Bilik-bilik ini pengap, panas, dan lembab. Baunya? Entahlah. Saya sulit menjelaskannya. Seperti bau pesing, amis, wangi parfum murahan bercampur keringat.

Kamar-kamar ini letaknya di atas bar yang berjejeran sepanjang gang. Sebagian besar ruangan sudah gelap pekat, terbengkalai ditinggal penghuninya. Saya sampai harus berbekal senter demi mendapat pencahayaan memadai.

Saya butuh waktu seminggu menyurusi gang-gang pengap di Kalijodo, Jakarta Utara, pada akhir Februari 2016. Awalnya saya nyaris tidak punya nyali. Desas-desus daerah ini adalah daerah hitam membuat saya harus ekstra hati-hati.

Tempat ini adalah sisa-sisa kawasan judi dan pramuriaan Kalijodo. Tempat dimana uang, preman dan pramuria tumplek jadi satu. Dulu, orang-orang menyebut perempuan malam di sini sebagai cabo. Artinya pramuria. Rupanya lidah orang Betawi tak cukup lincah melafalkan Ca Bau Kan - gundik bagi para saudagar Tiongkok yang mampir ke Batavia.

Cabo sejatinya bukanlah pramuria. Kalijodo dahulu juga bukan tempat pramuriaan. Ini adalah rumah-rumah yang dipakai tinggal gundik-gundik peliharaan. Tempat dimana para saudagar mencari jodoh. Tapi uang dan kekuasaan sudah mengubah semuanya.

Cerita tentang gundik sudah tidak lagi terdengar. Berganti tentang kisah pramuria-pramuria yang menjual tubuhnya demi selembar uang. Mereka yang - saya yakin - dalam hati kecilnya enggan melakukan pekerjaan kotor seperti ini. Ada tempelan ayat Al Quran, ada foto balita, ada juga buku catatan pemasukan harian.

Sayang, ketika saya datang, mereka sudah pergi entah kemana. Antara ketakutan, atau malas menghadapi kisruh isu penggusuran. Kini yang tertinggal hanyalah bilik-bilik bisu. Bilik cabo Kalijodo.