan jumlah peserta saat ini, dana yang sudah terkumpul di BPJS adalah sekitar Rp 3,453 triliun.
Saat seluruh rakyat Indonesia sudah terdaftar di BPJS 2019 nanti, menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, di tahun 2020, di mana Indonesia mengalami bonus demografi, jumlah penduduk Indonesia diprediksi berjumlah sebanyak 271.066.400. Maka besar dana yang terkumpul di BPJS minimal bisa mencapai Rp 6,912 triliun.
Sementara itu, setiap harinya media massa melaporkan pelayanan rumah sakit dan dokter yang tidak dibayar oleh BPJS karena ada batasan kuota pembayaran.
Secara terpisah Presidium Dokter Indonesia Bersatu dr Yadi Permana juga menambahkan soal imbalan yang diterima oleh dokter swasta. Dia menyebutkan bahwa upah yang diterima baik dokter swasta maupun PNS dipukul rata.
"Setiap pasien BPJS, kami menerima Rp 2.000 setelah menangani mereka. Kalau saya yang dokter PNS mungkin tak terlalu masalah karena saya juga dapat gaji dari pemerintah. Tetapi rekan-rekan yang di swasta kadang mengeluh karena dengan bayaran segitu, banyak pasien yang minta banyak fasilitas," tutur Yadi dalam forum di Jakarta, Minggu (9/8).
http://www.bergelora.com/nasional/ek...sar-bursa.html
KPK Paparkan Potensi Korupsi BPJS
Selasa, 11 Pebruari 2014
Hari ini, Selasa (11/2), KPK memaparkan hasil kajian mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung KPK Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, Komisioner OJK Firdaus Djaelani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Andin Hadiyanto dan Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Riduan.
Kajian yang dilakukan pada Agustus-Desember 2013 ini dilakukan dengan metode prospective analysis. Hasilnya, KPK menemukan potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS, yakni pertama, adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Penyusunan anggaran BPJS disusun Direksi BPJS dan disetujui Dewan Pengawas tanpa ada keterlibatan pemerintah dan pihak eksternal. Sedangkan anggaran Dewan Pengawas berasal dari anggaran BPJS juga.
Karena itu, KPK merekomendasikan untuk merevisi UU 24/2011 untuk melibatkan pihak eksternal dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS. Selain itu, KPK juga meminta Pemerintah segera mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang bersedia untuk tidak rangkap jabatan.
Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Rumah sakit berpotensi menaikkan klasifikasi atau diagnosis penyakit dari yang seharusnya (upcoding) dan atau memecah tagihan untuk memperbesar nilai penggantian (unbundling). Ini dimaksudkan untuk mendapatkan klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan BPJS.
Atas temuan ini, KPK mengimbau agar pelaksanaan program dilaksanakan dengan prinsip clean and good governance serta berhati-hati dalam pengelolaan anggaran agar mengedepankan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.
Ketiga, terkait pengawasan yang masih lemah. Pengawasan internal tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta BPJS yang dikelola, dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes), hingga lebih dari 111 juta peserta. Padahal, perubahan ruang lingkup perlu diiringi dengan perubahan sistem dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Sedangkan pengawasan eksternal, KPK melihat adanya ketidakjelasan area pengawasan.
Saat ini, ada tiga lembaga yang mengawasi BPJS, yakni DJSN, OJK dan BPK. Namun substansi pengawasannya belum jelas. Rekomendasi KPK menunjukkan bahwa pengawasan publik juga diperlukan. Karena itu, KPK meminta agar CSO dan akademisi dilibatkan dalam pengawasan JKN. Sistem teknologi informasi juga perlu diperkuat.
Atas temuan potensi korupsi, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menyatakan siap bekerja sama lebih jauh dengan KPK, termasuk sosialisasi potensi korupsi kepada seluruh jajarannya. Peran pencegahan itu, juga harus diperkuat dengan pengawasan. Karena itu, ia setuju bila ada usulan revisi UU No. 24/2011 tentang BPJS agar ada kejelasan peran pengawas eksternal secara substansi.
“Kami memang memerlukan pengawas pihak ketiga agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari,” ujarnya.
Namun begitu, ia juga menekankan bahwa sebagai lembaga baru, BPJS memiliki sistem baru. Karena itu, butuh sosialisasi dan penyadaran kepada pihak terkait, termasuk Puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan kepada masyarakat. “Jangan ada yang coba-coba merekayasa diagnosis utama dan tambahan untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Kita harus kawal bersama.”
http://www.hukumonline.com/berita/ba...i-korupsi-bpjs
KPK Temukan Lima Titik Rawan Korupsi Pengelolaan JKN oleh BPJS
Selasa, 11 Februari 2014 | 15:01 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan lima titik rawan korupsi terkait pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. Lima titik rawan korupsi tersebut berada pada investasi dana BPJS selaku badan, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional, dan potensi korupsi saat pembayaran fasilitas kesehatan.
"Yang kami tangkap, ada lima titik. Investasi dana badan itu, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional, potensi korupsi saat pembayaran di fasilitas kesehatan. Kami berterima kasih kepada KPK yang mengingatkan kami karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati," kata Kepala BPJS Fahmi Idris, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Hadir pula dalam jumpa pers tersebut, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Firdaus Djaelani, dan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron.
Adnan mengatakan, KPK menemukan potensi korupsi terkait dengan rangkap jabatan yang mungkin timbul setelah badan penyelenggara jaminan kesehatan melebur dalam BPJS.
Selain itu, kata Adnan, ada potensi tumpang tindih pengawasan antara Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua lembaga itu ditunjuk sebagai pengawas eksternal pengelolaan JKN oleh BPJS.
"Agar tidak terjadi tumpang tindih pengawasan, KPK berharap bisa mengawal BPJS karena ada 'kue' yang cukup besar, Rp 40 triliun dikelola BPJS setiap tahunnya. Ini untuk masyarakat, tapi berpotensi dinikmati orang-orang yang tidak berkepentingan," kata Adnan.
Dia juga mengingatkan, suatu sistem bisa saja berpotensi korupsi, sekalipun diciptakan oleh negara maju seperti Amerika Serikat. "Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, negara yang IPK (indeks persepsi korupsi)-nya lebih dari Indonesia, TI nya baik, setiap tahun potensi fraudnya 10 persen atau sekitar 4,2 miliar dollar. Karena itu, untuk menghindari seperti itu, kita mengawal BPJS," sambung Adnan.
Sementara itu, Fahmi mengklaim bahwa BPJS kesehatan telah memiliki sistem yang bekerja dengan baik meskipun baru dibentuk. BPJS bidang kesehatan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014. Jika ada potensi korupsi, kata Fahmi, dewan pengawasan internal BPJS kesehatan siap turun untuk memeriksanya. Ditambah lagi pengawasan eksternal dari OJK dan DJSN.
"Kita punya satuan pengawas internal, manajemen risiko, menejemen mutu, intinya sudah tertata. Kami pun memiliki dewan pengawas internal, dengan KPK kami berharap dibimbing agar tidak salah jalan," katanya.
Mengenai kemungkinan tumpang tindih pengawasan eksternal antara OJK dan DJSN, Firdaus angkat bicara. Komisioer OJK itu mengatakan bahwa pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman dengan DJSN yang membagi-bagi bidang pengawasan.
"Kalau OJK lebih pada bagaimana tingkat kesehatan keuangan BPJS, bagaimana menjalankan programnya, manajemen risikonya kayak apa, potensi sistemiknya kayak apa," kata Firdaus.
http://nasional.kompas.com/read/2014....JKN.oleh.BPJS
--------------------------------------------------------
Kita tunggu saja, bagaimana reaksi dan komitmen Pimpinan KPK yang baru saat ini. apa masih konsisten seperti Pimpinan KPK yang lama dulu tentang dugaan bahwa BPJS itu berpotensi menjadi lahan dan sarang korupsi baru di negeri ini?
Senin, 29 Februari 2016 23:38
TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA - Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Tabungan perumahan Rakyat (Pansus RUU Tapera), Mukhamad Misbakhun, mengatakan bahwa disahkannya Undang-undang Tabungan perumahan Rakyat (Tapera) sebetulnya dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk melakukan sinkronisasi antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Tapera. Misbakhun mempertanyakan skema perumahan yang ada di BPJS.
"Itu bisa dipindahkan saja ke Tapera, kan semuanya tetap lari untuk para pekerja. Jangan-jangan pihak BPJS yang takut bagiannya diambil," ujar Misbakhun saat berkunjung ke Kompas.com, Senin (29/2/2016).
Misbakhun mengatakan, skema perumahan yang ada di BPJS bukanlah pembiayaan perumahan. Tetapi, pekerja bisa mengambil iurannya dari BPJS tersebut untuk membantu meringankan biaya uang muka rumah.
"Fokusnya bukan program pembiayaan perumahan. Kalau Tapera kan jelas-jelas untuk perumahan.
Nantinya, selain iuran dari pekerja, dana Tapera diambil dari tiga "kantong", yaitu modal awal negara sebesar Rp 10 triliun, skema rumah bersubsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan (FLPP) senilai Rp 29 triliun, serta subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Nantinya modal awal dari Bapertarum juga digeser ke Tapera. Kalau ketiga fondasi itu disinergikan, pasti kuat," kata Misbakhun.
Ihwal keberatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), lanjut Misbakhun, hanya pada persoalan besaran pungutan. Ia mempersilakan pihak Apindo bicara soal hal pungutan, termasuk jika ingin melakukan judicial review.
"Insentif harus diberikan ke pengusaha, dan itu bisa dimasukkan ke beban biaya. Tentunya itu biaya tidak langsung. Itu yang saya maksud juga dengan sinkronisasi," ujarnya
http://medan.tribunnews.com/2016/02/...iannya-diambil
BPJS Ketenagakerjaan Diduga Penuh Korupsi
Sabtu, 23 Januari 2016 , 19:31:00
JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dinilai hanya menjalankan tugas bersifat teknis praktis. Akibatnya, banyak kebijakan yang diambil justru tidak berpihak pada anggota yang mayoritas berstatus sebagai golongan pekerja kelas bawah.
Koordinator Komite Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi dan Demokrasi ( Kamerad) Haris Pratama mengatakan, Direksi BPJS ketenagakerjaan saat ini terlalu tinggi dalam menetapkan bunga pinjaman perumahan. Yakni mencapai kisaran enam persen dari total pinjaman.
"Padahal dana tersebut berasal dari iuran pekerja dan masyarakat. Lagi pula ini hanya pinjaman untuk uang muka, bukan pinjaman kredit rumah," ujar Haris, Sabtu (23/1).
Pandangan senada juga dikemukakan Ketua HMI Cabang Jakarta Barat Jeffri Azhar. Bahkan patut diduga oknum direksi melakukan korupsi pengadaan sistem informasi teknologi (IT) BPJS dengan nilai kerugian pertahunnya berkisar Rp 289 miliar.
"Sistem IT BPJS Ketenagakerjaan yang baru dibangun tersebut kualitasnya tidak lebih baik dibanding sistem IT periode lama. Karena itu patut diduga ada indikasi korupsi," ujarnya.
http://www.jpnn.com/read/2016/01/23/...Penuh-Korupsi-
BPJS Kesehatan Bakal Rugi Rp 7 Triliun di Akhir 2015
07 Sep 2015 at 16:21 WIB
Liputan6.com, Nusa Dua - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan pada tahun 2015 masih mengalami kerugian, layaknya tahun lalu. Kerugian tersebut diakibatnya tidak seimbangnya antara pembayaran premi peserta dengan klaim yang dibayarkan.
Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan BPJS Kesehatan Pusat Togar Siallagan memprediksi kerugian yang dialami BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai dua kali lipat dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 3 triliun.
"Kalau kita sih demi mengantisipasinya tahun ini ada sekitar Rp 6 triliun-Rp 7 triliun ketidak seimbangan, untuk tahun 2016 bisa mencapai Rp 9-11 triliun," kata Togar di Nusa Dua, Bali, Senin (7/9/2015).
Dijelaskan Togar, untuk menutup kurang seimbangnya pembayaran premi dengan biaya klaim tersebut pemerintah telah menyatakan komitmennya untuk menanggung resiko tersebut.
Togar menambahkan, dirinya meyakini bahwa tidak seharusnya BPJS Kesehatan mengandalkan pemerintah terus menerus hanya untuk menutupi selisih itu. Untuk itu dirinya mengusulkan untuk adanya kenaikan iuran kepesertaan.
Sementara sebelumnya, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi dijelaskannya, ada dua hal yang menjadi kendala potensi adanya selisih biaya manfaat dengan iuran tersebut. Pertama, tingkat iuran yang disepakati sebesar Rp 19.225 per jiwa dianggap terlalu kecil.
Sesuai dengan yang diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), idealnya iuran peserta BPJS Kesehatan sebesar Rp 27.500 per jiwa. Jumlah itu bisa mencegah adanya selisih tersebut.
Tidak hanya itu, pola pendaftaran yang instan pada saat beroperasinya BPJS Kesehatan juga menjadi penyebab kedua.
"Dulu masyarakat itu yang mendaftar kebanyakan sudah sakit, mau masuk rumah sakit langsung pada daftar," tegas dia.
Dari laporan tahun 2014, BPJS Kesehatan mencatat jumlah peserta sebesar 142,4 juta jiwa. Untuk tahun 2015, dikatakan Irfan akan meningkat menjadi 168 juta jiwa dengan sasaran para pekerja penerima upah
http://bisnis.liputan6.com/read/2311...-di-akhir-2015
KPK Diminta Periksa Hilangnya Rp 1 Triliun Dana BPJS Di Pasar Bursa
Sabtu, 15 Agustus 2015 Dilihat: 3123
JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera memeriksa dana BPJS Kesehatan sebanyak Rp 1 Triliun yang hilang dibursa saham. Dana yang dikumpulkan BPJS itu adalah dana masyarakat dan ABPN yang peruntukannya adalah pembayaran pelayanan kesehatatan Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Demikian Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (15/8).
Menurutnya, memang dalam undang-undang Sistim Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS diijinkan untuk menginvestasi dana tersebut dipasal modal dengan membeli saham dan obligasi. Namun kalau hilang seperti ini harus ada yang tanggung jawab.
“KPK harus sera periksa. Masak gak ada yang tanggung jawab. Enak banget BPJS. Itukan bukan duit pribadi pejabat BPJS. Tapi uang negara dan dana masyarakat yang dipaksa untuk disetor ke BPJS. Kalau tidak tanggung jawab itu namanya rampok,” tegasnya.
Menurutnya, dengan adanya kasus ini maka terbukti BPJS menanam uang secara srampangan dan tidak punya perhitungan matang sehingga beresiko hilang satu triliun seperti saat ini.
“Uang dikelola oleh fund management kemudian diinvestasikan lagi bisa ke obligasi atau ke valuta asing. Tapi inikan artinya BPJS menanam uang pada perusahaan securitas abal-abal,” ujarnya.
Namun menurutnya kehilangan satu triliun itu pasti disebabkan karena hancurnya ekonomi dunia yang berdampak pada Indonesia.
“Harga semua saham turun. Itulah namanya judi di pasar saham. Mungkin pada awalnya harga saham yang dibel oleh BPJS itu adalah Rp 100 ribu/lembar. Saat ini bisa jadi turun sampai hanya Rp 25/lembar,” ujarnya.
Salamuddin Daeng mengingatkan bahwa selain dana atas nama Jaminan kesehatan, tapi BPJS Tenaga Kerja juga menarik dana atas nama Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian dan Kecelakan Kerja. Dana itu diambil dari potongan gaji dan upah para pekerja formal, PNS dan TNI/Polri.
“Dana yang dikumpulkan oleh BPJS Tenaga Kerja ini juga akan diputar di bursa saham seperti yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan. Potensial lost nya ya sama. Bisa hilang begitu saja, kemudian buruh, pekerja dan prajurit akan kehilangan jaminan pelayanannya di pasar saham,” ujarnya.
Siapa Tanggung Jawab
Hari ini, Rabu 12 Agustus dari jam 09.00-17.30 bertempat di Hotel Novotel Jalan Gajah Mada akan di adakan Rapat Umum Pemegang Obligasi PT. Berlian Laju Tengker Tbk (BLTA). Rapat itu akan membahas hilangnya hampir Rp. 1 Triliun (satu triliun rupiah) dana investasi di pasar bursa. Para pemilik obligasi/investor adalah Pengelola dana pensiun, Badan penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Demikian laporan seorang ahli hukum yang tidak mau disebut namanya kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (12/8)
“Ini berkaitan dengan keamanan bursa saham indonesia, keamanan investasi di pasar modal, termasuk keamanan investasi dana masyarat. Ada sekitar 10.000 peserta dana pensiun dan jutaan rakyat penyetor dana BPJS kesehatan yang hilang,” ujarnya menjelaskan.
Ia mengingatkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai dengan undang-undang adalah lembaga pengumpulan dana masyarakat yang bertujuan untuk memutar dana dalam investasi saham dan obligasi.
“Kalau hilang begini siapa yang tanggung jawab? BPJS? Presiden? Menkes? Atau Seluruh anggota DPR? Mengapa sampai sekarang masih ada orang tidak percaya kalau Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan BPJS itu bukan untuk melayani tapi untuk menarik dana masyarakat dan APBN untuk dipakai judi,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa dana yang terkumpul di BPJS bukanlah dana yang kecil. Saat ini, per tanggal 23 Januari 2015 sudah 135.420.517 peserta terdaftar di BPJS dengan kualifikasi 86.500.000 Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai pemerintah. Maka, dengan asumsi besaran iuran terkecil Rp 25.500 dikalikan dengan jumlah peserta saat ini, dana yang sudah terkumpul di BPJS adalah sekitar Rp 3,453 triliun.
Saat seluruh rakyat Indonesia sudah terdaftar di BPJS 2019 nanti, menurut Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, di tahun 2020, di mana Indonesia mengalami bonus demografi, jumlah penduduk Indonesia diprediksi berjumlah sebanyak 271.066.400. Maka besar dana yang terkumpul di BPJS minimal bisa mencapai Rp 6,912 triliun.
Sementara itu, setiap harinya media massa melaporkan pelayanan rumah sakit dan dokter yang tidak dibayar oleh BPJS karena ada batasan kuota pembayaran.
Secara terpisah Presidium Dokter Indonesia Bersatu dr Yadi Permana juga menambahkan soal imbalan yang diterima oleh dokter swasta. Dia menyebutkan bahwa upah yang diterima baik dokter swasta maupun PNS dipukul rata.
"Setiap pasien BPJS, kami menerima Rp 2.000 setelah menangani mereka. Kalau saya yang dokter PNS mungkin tak terlalu masalah karena saya juga dapat gaji dari pemerintah. Tetapi rekan-rekan yang di swasta kadang mengeluh karena dengan bayaran segitu, banyak pasien yang minta banyak fasilitas," tutur Yadi dalam forum di Jakarta, Minggu (9/8).
http://www.bergelora.com/nasional/ek...sar-bursa.html
KPK Paparkan Potensi Korupsi BPJS
Selasa, 11 Pebruari 2014
Hari ini, Selasa (11/2), KPK memaparkan hasil kajian mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung KPK Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, Komisioner OJK Firdaus Djaelani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Andin Hadiyanto dan Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Riduan.
Kajian yang dilakukan pada Agustus-Desember 2013 ini dilakukan dengan metode prospective analysis. Hasilnya, KPK menemukan potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS, yakni pertama, adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Penyusunan anggaran BPJS disusun Direksi BPJS dan disetujui Dewan Pengawas tanpa ada keterlibatan pemerintah dan pihak eksternal. Sedangkan anggaran Dewan Pengawas berasal dari anggaran BPJS juga.
Karena itu, KPK merekomendasikan untuk merevisi UU 24/2011 untuk melibatkan pihak eksternal dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS. Selain itu, KPK juga meminta Pemerintah segera mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang bersedia untuk tidak rangkap jabatan.
Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Rumah sakit berpotensi menaikkan klasifikasi atau diagnosis penyakit dari yang seharusnya (upcoding) dan atau memecah tagihan untuk memperbesar nilai penggantian (unbundling). Ini dimaksudkan untuk mendapatkan klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan BPJS.
Atas temuan ini, KPK mengimbau agar pelaksanaan program dilaksanakan dengan prinsip clean and good governance serta berhati-hati dalam pengelolaan anggaran agar mengedepankan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.
Ketiga, terkait pengawasan yang masih lemah. Pengawasan internal tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta BPJS yang dikelola, dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes), hingga lebih dari 111 juta peserta. Padahal, perubahan ruang lingkup perlu diiringi dengan perubahan sistem dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Sedangkan pengawasan eksternal, KPK melihat adanya ketidakjelasan area pengawasan.
Saat ini, ada tiga lembaga yang mengawasi BPJS, yakni DJSN, OJK dan BPK. Namun substansi pengawasannya belum jelas. Rekomendasi KPK menunjukkan bahwa pengawasan publik juga diperlukan. Karena itu, KPK meminta agar CSO dan akademisi dilibatkan dalam pengawasan JKN. Sistem teknologi informasi juga perlu diperkuat.
Atas temuan potensi korupsi, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menyatakan siap bekerja sama lebih jauh dengan KPK, termasuk sosialisasi potensi korupsi kepada seluruh jajarannya. Peran pencegahan itu, juga harus diperkuat dengan pengawasan. Karena itu, ia setuju bila ada usulan revisi UU No. 24/2011 tentang BPJS agar ada kejelasan peran pengawas eksternal secara substansi.
“Kami memang memerlukan pengawas pihak ketiga agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari,” ujarnya.
Namun begitu, ia juga menekankan bahwa sebagai lembaga baru, BPJS memiliki sistem baru. Karena itu, butuh sosialisasi dan penyadaran kepada pihak terkait, termasuk Puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan kepada masyarakat. “Jangan ada yang coba-coba merekayasa diagnosis utama dan tambahan untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Kita harus kawal bersama.”
http://www.hukumonline.com/berita/ba...i-korupsi-bpjs
KPK Temukan Lima Titik Rawan Korupsi Pengelolaan JKN oleh BPJS
Selasa, 11 Februari 2014 | 15:01 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan lima titik rawan korupsi terkait pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. Lima titik rawan korupsi tersebut berada pada investasi dana BPJS selaku badan, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional, dan potensi korupsi saat pembayaran fasilitas kesehatan.
"Yang kami tangkap, ada lima titik. Investasi dana badan itu, investasi dana jaminan sosial, potensi korupsi saat pengalihan aset, potensi korupsi penggunaan dana operasional, potensi korupsi saat pembayaran di fasilitas kesehatan. Kami berterima kasih kepada KPK yang mengingatkan kami karena mencegah itu lebih baik daripada mengobati," kata Kepala BPJS Fahmi Idris, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Hadir pula dalam jumpa pers tersebut, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Firdaus Djaelani, dan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron.
Adnan mengatakan, KPK menemukan potensi korupsi terkait dengan rangkap jabatan yang mungkin timbul setelah badan penyelenggara jaminan kesehatan melebur dalam BPJS.
Selain itu, kata Adnan, ada potensi tumpang tindih pengawasan antara Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kedua lembaga itu ditunjuk sebagai pengawas eksternal pengelolaan JKN oleh BPJS.
"Agar tidak terjadi tumpang tindih pengawasan, KPK berharap bisa mengawal BPJS karena ada 'kue' yang cukup besar, Rp 40 triliun dikelola BPJS setiap tahunnya. Ini untuk masyarakat, tapi berpotensi dinikmati orang-orang yang tidak berkepentingan," kata Adnan.
Dia juga mengingatkan, suatu sistem bisa saja berpotensi korupsi, sekalipun diciptakan oleh negara maju seperti Amerika Serikat. "Sebagai perbandingan, Amerika Serikat, negara yang IPK (indeks persepsi korupsi)-nya lebih dari Indonesia, TI nya baik, setiap tahun potensi fraudnya 10 persen atau sekitar 4,2 miliar dollar. Karena itu, untuk menghindari seperti itu, kita mengawal BPJS," sambung Adnan.
Sementara itu, Fahmi mengklaim bahwa BPJS kesehatan telah memiliki sistem yang bekerja dengan baik meskipun baru dibentuk. BPJS bidang kesehatan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014. Jika ada potensi korupsi, kata Fahmi, dewan pengawasan internal BPJS kesehatan siap turun untuk memeriksanya. Ditambah lagi pengawasan eksternal dari OJK dan DJSN.
"Kita punya satuan pengawas internal, manajemen risiko, menejemen mutu, intinya sudah tertata. Kami pun memiliki dewan pengawas internal, dengan KPK kami berharap dibimbing agar tidak salah jalan," katanya.
Mengenai kemungkinan tumpang tindih pengawasan eksternal antara OJK dan DJSN, Firdaus angkat bicara. Komisioer OJK itu mengatakan bahwa pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman dengan DJSN yang membagi-bagi bidang pengawasan.
"Kalau OJK lebih pada bagaimana tingkat kesehatan keuangan BPJS, bagaimana menjalankan programnya, manajemen risikonya kayak apa, potensi sistemiknya kayak apa," kata Firdaus.
http://nasional.kompas.com/read/2014....JKN.oleh.BPJS
--------------------------------------------------------
Kita tunggu saja, bagaimana reaksi dan komitmen Pimpinan KPK yang baru saat ini. apa masih konsisten seperti Pimpinan KPK yang lama dulu tentang dugaan bahwa BPJS itu berpotensi menjadi lahan dan sarang korupsi baru di negeri ini?
0
6.9K
38
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan